Bulan Ramadhan memang sudah berlalu bahkan saat aku tulis catatan ini Syawal 1434 H juga akan berlalu. (sekarang saat upload catatan ini Syawal sudah berlalu)  Perjalanan indah selama Ramadhan masih terpahat nyata, ketika aku diberi kesempatan bisa membuat acara #SedekahBuku. Saudarapun bertambah dan seiring itu cintaNya yang selalu indah menyapaku. Ketika seharusnya aku bisa mengirimkan buku-buku itu ke luar kota, Allah menyapaku untuk tidak banyak bergerak. Aku seperti ‘dipulangkan’ pada kondisi yang pernah terjadi sekian tahun yang lalu.

Ada ketidakharmonisan dalam fisikku. Hangat tidak pada kondisi normal, pun pula dingin selalu dibawah ambang batas kemampuanku selama ini. (Beberapa orang bilang cuaca memang lagi tidak bisa diterka). Aku kembali terkapar tidak berdaya saat 10 malam terakhir Ramadhan. Aku tetap nekad mengirim beberapa buku yang membuatku harus keluar rumah terpapar sinar matahari secara langsung. Aku menyerah ketika dalam paparan sinar matahari itu, tibatiba kondisi fisikku melemah. Bagaimanapun semua sudah berlalu, tetap saja bahwa kenangan itu masih ada. Sekian tahun yang lalu aku pernah mengalami hal yang sama. Ada kekhawatiran, ketika melihat kenyataan aku berjalan sendiri. Aku segera menepi, diam di bawah rindang pepohonan kotaku. Aku harus bertahan untuk tidak merepotkan orang lagi. Aku tidak boleh membuat orang lain khawatir apalagi Bunda. Setelah nekad mengirim paket buku dengan antrian yang cukup indah menjelang lebaran, sungguh kondisiku benar-benar di bawah kondisi normal.




Tidak bisa kusembunyikan dari Bunda ketika malam Ramadhanku berbeda. Tangis yang selalu kucoba sembunyikan darinya ternyata harus diketahuinya langsung ketika aku harus mengigau karena suhu tubuhku yang diatas normal. Igauan yang ‘mengerikan’ bagi hati seorang ibu ternyata malah membuatku semakin jatuh. Aku merasa diriku baik-baik saja, tidak merasakan sakit seperti sekian waktu yang lalu. Detak jantungku pun selalu normal, bukan seperti dulu. Aku tetap bisa tertidur dengan baik, tanpa harus ngeri mendengar detakan yang berbeda di jantungku, tanpa harus merasakan denyut nadi yang tidak normal. Semua masih normal, denyut nadi itu harmonis…satu, satu. Bukan satu dua satu. Tekanan darahku juga baik, stabil. Dokter hanya bilang aku perlu isirahat, tidak ada hal lain yang disampaikan. Aku cerewet seperti biasa, tetapi dokter meyakinkan bahwa kondisiku sangat baik. Lalu  mengapa semua melihatku begitu rapuh?

Perlakuan merekalah yang menyakiti aku. Diam-diam, aku memang memerhatikan perubahan yang terjadi pada diriku. Ya aku beranikan diri untuk bercermin secara fisik menatap cermin yang beberapa waktu ini jarang kupandang. Tidak ada yang salah menurutku, hanya aku memang menemukan wajah yang pernah sakit pada sekian tahun yang lalu. Wajah yang tidak pernah berani mengenakan kerudung warna hitam karena akan lebih tampak pucat. Jika banyak orang mengenakan kerudung gelap agar wajahnya tampak lebih putih, aku sebaliknya. Kini yang aku lihat wajah yang selalu mengenakan kerudung warna putih karena aku ingin wajahku terlihat lebih gelap dalam makna sehat. Bukan pucat! Ramadhan ini aku menemukan wajah itu lagi. Apakah itu yang menyebabkan semua menjadi sangat khawatir?

