“Nusa Dua ya Pak,” seru Kiran kepada sopir taxi yang tersenyum mengangguk dan segera membawanya melaju. Tidak ada percakapan. Kiran memang tidak ingin bicara, hanya ingin diam dan sendiri. Pandangannya menyapu jalanan menuju Nusa Dua yang begitu bersih. Sejenak dia merasakan satu ruang hatinya yang kosong. Bukan kosong. Bukan! Tapi ada yang tengah berkecamuk di sana.
“Kiran, seminggu kamu bertugas di Bali. Kamu presentasi, semoga kita bisa memenangkan tender bertaraf internasional itu. Sekaligus saya ingin mengenalkan kamu dengan seseorang,” ucapan Direktur perusahaan  Pradibta, seperti keputusan yang tidak bisa diubah.
“Maksudnya? Bapak mau mengenalkan saya dengan siapa? Urusan kantor? Maaf Pak, kalau Bapak kembali ingin ikut campur urusan pribadi saya, saya tegaskan tidak akan berangkat ke Bali dengan segala konsekuensi yang akan saya tanggung.”
“Bicara apa kamu? Saya tidak akan mencampuri urusan pribadimu, saya ingin mengenalkan orang yang mungkin cocok untukmu. Saya ini juga orang tuamu, Kiran, almarhum orang tuamu itu sahabat baik saya.”
“Cukup Pak, jangan membawa kedua orang tua saya. Ini masalah pribadi saya, saya sudah sangat bahagia hidup bersama Ivana. Bahkan tugas satu minggu ini sangat berat bagi saya karena harus berpisah dengannya. Dialah permata hati saya Pak, saya mohon Bapak mengerti.”
“Tapi kamu butuh pendamping hidup untuk membesarkan Ivana.”
“Tidak mudah laki-laki menerima keberadaan Ivana, saya tidak mau melihatnya sedih. Biarlah saya sendiri yang akan membesarkannya.”
“Hmm…kau mengorbankan kebahagiaanmu untuk Ivana? Dia bukan darah dagingmu! Ingat itu Kiran. Dia hanya…”
“Cukup Pak! Jangan hina Ivana, apapun keadaannya. Saya mencintainya, saya ibunya. Jangan pernah mengungkit masalah ini lagi. Ini hidup saya, kalau memang Bapak masih berkenan saya berada di kantor ini. Mungkin ke Bali ini akan menjadi tugas terakhir saya,”
“Tapi Kiran? Kamu…”
Percakapan yang mengantar Kiran saat ini menghirup udara Nusa Dua Bali. Sebenarnya dia juga ingin mengajak Ivana, tapi tidak mungkin. Kini, hatinya tidak tentram berada jauh dari gadis kecil itu. Ada rasa khawatir dan ada yang tidak tergenapi di hatinya.
Tidak terlalu lama, Kiran sampai di hotel yang sekaligus menjadi tempat presentasi di wilayah Nusa Dua yang sangat dekat dengan The Bay Bali. Kawasan wisata yang tidak perlu dipertanyakan keelokannya. Dia melepas penat setelah sebelumnya dia mendengar suara Ivana kecil yang manja.
“Ivana jangan nakal ya, harus nurut sama Bibi. Besok diajak Bibi ke dokter ya,”
“Iya mama, ke dokternya libur sekali saja Ma. Ivana capek, sakit setiap jarumnya ditusukkan ke tangan Ivana.”
“Anak mama yang cantik, mama tahu memang sakit, Nak, tapi kalau sudah sembuh tidak akan ditusuk jarum lagi. Ke dokter sama Bibi ya. Dengar Mama ya, ini janji Mama. Kalau liburan sekolah, mama akan mengajak Ivana ke Bali. Kita akan main di kapalnya Bajak Laut, gimana?”
“Wah, benar Ma? Bajak Laut yang suka Mama ceritakan?”
“Benar sayang, ini sekarang mama berada dekat dengan The Pirates Bay, istananya bajak laut. Tapi syaratnya besok Ivana ke dokter ya,”
“Assyiik…benar ma? iya Ma, Ivana akan ke dokter sepulang sekolah sama Bibi.”
 Suara renyah Ivana membuat Kiran sedikit tenang, berharap Ivana selalu baik. Kelainan darah yang dimilikinya, mengharuskan gadis kecil itu berteman jarum suntik. Ivana terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. Dia sering menjerit ketika jarum suntik mengoyak tubuh mungilnya. Jika kondisinya melemah, diapun tidak mengerti mengapa banyak selang kehidupan melilit tubuhnya. Kondisi itulah, yang menyulut sekaligus menyayat hati Kiran.
Kiran menjadi perempuan mandiri membesarkan Ivana. Tidak ada kata lelah dan menyerah untuk tugas kantor yang diembannya. Namanya melambung pesat menduduki jabatan manager, ketika usianya masih cukup muda. Pun, Ivana membuat hatinya selalu tersayat. Menangis pada Tuhan, mengapa harus Ivana kecil yang mengalami semua penderitaan bawaaannya?
Hari ke tiga, perusahaan Kiran baru berkesempatan presentasi. Melihat presentasi beberapa perusahaan  pada dua hari sebelumnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiran memiliki potensi yang bagus, membuat pimpinannya banyak menaruh harapan. Tidak hanya untuk perusahaan, tapi ada sebuah harap lebih dari semua itu. Kiran menjadi bagian dari kehidupannya. Hanya saja, pengusaha itu menyadari Kirana bukan seperti gadis kebanyakan yang mudah tergiur materi. Kiran memiliki prinsip hidup, itulah yang dikaguminya. 
Sejak kedatangannya di Bali, Pradipta pengusaha ternama itu memerhatikan Kiran. Melihat Kiran berdiri di tepian De Opera Beach yang tidak jauh dari hotelnya. Setiap pagi Kiran terdiam memandang samudera, seolah dirinya lenyap bersama ombaknya. 

