NADA CINTA UNTUK SAHABAT: DENNY HERDYANTO
Ini kali pertama kita bertemu, di Jakarta |
"Ya Allah kok tambah bulat segar saja kamu, Den!" kalimat semacam olokan atau candaan lain yang mungkin membuatnya malu. Tapi ya begitulah aku bercakap dengannya, karena dibenakku dia adalah adikku. Aku akan mendapati senyumnya yang sangat renyah memamerkan barisan giginya yang rapih dengan matanya yang menyipit.
Satu hal yang sangat sempurna di ingatanku tentangnya adalah buku. Aku melihatnya seperti perpustakaan hidup saja jika berbicang denganya tentang buku. Aku merasa kecil sekali jika di depannya yang luar biasa banyak buku telah dilahapnya. Bahkan pernah ada satu masa aku selalu bertanya padanya setiap akan membeli sebuah buku.
"Buku karya X yang judul ZUTE, gimana, Den? Layak dibaca nggak?"
Bukan aku dalam golongan orang yang "meremehkan" sebuah karya, karena bagiku semua karya anak manusia layak diapresiasi, sesuai 'kapasitas' kita tentunya. Lalu kenapa aku bertanya padanya apakah buku itu layak kubaca? Layak dalam pandangan kami tentu akan berbeda maknanya dalam pandangan sebagian besar pemahaman umum tentang layak tidaknya sebuah buku untuk dibaca. Kedekatan-kedekatan semacam inilah yang terbangun antara aku dan dia. Mungkin juga kedekatan-kedekatan lainnya yang terbangun antara dia dan teman-teman lainnya. Aku tahu dia punya banyak teman dari berbagai komunitas yang bahkan kadang aku tak bisa 'menjangkau' apa yang dia lakukan.
Sebuah kejutan ketika dia memutuskan melanjutkan pendidikan sarjananya di Surabaya dan mengambil sastra inggris. Tentu kami lebih banyak bisa bertemu setiap ada acara UNSA. Setiap pertemuan tentu bahan utama percakapan kami adalah buku dan karya-karya hebat yang lahir dari penulis-penulis yang kami kenal atau bahkan belum begitu kami kenal.
"Mbak bacalah karya Q, semua karyanya keren-keren. Kapan aku bisa nulis kayak gitu ya!" suatu ketika dia menyarankan. Lalu kami kembali larut dalam percakapan tentang penghargaan atas sebuah karya.
"Aku ingin suatu saat bisa tembus DKJ, Mbak, doakan ya." kalimat indahnya itu ku-aaminn-kan dengan sangat.
Waktu berjalan tak kenal istirah, pertemuan demi pertemuan canda demi canda serta keseriusan demi keseriusan telah kami lewati. Terlebih ketika menjelang UNSAM kami tentu lebih intens berbincang. Namun, uniknya diantara kami...tak sedikitpun kami saling menyinggung masalah pribadi masing-masing, seberat apapun persoalan yang kami hadapi. Kami bertemu selalu dalam senyum dan impian indah tentang menulis dan buku.
Hingga mendadak aku tak diberitahunya ketika, dia lulus sarjana serta kembali ke ibukota meninggalkan kota pahlawan. "Mbak, aku sudah di Jakarta, aku sudah lulus. Aku sedang mencari pekerjaan." sapanya suatu hari ketika dia sudah pergi dari Surabaya. Tentu aku yang merasa sebagai mbaknya, ada sesuatu yang 'hilang' walaupun sejatinya tetap saja kami bisa berbincang seperti biasanya. Ya, aku tidak akan bisa lagi mengajaknya." Den, sibuk nggak, ayo ketemuan, makan siang atau malam di.... sekalian kita ngomongin buku, aku mau nanya..." Sejak itu aku tidak lagi bisa sesukaku mengajak bertemu.
Hingga pada UNSAM 2018, dia hadir kembali di Surabaya. Dia tetap Denny adikku, yang suka merajuk, ketika aku tanya mau dimasakin atau dibelikan makanan apa. Sekali lagi aku memang terbiasa berlalu seperti itu ke orang-orang yang sudah kuanggap saudara, jika akan hadir di Surabaya waktu itu.