Perlakuan mereka menjadi berbeda. Mereka terlalu menyayangiku, aku tahu itu. Tetapi cinta mereka kurasakan semakin menyakitiku. Ramadhan semakin membuatku sehat itu yang aku rasakan, tetapi berbalik dengan prasangka mereka. Ketika aku semakin ‘memilih’ makanan yang aku konsumsi mereka selalu berupaya memberikan apa yang aku mau. Aku semakin merasa bahwa hidupku semakin dekat dengan kematian ketika mereka memperlakukan aku dengan berbeda. Itulah yang menyakiti diriku sebenarnya. Aku tetap memaksa menjalankan puasa Ramadhan dalam kondisi demam yang semakin tidak harmonis. Semakin mendekati Idul Fitri kondisiku semakin memburuk, karena saat itulah aku tahu bahwa kondisiku benar-benar lemah secara fisik. Typus mungkin itu yang aku alami, tetapi diagnose dokter tidak menunjukkan itu dan sekali lagi bahwa aku hanya butuh istirahat.

Aku tersenyum, ketika sejenak berpikir tentang satu kata bernama ISTIRAHAT. Apa maksudnya dokter? Istirahat dari aktifitas apa? Sempat bertanya pada Allah dalam sujud malamku, apakah yang dimaksud dokter bahwa aku butuh istirahat itu adalah: aku butuh istirahat dari kehidupan duniawi? Jika itu, rasanya aku sudah istirahat cukup sejak resign aktifitas duniawiku berubah. Aku menikmati waktu bersama bunda yang selama ini ‘dibeli’ oleh perusahaan. Aku mau menebus semua yang ‘hilang’ dengan segera memperbaiki keadaan. Rasanya waktuku untuk bunda selama ini masih jauh dari cukup ketika aku sadari bahwa kondisi Bunda sudah tidak seperti dahulu. Ada banyak yang harus berubah dan begitulah kehidupan itu berjalan sesuai hukum yang berlaku. Sejenak saja, dalam kondisi yang lemah itu aku memaknai ‘istirahat’ sebagai perbaikan diri. Atau bahwa ‘istirahat’ yang dimaksud adalah benarbenar istirahat dari aktifitas dunia: MATI.

Mati atau ‘mematikan’ aktifitas duniawi. Mati atau kematian adalah terputusnya semua nikmat dunia.  Aku pun membawa pada ranah ‘mudik’ yang terus mengusikku saat menjelang Idul Fitri waktu itu. Fisikku memang melemah dan semakin lemah menjelang Ramadan berakhir, tetapi aku tidak merasakan bahwa aku dalam kondisi sakit. Aku benarbenar dihadapkan pada kondisi terputusnya nikmat dunia. Aku istirahat. Salah satu yang membuatku langsung sadar adalah kondisi penglihatanku. Mataku yang selama ini banyak yang mengenal begitu tajam di usiaku yang kian menua, pada Ramadan kemarin sempat mengalami sesuatu yang tidak biasa. Aku yang sering ‘bangga’ bisa membaca AlQuran saku yang cukup kecil hurufnya dan biasa aku bawa kemanapun pergi, ketika hampir semua teman sebayaku bahkan yang lebih muda dariku tidak bisa lagi membacanya. Kali ini aku tertegun, ketika Allah menyapaku bahwa mataku tidak mampu membaca AlQuran kecilku. Aku menangis ketika terjadi bacaan yang selalu salah dalam menambah hafalanku pada sebuah surat. Aku baca kembali dan masih salah. Ada yang semakin menyiksaku, ketika mataku semakin perih setiap membaca dengan air mata yang luruh begitu saja tanpa bisa kukendalikan. (Bukankah semua memang atas kendaliNya semata?)




Aku tidak berani membuka buku untuk kubaca. Aku mengganti ALQuran dengan yang lebih besar tulisannya. Laptop sejenak menjadi sesuatu yang mengerikan karena setiap aku membukanya dan berusaha menulis, mataku langsung sakit dan hal itu membuatku sangat pusing. Ada harapan bisa menulis satu karya di akhir Ramadan, harus kurelakan untuk tidak selesai. (Alhamdulillah, akhirnya satu karya ini terselesaikan saat gema takbir Idul Fitri terdengar dengan mata yang sangat pedih dan terbaring di tempat tidur dan tubuh dalam kondisi demam).

