Pandemi sudah kita jalani lebih dari satu tahun. Setahun lalu (Juli 2020) aku berada pada kondisi sedang tidak baik-baik saja. Terlebih secara mental setelah hampir 6 bulan tidak keluar dari kota Surabaya. Dunia gerakku  hanya sekitaran kantor, rumah pimpinan dan pasar dekat rumah. Kondisi fisikku mulai melemah. Psikosomatis terjadi begitu hebat, bahkan hingga jatuh pada insecure. Aku sendirian berusaha melewati semua dengan kondisi (sudah pasti) tidak baik-baik saja. 

Ruang Tunggu Poli di RSUD Kota Madiun. 

Saat itu, aku benar-benar menyadari betapa iman dan islam adalah nikmat tiada tara yang diberikan Allah SWT kepadaku. Jika tidak ada iman di dada, mungkin rasa putus asa akan perlahan membuatku tidak waras. Terlebih semua kondisi material perlahan juga mengikuti kondisi mentalku yang sedang tidak baik-baik saja saat itu. Kondisi pekerjaan dan dunia kerjaku mendadak bisa dikatakan 'stagnant' karena semua yang diteriakkan negara ini hanya difokuskan ke penanganan pandemi. Tentu tidak hanya aku, tapi semua yang bergerak di dunia kerja yang sama denganku (bahkan sektor lain) pada bulan Juli 2020 itu sudah merasakan betapa semua menjadi mengerikan. Semua sadar bahwa kondisi kami semua sedang tidak baik-baik saja. Kalaupun ada yang masih bisa bertahan, semuapun sudah menyadari bahwa perlahan mereka akan mengalami apa yang kami awali lebih awal. Semua seolah menunggu waktu kapan akan mengalami semua kekacauan itu. 

Kualitas keimanan kita kepadaNyalah yang akan banyak menyelamatkan jiwa kita agar tetap waras. Kesadaran dan penerimaan atas segala apa yang terjadi, akan sangat membedakan kondisi orang per orang. Orang-orang yang selama ini banyak ditempah dengan berbagai hal yang tidak mudah sedikit akan lebih mudah bertahan dibandingkan mereka yang selama ini berada dalam zona nyaman. 

Situasi ini, tidak menjamin bahwa mereka yang bergelimang materi akan selamat secara mental, pun sebaliknya. Tentu hal yang lebih mengerikan terjadi pada mereka yang selama ini lemah dalam banyak sisi baik mental dan material. Sekali lagi, tingkat keimanan dan kesadaran akan sisi kemanusiaan dan kehambaan akan lebih banyak menolong orang-orang untuk terus memiliki harapan. Tidak putus asa, pun tidak jumawa karena merasa mampu menjalani semua yang serba tidak mudah. 

Setahun lalu titik lemah itu menyapaku. Diri yang lemah tiada daya ini, tetap bersyukur masih diberiNya keselamatan secara mental dan material. Banyak hal harus segera kubenahi yang dalam prosesnya membuatku selalu menangis penuh syukur bahwa sebelum ini Allah membimbingku untuk menata diri sebaik-baiknya jika terjadi sesuatu yang serba mendadak. 

Tanggung jawab manajerial  di kantor, tidak membuatku kacau karena tata kelola yang kulakukan sebelumnya. Walalupun kantor kami hanya sebuah kantor kecil dalam pandangan banyak orang, aku sebagai pemegang amanah (pengelola manajemen keuangan) tetap mengedepankan proses menajerial secara baik dalam pandangan/pemahamanku berdasar ilmu yang aku miliki. Aku terus meningkatkan rasa syukurku dengan semakin hati-hati (cermat) dalam mengelola semuanya, ketika beberapa orang bahkan kantor yang bergerak dalam bidang yang sama dengan dunia kerjaku mulai gulung tikar satu persatu. Merumahkan karyawan memang sempat menjadi salah satu keputusan yang kuambil saat pandemi ini. Keputusan yang tidak mudah, namun harus segera diambil tindakan karena menyangkut amanah dan kejujuran/tanggung jawab. Ibaratnya daun-daun yang bukan daun utama dalam sebuah pohonpun harus disiangi agar pohon tetap tumbuh baik, bisa berbuah dengan baik. 

Setahun lebih sudah peristiwa itu berlalu. Apakah ada perubahan baik karena pandemi ini? Aku tidak perlu menjelaskan apa dan bagaimana kondisi negeri tercinta Indonesia ini dalam penanganan covid19. Aku tidak punya kapasitas untuk bicara tentang hal luar biasa itu. Aku hanya bagian sangat kecil dari rakyat Indonesia yang terus berusaha mencintai Indonesia. Aku, bagian kecil dari Indonesia yang sampai saat ini berusaha untuk bertahan menghadapi segala yang terjadi di depan mataku. 