                              sumber foto: di sini 




“Papa sudah sampaikan berapa kali, sampai kapan kamu seperti ini? Manajer di perusahaan  papa ini muda, cantik, cerdas, memiliki prinsip hidup yang bagus. Papa yakin dia bisa menjadi pendamping hidupmu yang baik. Tinggalkan urusanmu, liburlah beberapa hari di sini Hendra,”
“Papa tidak pernah mengerti apa yang aku inginkan untuk kebahagiaanku Pa! Mungkin ini kenapa Mama meninggalkan papa karena papa tidak mengerti apa bahagia itu Pa!”
“Hendra! Justru ini untuk kebahagiaanmu. Kamu pikir papa tidak mendengar gossip yang beredar? Anak papa seorang homoseks? “
“Dan papa percaya dengan gossip murahan itu? Lihatlah papa tidak pernah mengerti anak papa sendiri, lalu bagaimana papa bisa bilang bahwa perempuan yang akan papa jodohkan denganku itu bisa membuatku bahagia? Itu ambisi papa, karena dia cerdas! Karena dia asset perusahaan yang sangat penting untuk papa. Papa ingin memanfaatkan aku Pa, bukan membahagiakan aku!”
“Cukup! Pokoknya kamu dating, kenalan dengan staff papa terlebih dahulu. Papa tidak akan memaksa jika kamu tidak suka! Besok kamu datang langsung ke Nusa Dua.”
“Tapi Pa…”
Clik. Sambungan diputus. Hendra menggerutu, melempar handphonenya ke sofa di kamarnya. “Selalu seperti ini, kapan papa mengerti aku? Hah! Kapan aku bisa menentukan hidupku sendiri Pa! kapan?” suara Hendra memenuhi kamar tidurnya. Dia membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Memegang kepalanya, mencoba menenangkan diri.“Bagaimana pun, aku harus pergi ke Bali. Aku tidak bisa menghidar terus-terusan seperti ini. Aku harus menjelaskan semuanya ke Papa, juga tentang Laras dan anaknya. Aku hanya akan menikah dengan Laras. Hanya dia yang aku cintai,” gumam hati Hendra. 
Ada yang mengembang indah di sudut hatinya setiap mengingat Laras. Nama itu mengabadi, ketika semua orang menggosipkan dia seorang homo, padahal dia tengah mencari Laras. Hendra tidak pernah berani menyapa Laras ketika dia menemukan Laras di sebuah sekolah. Terlalu pengecut, untuk menyatakan bahwa dirinya mencintai Laras sejak 2.555 hari yang lalu. Kepergiannya ke America setelah perceraian orang tuanya, membuatnya memendam rasa. Kehidupan America tidak mengubah hatinya untuk berpaling dari Laras. Dia tahu, keputusan mencintai Laras ini akan ditentang papanya bahkan tidak diterima oleh Laras.
*
 Selepas presentasi, Kiran bersama pimpinan dan  team makan siang di Bebek Bengil yang juga berada di The Bay Bali. Semua orang tahu Kiran menyukai menu bebek, sehingga tidak akan bisa menolak makan siang ini. Kiran enggan berbincang banyak dengan Pradipta di luar urusan kantor, karena selalu berujung pada Ivana yang membuat hatinya keruh. Siang ini, dia berusaha menghormati pimpinannya untuk bisa makan siang bersama. 


