Sungguh
Cinta mengubah yang pahit menjadi manis
Debu beralih emas, Keruh menjadi bening
Sakit menjadi sembuh
Penjara menjadi telaga, Derita menjadi nikmat
Dan kemarahan menjadi rahmat
Cintalah yang melunakkan besi
Menghancur-leburkan batu karang
Membangkitkan yang mati
Dan meniupkan kehidupan padanya
Serta membuat budak menjadi pemimpin
( Jalaluddin Rumi)

Dalam renungan panjang dan pencarian yang tiada henti, tiba-tiba teringat kembali sesuatu yang begitu berkesan mengenai sebuah tulisan yang judulnya kira-kira sama. Ada yang perlu saya bagikan pada siapa pun. Karena pada prinsipnya, kelegaan yang paling dalam adalah ketika kita mampu berbagi sesuatu yang berkesan dengan tanpa jarak kesadaran akan hakikat kebaikan. Yang barangkali, jika diterima mampu memberi manfaat, atau paling tidak, kesadaran—yang terkadang bagi sebagian kita menjadi begitu menutupi—lantaran bangunan-bangunan bertembok tebal begitu kuat kita dirikan untuk mengurung dari segala sisi penemuan yang didapatkan oleh orang lain.




Bisa jadi ini penting, karena laksana sebuah pohon yang ditumbuhkan dalam ruang dengan penjara pot bagi akar-akarnya dan di bawah atap bagi daun-daunnya, akan berbeda jauh pertumbuhannya dengan pohon yang dengan merdeka tumbuh di alam. Memungkinkan dirinya dapat bersentuhan langsung dengan panas matahari, dalamnya bumi bagi akar-akarnya, dan udara bebas bagi gerai daunnya. Seperti cerita yang pernah ditulis oleh Miranda Risang Ayu:
Konon jauh di pedalaman belantara, ada sebuah telaga. Rerimbunan pohon memayungi tepinya, kerapatan perdu menyembuyikan kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang paling nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau sama sekali lengang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.

Telaga itu begitu tenang, hanya ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca. Telaga itu di mana? Di buku-buku cerita peri yang sedang istirahat bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun untuk mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?

Telaga, di mana pun ada sungguhan atau tidak, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi kita. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, dan jauh di balik kedalaman jiwa.

Telaga siapakah? Jika sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukan kembali makna-makna yang tergerai. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika kita tengah kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk-pikuk kesibukan.

Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.
* * * *
Seorang saudara yang berprofesi sebagai aktivis menyandarkan badannya di emperan sebuah kampus. Senja itu hampir datang dengan iringan angin yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri,
 “Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek harus selalu menjadi telaga….”
Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian ogah atau sebel menjadi telaga bagi sesama? Padahal, pada dirimu diamanatkan Tuhan cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.

Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang—bahkan dirinya sendiri—akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.

Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikan kebenaran pada yang lain dan mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakan puluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, dan membagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpa memandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkan perbedaan agama! Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.

Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau, atau kelebihan air ketika musim hujan, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itulah yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi

“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu pertanyaan yang muncul kemudian. Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya.

Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah samudera, kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk di tunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas akan menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah semata. Tetapi, seorang perindu Allah dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan anak-anak seusia yang belajar alif, ba, ta, di TPA. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahiyah. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang berjalan menuju-Nya.

Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalaman spiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengan kesadaran spiritual. Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, untuk menempati ruang sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain. Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.

Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang menggerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya.

(Tulisan ini aku sadur dari jurnal digital AL-MANAR yang di tulis oleh Akhina Adib Nurhadi, sekedar aku ingin berbagi---ketika jiwa ini dalam lelah kadang seberkas rasa itu menyelinap dalam relung hatiku--- “untuk apa aku jadi telaga dan samudera bagimu?  Ya Allah, ampuni hambaMu atas seberkas rasa yang hadir itu”)

*pasti tersenyum membaca hasil saduranku di atas, tata bahasanya kacau balau dan sengaja tidak kuedit.

