Kali ini aku hanya ingin menuliskan tentang hal-hal kecil yang membuatku terperangah ketika statusku sudah menjadi seorang istri. Perubahan statusku yang sangat mendadak, tentu ada hal-hal harus disesuaikan secara  cepat dan tepat. Ada kejadian yang membuatku benar-benar kaget luar biasa,  terheran-heran, pun ada yang membuatku tertawa ala Surabaya. Kejadian lain membuatku tersenyum simpul, mengernyitkan dahi atau berargumen hebat di depan suami. Pun ada kejadian yang kadang tidak logis menurut logikaku sendiri, atau justru aku terdiam menahan air mataku untuk sebuah kenyataan yang tak sesuai harapan. 

Jika pembaca tulisan ini telah membaca tulisan-tulisanku sebelumnya tentang proses pernikahanku yang dibuat Allah SWT sangat cepat, tentu akan mudah memahami sekaligus menerima pola pikirku (yang kadang) masih tidak singkron atau bahkan dianggap tidak logis oleh orang lain sedangkan bagiku semua itu sangat logis. 

Di sinilah, aku menyadari betapa bekal yang kusiapkan selama ini untuk menjadi seorang muslimah, istri bahkan ibu yang baik dan benar sedang dipertaruhkan. Benarkah bekalku cukup dan bermanfaat? Sudah cukupkah yang  kusiapkan sebelum ini? Bekal ilmu berkehidupan dalam sebuah rumah tangga, bekal sebagai menantu bahkan sebagai saudara ipar. Bekal menjalani kehidupan bertetangga dan muamalah lainnya. Apakah benar bekal yang kubawa? Atau memang aku sudah memiliki semua bekal itu? Sedang sebelum ini aku menjalani kehidupanku secara mandiri. Dimana semua keputusan 'kehidupanku' kuambil dan kupertanggungjawabkan sendiri. 

Maka, ketika melihat banyak kejadian yang "unik" dalam pandangan logisku aku selalu tersenyum dan menyadari bahwa inilah dunia pernikahan, berkeluarga. Tidak jarang aku berkata kepada diriku sendiri, "Welcome to the jungle of marriage, Jazilah!!!" Sebuah "belantara" baru bagimu yang harus kau terima dan hadapi segala yang disuguhkan dengan cara-cara yang selama ini belum kau temui secara langsung. Ya, 'hutan belantara' yang memang mungkin pernah kau dengar dari beberapa kisah orang-orang di sekitarmu! Belantara yang tidak kau tau apa yang akan disuguhnya secara mendadak di depanmu. Belantara yang menuntutmu selalu menyadari sisi kemanusian dan kehambaanmu. Belantara yang lebih sering membuatmu berada di masa kini, bukan masa lalu atau masa depan bahkan sama sekali bukan dalam impianmu. 

Awal menikah, aku masih tinggal di Surabaya. Suami berkunjung setiap akhir pekan. Aku mulai mengetahui bagaimana keseharian beliau dalam beberapa hal. Jelas, aku mulai belajar hal-hal yang harus aku sesuaikan dengan beliau. Bertanya tentang hal-hal sederhana dalam kesehariannya, termasuk akupun menjelaskan bagaimana keseharianku. Apa-apa yang selama ini kulakukan sendiri, aku harus "menengok" terlebih dahulu ke suami untuk melakukannya. Hal kecil seperti masak apa hari ini? 

Sebelumnya, tentu aku suka-suka saja mau masak apa hari ini. Sesuai seleraku, bahkan bisa saja aku tidak masak (menyediakan makanan) tanpa perlu bertanya ke orang lain. Namun, setelah menikah pada minggu-minggu awal aku selalu mengatakan pada diriku sendiri "kamu sudah tidak sendiri lagi, Jazilah!" Sejak itu aku bertanya pada beliau tentang masak apa hari ini? Ada kemudahan tersendiri bagiku ketika ternyata orang baru dalam hidupku ini bukan tipikal yang mengatur ini itu untuk urusan makanan. 
Aku lebih sering mendengar, "Kamu punya bahan makanan apa? Masak yang ada saja." Atau kalimat yang membuatku tersanjung. "Apapun yang kamu masak, aku akan menikmatinya." Sungguh kondisi ini adalah anugrah bagiku. 