                             Sumber foto:  di sini


Santapan yang menggiurkan, membuat Kiran melepas gejolak rasa dan kerinduan kepada Ivana. Dia ingin menikmati makan siangnya kali ini setelah presentasi yang menguras energy. Smoked Duck yang dipesan Pradipta mampu meluruhkan kebekuan yang terjadi. Menu ini berupa seekor bebek utuh yang disajikan di atas piring besar. Seporsi Smoked Duck disajikan dengan nasi putih, seporsi sate lilit, sepiring urap dan sambal. Makan siang ini tidak sempurna tanpa kehadiran si Bebek Bengil yang menjadi menu kehormatan di restoran yang memiliki tempat duduk di dalam dan di luar ruangan itu. Di luar ruangan, tempat makan berupa pendopo-pendopo yang jika malam hari dihiasi cahaya temaram dan ditemani suara debur ombak, karena lokasinya memang tepat di pinggir pantai. Sedangkan Bebek Bengil merupakan bebek yang digoreng hingga sangat crispy. 
                             Sumber Foto: di sini 

"Bagaimana kabar Ivana?" suara Pradipta mengejutkan. Kiran hampir tersedak sambal khas Bebek Bengil. Cepat dia menoleh ke arah pimpinannya yang menyantap sate lilit. Kiran curiga mengapa pimpinannya itu bertanya tentang Ivana, tapi berusaha tenang.
"Ivana baik Pak, sehat. Liburan nanti saya ajak main ke sini. Kemarin saya lihat The Pirates Bay yang menarik, dia juga harus bisa hidup normal kan Pak?." 
"Baguslah, kalau dia sehat artinya kamu tetap bisa konsentrasi. Kemungkinan besar ketika presentasimu hari ini berhasil, akan dipilih kembali beberapa perusahaan yang paling berpeluang. Saya harap kamu bisa bekerja dengan baik." 
Kiran menahan napas, ada lintasan meggores sisi hatinya. Pimpinannya ini sangat tidak peduli dengan keadaan Ivana, dia hanya ingin perusahaannya sukses. Ucapan yang memuakkan itu seolah mengatakan jika Ivana sakit, maka Kiran tidak bisa bekerja dengan baik. Dada Kiran bergolak, refleks dia meletakkan sendok garpu mengakhiri makan siangnya. 
"Lho sudah selesai? Dihabiskan, sayang kan?" bisik salah satu team melihat sikap Kiran.
"Sudah kenyang, semua saya makan. Terimakasih Pak Pradipta untuk makan siang yang luar biasa ini. Satu hal Pak, jangan khawatir saya pasti lakukan yang terbaik untuk perusahaan, tetapi Bapak juga jangan pernah melibatkan Ivana dalam kinerja saya. Saya mau istirahat dan sore nanti kita akan membahas beberapa strategi lain." Kiran pamit.  Beranjak, ketika pimpinannya bicara. 
"Oke, saya tidak pernah melibatkan Ivana tapi kamu juga harus profesional. Sore nanti saya akan kenalkan kamu dan kalian semuanya dengan satu pengusaha yang mungkin bisa memberikan sedikit gambaran berbeda. Silakan istirahat Kiran," 