Tulisan ini (aku copy tanpa sedikitpun perubahan) kusadur ketika aku masih menjadi mahasiswa pascasarjana (2003-2006 mungkin ini aku tulis di awal tahun 2005). Walaupun ini tulisan lama tapi ketika aku membacanya kembali rasanya… tak perlu kubahasakan lebih jauh karena aku hanya bisa tersenyum untuk banyak perjalanan hidup yang telah ditakdirkanNya untukku. :) terima kasih ya Allah.

Pebruari 2013 ini aku diperjalankan olehNya pada sebuah “perjalanan cinta” yang indah. Ketika aku berada di pantai itu sendiri…aku menakar diri, menengok ke dalam jiwaku. Di hening sendiriku yang sempat menangis karena ‘sendiri’ segera kutemukan keindahan luar biasa saat kusadari ada aliran air menuju samudra. Begitu banyak cerita yang bisa kuambil dari aliran air menuju samudra itu. Aku hanya menuliskan sedikit di FB. Di beberapa foto fb (album The Journey of Love@Yogyakarta) aku telah menuliskan sedikit tentang ‘menyamudra’ yang aku tulis selepas melakukan perjalanan yang tersimpan di blackberryku.

Aku sedikit menulis The Journey of Love (Djavu) di album REHAT yang baru bisa kuupload setelah acara pernikahan adekku, setelah cukup lama perjalananku. Padahal itu kutulis saat perjalanan pulang, ingatanku pada Budimulia Kaliurang Jojakarta dan tentunya pada jurnal Digital Al-Manar. Aku sepertinya pernah membaca refleksi tentang Samudra. Tiba-tiba saja hatiku keruh, tentunya aku berpikir semua sudah hilang bersama kepergian Tochy pada 17 Desember yang lalu. Aku tersenyum untuk sebuah keculuan ini.

Aku mengalami sebuah ‘perjalanan’ saat larut di pantai itu, tapi aku butuh ‘partner sharing’ yang biasanya aku awali dengan membaca hal-hal terkait dan setelahya aku akan diskusikan (‘bertanya’) dengan orang-orang yang kusebut sebagai ‘sang pencerah’. Ini proses, untuk menjadi diriku yang isnyaAllah mudah-mudahan semakin baik dan lebih baik lagi. Aamiin.

Beberapa hari terakhir aku lebih menyibukkan diri dengan acara keluargaku (pernikahan adekku hingga acara pindahan mereka ke rumah kami) dan tentunya juga membersamai Bunda. Memanfaatkan waktu-waktu istimewa bersama Bunda, rasanya membuatku enggan untuk pergi dari kotaku. Setahun sebelumnya aku memang jarang sekali mempunyai waktu sangat istimewa bersama Bunda. Alasan klasik yang sangat tidak baik jika kusesali, pakerjaan.

Selesai acara pernikahan adek, aku kembali ke kota Gresik berharap bisa menyelesaikan beberapa tulisan. Ingatanku kembali kepada “menyamudra” dan kubongkar lagi CD tugas-tugas kuliah selama S2. Ternyata aku masih berharap bisa menemukan artikel itu, karena aku belum bisa diskusi dengan siapapun. Beberapa CD dengan label tugas kuliah bisa dibuka, kumpulan jurnal HRD ternyata error, all about pasca malah indokatornya kosong (aneh seingatku ini materi-materi kuliah dari para profesorku) termasuk dua CD dengan label Jazilah Smart with Software HRD, dan Artikel HRD tidak bisa dibuka. Kemudian CD berlebel Jazilah with Friends ternyata bisa dibuka dan isinya adalah rekaman video dan foto saat aku menjadi asisten penelitian BDS di Jawa Timur. Tinggal satu CD, data-data pascasarjana aku tidak berharap banyak kalau artikel itu ada di CD ini.

