[Kisah CAHAYA]: Pertemuan (kembali) Dua Hati
IKHLASKANLAH...
Jika aku kembali bertanya "mengapa?" "Ada apa lagi?", mungkin kau akan jengah.
Tapi, sungguh ini bukan persoalan jengah atau tidak.
Hingga di pagi yg dini, Ketika embun masih bermalasan di reranting perdu.
Ketika gigil deru hujan masih mendekapku
Tanya itu kembali berserakan, berhamburan di beranda Taman Hatiku
Tepat ketika rembulan purna tersenyum di balik rinai
Ketika melati pancarkan wangi ke semesta
Tepat saat kudengar sapamu
Kau tertatih mengeja namaku
Diam yg mana yg tak terusik menyaksikan laramu?
Kuraih tanganmu yg terulur ketika kulihat kau melemah
Mendadak tubuhmu hanya mampu bersandar padaku
Detik itu juga semakin tersadari olehku
Jiwa ragamu sakit
Kutanya keadaanmu
Seperti biasa, kau begitu pandai mengolah kata di balik senyummu
Tapi...sungguh kali ini kau tak pandai sembunyikan luka
"Bagaimana keadaanmu?" kuulang tanya yang terdengar asing di telingaku sendiri.
Kau tertatih dan akulah yang memapahmu berjalan
Serasa ada jarum2 kecil hampir menusuki hatiku
Tapi, tidak!
Tak ada hak bagi keadaan ini untuk melukaiku
Aku akan tetap tenang memapahmu menempuhi perjalanan.
"Tidak ke Gresik lagi?" aku bertanya lagi. Dan, kembali aku merasa asing dengan tanyaku sendiri.
"Masih belum ada gunanya," jawabmu akhirnya.
"Iya, aku tahu...tapi keadaanmu semakin parah seperti ini. Aku kira kau sudah baik, lha kenapa kau datang dengan kondisi seperti ini?"
"Iya...tapi aku mau ke Gresik lagi," jawabmu seolah abai dengan kalimatku yang panjang sebelumnya.
Aku masih memapahmu, mendengar deru napasmu yang lelah.
Sedetik dua detik, ada ragu menerpaku.
Ah, bukan ragu!
Tapi aku khawatir ya...aku mengkhawatirkanmu.
"Istirahat saja di sini, ya?" ucapku akhirnya agar kau berhenti berjalan. Bukan aku tak mau menemanimu dengan memapahmu menempuhi perjalananmu tapi kau tidak pernah bilang akan menuju kemanakah langkahmu? Aku juga merasakan bahwa kau teramat lelah. Kau hanya butuh rehat sejenak dan aku akan menemanimu, menjagamu.
"Aku..." jawabmu meragu sambil hentikan langkah tapi kembali mencengkeram bahuku, mencari tempat menyandarkan dirimu.
Pada detik yang sama, akupun tahu...kau begitu lemah, teramat lemah.
Aku hampir goyah, karena tetap saja (walaupun terluka) tubuhmu tetap lebih tinggi dariku.
"Kita berhenti di sini, aku akan tetap menjagamu jangan khawatir," aku tidak bisa mencegah kalimat meluncur dari bibirku.
Aku melihatmu berusaha berdiri dengan kakimu yang lemah, kuperhatikan saja hingga akhirnya kau kembali roboh bersandar padaku.
"Kita bisa lanjutkan perjalanan lain waktu ke Gresik. Jangan sekarang, kondisimu..." aku tak melanjutkan kalimatku.
Kau hanya mengangguk. Kutemukan wajahmu tertunduk, matamu terpejam.
Sungguh, hingga detik ini pun aku tak mengerti mengapa?
Ah...ya kata tanya itu kembali berputar, berpendar mengelilingi aku, memenuhi seluruh ruang otakku.
"Mengapa kau berjalan sendirian?"
"Mengapa kau mencariku?"
"Mengapa kau sampai sakit seperti ini?"
"Mengapa kau mau ke Gresik?"
"Mengapa...."
Mendadak kurasakan udara tak bergerak ketika tepat saat kata tanya berhamburan di beranda Taman Hatiku, kau menatapku. Pandanganmu masih seperti biasanya. Tajam, menusuk relung sukmaku, pun mendinginkan segala yang bergolak. Juga...tetap menjadi sebuah pandangan yang penuh misteri, seperti yang selalu kau bilang tentang adaku.
