HADIAH UNTUK DIRI dan PELUKAN TERAKHIR BUNDA
Tulisan ini sudah agak lama berada di laptopku. Kali ini aku coba untuk memindahkan ke sini, dengan banyak perubahan dari tulisan sebelumnya.
Sebenarnya ini sudah menjadi kebiasaanku sebelum ini, yaitu tentang "Menghadiahi Diri Sendiri" dengan sesuatu yang tentunya membuat bahagia. Bahagia dalam makna yang jauh lebih dalam bagiku tentunya.
Aku punya saat atau waktu-waktu tertentu untuk menghadiahi diri dengan sesuatu yang menurutku menyenangkan, dan semakin melambungkan rasa syukurku kepada Sang Maha Cinta atas semua bentuk cintaNya yang selalu membuatku lebih berarti menjalani hidup dan kehidupanku.
Hadiah bagiku, tidak hanya diterima atau diberikan kepada sang pemenang yang bisa dikatakan lebih baik dari orang lain. Hadiah, memang untuk sebuah kemenangan ya...KEMENANGAN.
Kemenangan yang bagaimana?
Ya, pokoknya kemenangan saja hehehe. Kemenangan diri atas sesuatu yang selama ini membelenggu, karena berhasil menjadikan belenggu itu sebuah pelajaran indah. Kemenangan atas sebuah maaf yang mampu diberikan kepada orang yang perbuatannya sudah tidak termaafkan jika itu dirunut ke jalur hukum. Kemampuan untuk memaafkan orang yang telah memfitnah kita, itu juga salah satu bentuk kemenangan bagiku.
Kemampuan untuk mengendalikan diri, kemampuan untuk menolong saat kondisiku tidak sedang baik-baik saja. Kepedulian kecil yang kulakukan untuk membuat orang lain tersenyum, juga sebuah kemenangan hakiki bagiku. Kemampuan mengendalikan diri, untuk tidak membela diri di hadapan orang-orang yang buta hati pada saat aku di posisi yang benar juga sebuah kemenangan yang patut kurayakan.
Bagaimanakah cara merayakan semua contoh kemenangan di atas?
Pertama, tentu bersyukur dan menerima segala kehendakNya.
Kedua, bersyukur dan menerima apa yang terjadi
Ketiga, kembali bersyukur dan menerima segala yang ada
Keempat, semakin bersyukur dan menerima semua bentuk cinta
Kelima, terus bersyukur dan menerima apapun di hadapan
Keenam, tidak pernah lelah bersyukur dan ikhlas menerima apapun
Ketujuh, bersyukur dan menerima dengan hati yang bahagia.
Kedelapan, berbagi kebaikan dan baik
Kesembilan, terus berbagi kebaikan dan semakin baik
Kesepuluh, semakin penuh kasih dalam kesyukuran.
Dan seterusnya...MENERIMA
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan melakukan perjalanan, menikmati tempat baru dan bertemu orang-orang baru yang membawa energy baru dan semakin mengayakan jiwaku.
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan memasak makanan kesukaanku, masakan kesukaan orang-orang di sekitarku dan tentu biasa memasak makanan kesukaan orang-orang terkasih.
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan buku baru, buku yang lebih kaya atau buku kuno yang mengayakan.
Akupun ingin bisa menghadiahi diriku dengan membiasakan bisa membuat atau mewujudkan impian kecil orang lain. Impian atau harapan seseorang yang begitu sederhana dalam pandanganku, mungkin sangat berarti baginya. Atau bahkan impian itu sangat mulia dalam pandanganku namun hanya hal kecil dalam pikiran mereka yang menerima.
Lebih sering, aku menghadiahi diri dengan memberi sesuatu kepada yang layak menerima karena ada efek dari hadiahku itu untuk kehidupannya yang lebih panjang dan jauh. Banyak di antara mereka yang menerima, tidak menyadari arti pemberianku itu dan memahami hanya sebatas eforia saja.
Terlebih ada yang memandang pemberianku sebagai bentuk motif negatif terhadapnya. Ah...betapa rendahnya diriku dalam pandangannya. Tapi bukankah aku memberi sesuatu kepadanya, hakikatnya adalah untuk diriku sendiri? Lalu mengapa aku harus terluka saat melihat pemberianku dicampakkan atau dinilai bermotif kurang baik baginya?
Saat menghadapi hal seperti itu, aku harus bisa menghadiahi diriku dengan satu kesadaran penuh bahwa aku telah belajar melembutkan hatiku selebihnya itu bukan menjadi urusanku. Biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya (yang mungkin bukan Tuhanku).
