Saat menulis ini, dadaku sepertinya masih penuh dengan sesuatu yang aku pahami makna dan rasanya tapi tidak mudah kuterjemahkan dalam kalimat. Ya, semua tentang peristiwa 10 Muharrom 1442 H atau 29 Agustus 2020 yang lalu. Sore yang renjana untuk hati dan jiwaku. Sore yang sekali lagi kurasakan betapa Sang Maha Cinta memelukku dalam pelukan yang sangat hangat.
Sore itu, selesai pekerjaan kantor aku mengerjakan beberapa hal terkait urusan 10 Muharrom. Aku bernapas lega karena semua amanah terselesaikan dengan baik. Aku sempat menengok persediaan sayuran untuk membuat jus selepas makan malam juga buah-buahan untuk berbuka puasa. Ada yang berbeda untuk 10 Muharrom ini, karena cedera otot yang kualami aku tidak bisa memasak untuk berbagi makanan seperti tahun sebelumnya. Kan bisa pesan, Mbak? Entahlah saat itu hatiku tidak tergerak untuk itu, karena beberapa urusan sebelumnya sudah mewakili.
Siang aku menengok point di "uang digital" yang kumilki dan sudah bisa kubelikan pulsa untuk seseorang. Tidak terlalu besar ya sekadar 25 ribu rupiah saja. Setelah aku mengirim pulsa itu, entah mendadak ada pikiran untuk berbagi hal yang sama kepada orang lain. Tentu bukan dari point uang digital itu, lha pointku memang sedikit. Aku membuat status di WA. "Hari ini ada pulsa 25 K untuk beberapa orang yang membutuhkan." (Pokoknya kalimatnya bermakna seperti itu ya...aku lupa status WAku saat itu hehehe). Kulihat beberapa orang membacanya, tapi hampir menjelang Ashar tidak ada yang menghubungiku untuk berkenan menerima pulsa 25 K.
Aku merenung, apakah 25 ribu ini terlalu kecil ya? Atau seharusnya aku bersyukur karena orang-orang dalam kontakku semua dalam kondisi baik. Tapi Jazim....di kontakmu itu tidak ada anak-anak yang dengan pulsa 25 ribu saja bahagianya selangit. Benar juga sih...pulsa 25 ribu itu memang terlalu kecil bagi orang-orang yang ada di kontakku. Kalaupun ada yang berkenan menerima, aku yakin pasti sangat membutuhkan.
Sejenak aku rebahan karena lenganku harus kuistirahatkan. Aku bawa handphone dan masih melihat kembali WA berharap ada yang membutuhkan. Alhamdulillah, akhirnya ada seorang teman yang menghubungiku. Menanyakan kebenaran status WAku. Disusul ada lagi yang lain dan lainnya. Aku mulai tersenyum, semoga mereka menerima dengan bahagia. Segera aku isikan pulsa sekehendak hatiku, yang artinya Allah sudah mengatur rezekinya seperti itu. Ada yang protes katanya 25 ribu, kok ini segini banyak? Ya ndak tahu...Allah ngasihnya segitu kok hehehe. Lalu aku mencoba mengistirahatkan lenganku lagi, inginnya bisa tidur siang, tapi tetap saja tidak bisa.
Aku putuskan melakukan aktifitas menunggu adzan sholat ashar. Setelahnya aku membuka Facebook, dan begitu saja ingat tentang 25 ribu yang ada di WA. Dengan bismillah, aku menuliskan itu di status Facebook seperti di WA untuk 10 orang yang masing-masing juga 25 ribu. Hampir semua menanyakan kebenarannya dan juga ada syarat apa untuk bisa mendapatkannya. Atau ada tantangan apa? Aku memang kadang berbagi buku di sebuah group dengan memberikan pertanyaan atau tantangan untuk bisa mendapatkan buku itu secara gratis. Tapi tidak dengan ini, hanya semata ingin menyenangkan orang lain saja.
Tidak lebih dari 5 menit sudah ada puluhan pesan masuk. Akhirnya aku kembali ke komputerku dan membuka semua pesan di sana. Sedang handphone kugunakan untuk mengisi pulsa. Aku memang masih memakai KUDO (Kios Untuk Dagang Online) sampai saat ini ya :) Jadi beberapa transaksi semacam pembelian pulsa tentu sangat mudah kulakukan. Tapi kalau orang luar harus bayar dulu baru kulakukan transaksi hehehe ya iyalah lha kan jualan?