"Ada apa?" aku tak mampu meredam tanya yang kau hunjamkan lewat tatapanmu. Kuberanikan menamukan bayanganku di bola matamu.
Ya, aku menemukan diriku termangu menatapmu.
Diam.
Aku tak merasakan apapun.
Terus berusaha mengeja aksara, tapi tetap saja tak terbaca. Beku.
Hingga semua pecah berantakan seiring senyummu yang merekah dengan wajah pasimu.
"Kau baik?" tetiba tanyamu bagai sebilah pedang rindu yang memecah sunyi.
Aku hanya punya satu senjata terampuh di jagat raya, senyumku :)
ya, aku tersenyum kecil untuk tanyamu yang entah, kemudian bibirkan sempuna membentuk sabit purnama.
"Seperti kau lihat, aku baik :) tapi jika kau melihat sebaliknya..yakin saja bahwa aku bisa melampaui semuanya." jawabku diplomatis.
Kau masih terlihat lemah, pucat dan tak mampu berdiri tegak.
"Aku sudah berusaha,"
"Apa maksudmu?"
"Menerima semua ini :)" senyummu.
"Sepertinya kau masih belum ikhlas, terimalah semua ini dengan hati ikhlas. Artinya..."
"Iya aku tahu apa maksudmu, artinya...kau juga harus mengikhlaskan aku menerima semua ini :)" senyummu lagi.
Kembali sebuah bongkahan seperti menjejali tenggorokanku. Aku...
"Nggak usah bicara, aku tahu kau tidak rela jika aku mengalami semua ini :) Aku mungkin belum sepenuhnay ikhlas, entahlah tapi aku tengah berusaha. hanya saja aku emrasakan bahwa orang-orang yang mencintaiku masih ada yang belum ikhlas. Ya semoga bukan kamu :)" kau seperti mengerti apa yang kurasakan. Bahwa; kadang banyak tanya yang kelemparkan tentangmu.
"Mengapa?"
Tapi kali ini aku harus menjelaskan kepadamu, tentang semua rasa ini.
"Hmm...jangan keGRan donk. Memang menurutmu aku bagian dari orang yang mencintaimu? Hehehe. Bukan aku tidak rela, aku sudah menerima keadaanmu jauh lebih baik dari penerimaanku sebelumnya. Ini bukan lagi tentang cinta yang disenandungkan jiwa-jiwa kasmaran. Ini sudah bukan itu lagi. Justru akulah yang bertanya padamu, mengapa kau belum beranjak ke tahap yang lebih jauh dariku? Sedang aku berpikir bahwa kau akan selalu menjadi kawan seperjalanku yang memiliki langkah lebih cepat. Jika kau masih berpikir dengan mengkhawatirkan keadaanku, artinya justru dirimu yang belum tersembuhkan. Kau belum menerima dirimu sendiri, bagaimana kau bisa meminta orang lain melakukan hal yang sama?" jelasku.
Sunyi. Aku mendengar butiran angin berhembus membelai jiwa kami yang diam berbahasa.
"Ikhlas, ya?"
"Iya, ikhlaskan."
"Ikhlaskan aku..."
"Ikhlaskan aku juga."
Pagi masih dalam gigil yang dini, ketika jiwa kita tersenyum menerima keberadaan diri.
***
"Hey, Cahaya? Melamun yak?" rekah senyum Mawar mengagetkan Cahaya yang tengah menatap langit senja.
"Ah, kamu ini sukaa banget mengejutkan :)"
"Hehehe, lha sejak tadi aku perhatikan kau diaaam saja menatap langit. Ada apa di langit sana? Bukankah senja selalu indah katamu? Walaupun rinai kali ini selalu cemburu pada jingganya, kau selalu bilang bahwa senja tak pernah berubah. Seperti kau bilang tentang matahari pagi, walaupun mendung memeluknya...kau selalu bilang matahari selalu bercahaya indah untuk hangatkan semesta." Mawar berkisah.
Cahaya hanya bisa tersenyum melihat wajah ayu Mawar yang manja, kekanakan itu.