Bersyukur CD terakhir itu bisa dibuka, dan ternyata…subhanallah, aku menggigil sendiri membaca file-file yang ada di sana. Bukankah CD ini pernah aku buka pada awal Januari lalu dan aku menemukan tulisan motivasi yang aku sampaikan di depan Mahasiswa Baru UNIJOYO? Mengapa waktu itu aku tidak menemukan tulisan hasil saduran ini? Bahkan…beberapa file rasanya mencadaiku dengan berani untuk mengoyak memoryku. File-file tentang “dokter Khan” semua menampakkan diri dengan baik. Aku sempat tersedak wanginya rindu. Tapi keingintahuanku tentang ‘samudra’ lebih menguatkan hatiku dan cepat aku copy file-file yang mungkin bisa menjadi bahan bacaan berkualitas bagi diriku. File-file tentang dokter untuk saat ini tidak begitu aku perlukan dan rasanya memang aku tidak akan memerlukan semua file kenangan itu. Aku sudah berdamai, sudah mengantarnya pulang bersama senyumku :)

Dan…benar, tulisan di ataslah yang aku cari. Mungkin banyak yang tertawa saat membacanya, ah…itu mah saduran biasa Jazim gak bagus-bagus amat. Terserah…ini perjalananku. Aku pahami bahwa proses ini adalah sebuah siklus kehidupanku yang pada masa tertentu akan terulang kembali dengan kualitas yang berbeda. Aku belajar, dan akan terus belajar untuk semakin bisa menjadi hambaNya yang pandai bersyukur atas segala nikmatNya dalam menjalani proses yang telah ditetapkanNya dalam garis takdirku. Terima kasih ya Allah : )

Ya…keputusan masa lalu, mungkin aku sesali tapi bukan berarti aku larut saja dalam penyesalan tak berujung kebaikan. Ketika aku dipertemukan kembali dengan satu keadaan yang sama hmm… aku tidak boleh mengambil keputusan yang sama seperti waktu itu. Aku belajar dari sana, dari masa lalu. Aku memaafkan diriku, aku memaafkan orang-orang yang terkait dengan keputusan masa lalu yang kurang tepat. Aku tidak akan malu, untuk mengambil keputusan baru pada perbaikan keputusan masa laluku.

Tulisan itu kusadur saat aku memang berada di ranah sebagai aktifis kampus yang banyak acara. Ranah ideal dan aku pun berada di kamar ideal. Tulisan itu begitu berartinya, keputusan-keputusan yang aku ambil saat itu membuatku tersenyum saat ini. Senyum penuh syukur, ada banyak cerita dan hikmah yang terjalani. Dan…ketika waktu berjalan, ketika aku dibenturkan dengan keadaan yang serupa tapi tak sama (berarti berbeda ya… ^_^) dalam ranah yang tak sama…aku seperti memutar slide lama tetapi dengan kecanggihan tehnologi yang berbeda. Resolusi warnanya semakin tinggi, gelombangnya bukan hanya Beta dan Alfa saja…tapi hampir semua gelombang ada, tersadari olehku. Beta, Alfa, Delta dan Teta ^_^

Dan semua kudapati (diperjalankanNya) ternyata dengan sangat sederhana saja dalam mozaik yang tersusun harmonis di alam semesta, begitu mudah seolah tanpa upaya apapun yang kulakukan. Cinta, kasih sayang, kehangatan, perhatian, kekhawatiran, pemaafan, penerimaan, kerelaan, pengorbanan, melepaskan, senyum, air mata, ketulusan hati dan ikhlas. Sehangat matahari di pagi hari, seindah warna pelangi di senja hari, selembut sinar purnama di malam hari, dan seharum wangi melati di setiap masa. Sebuah perjalanan yang membuka mata hatiku semakin lebar, melihat semua dengan senyum yang sangat sederhana saja, syukur. Tidak ada kepanikan lagi, tenang. InsyaAllah tidak ada keresahan lagi, hanya berserah indah dalam pasrah, damai.
Lalu…atas izinMu, aku bersimbah BAHAGIA dan aku menujuMu saja :)
Dan, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan Jazim?


Taman Hati, Senja 18 Pebruari 2013.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang berjalan menuju-Nya. 

*Tulisan ini pernah saya posting di https://www.facebook.com/notes/jazim-naira-chand/rehat-menjadi-telaga-atau-samudra/10152605119400253


0 Comments