Aku dan Buku
HARI BUKU SEDUNIA : Buku dan Paragraf Hidupku
Berbicara tentang hari
buku, tentu banyak ingatanku tentang buku. Saat ini mungkin aku sudah bisa
memilih buku apa yang kuinginkan sesuai dengan kemampuanku. Bahkan memiliki
anggaran untuk membeli buku setiap bulan. Buku telah mengantarku bertemu
orang-orang baik dan menemukan banyak saudara baru.
Setelah memiliki kemampuan bisa memilik buku yang akan kubeli, aku pasti mengoleksinya dan mungkin sudah ribuan judul buku yang menghuni rak di rumah. Hingga suatu masa aku menemukan/bertemu dengan mereka yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan diriku saat kecil dan remaja. Aku tersentak ketika menyaksikan wajah-wajah memancarkan bahagia hanya karena sebuah buku sederhana yang kuberikan. Ya, begitulah kesadaran baru itu datang begitu saja.
Aku mendadak sedih melihat ribuan judul buku yang sudah kubaca itu terdiam duduk manis di rak. Sedang di luar sana, begitu banyak orang yang berusaha sekuat daya untuk bisa memiliki buku atau sekadar bisa membacanya.
Ada yang perih di dalam dadaku. Mengapa aku tidak membuat buku-buku itu lebih bermanfaat dengan dibaca orang lain? Akhirnya perlahan aku mulai berbagi apa yang menjadi koleksiku.
Aku diprotes banyak orang ketika koleksi pentingku kulepas untuk kuberikan ke sebuah taman baca dan kepada orang-orang yang sangat ingin membacanya atau memilikinya tapi ada keterbatasan dalam diri mereka. Aku dianggap bodoh dan lainnya dengan tindakan itu. Entahlah saat itu aku hanya tahu bahwa diriku pernah di posisi seperti mereka yang sangat ingin membaca buku tetapi tidak bisa membacanya apalagi memilikinya sebagai koleksi. Lalu alasan apa, aku membiarkan buku-buku penting itu terdiam tidak dibaca orang lain?
Aku tidak peduli apa kata mereka yang mengagungkan koleksi buku. Setidaknya jika memang aku tidak memberikan koleksiku, aku akan membeli lagi sehingga orang lain bisa membaca buku yang kumiliki itu.
Ternyata bahagia yang kerasakan berlipat-lipat indahnya. Akupun semakin bisa membeli buku-buku yang selama ini tidak bisa kubeli (tidak mudah kutemukan). Sejak itu, aku sering sekali membeli ulang buku bagus yang pernah kubaca untuk mendiami rak. Jika ada yang membutuhkan atau menurtutku layak memiliki maka dengan mudah aku bisa memberikannya.
Begitulah hal kecil yang sampai saat ini terus kucoba jalankan walau tidak banyak buku yang bisa kubagi. Satu atau dua buku yang dibagi sudah sangat berarti bagi orang lain.
Untuk apa melakukan hal kecil dan remeh seperti itu?
Justru karena dianggap kecil dan remeh inilah aku melakukannya. Biarlah aku di ranah yang dianggap ”kecil dan remeh” asalkan aku bisa istiqomah. Semoga kelak bisa berbuat lebih untuk segala hal yang terkait dengan buku.
Ada sebuah tulisan yang kutulis pada tahun 2011 tentang kisahku bersama buku dan telah diterbitkan sebagai antologi bersama penulis lain.
Buku dan Paragraf Hidupku
Siapa yang tak kenal Dr. ’Aidh Al Qarni? Paulo Choelo, Orhan Pamuk, Hasan al Bana, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab aku memeluk karya mereka. Pramudya, Nur Kholis Majid, Emha Ainun Najib, Kang Abik, Andrea Hirata, A. Fuadi, Chin Ning Chu, Samuel Huntington, Anthony Giddens, Khaled Hussaeni, Greg Mortenson, Dan Brown, Jamal Al Ghitani, Agus Mustofa? Aku menyukai karya mereka! Aku juga jatuh cinta dengan karya Seno Gumirah Adjidarma, Sapardi, HTR, Asma Nadia, Sinta Yudisia dengan The Road to The Empire yang luar biasa bagiku. Akupun menyukai buku-buku klasik Jepang karya Eiji Yushikawa, tentunya The Swordless Samurai milik Kitami Masao adalah buku yang ikut menghuni ruanganku. Akupun menyukai buku-buku fantasi terjemahan yang unik, mengelitik otak The Earthsea Cycle, bahkan kini Nibiru karya Tasaro GK ikut duduk manis di rak bukuku. Satu lagi kawan, Quantum Ikhlas-nya Erbe Sentanu telah menjadi bagian penting dalam caraku ”mengikhlaskan diri” untuk mencintai buku. Masih sederet panjang nama penulis hebat ada dalam benakku dan aku menyukai buku-buku mereka.