"Jika kepedihan dan kebahagiaan sudah kita terima dengan ikhlas, sungguh semua itu hanya membuat hati dan jiwa ini tumbuh mekar indah seperti Mawar, sepertimu yang selalu tersenyum. Seperti teratai yang tetap berkilau cantik walau dia tumbuh di atas lumpur yang kotor. Bahwa semuanya...dualitas itu hanya mengantar kita pada penerimaan yang sesungguhnya. Pada penyadaran diri, bahwa kita adalah manusia dan hambaNya :)"
":) kau selalu membuatku tersanjung dan damai mendengar tutur lembutmu, Cahaya. Tapi...ada apa di langit tadi?" Mawar terus menggoda.
"Ada Kesatria Cahaya yang tengah terluka hehehe,"
"Wow...boleh aku mengenalnya?" Mawar kian senang melihat Cahaya tersenyum dalam sipu.
"Pejamkan matamu, tarik napas dalam...hembuskan perlahan...penuhi jiwamu dengan kesyukuran, ketulusan....lalu kau akan..."
"Akan melihatnya?" Mawar tak sabar.
"Kau akan hening dalam Meditasi Cintamu, dan bisa saja bertemu Kesatria Cahaya :)"
"Ah...kau, Cahaya! selalu bikin aku deg-degan. tapi aku memang ingin bisa melakukan meditasi cinta sepertimu." senyum Mawar.
Cahaya hanya memeluk Mawar dengan sepenuh cinta.
Wajahnya masih menengadah ke langit senja,
Di sana...
Pertemuan pada gigil pagi yang dini terturai, menyerpih
Memendarkan CAHAYA yang mendamaikan.
Sebuah senyum mendadak sempurna seperti sabit purnama.
"Selamat jalan, Teguh. Selamat menempuhi perjalanan :)" lirih Cahaya.
"Mas Teguh, di sini? Dimana dia? Aku mau meminta sesuatu padanya!" Mawar bertanya keheranan dan menoleh ke sekitar.
Cahaya hanya tersenyum.
Senja tersenyum.
Semesta tersenyum.
Mawar termangu menatap Cahaya.
Taman Hati,
Untuk peristiwa 2 Februari 2015.
~Wherever You Go, There You Are~
Pintu hatiku selalu terbuka untukmu, karena semua ini akan berlalu.
Kukirim sesaji cintaku untukmu, padaNya
Al Fatihah...
Jika aku kembali bertanya "mengapa?" "Ada apa lagi?", mungkin kau akan jengah.
Tapi, sungguh ini bukan persoalan jengah atau tidak.
Hingga di pagi yg dini, Ketika embun masih bermalasan di reranting perdu.
Ketika gigil deru hujan masih mendekapku
Tanya itu kembali berserakan, berhamburan di beranda Taman Hatiku
Tepat ketika rembulan purna tersenyum di balik rinai
Ketika melati pancarkan wangi ke semesta
Tepat saat kudengar sapamu
Kau tertatih mengeja namaku
Diam yg mana yg tak terusik menyaksikan laramu?
Kuraih tanganmu yg terulur ketika kulihat kau melemah
Mendadak tubuhmu hanya mampu bersandar padaku
Detik itu juga semakin tersadari olehku
Jiwa ragamu sakit
Kutanya keadaanmu
Seperti biasa, kau begitu pandai mengolah kata di balik senyummu
Tapi...sungguh kali ini kau tak pandai sembunyikan luka
"Bagaimana keadaanmu?" kuulang tanya yang terdengar asing di telingaku sendiri.
Kau tertatih dan akulah yang memapahmu berjalan
Serasa ada jarum2 kecil hampir menusuki hatiku
Tapi, tidak!
Tak ada hak bagi keadaan ini untuk melukaiku
Aku akan tetap tenang memapahmu menempuhi perjalanan.
"Tidak ke Gresik lagi?" aku bertanya lagi. Dan, kembali aku merasa asing dengan tanyaku sendiri.
"Masih belum ada gunanya," jawabmu akhirnya.
"Iya, aku tahu...tapi keadaanmu semakin parah seperti ini. Aku kira kau sudah baik, lha kenapa kau datang dengan kondisi seperti ini?"
"Iya...tapi aku mau ke Gresik lagi," jawabmu seolah abai dengan kalimatku yang panjang sebelumnya.
Aku masih memapahmu, mendengar deru napasmu yang lelah.
Sedetik dua detik, ada ragu menerpaku.
Ah, bukan ragu!
