Sambungan......dari sini

Pada akhirnya aku mengiyakan kedatangannya ke Surabaya. Dia mengabarkan bahwa sebelum ke Surabaya masih ada acara ke kota Pasuruan terkait dengan teman-teman di dunia kerjanya. Sabtu, 7 Novermber ba'da asar. 

"Saya sudah di hotel daerah A.Yani, InsyaAllah sore nanti ke rumah. Ada titipan teman Pasuruan untuk panjenengan yang harus segera saya bawa ke rumah." kembali aku dikejutkan pesannya. 

Setelah pertemuan dengan Mas Dokter, kondisiku memang berangsur membaik walaupun ya belum sepenuhnya baik. Masih harus cukup hati-hati untuk menghadapi segala hal yang terjadi. Tidak mudah menerima tamu pun aku tidak banyak keluar rumah. 

Mangga Apukat amanah temannya dari Pasuruan. 

Bermulanya sebuah kisah

Sebelum pertemuan pertama secara fisik dengannya, aku menerima pesan di WA, seseorang yang ingin kenalan denganku pada saat kondisiku harus istirahat total di rumah. Saat itu awal bulan October 2020. Pesan yang sangat tidak menarik. Aku biarkan saja, toh aku tidak mengenali nomernya. Aku merasa bukan remaja perempuan yang menye-menye dengan menanggapi siapapun yang ingin kenalan. Aku sudah cukup dewasa untuk sekadar tidak peduli dengan hal-hal sepele sejenis itu. Terlebih ada bahasa yang menyanjungku di salah satu pesan yang kuterima itu. Satu sisi aku merasa bahwa orang yang kirim pesan ini telah mengenalku atau justru kami memang saling mengenal jauh sebelum ini. Semakin menyadari itu, aku semakin tidak suka jika diminta tebak-tebakkan (menebak) siapa sang pengirim pesan itu. Sanjungan itu bikin neg saja, karena terkait foto profileku di WA

Entah mengapa saat itu, aku tidak langsung memblokirnya seperti halnya nomer-nomer yang mengirim pesan kenalan kepadaku sebelumnya. Sanjungan itu menandakan bahwa kami saling mengenal sebelumnya. Ada lintasan kenangan pahit ketika aku membaca sebuah pesan yang segera dihapusnya. (sayangnya aku terlanjur membacanya---sorry ya)Ya sebuah kenangan tidak menyenangkan karena aku seorang perempuan muslimah. Denyar tidak menyenangkan itu, membuatku membiarkan nomer itu ada. Aneh kan? Ya, aku bukan benci pada orang yang menciptakan kenangan buruk itu, tapi justru aku ingin memaafkan diriku sendiri atas segala hal tidak menyenangkan puluhan tahun lalu itu. Aku ingin menghapus segala noktah di hatiku, agar semakin lembut. Memaafkannya, memaafkan diriku sendiri. Seperti halnya beberapa waktu terakhir itulah yang kulakukan untuk setiap orang yang pernah "bersinggungan" denganku di masa lalu. 

Benar adanya, ketika esok harinya nomer yang sama mengirim pesan lagi dan langsung mengaku siapa dirinya. Aku tersenyum karena prasangkaku tidak benar atas kenangan buruk itu. Sisi lain aku bahagia karena menemukan sahabat yang pernah kukenal itu. Bertukar kabar secara umum dan karena kondisiku memang sedang tidak baik, tentu aku sampaikan padanya dan memohon doanya semoga Allah segera memulihkan kesehatanku. Permintaan umum menurutku kepada siapapun, ketika aku meminta doa (saling mendoakan)  agar segera pulih sehat, juga padanya. Namun, menjadi tidak menyenangkan bagiku ketika laki-laki yang pernah berteman baik denganku itu (menurutku) terlalu "perhatian" dengan kondisiku. Aku perempuan mandiri yang terbiasa menyelesaikan berbagai hal secara mandiri, tentu sangat jengah dengan perhatian semacam itu. 

"Jangan lupa sarapan, jangan lupa minum obatnya, gimana kondisi badannya, sudah sholat?" 

Ah pertanyaan yang semacam perhatian itu membuatku sungguh muak. Bagi sebagian perempuan hal semacam itu tentu menyenangkan ya? Ingat saja, itu bukan untukku!!! Walaupuan kadang aku santai saja menjawab segala pertanyaannya tapi dalam hatiku sangat tidak menyukai semua perlakuannya. Anehnya aku juga tidak menanyakan bagaimana keluarganya, pun aku tidak suka menyampaikan kondisiku yang masih single. Setiap ada pertanyaan darinya tentang masalah pribadi aku selalu menghindari dengan mengalihkan pembicaraan kepada hal lain. 