Setelah memiliki kemampuan bisa memilik buku yang akan kubeli, aku pasti mengoleksinya dan mungkin sudah ribuan judul buku yang menghuni rak di rumah. Hingga suatu masa aku menemukan/bertemu dengan mereka yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan diriku saat kecil dan remaja. Aku tersentak ketika menyaksikan wajah-wajah memancarkan bahagia hanya karena sebuah buku sederhana yang kuberikan. Ya, begitulah kesadaran baru itu datang begitu saja.
Aku mendadak sedih melihat ribuan judul buku yang sudah kubaca itu terdiam duduk manis di rak. Sedang di luar sana, begitu banyak orang yang berusaha sekuat daya untuk bisa memiliki buku atau sekadar bisa membacanya.
Ada yang perih di dalam dadaku. Mengapa aku tidak membuat buku-buku itu lebih bermanfaat dengan dibaca orang lain? Akhirnya perlahan aku mulai berbagi apa yang menjadi koleksiku.
Aku diprotes banyak orang ketika koleksi pentingku kulepas untuk kuberikan ke sebuah taman baca dan kepada orang-orang yang sangat ingin membacanya atau memilikinya tapi ada keterbatasan dalam diri mereka. Aku dianggap bodoh dan lainnya dengan tindakan itu. Entahlah saat itu aku hanya tahu bahwa diriku pernah di posisi seperti mereka yang sangat ingin membaca buku tetapi tidak bisa membacanya apalagi memilikinya sebagai koleksi. Lalu alasan apa, aku membiarkan buku-buku penting itu terdiam tidak dibaca orang lain?
Aku tidak peduli apa kata mereka yang mengagungkan koleksi buku. Setidaknya jika memang aku tidak memberikan koleksiku, aku akan membeli lagi sehingga orang lain bisa membaca buku yang kumiliki itu.
Ternyata bahagia yang kerasakan berlipat-lipat indahnya. Akupun semakin bisa membeli buku-buku yang selama ini tidak bisa kubeli (tidak mudah kutemukan). Sejak itu, aku sering sekali membeli ulang buku bagus yang pernah kubaca untuk mendiami rak. Jika ada yang membutuhkan atau menurtutku layak memiliki maka dengan mudah aku bisa memberikannya.
Begitulah hal kecil yang sampai saat ini terus kucoba jalankan walau tidak banyak buku yang bisa kubagi. Satu atau dua buku yang dibagi sudah sangat berarti bagi orang lain.
Untuk apa melakukan hal kecil dan remeh seperti itu?
Justru karena dianggap kecil dan remeh inilah aku melakukannya. Biarlah aku di ranah yang dianggap ”kecil dan remeh” asalkan aku bisa istiqomah. Semoga kelak bisa berbuat lebih untuk segala hal yang terkait dengan buku.
Ada sebuah tulisan yang kutulis pada tahun 2011 tentang kisahku bersama buku dan telah diterbitkan sebagai antologi bersama penulis lain.
Buku dan Paragraf Hidupku
Buku adalah bagian dari kalimat hidupku
yang membentuk sebuah paragraf bermakna. Buku, bukan hanya sekedar tumpukan
lembaran kertas penuh deretan huruf dan kata dengan cover beraneka rupa. Buku bagiku
sebuah telaga sejuk yang menyegarkan dahaga ketika aku menempuh perjalanan jauh
dan kehabisan bekal minum. Tidak hanya menyegarkan tetapi juga bisa menambah
kekuatan untuk terus berproses melanjutkan perjalanan. Menggenapi sebuah lakon
hidup dengan paragraf dan beberapa bait selanjutnya. Bukankah hidup ini bisa
kita ibaratkan sebuah novel yang kita tulis? Terserah bagaimana alur, setting,
plot, karakter tokoh dan akhir dari sebuah cerita hidup ini kita buat.