Kiran tidak menjawab, hanya mengangguk hormat dan pergi menyusuri jalanan restoran. Sesaat pandangannya jatuh pada samudera yang terhampar ketika telinganya mendengar deburan ombak. "Apakah aku bisa sebahagia ombak yang tidak pernah lelah mengecup pantai? Gelombang kecilnya selalu indah membuat orang senang. Ombak yang penuh kesabaran menjalani takdirnya. Ah...bukankah aku juga bahagia bersama Ivana? Harusnya aku bisa melupakannya sejak ribuan hari lalu. Chandra, besok purnama. Apakah aku harus mengakhiri semuanya? Menerima permintaan Pak Pradipta untuk dikenalkan dengan seseorang?" tunduk jiwa Kiran dan segera melesat menuju hotel.
*
Senja menua, selepas pertemuan dengan pimpinannya Kiran menuju pantai. Dia ingin sendiri menikmati indahnya deburan ombak. Setiap hempasan dirasakan menghalau segala kenangan yang merenggut bahagianya. Dia kehilangan Chandra laki-laki yang mencuri hatinya. Pertemuan singkat itu menyeretnya pada kisah panjang yang tidak ingin disudahi. Perjumpaan itu baginya bukanlah keputusan, pun perpisahan dengannya bukanlah  kesepakatan. Jika perjumpaannya dengan Chandra adalah takdir, Kiran berharap bahwa perpisahan ini berakhir Chandra ada di sampingnya selamanya.
Matahari perlahan tenggelam berganti gugusan bintang dan malam ini purnama sempurna. Kenangan itu kembali menyeret Kiran ke lorong-lorong gelap kesendiriannya. Debur ombak masih terdengar, tampak olehnya beberapa orang yang berselancar mulai keluar dari laut. Kiran pun enggan menjadi santapan angin laut yang kadang tidak bersahabat. Dia merapikan cardigan warna pastel yang dikenakannya. Kakinya melangkah menuju The Pirates Bay.

                                    Sumber foto: di sini



Dia memilih rumah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia bisa menikmati suasana restoran unik itu dengan leluasa. Cahaya kuning mendominasi restoran, tidak hanya lampu tetapi juga obor dan api unggun. Kiran serasa mengalami time-travel ke Karibia di masa lampau. Dia bisa melihat pesisir pantai tempat bajak laut berpesta. Sebuah kapal berdiri di atas pasir lengkap dengan dekorasi ala bajak laut. Tenda dan api unggun tersebar di beberapa lokasi. Senyumnya yang sempurna perlahan beringsut ke sudut rumah pohon, ketika ingatannya tidak mau diajak kompromi untuk sejenak amnesia. Wajah cantik Ivana yang lemah muncul, hadirkan sayatan perih di dinding hatinya. Dia mendongak ke langit, dan purnama seolah juga mengejeknya dengan menyuguhkan senyum Chandra di kelembutan sinarnya.
.
                                               Sumber foto: di sini  


“Harusnya aku bersama Ivana menikmati semua ini. Juga Chandra di mana kamu? Chandra, di manapun kau sekarang, purnama ini serupa kelembutan hatimu yang selalu membuatku bahagia. Aku ingin bertemu kamu, dengarlah jika kau memang masih ada untukku.” Gumam hati Kiran. Ada tetes kristal luruh satu-satu melintasi pematang matanya. Chandra suka menyebut bahwa mata yang kini kerap menangis itu bagai telaga yang membawa damai untuk semesta.