Ketika aku harus kembali ke Surabaya, karena memang tidak mungkin aku meninggalkan kantor terlalu lama, aku sudah berniat akan 'menampar' laki-laki ini. Sebaik apapun kami berteman saat itu, tentu bukan hal baik jika dia terlalu 'memperhatikan' diriku. Apalagi setahuku dia sudah berkeluarga bahkan sejak saat aku masih berjuang menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomiku. Bukankah itu sudah puluhan tahun lalu? Aku tentu tidak mau ada lintasan pikiran akan kondisi buruk pada kehidupan pernikahannya. 

Selesai sholat malam, aku mengirimkan pesan tamparan itu kepadanya, tertata dengan beberapa item yang kujabarkan secara jelas. Aku sampaikan padanya tentang kondisi kesehatan dan pekerjaanku kenapa aku tidak membalas pesannya. Kondisi personalku (status) sebagai perempuan yang gampang sekali menerima fitnah atas segala bentuk hubungan atau komunikasi dengan laki-laki yang sudah berkeluarga. Aku tidak mau selalu menjadi pihak yang disalahkan oleh perempuan lain, padahal kelakuan suaminyalah yang tidak benar. Satu hal lagi, karena aku masih berpikir dia adalah teman baikku, maka aku harus segera mengingatkan dia untuk hal satu ini. Entah ada berapa item yang kusampaikan padanya saat itu. 

Sebuah pesan panjang kuterima, jawaban dari semua item itu dengan sangat telak menamparku balik. Aku terus beristighfar memohon ampun pada Allah atas segala prasangka burukku. Namun dari jawaban-jawaban itu, justru membuatku luka. Ada luka tak berdarah hadir begitu saja memeluk jiwaku yang kecil. Aku tergugu sendiri di subuh yang wangi waktu itu. Ah, ternyata masih ada luka batinku pada orang-orang terkasihku hanya karena mengetahui peristiwa yang menimpa laki-laki ini, teman baikku itu. 

Sisi lain ada rasa malu menyergapku karena terlalu cepat 'menamparnya' dengan kalimat-kalimat yang aku sadari bisa melukai hatinya. Akupun membaca sebuah jawaban dari item lainnya yang seoalah dia merasa aku meremehkannya karena statusku saat ini. Aku tidak ada pikiran tentang status sosial sebagai perempuan metropolitan, yang kubincang adalah statusku sebagai muslimah single di usiaku yang tidak muda lagi. Aku lelah dengan segala bentuk 'cinta' yang disodorkan sebagai bentuk rasa kasihan kepada kondisiku. Aku sudah sangat bahagia menjalani kehidupanku selama ini. Inilah yang harus kujelaskan padanya. 

Di kantor aku tengah sibuk dengan proses akreditasi asosiasi perusahaan konstruksi bersamaan itu ada trouble di jaringan internet dan juga komputer. Tentu ada banyak hal harus kukerjakan dan kuselesaikan bersama team ITku. 

"Mbah, aku baru saja memarahi mantan suami orang!" ceritaku kepada petugas IT kantor yang kukenal baik. Biasa kami diskusi tentang apa saja, sehingga aku merasa biasa saja menyampaikan hal itu padanya. 

"Lhadala...mantane siapa? Lha nyapo kamu marahi dia, Mbak?" dia menghentikan pekerjaannya. "Aku tidak tahu kalau dia sudah menjadi mantan suami orang, aku kira dia masih menjadi kepala keluarga. Aku jengah saja dengan pesan-pesannya, walaupun aku merasa senang bisa sambung silaturahim kembali dengan teman lama." jawabku jujur saja. 

"Teman kuliah, S2 atau S1?" tanyanya kembali sambil menghadirkan senyumnya. "Ojok diguyu ta, Mbah. Iya dia teman semasa kuliah S1 tapi beda kampus, kami dulu sama-sama aktifis saja." Orang yang kupanggil Mbah ini tertawa lebar. "Rasakno kowe, Mbak! Mamulo to...!" 