"Mbaak, aku belikan kue-kue kekinian saja yang di Surabaya ya..." Ah, dia adalah adikku dan aku bahagia ketika dia meminta seperti itu. Walaupun aku langsung gagap, apa yang dimaksud kue kekinian? Dia menjelaskan kue kekinian itu adalah kue-kue dari artis yang lagi viral di Surabaya. Aku tertawa mendengarnya karena memang tidak akrab dengan makanan sejenis itu. Alhamdulillah aku bisa membelikan salah satu kue yang dia bilang kekinian itu untuknya.
"Ini, khusus untuk kamu, Den!" dan aku akan mendapati wajah putihnya bersemu merah dengan senyum sempurna dan matanya yang menyipit itu, dipenuhi ucapan terima kasih. January 2018, itu pertemuan kami secara langsung untuk kali terakhir. Karena pada UNSAM 2019 dan 2020, dia tidak bisa hadir di Surabaya karena kesibukan kerjanya. Selama ini, UNSAM atau segala acara UNSA adalah menjadi ajang pertemuan kami semua sebagai anggota, selayaknya keluarga.
Dari jauh, aku melihat Denny telah bekerja dengan baik. Aku bahagia dan seperti sebelum-sebelumnya, dia tetap adikku.
-----
Lalu, senja itu di awal January 2021, aku menangis dalam kesedihanku yang dalam. Ya, senja itu aku mendapat kabar duka tentang Denny, tentang sakit yang dialaminya dari sahabatnya, sahabat kami founder UNSA, Mas Dang Aji Sidik. Bagaimana aku tidak sedih, apa yang dialaminya bukan sakit biasa juga karena pada masa yang sama dalam kesibukan luar biasa aku tengah menyiapkan moment penting dalam hidupku juga 'sendirian'.
Ingin rasanya aku segera bisa menemuinya, melihatnya secara langsung dan berbuat apa yang sekiranya bisa kulakukan untuknya. Ingatanku cepat kepada sahabat-sahabat yang mengalami hal serupa dengan Denny. Tapi aku sadar segala sesuatu tidak mudah dijalankan. Pandemi, terlebih aku harus membereskan semua untuk moment penting dalam hidupku dalam bulan January itu. Setelah kabar luka itu, aku baru merasakan untuk kali pertama merasa 'khawatir' dan tidak tahu apa yang harus kuperbincangkan dengan Denny. Aku seperti kehilangan sesuatu yang selama ini kami miliki.
Kuyakinkan diri untuk menunda menyapanya setelah semua acaraku selesai. Bagitulah ketika aku masih dalam lelah setelah selesai menyiapkan pencatatan pernikahanku, aku segera berbagi kabar dengannya. Aku mengawali dengan mengirimkan informasi pernikahanku kepadanya, setidaknya aku punya hal awal yang bisa kami perbincangkan.
Benar, 21 January 2021 itu aku kembali berbincang dengan Deny. Suamiku yang sudah tahu semua sejak awal, mendampingiku agar kuat menyapa Denny. Kami lama berbincang, dia mendoakan pernikahanku, aku pun melakukan hal yang sama untuk kondisinya. Dia meminta maaf atas khilafnya padaku, sedang aku tidak merasa ada sedikitpun kesalahannya padaku. "Kamu adikku, Den!" Dia tidak tahu ada banyak air mataku tumpah untuknya saat itu. Entah mengapa aku begitu takut 'kehilangan' Denny.
Aku masih merasa baik-baik saja ketika melihat dia masih aktif di facebook. Dia upload karya-karyanya yang dibukukan. Aku tersenyum untuk Zebrod yang masuk nominasi DKJ dan PatjarMerah. Aku ingat harapannya yang pernah disampaikan kepadaku. Harapanku, dia juga dalam baik-baik saja. Aku kembali sangat sibuk untuk urusan kepindahanku mengikuti suami pada awal February. Ingatanku tentang Denny tentu masih ada, rasa khawatir menderaku ketika dia menulis status di facebook: "Help me!" Namun, aku tidak bisa memaksakan diriku ketika dalam masa yang sama kondisi kesehatanku menurun lagi.