Tapi aku khawatir ya...aku mengkhawatirkanmu.
"Istirahat saja di sini, ya?" ucapku akhirnya agar kau berhenti berjalan. Bukan aku tak mau menemanimu dengan memapahmu menempuhi perjalananmu tapi kau tidak pernah bilang akan menuju kemanakah langkahmu? Aku juga merasakan bahwa kau teramat lelah. Kau hanya butuh rehat sejenak dan aku akan menemanimu, menjagamu.
"Aku..." jawabmu meragu sambil hentikan langkah tapi kembali mencengkeram bahuku, mencari tempat menyandarkan dirimu.
Pada detik yang sama, akupun tahu...kau begitu lemah, teramat lemah.
Aku hampir goyah, karena tetap saja (walaupun terluka) tubuhmu tetap lebih tinggi dariku.
"Kita berhenti di sini, aku akan tetap menjagamu jangan khawatir," aku tidak bisa mencegah kalimat meluncur dari bibirku.
Aku melihatmu berusaha berdiri dengan kakimu yang lemah, kuperhatikan saja hingga akhirnya kau kembali roboh bersandar padaku.
"Kita bisa lanjutkan perjalanan lain waktu ke Gresik. Jangan sekarang, kondisimu..." aku tak melanjutkan kalimatku.
Kau hanya mengangguk. Kutemukan wajahmu tertunduk, matamu terpejam.
Sungguh, hingga detik ini pun aku tak mengerti mengapa?
Ah...ya kata tanya itu kembali berputar, berpendar mengelilingi aku, memenuhi seluruh ruang otakku.
"Mengapa kau berjalan sendirian?"
"Mengapa kau mencariku?"
"Mengapa kau sampai sakit seperti ini?"
"Mengapa kau mau ke Gresik?"
"Mengapa...."
Mendadak kurasakan udara tak bergerak ketika tepat saat kata tanya berhamburan di beranda Taman Hatiku, kau menatapku. Pandanganmu masih seperti biasanya. Tajam, menusuk relung sukmaku, pun mendinginkan segala yang bergolak. Juga...tetap menjadi sebuah pandangan yang penuh misteri, seperti yang selalu kau bilang tentang adaku.
"Ada apa?" aku tak mampu meredam tanya yang kau hunjamkan lewat tatapanmu. Kuberanikan menamukan bayanganku di bola matamu.
Ya, aku menemukan diriku termangu menatapmu.
Diam.
Aku tak merasakan apapun.
Terus berusaha mengeja aksara, tapi tetap saja tak terbaca. Beku.
Hingga semua pecah berantakan seiring senyummu yang merekah dengan wajah pasimu.
"Kau baik?" tetiba tanyamu bagai sebilah pedang rindu yang memecah sunyi.
Aku hanya punya satu senjata terampuh di jagat raya, senyumku :)
ya, aku tersenyum kecil untuk tanyamu yang entah, kemudian bibirkan sempuna membentuk sabit purnama.
"Seperti kau lihat, aku baik :) tapi jika kau melihat sebaliknya..yakin saja bahwa aku bisa melampaui semuanya." jawabku diplomatis.
Kau masih terlihat lemah, pucat dan tak mampu berdiri tegak.
"Aku sudah berusaha,"
"Apa maksudmu?"
"Menerima semua ini :)" senyummu.
"Sepertinya kau masih belum ikhlas, terimalah semua ini dengan hati ikhlas. Artinya..."
"Iya aku tahu apa maksudmu, artinya...kau juga harus mengikhlaskan aku menerima semua ini :)" senyummu lagi.
Kembali sebuah bongkahan seperti menjejali tenggorokanku. Aku...
"Nggak usah bicara, aku tahu kau tidak rela jika aku mengalami semua ini :) Aku mungkin belum sepenuhnay ikhlas, entahlah tapi aku tengah berusaha. hanya saja aku emrasakan bahwa orang-orang yang mencintaiku masih ada yang belum ikhlas. Ya semoga bukan kamu :)" kau seperti mengerti apa yang kurasakan. Bahwa; kadang banyak tanya yang kelemparkan tentangmu.
"Mengapa?"
Tapi kali ini aku harus menjelaskan kepadamu, tentang semua rasa ini.