Peristiwa cukup menguras pikiranku adalah setelah tepat setahun kita semua menjalani kehidupan baru karena pandemi. Aku dan pimpinan kembali harus terdiam mengambil keputusan tidak mudah. Apakah itu? Pengurangan besaran gaji karyawan. Ya, satu keputusan sulit itu harus dilakukan. Protes terjadi, sampai kapan gaji kami segini?  Melihat perkembangan yang terjadi karena keputusan itu, membuat kami diam. Memang sih, perusahaan/kantor itu banyak yang mengatakan tidak layak meminta pemakluman dari karyawannya. Sebuah perusahaan katanya tidak boleh minta pengertian dari karyawan. Jadi hanya karyawan yang boleh minta pengertian ke pihak perusahaan? Begitukah? Kondisi itulah yang membuatku diam. 

Dan sikap diam kita itu (kadang-kadang) ternyata lebih mengerikan bagi orang lain. Saat itu aku tidak ambil pusing jika sampai mereka resign. Malah semakin 'enak' tidak ada kewajiban yang harus diselesaikan. Bisa ambil karyawan baru, toh dalam situasi pandemi banyak orang berkualitas yang membutuhkan pekerjaan. Ternyata gelombang protes itu mendadak terhenti, ketika kami tengah menyiapkan SDM baru jika mereka pada akhirnya resign. Ya, karena kami memang tidak bisa  menjawab, sampai kapan kami bisa menggaji mereka "segini" untuk menjawab pertanyaan mereka. Terlebih aku yang memegang kendali manajemen keuangan. "Segini" pun, aku tetap berharap kami akan terus bisa bertahan. Ketakutannya adalah 'segini' tadi berakhir serupa perusahaan lain yang 3 bulan pandemi sudah merumahkan karyawannya semua. Sementara kami diberiNya kesempatan bisa melewati atau sekadar bertahan untuk tetap menerima gaji penuh hingga setahun pandemi. Pengurangan pun bukan 50% seperti perusahaan lain. 

Aku banyak belajar dari peristiwa manajemen keuangan yang aku pegang saat ini. Aku juga sangat bersyukur diberina nikmat iman dan Islam. Sungguh ilmu manajerial yang aku miliki akan menjadi "muspro" jika tidak dibarengi dengan kesadaran diri sebagai manusia dan hambaNya. Mungkin karena inilah aku masih diberiNya kekuatan bisa mengelola tanpa terjatuh walaupun tertatih. Kesadaran akan beriringan dengan penerimaan atas segala kejadian dan kehendakNya. 

Kita sedang tidak baik-baik saja.

Enam bulan pandemi aku sama sekali tidak meninggalkan kota Surabaya. Siapapun tahu bagaimana kondisi kota Surabaya saat itu. Tentu saat itu aku berharap bahwa semua akan segera berlalu. Ternyata tidak sesederhana apa yang aku kira. Aku masih merasa bahwa virus itu jauh dariku, jauh dari keluarga, sahabat, teman dan semua orang baik yang kukenal. Mereka semua akan baik-baik saja. Itulah pikiran indahku. Perlahan, aku semakin yakin dengan pikiranku karena perkembangan baik yang kudengar. Lalu mendadak sebuah jentikan menerpa. Orang baik di sekitar kami menjadi salah satu korban keganasan virus ini pada Desember 2020. Kesedihan dan ketidakpercayaan berkelindan di benakku. Aku harus segera sadar bahwa semua belum baik-baik saja, bahkan mengarah pada sebaliknya. hari demi hari aku semakin sering mendengar kabar kepulangan abadi dari kelurga orang-orang yang kukenal. 

Lalu, aku perlahan mendengar orang-orang yang tidak jauh dariku menerima takdir mereka dengan terkena virus ini. Ada yang sembuh juga ada yang tidak bisa bertahan di dunia ini. KehendakNya memang tidak pernah kita tahu apa dan bagaimana. Kabar kematian bertubi menerpa gendang telingaku. Pesohor negeri ini, satu persatu kubaca informasi kepergian mereka tersebab covid19. Orang-orang baik pun meninggalkan kita karena pandemi ini. Hal menyedihkan lain adalah ketika para ulama negeri ini, dipanggilNya juga karena virus ini. Satu hari aku pernah sangat bersedih karena kepulangan seorang ulama, ternyata kesedihan itu semakin luar biasa ketika Allah menghendaki beliau-beliau menghadapNya. Orang terdekat, tetangga, sahabat baik yang sangat kita kenal pun terinveksi virus ini dan harus kembali kepadaNya. Tidak kurang kesedihan lagi adalah tenaga medis yang gugur dalam menjalankan tugasnya untuk ummat. Mereka adalah garda terdepan menghadapi pandemi ini. 

Semakin mendekat, kabar duka itu dari orang-orang terdekat. Semakin dekat dan mendekat. Aku tahu bahwa kita ini memang sejatinya hanya menunggu antrian saja untuk menghadapNya. Tapi tetap saja kabar duka atas kepergian orang-orang di sekitar menyisakan lara. Semakin dekat, bahwa ternyata ada keluarga kita yang terinveksi. Ada desiran yang tidak bisa kuterjemahkan dengan kata ketika mendengar pengeras suara masjid "Assalamu'alaykum....Innalillahi..." Aku menunduk dalam atas siapapun yang meninggal. Kamatian itu semakin dekat dan mendekat. 