                                    Sumber foto: di sini

Tersadar, Kiran menghapus air matanya ketika melihat seorang laki-laki menaiki rumah pohon. Awalnya dia tidak peduli, kembali memandang hamparan  restoran yang tidak ubahnya seperti perkampungan bajak laut itu. Mendadak, sudut pandangnya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Kiran menajamkan pandangan, sosok yang menaiki rumah pohon itu hanya memandangi anak tangga yang dinaikinya.
Slayer kotak-kotak serupa papan catur yang melingkar di leher laki-laki itu seolah menjerat leher Kiran dengan kuat, membuatnya sesak. Slayer itu tertiup angin, melambai padanya mengantar kabar yang dinantinya sejak ribuan hari lalu. Slayer serupa purnama yang tak pernah ingkar janji mengunjunginya.
Kiran menatap nanar laki-laki yang kini termangu tidak jauh dari tempatnya berdiri di rumah pohon. Dia masih tidak bisa bernapas dengan baik, bahkan dia merasakan oksigen ke otaknya nyaris terhenti. Dia tidak percaya bahwa laki-laki yang kini ada di depannya itu Chandra. Kiran merasakan getaran kalimat yang ditulis pujangga fatwa rindu yang pernah dibacanya. Ingin sekali mengatakan fatwa rindunya kepada Chandra, saat ini.
Masihkah kausimpan perpisahan sebagai kenangan perjumpaan? Hal yang tak terucapkan biarlah kekal sebagai kerinduan. Percakapan bisu, kerinduan yang ngilu. Apakah hanya aku yang menyerah pada rindu? Adakah kau rasa juga? Masa lalu berlalu. Mengapa kau masih di sini? Siapa kau bagiku kini? Lelah aku membaca naskah rindu tanpa kata. Memang ada pelangi setelah hujan, haruskah kau pergi hanya demi kurindukan?[1]ucap lirih Kirana berdiri tepat di samping laki-laki itu. Suara itu mampu membuat purnama mendadak gerhana, atau bahkan telaga berubah menjadi samudera?
Laki-laki itu menoleh perlahan, tak percaya dengan penglihatan dan pendengarannya sendiri. Suara itu sangat dikenalnya, bahkan tak pernah mampu dia halau sejak lama. Suara yang selalu membuat hatinya bendenting bahagia. Suara milik telaga. Telaga pilihan yang tidak sembarang manusia bisa menemukan keberadaannya. Ketenangan yang menyihirnya selalu menentang papanya.
Dua pandang bertemu, detak jantung yang tidak harmonis kini selaras. Angin seolah berhenti berhembus, membantu menerjemahkan rasa dua jiwa di atas rumah pohon itu, tidak ingin mengusik nada pilihan dari dawai cinta yang dipetik keduanya.
“Laras? Benar kamu Kirana Larashati?” laki-laki itu menjadi gagu. Tidak ada jawab, tapi bening mata itu telah menjawabnya.
“Aku mencarimu, setelah kembali ke Indonesia 2 tahun lalu. Aku pernah melihatmu bersama putrimu, tapi maaf aku terlalu pengecut untuk sekadar menyapamu Laras. Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya kepada papa.” Lanjutnya.