Aku dijauhkanNya dari aktifitas yang selama ini kucintai. Memang sangat menyiksa, tetapi selama ini aku telah diajari tentang kepasrahan padaNya semata. Aku dikenalkan berbagai masalah yang membuatku (harus) semakin menyadari kehambaanku. Saat mataku hanya mampu terpejam dan aku terus berusaha membasahinya dengan air mata istigahfarku. Mungkin air mataku yang selama ini hanya air mata palsu, sehingga tidak benar-benar meluruhkan debu-debu yang mengotorinya secara fisik pun pula secara spiritual. Mata fisikku lelah, bahkan mungkin rusak karena dosaku. Mata hatiku melemah bahkan sangat berdebu sehingga kian rapuh. Aku ingin menangis dan air mata ini benar yang bisa menghapus semua debu fisik dan non fisiknya mataku. Agar semua menjadi sehat seperti sedia kala. Jika memang air mataku selama ini masih palsu, aku rela menjalani semua. Aku rela diambil semua nikmat melihat yang diberikanNya. Pun jika air mataku adalah pertanda akan kerapuhan dan istighfarku atas segala debu dosa yang terampuni, aku masih mengharap belas kasihNya bahwa aku masih diberi kesempatan melihat semua dengan baik. Bisa kembali membaca ayat-ayatNya.

Harapanku dijawab olehNya dan mudah-mudahan aku tidak takabur atas semuanya. Ketika aku berusaha membaca Al Quran dengan tulisan yang lebih besar. Pusing itu tidak kurasakan lagi, seiring dokter mengatakan bahwa pusing itu hanya karena aku kurang istirahat. Ah…entah mengapa lagi dan lagi adalah tentang kata ISTIRAHAT. Pusing itu bukan indicator tekanan darahku yang tinggi atau pun rendah seperti yang terjadi pada sekian tahun yang lalu. Mengingat banyak teman sebayaku yang sudah terjangkiti hipertensi aku harus bersyukur diberi semua nikmat ini. Aku bisa menyelesaikan harapanku, tetapi aku masih belum bisa menatap laptopku dengan sempurna seperti sedia kala.

Kembali dokter mengatakan bahwa kondisiku baik bahkan ketika aku sampaikan bahwa aku bukan pemakan sumber karbohirat utama rakyat Indonesia. Dokter tersenyum, tidak ada masalah dengan semua asal aku bisa mengatur pola makan dengan baik. Justru dokter bilang bahwa orang seperti aku akan survive dimanapun karena creative menciptakan makanan alternative yang dibutuhkan tubuh. Aku sempat tertawa mendengar candanya itu, bahkan cerita mengalir pada memahami bahasa tubuh. Ingatanku melesat pada diskusiku dengan sang pencerah yang pernah kulakukan. Memahami bahasa tubuh dengan kembali kepada AlQuran dan Sunnah. Semua sebenarnya sudah tahu tetapi tidak semua mau melakukan apa yang sudah disebutkan dalam AlQuran dan hadits Nabi.

Aku bertanya tentang vegetarian, sayang sang dokter tidak berkenan berdiskusi panjang tentang hal ini. Ketika mengetahui aku bukan pemakan sumber utama karbohidrat bagi rakyat Indonesia malah beberapa orang mengira aku menjadi vegan (vegetarian).  Vegetarian kan hanya memakan sumber makanan nabati? Sedangkan padi (nasi) itu sumber nabati. Lalu logika apa yang mereka terapkan padaku? Aneh bukan?  Aku masih mencari sumber protein hewani yang bisa diganti dengan protein nabati karena kandungannya yang setara. Demikian juga untuk sumber-sumber vitamin dan mineral hewani yang bermanfaat untuk tubuh. Selama ini, aku masih bisa menyeimbangkan komposisi makanan yang masuk dalam tubuhku. Aku berusaha menjaga semua walaupun masih jauh dari sempurna yang pasti itu baik dan sehat untuk tubuhku. Yang pasti sampai saat ini aku bukan seorang vegetarian.
Aku memahami bahwa setiap tubuh diciptakanNya secara spesial, dengan kapasitasnya masing-masing. Tentu dengan segala keunikannya juga, dan sebagai ‘pemilik’ tubuh harus tahu bahwa tubuh kita masing-masing ini sangat istimewa. Kita boleh meniru seseorang dalam cara menjaga kesehatan, tetapi selama kita tidak bisa atau tidak mau memahami kondisi tubuh kita sendiri maka selamanya (aku pikir) kita tidak akan menemukan sehat yang sesungguhnya. Atau jangan main-main dengan meniru apa yang terjadi pada seseorang tentang kondisi kesehatan. Hehehe…Jazim mengacaukan pemahaman tentang cara sehat yang sudah dirancang oleh ahli kesehatan. Tidak, aku hanya mencoba memahami bahwa sebenarnya selama kita memahami ‘bahasa tubuh’ kita dengan baik, insyaAllah kita juga terhindar dari berbagai penyakit yang tidak diinginkan.  Yang terjadi selama ini, kita sok tahu dan hanya mengeksploitasi tubuh kita secara semena-mena.