Menghadiahi diri dengan KESADARAN itu sebuah bentuk hadiah yang tiada tara nilainya. SADAR bahwa aku ini manusia , SADAR bahwa aku ini seorang hamba. Hadiah inilah yang setiap saat harus kuperjuangkan untuk bisa selalu kuberikan kepada diriku sendiri. Hadiah sederhana yang teramat sederhana dalam ucap, tapi tidak dalam tindakan. Namun aku selalu berusaha untuk itu.
Setahun yang lalu, aku menghadiahi diriku dengan buku pada moment yang ternyata menjadi moment 'PELUKAN TERAKHIR BUNDA' yang biasanya akan kuterima setiap tahunnya. Pelukan istimewa, karena Bunda bersyukur diberiNya anugerah putri sepertiku. Pelukan yang dipenuhi doa terindah dari perempuan terbaikku.
Setelah aku menerima pelukan bunda setahun lalu (2019) aku mencari hadiah untuk diriku yang berbeda. Aku menengok rekening, satu mimpi ingin kuwujudkan.
Impianku untuk bisa membaca dan memiliki karya-karya Buya Hamka dan Prof. Quraish Shihab, memang masih jauh dari nyata. Namun, selalu...Tuhan punya cara paling elegan untuk memeluk impianku.
Hari itu, aku hampir membeli satu set tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab yang sebagian kecil telah kubaca lewat pinjam dan beli perjilid. Aku akan mengambil tabungan alokasi lain untuk menambah kekurangan. Semua tentu tahu berapa harganya dan aku akan membelinya di toko buku offline waktu itu.
Mendadak aku melihat seorang teman di facebook menawarkan tafsir Al Azhar, karya Prof. Hamka (Buya Hamka) dengan harga diskon. MasyaAllah...harganya adalah sesuai dengan uang yang kumiliki tanpa aku harus mengambil tabungan untuk alokasi yang lainnya.
Saat aku mentransfer uang itu, si penjual terkejut karena begitu cepatnya aku membayar. Seandainya dia tahu, saat itu aku telah menangis dalam kesyukuran. Betapa nikmat cintaNya tidak pernah bertepi untukku. Akulah yang selalu tidak yakin akan kuasaNya. Siapa aku ini, hamba yang tak tahu diri akan segala cintaNya? Tuhan selalu memberikan segala yang terbaik pada saat yang tepat. Aku sendiri yang kadang tidak sabar atau bahkan sering tidak percaya akan moment seperti itu. Padahal dalam perjalanan hidupku, aku banyak sekali diberiNya kisah semacam ini.
Setahun ini, aku membaca tafsir itu secara perlahan. Apakah aku menyelesaikannya? TIDAK. Aku benar-benar membacanya dengan PERLAHAN. Ini hadiah untuk diriku, yang harus selalu menjadi pengingat untuk kebaikan.
Apakah tafsir Al Misbah, terlupakan? Tidak. Juga sebuah tafsir lain yang selalu kuhamparkan dalam doaku untuk kumiliki dengan cara berbeda. Namun, bukan berarti hadiah untuk diriku tahun ini harus tafsir Al Misbah. Aku masih membiarkan doaku melangit untuk tafsir lain karena janji hati kusemai untuk almarhum dokter If.
Apakah aku tak mampu membeli dua tafsir itu? Insya Allah dimampukanNya, jika aku mau membelinya saat ini. Hanya saja, ada satu ruang hati yang kadang menamparku dengan lembut. Jangan jatuh pada "kesombongan" dan citra diri, Jazim! Jadi...biarlah semesta bicara dengan cara terbaik. Karena aku yakin Allah akan kembali menjawab impianku itu dengan caraNya yang paling sempurna di waktu yang terbaik.
Hari ini, aku menghadiahi diriku dengan menuliskan semua ini. Ada impian lain di tahun ini? Tentu ada yang tidak perlu kutuliskan di sini dan juga akan kutuliskan.
Memangnya kamu mau memberiku hadiah apa? Berikanlah hadiah kepada mereka yang membutuhkan, bukan kepada mereka yang karenanya pemberianmu menjadi sia-sia.
Tahun ini selain hal-hal tidak tertulis, rasanya aku mau menguasai satu alat musik dan kembali menulis, serta lebih banyak (lagi) membaca. Hehehe, aneh ya?