“Perlukah aku menjelaskan bagaimana tersiksanya aku menantimu? Aku percaya janjimu. Kau tetap menjadi purnama bagiku Chandra. Aku tidak memiliki saudara lagi di dunia ini. Aku hanya punya Ivana dan… kamu Chandra, kamu!” jatuh sudah pertahanan Kirana. Air mata itu berhamburan dan membentuk samudera. Samudera yang melambangkan ketabahan, kesabaran dan kesetiaan. Cepat laki-laki muda yang ternyata Chandra itu meraih tangan Kirana. Menggenggamnya!
“Aku bersamamu. Kamu tidak pernah sendiri, aku juga tahu putrimu. Mari kita temui papaku yang saat ini juga berada di sini. Aku mohon, kau  mau menikah denganku.” Chandra merundukkan dirinya, seperti bocah kecil yang memohon kepada ibunya untuk dibelikan kembang gula.
“Bangkitlah Chandra, kau harus tahu sebelum menikahiku. Ivana bukan putri kandungku, tapi dia lebih dari itu. Jiwanya jiwaku, kebahagiaannya bahagiaku.” Kiran menjelaskan dengan terbata ketika dia sudah duduk bersama Chandra. 
“Maksudmu?”
“Aku belum menikah Chandra, dia lahir dari perempuan yang tidak mau mengakui sebagai anaknya karena dia cacat. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan, ketika akan membawanya berobat. Aku kebetulan berada di lokasi kecelakaan, mendapat amanah dari ayahnya. Ivana memiliki harta yang luar biasa banyak tapi semua itu untuk pengbatannya seumur hidup.”
“Kenapa Ivana? Dia tumbuh baik, kulihat tidak ada cacat dalam tubuhnya. Maaf, karena diam-diam  melihatnya di sekolah. Dia juga sudah mengenalku, hanya mungkin tidak cerita padamu.”
“Dia memiliki kelainan darah yang harus ditransfusi secara berkala, pun juga harus menjalani banyak terapi karena kondisi jantungnya yang lemah.”
“Oh my God, bocah sekecil itu? Tapi aku melihatnya begitu tegar.”
“Begitulah Ivana. Dia permataku Chandra, jika kau mencintai aku dan tidak bisa menerima Ivana lupakan saja apa yang kamu sampaikan tadi. Bukan aku tidak mencintaimu, tapi berikan aku bahagia secara lengkap Chandra. Ivana dan kamu, adalah telaga dan purnama, bahkan Ivana sebenarnya telah menjadi samudera yang selalu mengajariku hakikat hidup ini.”
“Laras, sekarang ikut aku. Saatnya aku mengatakan semua kepada papa, tentang kamu dan Ivana. Aku harus melakukannya.” Ucap Chandra segera meraih tangan Kiran menuruni rumah pohon.
Langkah panjang Chandra sedikit membuat Kiran berlari kecil mengikutinya. Dia tidak mengerti apa yang akan terjadi. Dadanya berdebar, memilin tanya. “Apakah orang tuanya Chandra akan menerima aku dan Ivana?” khawatir itu menjelma sempurna, membuatnya melambatkan langkah. Chandra tersentak dan menoleh.
“Kenapa? Kau tidak yakin aku bisa membuatmu dan Ivana bahagia? Kita harus segera sampai di restoran Bumbu Nusantara. Papa sedang makan malam dan setelah ini aku harus presentasi beberapa hal ke staff papa.” Ucapnya kembali melangkah. Kiran diam, melangkah.
                                   Sumber foto: di sini