Setelah peristiwa itu, dia meminta izin untuk silaturahim ke rumah bersama teman lain, yaitu pertemuan 17 October 2020 bersama teman lainnya. Aku telah menuliskannya di Good Vibes tentang pertemuan pertama kami setelah dua puluh tahun lebih kami tidak saling komunikasi. Setelah pertemuan itu, komunikasiku dengannya lebih santai. Mungkin karena aku tahu statusnya, satu hal tidak akan ada fitnah atas diriku sebagai perempuan yang hadir di kehidupan sebuah keluarga. Seiring aku harus istirahat total lagi di rumah karena hasil laboratoriumku yang secara umum sangat baik, tapi neutrofileku NOL. 

Pertemuan kedua

Laki-laki yang pernah kukenal saat aku masih menjadi mahasiswi jurusan matematika itu, mendadak hadir di hadapanku di tanggal 7 November, setelah pertemuan pertama. Aku yang tinggal sendiri di rumah Surabaya, tentu bukan hal mudah untuk menerima kehadirannya yang mendadak di sore menjelang malam itu. Apalagi sebenarnya laki-laki itu sudah ada 'janji' akan menghadiri acara pernikahan dari putrinya Sekretaris Umumku di asosiasi konstruksi tingkat Jawa Timur yang kupimpin, pada siang hari esok harinya. 

Oleh-oleh yang kuterima pertama kali darinya. 

Tentu tidak mudah bagiku menolak kehadirannya. Toh kami manusia dewasa yang sudah tahu aturan yang dibenarkan agama kami. Aku sekadar menyiapkan makan malam untuknya, tentu untuk menghindari aku harus pergi keluar rumah bersamanya. Aku tidak ingin bahkan tidak mau pergi dari rumah dengan kondisi kesehatanku yang belum baik-baik saja saat itu. Juga tentu karena dia bukan siapa-siapaku. 

Terlebih dia punya alasan untuk menyampaikan amanah orang lain dan sekaligus aku memang ingin menjelaskan padanya tentang pola makan yang aku jalani. Aku memintanya untuk makan malam di tempatku sekaligus menunjukkan bagaimana menu makan malam yang sesuai FC. Ya semua berawal dari hasil laboratorium kondisi kesehatanku yang kuberitahukan padanya ketika aku harus istirahat total di rumah lagi. Justru dia melihat hasil labku itu sangat baik beda dengan kondisinya. Mengetahui kondisi kesehatannya, mendadak saja sifat dasarku muncul dengan sempurna kepada siapapun yang memiliki riwayat kesehatan kurang baik. Aku akan "memperhatikan" dan berusaha "mengarahkan" dalam arti sekadar mengingatkan dengan memberitahu beberapa hal yang mungkin bisa dilakukannya untuk memperbaiki kondisi kesehatannya. 

Perbicangan tentang Food Combining inilah yang 'mendekatkan' kami ketika aku berlaku selayaknya 'dosen' yang selalu siap siaga dengan segala pertanyaannya mengenai pola makan ini. Siap selalu untuk mengoreksi apa yang dilakukannya (bersyukur dia 'mahasiswa' yang cukup baik dan cepet belajar). Inilah yang membuatku dengan santai saja menyampaikan padanya untuk bisa belajar langsung saja ketika ada waktu yang tepat. Aku pun tidak menyangka jika dia begitu cepat ke Surabaya dengan niatan untuk belajar pola makan ini. Tidak ada perbincangan yang bersifat pribadi hanya kadang aku menjawab beberapa pertanyaannya yang berujung pada aku bercerita tentang hal-hal yang sangat memengaruhi perjalanan hidupku padanya. 

Dia selalu mengakhiri setiap kisah yang aku ceritakan dengan doa-doa kebaikan untukku. Akupun bertanya  tentang kegagalan pernikahannya. Aku yang kurang suka dengan kata "cerai" tentu agak berbeda dalam menyikapinya. Walaupun aku harus bijak dan dewasa mendengarkan penuturannya. Apa-apa yang melatarbelakangi semua peristiwa itu terjadi. Ada banyak hikmah yang bisa kuambil dari segala kisah hidupnya. Tidak seenaknya kita menjudge seseorang atas sebuah keputusan yang dalam pandangan kita kurang baik. Kita tentu harus selalu bisa melihat segala yang terjadi dengan sudut pandang yang lebih luas. Seingatku sebelum dia pada akhirnya mengkhitbahku, kami tidak pernah berbincang di telp selain melalui pesan WA. 