Buku di masa kecilku
bagai mutiara mahal tak tersentuh apalagi terbeli. Alasan klasik, tapi nyata! Jangankan beli buku bacaan bisa membeli buku
tulis untuk sekolah saja sudah bersyukur. Aku hanya mengenal buku sekolah,
tak pernah bosan kubaca walaupun sampai kuhafal kalimat demi kalimatnya. Bisa
membaca adalah kebanggaan waktu kecilku, sesobek koran bungkus cabe yang dibeli
nenek di pasar kecamatan adalah sebuah anugerah indah yang kunanti. Mungkin kamu tertawa? Silahkan, toh aku memang mengalami itu. Mengalami
rindu yang pekat untuk bisa memiliki buku yang bisa kubaca selain buku
sekolahku. Mungkin di masa kecilmu kau biasa membaca komik, majalah dan segala
buku yang kau inginkan. Semua itu tidak berlaku bagiku!
Hingga aku remaja, buku tetap mutiara bersinar
tak tersentuh. Ketika aku memasuki dunia kampus, saat itulah aku lebih banyak
mengenal buku. Aku seperti berada di sebuah negeri dongeng antah berantah yang dipenuhi peri buku ketika kali pertama memasuki
perpustakaan kampus. Serasa bermimpi melihat begitu banyak buku berjajar.
Rinduku terbalas walau aku belum bisa memilikinya, paling tidak aku bisa
membaca banyak buku kapanpun aku mau. Sejak itu aku mulai menyisihkan uang saku
yang tidak seberapa untuk bisa membeli buku. Kau tahu, bagaimana
perasaanku ketika aku bisa membeli buku bacaan selain buku kuliahku? Sayangnya
aku tak bisa menterjemahkan dalam kata, aku bahagia! Bahagia yang tidak
bisa aku bahasakan.
Waktu berjalan, buku merupakan salah satu kebutuhan
yang harus kupenuhi. Memanfaatkan event pameran
buku adalah satu kiatku untuk bisa membeli buku lebih banyak karena pasti ada diskon. Atau aku akan dengan senang
hati membeli buku ’kadaluarsa’ bagi orang lain. Buku terbitan 5 tahun
sebelumnya bahkan lebih akan tetap kubeli jika aku memang belum membacanya (memilikinya).
Karena bagiku bukan usia bukunya tetapi isi dalam buku itulah yang terpenting. Kau
mau katakan aku ketinggalan informasi? Terserah...tidak apa-apa! Aku akan lebih menyesal ketika aku tidak tahu sama
sekali informasi daripada hanya sekedar terlambat tahu. Tentunya buku-buku
seperti itu berharga murah walaupun isinya luar biasa lezatnya.
Tak terasa tumpukan buku di rak kamarku
semakin lama semakin penuh. Aku tak menyangka akhirnya aku benar-benar bisa
memiliki buku sebanyak itu. Aku tidak mimpi
sekarang, tapi sungguh nyata! Aku tidak sedang di negeri dongeng bersama
peri buku. Aku punya buku dan aku akan terus ikuti event buku murah untuk bisa memiliki lebih banyak lagi.
Alhamdulillah...
akhirnya aku bekerja dan
memiliki gaji yang bisa kusisihkan setiap bulan mewajibkan diri untuk membeli minimal
satu buku baru. Sekarang aku bisa beli buku terbaru kawan, buku yang aku
inginkan dan aku butuhkan bahkan bisa memilih buku-buku best seller! Buku, dia pula yang mengantarku untuk bisa menulis tentangnya
sekarang. Setiap membaca buku hatiku resah, mengapa mereka bisa menuliskan
semuanya dengan baik? Mereka bisa menggerakkan banyak orang dengan tulisan. Apa
bedanya dengan aku? Mengapa aku hanya bisa membaca buku? Akhirnya aku belajar
kawan, mencari kembali coretan usang tentang mimpi-mimpi masa lalu. Ternyata
sejak dulu aku sudah terbiasa menulis kawan, dalam buku harian yang berisi
impianku tentang buku dan juga mimpi lainnya. Sekarang aku ingin segera menyempurnakan
coretan usang itu.
Kini, aku belajar untuk bisa menulis yang lebih berkualitas. Aku
selalu tertunduk malu ketika membaca tulisan orang lain yang berkualitas dan
tentunya ada rasa iri dalam jiwaku mengapa aku tak bisa seperti mereka? Aku
memang gila buku, kerena darinya aku juga bisa belajar banyak untuk menulis
yang lebih baik.
Buku, laksana lautan luas yang menampung segala bentang cakrawala impianku. Buku kadang mengoyak batas nuraniku untuk bisa menjadi lebih baik. Buku membuatku tersenyum, manangis bahkan terbahak untuk sebuah lakon hidup yang tergores didalamnya. Buku, dia bisa bicara tanpa teriak. Dia bisa mencampakkan tanpa harus menampar, bisa membuat beku dalam kedahsyatan pergulatan pemikiran yang tak terpecahkan. Dia kadang membawa misteri atas sebuah pertanyaan yang hanya hati nan bersih bisa menjawabnya. Buku, seringkali mengajakku berselingkuh dengan tokoh-tokoh hebat pengubah wajah dunia dan aku terjerembab di pusaran ide yang dilemparkannya.