"Hmm...jangan keGRan donk. Memang menurutmu aku bagian dari orang yang mencintaimu? Hehehe. Bukan aku tidak rela, aku sudah menerima keadaanmu jauh lebih baik dari penerimaanku sebelumnya. Ini bukan lagi tentang cinta yang disenandungkan jiwa-jiwa kasmaran. Ini sudah bukan itu lagi. Justru akulah yang bertanya padamu, mengapa kau belum beranjak ke tahap yang lebih jauh dariku? Sedang aku berpikir bahwa kau akan selalu menjadi kawan seperjalanku yang memiliki langkah lebih cepat. Jika kau masih berpikir dengan mengkhawatirkan keadaanku, artinya justru dirimu yang belum tersembuhkan. Kau belum menerima dirimu sendiri, bagaimana kau bisa meminta orang lain melakukan hal yang sama?" jelasku.
Sunyi. Aku mendengar butiran angin berhembus membelai jiwa kami yang diam berbahasa.
"Ikhlas, ya?"
"Iya, ikhlaskan."
"Ikhlaskan aku..."
"Ikhlaskan aku juga."
Pagi masih dalam gigil yang dini, ketika jiwa kita tersenyum menerima keberadaan diri.
***
"Hey, Cahaya? Melamun yak?" rekah senyum Mawar mengagetkan Cahaya yang tengah menatap langit senja.
"Ah, kamu ini sukaa banget mengejutkan :)"
"Hehehe, lha sejak tadi aku perhatikan kau diaaam saja menatap langit. Ada apa di langit sana? Bukankah senja selalu indah katamu? Walaupun rinai kali ini selalu cemburu pada jingganya, kau selalu bilang bahwa senja tak pernah berubah. Seperti kau bilang tentang matahari pagi, walaupun mendung memeluknya...kau selalu bilang matahari selalu bercahaya indah untuk hangatkan semesta." Mawar berkisah.
Cahaya hanya bisa tersenyum melihat wajah ayu Mawar yang manja, kekanakan itu.
"Jika kepedihan dan kebahagiaan sudah kita terima dengan ikhlas, sungguh semua itu hanya membuat hati dan jiwa ini tumbuh mekar indah seperti Mawar, sepertimu yang selalu tersenyum. Seperti teratai yang tetap berkilau cantik walau dia tumbuh di atas lumpur yang kotor. Bahwa semuanya...dualitas itu hanya mengantar kita pada penerimaan yang sesungguhnya. Pada penyadaran diri, bahwa kita adalah manusia dan hambaNya :)"
":) kau selalu membuatku tersanjung dan damai mendengar tutur lembutmu, Cahaya. Tapi...ada apa di langit tadi?" Mawar terus menggoda.
"Ada Kesatria Cahaya yang tengah terluka hehehe,"
"Wow...boleh aku mengenalnya?" Mawar kian senang melihat Cahaya tersenyum dalam sipu.
"Pejamkan matamu, tarik napas dalam...hembuskan perlahan...penuhi jiwamu dengan kesyukuran, ketulusan....lalu kau akan..."
"Akan melihatnya?" Mawar tak sabar.
"Kau akan hening dalam Meditasi Cintamu, dan bisa saja bertemu Kesatria Cahaya :)"
"Ah...kau, Cahaya! selalu bikin aku deg-degan. tapi aku memang ingin bisa melakukan meditasi cinta sepertimu." senyum Mawar.
Cahaya hanya memeluk Mawar dengan sepenuh cinta.
Wajahnya masih menengadah ke langit senja,
Di sana...
Pertemuan pada gigil pagi yang dini terturai, menyerpih
Memendarkan CAHAYA yang mendamaikan.
Sebuah senyum mendadak sempurna seperti sabit purnama.
"Selamat jalan, Teguh. Selamat menempuhi perjalanan :)" lirih Cahaya.
"Mas Teguh, di sini? Dimana dia? Aku mau meminta sesuatu padanya!" Mawar bertanya keheranan dan menoleh ke sekitar.
Cahaya hanya tersenyum.
Senja tersenyum.
Semesta tersenyum.
Mawar termangu menatap Cahaya.
Taman Hati,
Untuk peristiwa 2 Februari 2015.
~Wherever You Go, There You Are~
Pintu hatiku selalu terbuka untukmu, karena semua ini akan berlalu.
Kukirim sesaji cintaku untukmu, padaNya
Al Fatihah...
0 Comments