Kabar dari jauhpun tidak kalah menguras emosi, meruntuhkan pertahanan untuk tetap tegar. Kerabat, keluarga dan sahabat yang berada jauh dari kita pun mengalami hal tidak jauh berbeda. Bahwa semua sedang tidak baik-baik saja. Jarak adalah luka tersendiri, ketika seharusnya pelukan menjadi energy yang begitu berarti. Ucapan menjadi mantra selayaknya doa-doa yang dilangitkan dalam sujud malam berbalut air mata untuk bisa memeluk yang tercinta. Kepasrahan kepada Yang Maha adalah senjata pamungkasnya. 

Kita sedang tidak baik-baik saja.

Suatu hari aku mengitari kota Madiuan setelah ledakan kasus karena varian Delta yang membuat semakin babak belur segala apa yang telah terluka. Keputusanku untuk tidak banyak membaca informasi tentang covid di media sosial memang ada banyak sisi positifnya bagi kesehatan mentalku. Akupun mengurangi intensitas bermain dengan media sosial. Sekadar membaca apa yang aku perlukan saja. Tapi kadang telinga tidak bisa kucegah untuk tidak mendengar berita di televisi atau sekadar informasi pendek yang tidak sengaja terbaca saat membuka handphone. Setelah varian delta merebak, kabar kematian itu semakin dekat dan sering kudengar. 

Senja itu aku meminta suami untuk mengajakku keluar rumah, sholat di masjid Agung dan dilanjutkan makan malam di luar. Aku berpikir PPKM pada bulan Juli itu seperti halnya sebelumnya saja. Ternyata yang terjadi benar-benar seperti potongan-potongan informasi yang aku baca dan dengar.  Seperti yang kulami awal-awal pandemi di Surabaya. Aku terhenyak ketika melihat Masjid Agung Madiun itu benar-benar ditutup. Kami tidak bisa sholat maghrib di sana. Kami berdua menuju masjid lain, tapi ya Allah...ternyata tidak jauh berbeda. Semua tutup, gelap. Kalaupun aku mendengar suara adzan dikumandangkan, ternyata itu adalah masjid di kampung yang jalan akses masukknya juga diportal/tutup. Masjid itu hanya untuk warganya saja. Aku melihat satu masjid besar dan lagi-lagi tertutup rapat. Aku lihat seorang bapak tua termangu duduk di serambinya. Mungkin beliau adalah imam masjid yang tengah berduka karena tidak ada makmum yang datang. Dadaku sesak oleh kesedihan, betapa lukanya ketika tidak kudapati masjid untuk bersujud. Akhirnya senja kian menua, kami memutuskan pulang untuk sholat di rumah. Aku terdiam selama di perjalanan. Ada luka tidak berdarah, tapi begitu menekan dadaku sepenuh resah. 

Lalu pagi itu, aku melintasi sebuah Rumah Sakit terbesar di Madiun. Lintasan potongan berita dan informasi yang kuketahui sudah membuatku resah sebelum aku sampai di depan rumah sakit. Pemandangan serupa berita benar-benar disuguhkan di depan mata kepalaku. Ada banyak orang dengan tas tidak biasa duduk-duduk di luar pagar rumah sakit. Aku kuatkan melihat wajah mereka. Tidak satupun yang memancarkan bahagia. Hanya lelah, lusuh. Aku tahu mereka adalah yang keluarganya tengah dirawat di RS atau justru seperti yang kudengar? Bahwa keluarga mereka masih antri mendapatkan penanganan segera? 

Aku melintas tepat di depan IGD. Rasanya aku ingin segera meninggalkan lokasi itu. Kabar yang kubaca dan kedengar benar-benar disuguhkan secara nyata. Tenda-tenda darurat berdiri di sekitar IGD dan ketika kulihat lokasi depan IGD di sana banyak pasien dengan infus serta alat bantu pernafasan duduk di kursi roda. Allah....Yang Maha Kasih, aku tidak kuat melihat pemandangan itu. Sungguh bahkan untuk sebuah ikhtiyar berusaha sehat harus antri seperti itu. Antrian yang mungkin justru membuat jalan kematian  semakin cepat dengan iringan luka teramat luka dari kerabat. Ya, aku tahu kita sedang tidak baik-baik saja. 

Juli...terimakasih untuk segala pelajaranmu di bulan ini. Betapa ketakutan pun melandaku ketika orang tercinta mengalami kondisi kesehatan yang memburuk di awal perjalanmu. Tidak satupun manusia begitu saja rela virus ini merenggut orang-orang tercintanya. Orang-orang baik yang masih keluarga juga terenggut karena virus ini. Tidak sedikit yang luka karena harus menjalani isolasi baik mandiri atau di RS. Semua seolah mendekat dan semakin dekat. 

Juli...kau berakhir hari ini, dan aku berharap lukamu pun ikut berakhir. Biarkan Agustus kusongsong dengan senyum penuh harap bahwa semua akan segera membaik. 

Allah Maha Cintaku

Aku

MenujuMu saja. 


Akhir Juni aku melakukan perjalanan dengan Bus menuju Surabaya, dan begitulah kondisi yang ada. 




0 Comments