Hingga aku tidak bisa menahan diri lagi ketika rasanya semua orang membincang kondisi Denny. Buku/novelnya mulai PO dan informasi tentang sakitnya sudah diketahui banyak orang. Bahkan ada yang mengirim pesan padaku menanyakan nomer seseorang karena Denny sedang mencarinya. Aku langsung konfirmasi ke Denny, ketika melihatnya online di WA. Bertanya kembali tentang kondisinya, perkembangan terapi dan lainnya. Denny masih cerita dengan baik, dia juga sempat bilang tentang efek dari kanker yang dialaminya. "Aku mengalami halusinasi, Mbak. Aku sering mimpi buruk." tulisnya. Aku sungguh merasakan dadaku penuh duka. Airmataku selalu tidak bisa kuajak kompromi untuk tidak tumpah.
Esoknya dia masih mengirim pesan padaku." Mbak aku jadi kayak skizo. Kadang mau ngejatuhin diri." Sungguh, Den...lagi-lagi aku hanya bisa melambungkan doaku untukmu, air mataku selalu tumpah setiap berbincang denganmu walaupun aku tetap tampil menguatkanmu. Dadaku sakit ketika hari itu menyadari bahwa kemampuan motorikmu berkurang. Pesan-pesan yang kuterima sudah tidak tersusun dengan baik. Ketikanmu hampir semua salah dalam setiap kata. Aku sedih, Den, sangat sedih. Suamiku bahkan ikut merasakan kesedihanku. "Kalau dekat gitu, Dek, kita bisa membantu merawat Denny." katanya, yang mungkin tidak tega melihatku berduka.
Minggu terakhir February aku harus kembali ke Surabaya untuk sebuah amanah. Kesibukan luar biasa baik mental dan material harus kulakukan. Sedikit ingatan tentangmu menepi tapi setiap membuka facebook aku selalu melihat berandamu. Aku masih berharap kau tetap menulis status yang dalam pikiranku artinya kamu baik-baik saja. Tapi aku tidak menemukannya, Den!
Awal Maret aku kembali disibukkan dengan kedatangan tamu yang tidak sedikit ke rumah kecil kami (dan aku baru pindah menjadi penghuninya). Aku belum sepenuhnya istirahat, ketika pada 8 Maret 2021 kembali 'dihantam' persitiwa luar biasa terkait amanah yang ada di pundakku. Berhadapan dengan orang-orang yang 'tidak bisa berpikir secara holistik' dalam melihat kehidupan dengan segala persoalannya. Sejak pagi kepalaku dipenuhi persoalan itu. Hingga jam kantor habis (WFH), lelah fisik menderaku juga tentu secara psikis tentang apa yang terjadi hari itu. Headset hampir seharian nempel di telinga, karena ada banyak hal harus dibincang dengan banyak orang. Aku tidak membuka facebook atau pesan-pesan di WA sesiangan itu.
Senja itu, saat aku ingin istirah aku baru menyadari ada pesan penting masuk tentang dirimu, Den. Pesan yang membuat senjaku sangat berduka. Seperti senja itu hujan yang mengguyur kotaku, begitulah banjir kesedihanku atas kepergianmu. Kamu telah berpulang kepadaNya. Air mataku tumpah untuk segalanya, Den. Ya, kamu sudah mendahuluiku, mendahului kami semua sahabat-sahabatmu, menghadapNya, Den. Allah SWT lebih menyayangimu, kamu sudah tidak merasakan kepedihan lagi, dek. Kamu sudah damai tanpa ada rasa takut dan sakit lagi. Aku dan kami sahabatmu tentu hanya menunggu waktu untuk kepastian kembali kepadaNya juga.
Membaca semua goresan sahabatmu tentangmu, aku yakin kau orang baik, Den. Demikian juga selama mengenalmu, kau adalah sosok yang baik.
Denny adikku, Innalillahi wa inna ilayhi roji'uun... Allahummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu.
0 Comments