 Wajah Chandra membeku ketika melihat papanya menikmati makan, tanpa mengetahui kehadirannya. Beberapa staff terkejut melihat kedatangan Kiran. Kiran memucat, otak cerdasnya menumpul ketika Chandra membawanya ke meja Pradipta. 
"Kita akan menemui siapa Chandra?" tanya Kiran menahan langkah. Chandra hanya menoleh, menguatkan genggaman tangannya. "Orang yang tengah makan di meja itu adalah papaku. Papa memaksaku untuk dijodohkan dengan staffnya. Papa egois, tidak mengerti perasaanku. Papa bilang ini untuk kebahagiaanku, kebahagiaan macam apa? Makanya malam ini aku akan menerima risiko apa pun setelah aku menyampaikan bahwa aku memilihmu. Tidak akan pernah ada perjodohan itu!" getar suara Chandra bergolak bagai badai di dasar lautan. Suara itu dipenuhi pekatnya cinta untuk Kirana.
Perlahan Kiran melepas tangannya dari genggaman Chandra. Gadis tangguh yang sangat dikagumi  Pradipta itu tidak lagi merasakan badai. Dia hanya melihat telaga dan samudera yang tenang penuh energi cinta. Badai yang bisa menjadi pertanda tsunami itu telah reda, indah. Seindah rembulan purna, begitulah yang ia rasakan. Semua benderang. Senyum dan air mata yang dia suguhkan memang tidak mudah diterjemahkan, tapi itu bahasa bahagianya. 
Chandra terbengong ketika melihat Kiran menangis menuju meja papanya. Gadis itu tertunduk meraih tangan Pradipta yang terkejut dengan perlakuan Kirana. Pradipta yang sebenarnya telah dianggap sebagai orang tuanya.
"Ada apa Kiran? Kami menunggumu makan malam, saya juga menunggu tamu yang akan presentasi setelah ini. Dia sudah datang tapi saya hubungi belum bisa, mungkin istirahat. Saya ingin mengajaknya makan malam," senyum Pradipta. Mendadak Kirana menjatuhkan dirinya ke pangkuan Pradipta yang terkejut. 
"Maafkan Kiran Om, maafkan saya Pak. Sebenarnya...." Kirana belum menyelesaikan kalimatnya ketika Chandra bicara dengan nada terkejut.
"Jadi...yang papa jodohkan denganku adalah Laras? Maksudku Kirana Larashati? Jadi dia staff papa, sejak kapan?" suara Chandra memecah adegan tidak biasa antara Kirana dan Pradipta. 
Semua berpaling ke arahnya. Pradipta tersenyum lebar tanpa kata. Dia cukup cerdas untuk mengerti semuanya dan juga merasa bersalah kepada Kiran dan putranya, Chandra Hendrawan Pradipta. Ada yang menggenang di sudut matanya, telaga cinta yang dijawab Tuhan dengan sempurna. Bahagia yang dia pikir akan segera sirna, ternyata memainkan melodinya yang lain. 
Chandra tak kuasa menahan diri dengan mematung memandang laki-laki yang sebenarnya dia kagumi itu. Dia segera berhambur, menyatakan cinta dengan pelukan.
"Kau laki-laki hebat, makanya kau bertemu perempuan hebat!" Pradipta memandang putra semata wayangnya dengan pandangan yang selama ini selalu dimaknai salah oleh Chandra.
"Karena papa laki-laki hebat juga. Aku sudah mengenalnya tujuh tahun yang lalu Pa, 2.555 hari. Jadi papa, mau menerima Laras dan Ivana?" Chandra menggoda. Bapak anak itu saling pandang, kemudian tertawa berpelukan dengan air mata bahagia yang  menjadi saksinya. 
Kirana segera keluar dari restoran mewah itu menuju pantai. Dia tidak perlu mendengar jawaban Pradipta. Dia memandang purnama berkaca di bentangan samudera. Purnama itu kini tak hanya berkaca di atas telaga, tapi telah memantulkan cahaya kelembutannya di atas samudera. 
"Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang berjalan menuju-Nya[2]. Jangan khawatir lagi, Ivana juga cintaku, cinta papa, cinta kita. Akan kulakukan apapun untuk bahagiamu dan Ivana." Suara Chandra meraih tangan Kiran yang tersenyum menoleh padanya. 
Pandang mata mereka kembali bertemu, pandangan yang tidak pernah berubah sejak tujuh tahun yang lalu. Pandangan yang sempat dikaburkan oleh prasangka. 
*~*


[1] Fatwa Rindu Candra Malik.
[2] Jurnal Al Manar
 




“Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & amp; Get discovered! 

0 Comments