Jangan sampai Anda ingin mengalami hal yang sama dengan seseorang hanya karena Anda ingin seperti dia. (Aku rasa jika ada orang seperti ini, orang ini kategori sakit jiwa—jiwanya sakit). Menjadi hambaNya yang bersyukur atas segala yang diberikanNya termasuk sakit dan sehat itu sangat membahagiakan. Lalu mengapa ingin menjadi seperti orang lain hanya karena ingin disebut telah mengalami sebuah proses hidup yang sesungguhnya? Proses hidup seseorang itu tidak akan pernah sama dengan proses hidup yang telah ditakdirkanNya untuk kita. Kalaupun ada hal yang serupa tetap bahwa semua tidak akan pernah sama. Pun pula jangan dibawah hal ini pada ranah spiritual. Ini aku bicara pada tataran fisik tentang kesehatan. Memang semua tidak bisa dipisahkan tetapi perjalanan spiritual tidak harus dilewati dengan perjalanan fisik (kesehatan) yang luar biasa. Jadi mohon jangan dipahami bahwa hanya dengan sakit fisik yang luar biasa maka seseorang bisa menemukan titik balik dalam perjalanan spiritual mereka. Tidak semuanya harus seperti itu, walaupun memang ada yang harus mengalami hal itu.

Semua pasti akan berbalik kepada Jazim. Lha kamu yang sakit itu gimana? Justru karena aku pernah mengalami semuanya, maka aku belajar dan bisa ‘bicara’ tentang semua. Memang ini sangat subyektif tapi tidak ada salahnya aku berbagi, ya semoga ada manfaatnya. Aku pernah berada dalam ‘ranah’ yang masih ‘salah’ sehingga aku diingatkanNya dengan sakit yang luar biasa itu. Sangat tidak beruntung kalau kita tidak bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Untuk itu aku berusaha menjaga diri walaupun aku sangat paham bahwa semua telah diatur olehNya dengan sebaik-baik pengaturan. Ternyata benar, di usiaku saat ini ketika bertemu dengan teman-teman sebaya aku semakin bersyukur karena pernah disapa dengan sakit saat usiaku cukup muda dan mereka semua sangat sehat waktu itu. Saat itu aku pun merasa Allah tidak adil tetapi kini aku melihat betapa cintaNya yang Maha Sempurna. Memasuki usia 30 tahunan banyak diantara temanku takut makan makanan berlemak dan sea food. Karena mereka sudah didiagnosa asam urat tinggi, tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, kolesterol tinggi dan indicator medis yang tidak baik (dalam pandangan manusia). Jadi ketika ada reuni, tidak menyenangkan karena makanan yang enak-enak tidak bisa dinikmati lagi. Sejenak aku berpikir, bukankan itu juga diputuskan dari nikmat dunia? Mengapa kita selama ini tidak berpikir  dan segera berbenah diri?