Malam yang membuatku menangis

Kami selesai makan malam ala food combining. Perbincangan kami tentu hanya mengenai food combining. Aku menyampaikan bagaimana cara mencuci sayuran, menyimpan buah dan sayuran dan beberapa hal tehnis lainnya. Dia bertanya banyak hal dan aku tetap saja menjadi diriku sendiri. Tidak ada kata "menjaga image" karena di hadapanku dia adalah teman baikku yang kutemukan kembali. Sungguh itu saja perasaanku padanya. Aku berharap dia kembali sehat dan bisa menjalani kehidupannya secara berkualitas. Itu saja, tidak lebih!

Aku menengok jam, ketika aku merasa sudah cukup larut kehadirannya di tempatku. Sepertinya dia juga tahu diri. Terlebih aku masih dalam pengawasan dokter agar menjaga semuanya termasuk waktu istirahatku. 

"Ada hal yang mau  saya sampaikan ke njenengan, Jazilah." ucapnya mendadak ketika aku berharap dia segera pamit pulang. Aku sekadar mengeryitkan dahi, kuberanikan melihat matanya dari jarak duduk kami yang saling berada di pojok ruang tamu. 

"Saya mau jujur ke njenengan." dia menunduk. Aku mau tertawa dan ya karena tidak ada pikiran apapun tentangnya aku masih bisa bercanda dengan "menyanyikan" sebuah lagu. 

"Jujurlah padaku... eh lagunya siapa itu ya, hehehe, ada apa? sampaikan saja." aku masih dengan wajah tengilku yang Jazilah banget. (mbuh piye ... orang yang kenal aku tentu tahu bagaimana aku ya)

Dan, mendadak ruangan tempat kami duduk menjadi sangat sunyi, beku. Dia menunduk, menarik nafas dalam mengembuskan perlahan. Aku beranikan melihatnya lagi tapi dia menunduk seolah mencari kekuatannya yang mungkin hilang di bawah kolong meja. Mungkin dia tengah berusaha menemukan segala kekuatannya itu. Aku? Sekali lagi tidak ada pikiran apapun tentang apa yang akan diucapkannya. Malah dengan santai aku masih bisa bicara, "Ada apa? Sampaikan saja, Her." Aku lihat dia mengangkat kepalanya. 

"Mohon maaf sebelumnya ya, Zil. Ya Allah, gimana ini ngomongnya?" dia tampak gugup dan wajah resah. Air mukanya tampak membawa beban yang seolah tak mampu ditanggungnya sendirian. Aku semakin bingung, ada apa? 

"Zil, afwan ya...saya mau meminta njenengan untuk menjadi istri saya." suaranya terdengar sangat jelas di telingaku tapi menjadi sebuah ledakan luar biasa bagi hatiku. Aku merasakan dadaku penuh, sesak. 

"Her! kamu bilang apa?!" ucapan reflekku padanya dan kuberanikan melihat wajahnya yang aku rasakan tengah memperhatikanku. Tidak ada kata panggilan panjenengan lagi, aku hanya menyebutnya dengan kata kamu. "Kamu jangan sembarangan ya, Her!" sinisku lagi. Aku melihatnya, dia bergeming memandangku. 

Sungguh aku tidak bisa menuliskan apa dan bagaimana perasaanku saat itu. Satu hal pasti aku sangat terkejut dengan apa yang disampaikannya. Mendadak rasa takut melandaku dengan sangat luar biasa, aku hanya bisa menunduk, meremas tanganku sendiri dengan sepenuh kekuatanku. Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku bahkan dalam lamunan atau anganku, bahwa dia akan menyampaikan hal sangat penting malam itu. Rasanya otakku menumpul secara tiba-tiba, mendadak mulutku terkunci. Aku seperti kehilangan diriku, kehilangan Jazilah Imanaku. Tapi benakku bicara, bahwa aku harus bisa bicara padanya. 

"Mengapa harus aku, Her. Kamu tahu siapa aku?" ucapan itulah yang keluar begitu saja dari mulutku dan sekali lagi kuberanikan untuk mencari kesungguhannya di matanya. "Aku bukan siapa-siapa, Her. Kenapa harus aku? Usiaku tidak muda lagi, aku tidak punya apa-apa! Mengapa aku, Her!!" cercaku dan ternyata aku melemah. Air mataku jatuh begitu saja demi melihat matanya mulai hadirkan genangan air di sana. Beberapa waktu kami saling terdiam. Aku menunggu jawabannya, kenapa dia menyampaikan niatnya itu padaku.