Buku, laksana lautan luas yang menampung segala bentang cakrawala impianku. Buku kadang mengoyak batas nuraniku untuk bisa menjadi lebih baik. Buku membuatku tersenyum, manangis bahkan terbahak untuk sebuah lakon hidup yang tergores didalamnya. Buku, dia bisa bicara tanpa teriak. Dia bisa mencampakkan tanpa harus menampar, bisa membuat beku dalam kedahsyatan pergulatan pemikiran yang tak terpecahkan. Dia kadang membawa misteri atas sebuah pertanyaan yang hanya hati nan bersih bisa menjawabnya. Buku, seringkali mengajakku berselingkuh dengan tokoh-tokoh hebat pengubah wajah dunia dan aku terjerembab di pusaran ide yang dilemparkannya.
Aku mencintai buku, bagaimana aku
bisa mengatakan bahwa buku ini tidak baik dan yang itu baik? Buku favorit?
Betapa susahnya aku harus mengatakan? Karena sekali lagi aku mencintai buku.
Pernahkah kau bertanya mengapa kau mencintai sesuatu? Bisakah cinta
diterjemahkan dalam kata? Bukankah cinta itu egois, demikian juga cintaku
pada buku. Aku punya Inside The Jihad
karya Omar Nasiri buku itu yang menginspirasiku untuk bisa menuliskan kisah
hidupku kelak, aku ingin punya karya yang berisi perjalanan hidupku untuk dibaca
anak cucuku. Agar aku bisa menjadi teladan bagi mereka. Akan kutuliskan jejak
hidupku. Bahkan Omar Nasiri telah menumbuhkan cintaku pada Afghanistan secara
egois. Inside The Jihad menterjemahkan
padaku tentang beragam makna kehidupan.
Siapa yang tak kenal Dr. ’Aidh Al Qarni? Paulo Choelo, Orhan Pamuk, Hasan al Bana, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab aku memeluk karya mereka. Pramudya, Nur Kholis Majid, Emha Ainun Najib, Kang Abik, Andrea Hirata, A. Fuadi, Chin Ning Chu, Samuel Huntington, Anthony Giddens, Khaled Hussaeni, Greg Mortenson, Dan Brown, Jamal Al Ghitani, Agus Mustofa? Aku menyukai karya mereka! Aku juga jatuh cinta dengan karya Seno Gumirah Adjidarma, Sapardi, HTR, Asma Nadia, Sinta Yudisia dengan The Road to The Empire yang luar biasa bagiku. Akupun menyukai buku-buku klasik Jepang karya Eiji Yushikawa, tentunya The Swordless Samurai milik Kitami Masao adalah buku yang ikut menghuni ruanganku. Akupun menyukai buku-buku fantasi terjemahan yang unik, mengelitik otak The Earthsea Cycle, bahkan kini Nibiru karya Tasaro GK ikut duduk manis di rak bukuku. Satu lagi kawan, Quantum Ikhlas-nya Erbe Sentanu telah menjadi bagian penting dalam caraku ”mengikhlaskan diri” untuk mencintai buku. Masih sederet panjang nama penulis hebat ada dalam benakku dan aku menyukai buku-buku mereka.
Aku menyukai semua jenis buku. Buku adalah telaga sejuk bagi jiwaku yang
kehabisan bekal air minum dalam perjalanan. Aku mencintai karya penulis-penulis
muda yang baru kukenal dengan karya hebat mereka. Awalnya aku hanya mempunyai
buku yang mendukung pendidikanku manajemen, ekonomi dan tentunya Human Resource Development (HRD). Akupun
sempat terpanah mati oleh buku-buku penelitian, terusudut oleh buku HRD
tentunya buku motivasi adalah bagian tak terpisahkan dari semua buku yang aku
miliki.
Kini, aku ingin menguji rasa ikhlasku untuk mencintai buku, bahwa aku
bukan mengalami cinta gila dengan buku. Walaupun cinta selalu gila! Aku ingin
mencintai dengan keikhlasan, pada dimensi quantum yang menjadikan semua indah. Ikhlas mencintai itu sangat berbeda dengan
cinta gila. Sekali lagi aku katakan buku adalah paragraf hidupku. Bagaimana
denganmu?
*~*
0 Comments