Sate dan gulai kambing, jangan harap makanan ini disentuh oleh mereka yang berusia 30 atau 35 tahun ke atas. Sea food dan makanan berlemak lainnya. Bahkan buah semacam durian, nangka, mangga tidak bisa dinikmati lagi. Anehnya ketika kutawarkan makanan sejenis susu segar tanpa gula, madu, sayur dan buah mereka juga tidak mau karena alasan tidak suka. Jadinya? Mereka semakin tidak sehat karena benaknya sudah dipenuhi dengan kandungan-kandungan pada makanan yang ‘katanya’ sebagai penyebab sakit yang mereka alami. Jadinya…aku merasa aneh kalau sudah bertemu mereka. Aku tetap makan sate atau gulai kambing. Menikmati bebek goreng, termasuk juga sea food. Aku menikmati durian, menikmati sayur kacang-kacangan.  Makanan bersantan wah…tidak akan ada yang berani menyentuhnya. Apalagi sejenis soto kikil? Mereka ketakutan. Bahkan nasi putih, mereka juga tidak berani makan lebih banyak tetapi ketika kuingatkan makan nasi jagung, beras merah atau gandum mereka tidak suka. Minum susu segar mereka tidak suka, teh tawar mereka tidak mau. Minum seduhan bunga rosella juga katanya tidak enak. Minum madu juga katanya aneh. Sayur? Bertemu bayam takut asam uratnya kambuh, termasuk kacang-kacangan. Tapi ketika bertemu mie instant? Bertemu pizza, bertemu burger, bertemu fast food? Bertemu makanan ringan instant? Ah…mengapa mereka suka?

Alhamdulillah…ternyata aku pernah mengalami sakit di usiaku yang masih cukup muda waktu itu, saat semakin tua begini aku jadi tahu bagaimana seharusnya menghargai tubuh pemberianNya. Kuncinya pada tidak berlebihan, itu saja.  Semua pasti tahu “…makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Artinya apa? Cukup! Tidak berlebihan! Itu berarti kita bersyukur kepadaNya bahwa telah diberi tubuh yang sehat, dengan menjaganya yaitu dengan makan yang tidak berlebihan. Berlebihan dalam kedua sisinya. Karena takut sakit, berlebihan untuk tidak makan dengan menghindari semua makanan yang telah diciptakanNya bahkan sudah ditetapkan halal haramnya. Atau berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. Semua bisa kita nikmati dengan tidak berlebihan, insyaAllah tubuh juga tidak akan mengalami sesuatu yang ‘berlebihan’. Tidak berlebihan berat badan, tidak berlebihan penyakitnya juga.

Kembali kepada kondisi tidak sehat yang aku alami sejak Ramadhan hingga Syawal tahun ini. Selepas Idul Fitri kondisiku semakin membaik walaupun masih jauh dari harapan. Tetapi omongan orang tentang pucat sudah mulai berkurang. Tetap aku tidak diizinkan pergi sendirian apalagi jauh dari rumah dan pengawasan keluarga. Aku menurut saja, karena tidak ingin membuat khawatir. Sekian agenda ke luar kota harus kurelakan tidak terlaksana. Bahkan paket buku juga belum bisa kukirimkan kepada yang berhak menerima. Aku berhasil melampaui semuanya karena kondisi ini tidak sampai membuatku pingsan seperti sekian tahun yang lalu. Aku cukup menuruti nasehat dokter untuk ‘istirahat’. Dan aku melakukan itu, karena berpikir bahwa selama ini aku terlalu banyak aktifitas.

Istirahat yang sesungguhnya secara material. Aku perlu tanda koma, bahkan ada beberapa hal yang harus segera kuakhiri dengan tanda titik. Agar aku benar-benar istirahat. Yang bertanda koma, agar bisa kulanjutkan lagi saat kondisiku sudah baik. Yang bertanda titik memang sudah saatnya kuakhiri demi kebaikan semuanya. Juga untuk memulai kalimat baru dengan makna yang berbeda, tentu dengan harap lebih bermakna dari kalimat sebelumnya. Aku lebih sering berada jauh dari riuh suasana kotaku. Aku harus berada di tempat dimana signal 3G tidak begitu sempurna. Otomatis handphone selalu dalam kondisi off atau aku lempar ke dalam almari dalam kondisi silent. Bukankah aku harus istirahat? Ya aku harus istirahat, pun pula dari aktivitas 3G-ku. Jadi maaf, jika sejak Ramadhan lalu aku tidak mudah dihubungi lewat jalur 3G.