Untuk mengingat hari ini, bahkan mungkin setiap tahun aku menuliskannya (membaca ulang) sebuah pengingat diri.
Kehidupan bagai sebuah tasbih, berawal dan berakhir di titik yang sama.
Bukan tasbih jika hanya satu butir, bukan kehidupan jika hanya satu dimensi.
Kehidupan akan sempurna jika telah melewati serangkaian untaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal, sukses, pasang dan surut.
Seperti tasbih yang melingkar, kehidupan pun demikian.
Kemanapun pergi dan berlari, tetap masih dalam lingkaran takdir ALLAH.
Dari-Nya kehidupan dimulai dan kepada-Nya kehidupan berakhir.
(Sebuah pesan kuterima)
Hari ini,
Aku masih menapak di pelataran waktuku
Menatap langit dengan segala bahasa yang diberikan padaku
Ya...langit semesta
Aku belajar banyak darimu, dari segala yang ada padamu
Yang mampu kulihat atas izinNya
Pada bintang dengan cahaya abadi
Pada bulan, pada planet lain
Pada awan dengan segala warna dan mozaiknya
Pada angin yang memainkan awan
Pada matahari
Pada kejernihanmu, pada gulitamu atau pada benderangmu
Aku manarik satu sisi sudutmu yang coba kupahami
Ya, begitu juga kehidupan
Yang abadi hanya cintaNya
Yang layak dipuja hanya cintaNya
Dan, aku hanya bisa berusaha lakukan yang terbaik untuk kehidupan, untuk lingkungan dan diriku juga
Walaupun itu sangat kecil dan mungkin tak terlihat oleh siapapun
Aku bukan mencari eksistensi itu, aku hanya melakukan yang bisa kulakukan dengan sebaik-baiknya
Rasanya dimana pun kakiku berpijak, di sana aku berusaha memberikan yang terbaik semampuku
Aku yakin, itu jalanku
Jalan yang mungkin tak akan pernah kulewati lagi, tetapi menjadi sebuah jalan yang mengantarku pada jalan-jalan selanjutnya.
Jalan ini, jalan kehidupan yag terus bergerak maju menjadi lebih baik
Ada saat harus rehat dalam perjalanan itu, memasang koma atau bahkan membuat titik dari sebuah perjalanan.
Agar bisa memulai jalan dan perjalanan baru dengan kalimat baru.
Demikian seterusnya...ada saat jalan itu terjal, ada saat becek berair, banyak sampah atau bahkan jalan itu indah dan baik
Dan aku belajar darimu wahai langit semesta
Dari awan-awanmu yang berarak mengingatkan aku saat berada di dalam pesawat
Di sana juga kujumpai sebuah perjalanan hidup yang berbeda
Ya...jalan.
Jalan materi dan jalan spiritual
Jalan dimana aku dicintai, jalan dimana aku pun tak disukai.
Jalan dimana aku harus lakukan yang terbaik, jalan dimana aku pun dianggap tak ada.
Jalan dimana aku dibutuhkan, jalan dimana aku pun tak dianggap ada.
Aku akan terus belajar menapaki keduanya agar kakiku semakin kokoh untuk menapak
Jalanku mungkin tak sama dengan jalanmu
Kalaupun sama, tentu rasa perjalanan yang terjadi akan berbeda
Tentu akan menghasilkn 'diri' kita yag berbeda , cara kita menikmati jalanan dan perjalananan
Tentu akan menghasilkan 'diri' kita yang berbeda
Semakin dewasa, atau kembali merengek seperti anak-anak yang belum bisa berjalan
Itu pilihan, kan?
Pilihan untuk memilih cintaNya, jalanNya atau yang lain
Demikian juga aku
Dimana kakiku menapak, di sana ada takdirNya berlaku hingga waktunya aku harus llnjutkan perjalanan
Allah Maha Cintaku
Aku
MenujuMu saja :)
~episode: Allah, I'm nothing without YOU: Jazim, wherever you go there you are~
untuk menjadi ada
separuh hati kita lalui malam
sebab gerimis mengais awan
seperti rupa pengemis berkah
berjibaku mencari rindu wajah kekasih
hei perempuan di sudut kesunyian
usah lara menghardik sepi
ini hujan menitip salam, ini hujan melerai rindu
kau tahu, di subuh nanti, embun kan menanti kau pijaki
simpan keluh kesahmu dalam lelah mengandai hadir
nubuatkan saja saat ini, bahwa ia sepertimu
menampik sendu mengenyah puruk
menanti tiada menjadi ada
(nawaf, surabaya, 090113)
Sebenarnya ini sudah menjadi kebiasaanku sebelum ini, yaitu tentang "Menghadiahi Diri Sendiri" dengan sesuatu yang tentunya membuat bahagia. Bahagia dalam makna yang jauh lebih dalam bagiku tentunya.