Rasa sesak di dadaku mulai reda berganti sebuah kekosongan yang entah. Sungguh aku tidak tahu bagaimana menerjemahkan perasaanku saat itu. Aku hanya merasa sendirian, sangat sendiri menghadapi sesuatu yang sangat penting. Aku merasa tidak memiliki siapapun di dunia ini, ya aku sendirian. 

Laki-laki yang duduk di ujung kursi itu perlahan kudengar suara seraknya. Aku tahu diapun menangis, entah untuk tangisan apa. 

"Afwan, Zil. Mungkin saya terlalu lancang. Tapi sejak kita komunikasi beberapa hari ini, saya merasa kamu membawa banyak perubahan baik pada diri saya. Kepedulianmu pada keadaan saya, membuat saya khawatir bahwa sayalah yang GR. Itulah yang membuat saya memberanikan diri menyampaikan ini, karena takut terlarut dan pada akhirnya sakit. Saya tidak memaksa panjenengan." tuturnya panjang. Aku mendengarkan saja. 

Ingatanku pada kegagalan rumah tangganya. Ada luka yang sama pernah kualami saat aku mengingat anak-anaknya. Aku tidak menyukai semua itu. Pun aku sama sekali tidak mengenalnya setelah sekian tahun tidak ada komunikasi. 

"Tapi kamu tahu siapa aku kan, Her? Aku perempuan metropolitan, dan kamu sanggup menjadi imam bagi perempuan sepertiku? Atau kamu berpikir seperti beberapa laki-laki yang datang padaku sebelum ini, justru karena aku perempuan metropolitan mereka ingin menikahiku? Menjadikanku tulang punggung mereka?" sinisku lagi padanya.

"InsyaAllah saya paham kondisi panjenengan. Sejujurnya, saya sangat minder awal melihat panjenengan saat ini. Saya orang biasa, jauh sekali dengan panjenengan." 

"Lalu kenapa kamu berani memintaku menjadi istrimu?!" aku memutus kalimatnya. 

"Ya apa yang saya sampaikan tadi. Saya merasa panjenengan membawa banyak perubahan baik pada diri saya. Saya pun semakin paham panjenengan, ternyata sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Terlebih setelah membaca blog panjenengan. Ternyata Jazilah tidak seperti di pikiran saya, justru sebaliknya begitu berbeda dari tampilannya yang sangat menjulang itu. Terebih ketika saya tahu panjenengan ingin menjadi ibu rumah tangga yang itu sesuai harapan saya. Saya yakin bahwa rezeki istri itu ada pada saya sebagai suami. Karena itu semua saya beranikan menyampaikan niat saya." suaranya bergetar hebat saat mengucapkan kalimat itu.

Laki-laki yang pernah kukenal baik saat dia masih menjadi mahasiswa fakultas pertanian itu, pamit dengan segala beban yang ditinggalkan padaku dalam bentuk niatnya itu. Aku rasanya hilang bentuk, menghambur dalam pelukanNya, hanya itu yang bisa kulakukan semalaman. Masih kulakukan hal yang sama beberapa malam selanjutnya, sebelum kutemukan sesuatu luar biasa dan sangat berbeda yang diberikan Tuhanku dan kuyakini sebagai petunjuk terbaikNya. Subuh masih wangi, ketika aku diberiNya kesadaran, untuk segera menghubungi orang tuaku (bapak) agar melakukan interview pada laki-laki yang semalam begitu berani menyampaikan niatnya untuk menjadikan aku istrinya. 

 

Bluder Cokro ini  diproduksi oleh CV. Cokro Bersatu, apakah bisa menjadi pertanda bahwa kami memang akhirnya dipersatukanNya dalam sebuah perjanjian yang dipersaksikan malaikat rahmat? Perjanjian suci yang semoga mengantarkan kami bahagia di dunia dan akhirat kelak. Wallahu'alam

Bersambung pada.... Kuterima engkau dengan Sakinah

4 Comments

  1. Mbak Jazilah, tulisan bagian 3 mana ya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. https://www.jazimnairachand.com/2021/01/kuterima-engkau-dengan-sakinah-1.html

      https://www.jazimnairachand.com/2021/01/kuterima-engkau-dengan-sakinah-2.html

      Delete
  2. Iya niih mbak..bikin para netijen penasaran wae....

    ReplyDelete
    Replies
    1. https://www.jazimnairachand.com/2021/01/kuterima-engkau-dengan-sakinah-1.html

      https://www.jazimnairachand.com/2021/01/kuterima-engkau-dengan-sakinah-2.html

      Delete