Aku mulai membaca pesan yang masuk dan membalasnya. Saat itulah aku mulai gemetaran ketika ada beberapa pesan yang membuatku sangat sedih. 25 ribu yang begitu kecil bagiku saat ini ternyata sangat berarti bagi orang lain. Niat awal memang ingin menyenangkan orang dengan hal-hal kecil receh saja. Siapapun bisa tersenyum dengan pulsa kecil ini. Ternyata Allah menyuguhkan kenyataan yang tidak biasa. Memang ada yang sekadar menuliskan nomer handphonenya tanpa menyapa, tapi bukankah itu yang kusampaikan di status? Tapi 95 % menyapaku dengan berbagai hal indah walaupun tidak kenal/tidak berteman di facebook. Ya, karena tidak berteman maka pesan mereka masuk dikotak pesan yang harus seizinku dulu, sehingga akupun membuka kotak itu setiap saat untuk ngecek ada pesan atau tidak.
Gerimis di hatiku telah menjadi hujan lebat dengan air mata yang tidak bisa kubendung sama sekali. Mukena yang masih kukenakan setelah sholat ashar rasanya telah tergenang air mataku. Aku tidak henti menderas istighfar ketika membaca satu persatu pesan yang masuk sambil tanganku memasukkan nomer mereka untuk pengisian pulsa. Kadang aku menjadi lupa tentang 25 ribu itu dan yang terisi adalah suka-suka, terserah Allah yang menggerakkan saja. Dan aku meyakini berapapun pulsa yang masuk ke nomer handphone mereka, adalah rezeki yang sudah diatur Allah dengan sangat sempurna. Aku hanya sebagai perantaranya saja.
Ini sedikit yang kubagi tentang apa yang terjadi di bilik inbox.
Coba rasakan jika dirimu berada di posisinya. Saat menyapaku setelah salam dia menyampaikan tidak bisa telp ibunya karena uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Ada semacam benda tumpul memenuhi tenggorokanku saat membaca kalimatnya. Tiba-tiba senyum almarhumah Bunda hadir dan membuatku sangat merindukannya. Aku yakin begitu juga sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang yang menulis inbox ini.
"Ya Allah, jadi benar-benar tidak punya pulsa ya?" tanyaku ketika menerima gambar itu. Beberapa orang mengirim gambar hampir sama unjukin jumlah pulsa mereka. Dan ketika mereka mengirimkan gambar pulsa yang masuk aku membalas dan ternyata memang itulah yang ada. Aasih ada paket internet, tapi tidak punya pulsa. Jadi apapun memang menggunakan internet, melakukan panggilan by WA. Padahal kadang kita masih punya kerabat yang handphonenya bukan android, apalagi iphone. Pulsa ini akan digunakan untuk mengisi paket yang akan datang. Untuk apa? Ada yang masih pelajar tentu digunakan untuk sekolah daring. Ada juga yang digunakan untuk anak-anaknya.
Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa ketika membacanya. Ingat akan doa-doaku di depan Baitullah saat tawaf. Doa-doa yang kurancang dengan baik, tapi lenyap sempurna di Baitullah. Allah memunculkan wajah-wajah yang tersenyum tulus, lalu hati dan bibirku sempurna menderas doa untuk mereka. Aku masih mencoba mengingat orang-orang yang ingin kudoakan khusus menjelang rukun Yamani, tapi sekali lagi Allah tidak menghendakinya. Aku tidak bisa mengingat apapun, hanya ketenangan yang begitu sempurna memelukku. Aku tersadar dan menangis sejadinya, bahwa aku ini tiada artinya. Sepenuhnya adalah kuasaNya, segala yang terbaik darinya. Pun tentang doa-doa itu. Akhirnya doa-doa yang dititipkan padaku, kubaca setiap selesai sholat 5 waktu, bukan pada saat tawaf menjelang rukun Yamani, apalagi di depan multazam atau hijr Ismail. Aku membeku di sana, hanya ada Allah yang sempurna, aku tidak ada sama sekali yang hadir hanya apa yang dikendakiNya.
Aku tergugu disini, mengingat saudara-saudaraku yang juga memiliki anak-anak yang tengah sekolah. Apalagi yang anaknya lebih dari satu, tentu membutuhkan banyak hal lebih. Aku mohon padaNya agar apa yang kuberikan ini (pemberian Allah sebenarnya) bisa membawa manfaat dan keberkahan bagi mereka dalam menuntut ilmu. Tentu juga untuk semua saudaraku yang lain.
Aku tentu sangat menghargai orang seperti ini. Dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga mengingat orang lain yang mungkin baginya lebih layak menerima pemberian kecilku ini. Tentu ada doaku lebih Aamiin juga untuknya.