Aku punya saat atau waktu-waktu tertentu untuk menghadiahi diri dengan sesuatu yang menurutku menyenangkan, dan semakin melambungkan rasa syukurku kepada Sang Maha Cinta atas semua bentuk cintaNya yang selalu membuatku lebih berarti menjalani hidup dan kehidupanku.
Hadiah bagiku, tidak hanya diterima atau diberikan kepada sang pemenang yang bisa dikatakan lebih baik dari orang lain. Hadiah, memang untuk sebuah kemenangan ya...KEMENANGAN.
Kemenangan yang bagaimana?
Ya, pokoknya kemenangan saja hehehe. Kemenangan diri atas sesuatu yang selama ini membelenggu, karena berhasil menjadikan belenggu itu sebuah pelajaran indah. Kemenangan atas sebuah maaf yang mampu diberikan kepada orang yang perbuatannya sudah tidak termaafkan jika itu dirunut ke jalur hukum. Kemampuan untuk memaafkan orang yang telah memfitnah kita, itu juga salah satu bentuk kemenangan bagiku.
Kemampuan untuk mengendalikan diri, kemampuan untuk menolong saat kondisiku tidak sedang baik-baik saja. Kepedulian kecil yang kulakukan untuk membuat orang lain tersenyum, juga sebuah kemenangan hakiki bagiku. Kemampuan mengendalikan diri, untuk tidak membela diri di hadapan orang-orang yang buta hati pada saat aku di posisi yang benar juga sebuah kemenangan yang patut kurayakan.
Bagaimanakah cara merayakan semua contoh kemenangan di atas?
Pertama, tentu bersyukur dan menerima segala kehendakNya.
Kedua, bersyukur dan menerima apa yang terjadi
Ketiga, kembali bersyukur dan menerima segala yang ada
Keempat, semakin bersyukur dan menerima semua bentuk cinta
Kelima, terus bersyukur dan menerima apapun di hadapan
Keenam, tidak pernah lelah bersyukur dan ikhlas menerima apapun
Ketujuh, bersyukur dan menerima dengan hati yang bahagia.
Kedelapan, berbagi kebaikan dan baik
Kesembilan, terus berbagi kebaikan dan semakin baik
Kesepuluh, semakin penuh kasih dalam kesyukuran.
Dan seterusnya...MENERIMA
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan melakukan perjalanan, menikmati tempat baru dan bertemu orang-orang baru yang membawa energy baru dan semakin mengayakan jiwaku.
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan memasak makanan kesukaanku, masakan kesukaan orang-orang di sekitarku dan tentu biasa memasak makanan kesukaan orang-orang terkasih.
Aku juga biasa menghadiahi diri dengan buku baru, buku yang lebih kaya atau buku kuno yang mengayakan.
Akupun ingin bisa menghadiahi diriku dengan membiasakan bisa membuat atau mewujudkan impian kecil orang lain. Impian atau harapan seseorang yang begitu sederhana dalam pandanganku, mungkin sangat berarti baginya. Atau bahkan impian itu sangat mulia dalam pandanganku namun hanya hal kecil dalam pikiran mereka yang menerima.
Lebih sering, aku menghadiahi diri dengan memberi sesuatu kepada yang layak menerima karena ada efek dari hadiahku itu untuk kehidupannya yang lebih panjang dan jauh. Banyak di antara mereka yang menerima, tidak menyadari arti pemberianku itu dan memahami hanya sebatas eforia saja.
Terlebih ada yang memandang pemberianku sebagai bentuk motif negatif terhadapnya. Ah...betapa rendahnya diriku dalam pandangannya. Tapi bukankah aku memberi sesuatu kepadanya, hakikatnya adalah untuk diriku sendiri? Lalu mengapa aku harus terluka saat melihat pemberianku dicampakkan atau dinilai bermotif kurang baik baginya?
Saat menghadapi hal seperti itu, aku harus bisa menghadiahi diriku dengan satu kesadaran penuh bahwa aku telah belajar melembutkan hatiku selebihnya itu bukan menjadi urusanku. Biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya (yang mungkin bukan Tuhanku).