Setiap kejadian pasti ada hikmah yang bisa kita ambil. Jika sebelumnya aku disapa dengan sakit mungkin karena sebelum itu aku terlalu berlebihan dalam memperlakukan tubuh anugerahNya. Atau aku berlebihan dalam bersikap terhadap kondisi hati dan jiwaku. Darah, pingsan dan merepotkan orang lain adalah satu kondisi yang membawaku pada kesadaran baru waktu itu. Ketika semua telah kujalani perlahan hingga mencapai kerelaan atas takdirNya aku menemukan diriku yang baru. Aku bisa berbincang tentang hikmah dari semua kisahku. Hingga aku tumbuh sehat, aku berbeda ketika banyak orang mengeluh karena masalah kesehatan. Semata karena kehendakNya dan sebagai manusia aku telah belajar dari pelajaran kehidupan yang dihamparkanNya di hadapanku. Akupun memasuki era baru dalam kehidupanku. Semakin bersyukur semakin berlimpah nikmatNya yang kurasakan. Semakin aku sadari betapa rapuh diriku tanpaNya. Semua membuatku harus semakin menambah porsi memberikan yang terbaik bagi sesama dan alam semesta. Tanpa tersadari, aku kembali lupa pada sekian hikmah yang sebelumnya telah kugenggam tapi untuk makna yang semakin dalam dan luas.

Aku lupa pada diriku yang selalu ada untuk orang lain. Aku kembali ‘ditampar’ dengan sapaan yang sangat lembut tetapi membuatku semakin memahami kesejatian diriku. Memahami cinta dan menyayangi dengan bijaksana. Saat itulah aku harus rehat. Aku harus mengambil jeda. Aku harus memasang tanda koma, jika kalimat itu memang masih perlu dilanjutkan agar tergenapi maknanya. Aku juga meletakkan titik sebagai tanda akhir sebuah kalimat untuk kalimat kehidupan yang kutulis untuk beberapa kisah. Bahkan ada titik yang harus kupasang sebagai tanda akhir dari kalimat terakhir sebuah paragraph kehidupanku. Paragraph itu sudah berakhir dengan tanda titik, hanya takdirNya yang akan membuat aku bisa menulis paragraph baru jika memang kisah itu harus menjadi novel kehidupanku.

Kini, aku mengerti mengapa ketika dokter tidak melihat ada yang tidak beres dalam tubuhku hanya bisa mengatakan bahwa aku hanya butuh ISTIRAHAT. Ya… istirahat kali ini adalah istirahat yang berbeda dan kembali aku dipahamkan olehNya. Terima kasih ya Allah, cintaMu selalu sempurna untukku. Istirahat yang membuatku semakin sadar ‘siapa diriku’ di hadapanMu. Saat satu nikmatMu sempat Engkau ambil sesaat, aku tahu ada banyak hal yang belum aku syukuri. Terima kasih Engkau kembalikan nikmat melihat yang pernah Engkau berikan. Aku kembali bisa membaca AlQuran sakuku dan terpenting juga atas izinMu aku seharusnya semakin bisa membaca ayat-ayat cintaMu yang selalu sempurna di alam semesta ini. Engkau kirim dokter dengan hanya satu hasil diagnose: ISTIRAHAT.

Allah Maha Cintaku
Jika istirahat ini secara fisik,
Aku telah menjalaninya dan akan menjalani apapun jalan yang Engkau berikan dengan tetap berserah padaMu
Air mataku…sekali lagi bukan keluh, tapi harap atas ampunanMu
Agar semua semakin sehat dan hatiku semakin lembut
Aku rela atas segala ketetapanMu,
Jika istirahat ini secara spiritual…
KepadaMu aku berserah
KepadaMu aku berlindung
KepadaMu aku kembali dalam keabadian.
Jangan terperdaya dengan badan sehat, karena syarat untuk mati tidak harus sakit.
Jangan tertipu dgn usia muda, karena syarat untuk mati tidaklah harus tua.
Sakit dan sehat adalah cintaMu
Hidup dan mati adalah cintaMu
Aku
MenujuMu saja :)


Taman Hati, 2 September 2013
20.26

*Bahkan saat menulis ini aku pun ingat perbincanganku dengan sang pencerah pada beberapa waktu yang lalu ketika kami diberi kesempatan bicara.
“Mbak Naira apa akativitasnya sekarang?”
“Aku mau istirahat dulu Mas :)
“Iya Mbak, istirahat saja dulu, :)
Nah…ternyata aku sudah mengatakan itu jauh sebelum ini. 





 *Tulisan ini pernah saya posting di https://www.facebook.com/notes/jazim-naira-chand/istirahat-/10153232600765253

0 Comments