Masih banyak pesan masuk yang membuatku begitu merasa belum bisa berbuat lebih, terlebih ketika pandemi ini telah menunjukkan dampak negatifnya pada kehidupan keseharian kita. Memohon ampun dan juga kesempatan untuk bisa berbagi hal baik lainnya di kemudian hari. Bisa berbuat baik yang membuat orang lain tersenyum bahagia. Kabaikan yang istiqomah.
Sekali lagi niat awal hanya sekedar menyenangkan orang lain di 10 Muharam dengan hal-hal kecil, ternyata diberi Allah keindahan dan kehangatan yang luar biasa. 25 ribu mungkin kecil dan tidak berarti bagimu, tapi bisa saja hal itu sangat berarti bagi orang lain.
Melembutkan pekanya rasa, menaiki tangga yang belum terdaki. Sungguh, untuk selalu ingat dan sadar akan sisi kemanusiaan dan kehambaan kita itu.........perlu belajar dan diasah sepanjang waktu. Menjadi manusia yang selalu menyadari kehambaannya adalah keindahan.
Juga, aku menuliskan semua ini agar menjadi pengingat bagi diriku sendiri untuk tidak melakukan hal-hal mubadzir lagi. Ketika aku cerewet memilih makananku, harusnya aku juga ingat di luar sana...masih banyak yang tidak bisa makan, lalu bagaimanan kelakuanku seperti ini?
Aku seringkali bilang "tidak punya baju" ketika ada acara tertentu, padahal bajuku menumpuk. Lalu di luar sana...masih banyak mereka yang membutuhkan baju lebih layak. Pun mukena, aku selalu memilih apa yang ingin kekenakan....padahal di luar saja, betapa banyak dari mereka yang bertahun hanya mengenakan satu mukena.
Aku menengok diriku sendiri untuk semua urusan kehidupanku. Semoga Allah selalu memelukku erat dalam iman dan islam. Selalu bisa menjadi benar-benar manusia yang tidak pernah lupa sisi kehambaanku.
note: ada yang bilang...
"Halah pulsa 25 ribu saja! Tidak cukup untuk beli paketanku."
"Receh banget ya, bagi-bagi kok segitu?!"
"Ih berbagi pulsa 25 ribu saja diupload di medsos, mbokya langsung dikirim ke nomer-nomer yang dikenal saja! Kan hanya untuk 10 orang sih."
"Yang kamu lakukan itu tidak tepat sasaran! Kamu tidak tahu kan apakah mereka yang ngirim nomer ke inboxmu itu benar-benar membutuhkan?"
Hmmmmm...jika aku berpikir sepertimu tentu aku tidak akan melakukan itu dan tidak ada rasa apapun saat mereka mengirimkan nomernya. Kamu tidak pernah tahu kan, apakah aku tetap membagikan untuk 10 orang? Bisa saja hanya 5 orang dan aku bilang ke yang lainnya sudah habis kuotanya. Eh 25 ribu memang tidak cukup untuk beli paket internet yang 150 GB, tapi bisa kok dibelikan yang 5 GB dan bisa digunakan untuk sekolah daring beberapa hari jika tidak digunakan untuk membuka video online.
Aku mencari momen? Mungkin iya, tapi tentang kapitalisme pahala itu menjadi urusan Tuhanku saja. Kau tahu kenapa aku berbagi tepat di 10 Muharam kemarin? Hari itu, aku menerima upah kerjaku. Adakah yang salah, jika aku berbagi kebahagiaanku ketika di luar sana banyak sekali orang-orang yang sudah tidak bisa menerima upah/gaji kerjanya. Ya, mereka sudah kehilangan pekerjaannya.
Lagian tepat sasaran atau tidak itu kan bukan urusanku ya? Itu semua kehendakNya. Kalau aku berhitung itu....tentu aku punya cara tersendiri untuk menolak mereka yang dalam pandanganku tidak membutuhkan. Tapi kayaknya kali ini aku memilih menggunakan matematika dan kalkulator Tuhanku. Rezeki itu diberikan pada orang dan juga waktu yang tepat. Kalau sudah rezekinya ya akan menjadi rezekinya. So...i dont care about your opinion!
Lalu aku ingat videonya Deva Mahendra bersama Ade dan Reza...coba tengok ini ya, biar hidup kita ini lebih renyah :)
Aku ucapkan terima kasih kepada semua yang berkenan menerima kebahagiaan kecil dariku dengan sukacita. Semoga itu menjadi kebaikan kecil yang energy indahnya menular untuk semesta. Kebaikan dan kebahagian kita semua. Aamiin.
0 Comments