Menghadiahi diri dengan KESADARAN itu sebuah bentuk hadiah yang tiada tara nilainya. SADAR bahwa aku ini manusia , SADAR bahwa aku ini seorang hamba. Hadiah inilah yang setiap saat harus kuperjuangkan untuk bisa selalu kuberikan kepada diriku sendiri. Hadiah sederhana yang teramat sederhana dalam ucap, tapi tidak dalam tindakan. Namun aku selalu berusaha untuk itu.
Setahun yang lalu, aku menghadiahi diriku dengan buku pada moment yang ternyata menjadi moment 'PELUKAN TERAKHIR BUNDA' yang biasanya akan kuterima setiap tahunnya. Pelukan istimewa, karena Bunda bersyukur diberiNya anugerah putri sepertiku. Pelukan yang dipenuhi doa terindah dari perempuan terbaikku.
Setelah aku menerima pelukan bunda setahun lalu (2019) aku mencari hadiah untuk diriku yang berbeda. Aku menengok rekening, satu mimpi ingin kuwujudkan.
Impianku untuk bisa membaca dan memiliki karya-karya Buya Hamka dan Prof. Quraish Shihab, memang masih jauh dari nyata. Namun, selalu...Tuhan punya cara paling elegan untuk memeluk impianku.
Hari itu, aku hampir membeli satu set tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab yang sebagian kecil telah kubaca lewat pinjam dan beli perjilid. Aku akan mengambil tabungan alokasi lain untuk menambah kekurangan. Semua tentu tahu berapa harganya dan aku akan membelinya di toko buku offline waktu itu.
Mendadak aku melihat seorang teman di facebook menawarkan tafsir Al Azhar, karya Prof. Hamka (Buya Hamka) dengan harga diskon. MasyaAllah...harganya adalah sesuai dengan uang yang kumiliki tanpa aku harus mengambil tabungan untuk alokasi yang lainnya.
Saat aku mentransfer uang itu, si penjual terkejut karena begitu cepatnya aku membayar. Seandainya dia tahu, saat itu aku telah menangis dalam kesyukuran. Betapa nikmat cintaNya tidak pernah bertepi untukku. Akulah yang selalu tidak yakin akan kuasaNya. Siapa aku ini, hamba yang tak tahu diri akan segala cintaNya? Tuhan selalu memberikan segala yang terbaik pada saat yang tepat. Aku sendiri yang kadang tidak sabar atau bahkan sering tidak percaya akan moment seperti itu. Padahal dalam perjalanan hidupku, aku banyak sekali diberiNya kisah semacam ini.
Setahun ini, aku membaca tafsir itu secara perlahan. Apakah aku menyelesaikannya? TIDAK. Aku benar-benar membacanya dengan PERLAHAN. Ini hadiah untuk diriku, yang harus selalu menjadi pengingat untuk kebaikan.
Apakah tafsir Al Misbah, terlupakan? Tidak. Juga sebuah tafsir lain yang selalu kuhamparkan dalam doaku untuk kumiliki dengan cara berbeda. Namun, bukan berarti hadiah untuk diriku tahun ini harus tafsir Al Misbah. Aku masih membiarkan doaku melangit untuk tafsir lain karena janji hati kusemai untuk almarhum dokter If.
Apakah aku tak mampu membeli dua tafsir itu? Insya Allah dimampukanNya, jika aku mau membelinya saat ini. Hanya saja, ada satu ruang hati yang kadang menamparku dengan lembut. Jangan jatuh pada "kesombongan" dan citra diri, Jazim! Jadi...biarlah semesta bicara dengan cara terbaik. Karena aku yakin Allah akan kembali menjawab impianku itu dengan caraNya yang paling sempurna di waktu yang terbaik.
Hari ini, aku menghadiahi diriku dengan menuliskan semua ini. Ada impian lain di tahun ini? Tentu ada yang tidak perlu kutuliskan di sini dan juga akan kutuliskan.
Memangnya kamu mau memberiku hadiah apa? Berikanlah hadiah kepada mereka yang membutuhkan, bukan kepada mereka yang karenanya pemberianmu menjadi sia-sia.
Tahun ini selain hal-hal tidak tertulis, rasanya aku mau menguasai satu alat musik dan kembali menulis, serta lebih banyak (lagi) membaca. Hehehe, aneh ya?
Untuk mengingat hari ini, bahkan mungkin setiap tahun aku menuliskannya (membaca ulang) sebuah pengingat diri.
Kehidupan bagai sebuah tasbih, berawal dan berakhir di titik yang sama.
Bukan tasbih jika hanya satu butir, bukan kehidupan jika hanya satu dimensi.
Kehidupan akan sempurna jika telah melewati serangkaian untaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal, sukses, pasang dan surut.
Seperti tasbih yang melingkar, kehidupan pun demikian.
Kemanapun pergi dan berlari, tetap masih dalam lingkaran takdir ALLAH.
Dari-Nya kehidupan dimulai dan kepada-Nya kehidupan berakhir.
(Sebuah pesan kuterima)
Hari ini,
Aku masih menapak di pelataran waktuku
Menatap langit dengan segala bahasa yang diberikan padaku
Ya...langit semesta
Aku belajar banyak darimu, dari segala yang ada padamu
Yang mampu kulihat atas izinNya
Pada bintang dengan cahaya abadi
Pada bulan, pada planet lain
Pada awan dengan segala warna dan mozaiknya
Pada angin yang memainkan awan
Pada matahari
Pada kejernihanmu, pada gulitamu atau pada benderangmu
Aku manarik satu sisi sudutmu yang coba kupahami
Ya, begitu juga kehidupan
Yang abadi hanya cintaNya
Yang layak dipuja hanya cintaNya
Dan, aku hanya bisa berusaha lakukan yang terbaik untuk kehidupan, untuk lingkungan dan diriku juga
Walaupun itu sangat kecil dan mungkin tak terlihat oleh siapapun
Aku bukan mencari eksistensi itu, aku hanya melakukan yang bisa kulakukan dengan sebaik-baiknya
Rasanya dimana pun kakiku berpijak, di sana aku berusaha memberikan yang terbaik semampuku
Aku yakin, itu jalanku
Jalan yang mungkin tak akan pernah kulewati lagi, tetapi menjadi sebuah jalan yang mengantarku pada jalan-jalan selanjutnya.
Jalan ini, jalan kehidupan yag terus bergerak maju menjadi lebih baik
Ada saat harus rehat dalam perjalanan itu, memasang koma atau bahkan membuat titik dari sebuah perjalanan.
Agar bisa memulai jalan dan perjalanan baru dengan kalimat baru.
Demikian seterusnya...ada saat jalan itu terjal, ada saat becek berair, banyak sampah atau bahkan jalan itu indah dan baik
Dan aku belajar darimu wahai langit semesta
Dari awan-awanmu yang berarak mengingatkan aku saat berada di dalam pesawat
Di sana juga kujumpai sebuah perjalanan hidup yang berbeda
Ya...jalan.
Jalan materi dan jalan spiritual
Jalan dimana aku dicintai, jalan dimana aku pun tak disukai.
Jalan dimana aku harus lakukan yang terbaik, jalan dimana aku pun dianggap tak ada.
Jalan dimana aku dibutuhkan, jalan dimana aku pun tak dianggap ada.
Aku akan terus belajar menapaki keduanya agar kakiku semakin kokoh untuk menapak
Jalanku mungkin tak sama dengan jalanmu
Kalaupun sama, tentu rasa perjalanan yang terjadi akan berbeda
Tentu akan menghasilkn 'diri' kita yag berbeda , cara kita menikmati jalanan dan perjalananan
Tentu akan menghasilkan 'diri' kita yang berbeda
Semakin dewasa, atau kembali merengek seperti anak-anak yang belum bisa berjalan
Itu pilihan, kan?
Pilihan untuk memilih cintaNya, jalanNya atau yang lain
Demikian juga aku
Dimana kakiku menapak, di sana ada takdirNya berlaku hingga waktunya aku harus llnjutkan perjalanan
Allah Maha Cintaku
Aku
MenujuMu saja :)
~episode: Allah, I'm nothing without YOU: Jazim, wherever you go there you are~
untuk menjadi ada
separuh hati kita lalui malam
sebab gerimis mengais awan
seperti rupa pengemis berkah
berjibaku mencari rindu wajah kekasih
hei perempuan di sudut kesunyian
usah lara menghardik sepi
ini hujan menitip salam, ini hujan melerai rindu
kau tahu, di subuh nanti, embun kan menanti kau pijaki
simpan keluh kesahmu dalam lelah mengandai hadir
nubuatkan saja saat ini, bahwa ia sepertimu
menampik sendu mengenyah puruk
menanti tiada menjadi ada
(nawaf, surabaya, 090113)
0 Comments