Tentang hal seperti ini, aku sering mendengar bahkan dari curhat teman-teman tentang pasangannya yang sangat 'pemilih' atau 'cerewet' urusan makanan. Terlebih, ada seorang suami yang membandingkan kemahiran ibunya dalam memasak dengan istri yang baru dinikahinya. Tentu, kita akan tau bagaimana perasaan sang istri, kan? 
Alhamdulillah Allah menghadirkan beliau yang sangat mudah menerima makanan. (Kondisi ini membuatku agak "khawatir tentang kesehatannya walaupun beliau juga bisa mengikuti pola makanku dengan mudah, namun aku harus ekstra hati-hati agar pola yang kuterapkan tidak membuatnya kurang nyaman.) Padahal aku yang selama ini dikenal justru cukup cerewet dan pemilih makanan. Perlahan aku mengenalnya, perlahan pula aku bisa mengikuti polanya yang 'menikmati yang ada', tentu dengan pola yang sangat dekat bahkan sama dengan pola makanku selama ini. Pada akhirnya kondisi ini membuatku semakin mudah menyesuaikan diri dengannya setelah kami tinggal di Madiun. 

Namun, hal-hal 'indah' yang kudapati ketika awal-awal menikah dan masih tinggal di Surabaya, seolah berubah ketika aku diboyong ke istana mungilnya yang penuh cahaya. Jika sebelumnya aku hanya bersamanya di akhir pekan dalam satu atau dua hari, kali ini hampir sepanjang waktu aku bersamanya. Artinya apa? 
Artinya, aku benar-benar baru mengetahui kondisi sesungguhnya tentangnya. The real of my husband, Herry Siswono!! Kondisi yang membuatku sering tersenyum mengatakan pada diri sendiri, "welcome to the jungle of marriage, Jazim!" 

Melihat sosok beliau, aku jadi ingat tentang  pengetahuan mengenai struktur otak laki-laki dan perempuan. Bersyukur karena memiliki pengetahuan kecil-kecil sejenis itu dari membaca atau dari semacam pelatihan/belajar jauh sebelum ini. Tentu aku dengan mudah menerima apa yang terjadi walaupun di awali dengan terheran-heran sejenak ketika mendapati kenyataan yang ada! Hahaha

Mungkin, bagi beberapa orang dalam pernikahannya tidak ada hal-hal yang mengejutkan karena sudah saling mengenal pasangannya. Sehingga tulisan ini mungkin terkesan lebay....ah biasa saja, Jazim! Gitu saja kok ditulis sih.... Hehehe iya, mungkin tulisan ini akan sangat lebay bagi banyak orang, ya maaf benar-benar mohon maaf ya... 

Aku menulis ini karena memang cukup tercengang saja dengan dunia pernikahan. Terlebih aku menikah dengan sosok yang "tidak atau belum kukenal" dengan baik. Kami dipertemukan kembali olehNya setelah puluhan tahun, mendadak beliau memintaku menjadi istrinya. Tiga hari kemudian aku menerima dan menyutujui permintaannya 5 hari kemudian sah menjadi istrinya. Perjalanan singkat yang dianugrahkanNya inilah yang membuatku ingin menuliskannya. Ini juga tidak hanya tentang keseharian yang akan kutulis di bawah ini berdasarkan foto yang ada, tetapi juga tentang hal-hal spritual kami. Aku mulai saja ya...simpan cadangan tawanya dulu ya...

Nah, apa yang ada di pikiran teman-teman melihat foto ini? Ya, itu adalah mesin cuci berisi peralatan memasak!  Ini terjadi setelah sebulan kami tinggal bersama, saat keluarga besar di Surabaya (lebih kurang 35 orang) ingin mengunjungi istana kecil kami.  Ketika aku bertanya makanan apa yang diinginkan mereka untuk kuhidangkan? "Kami kangen masakanmu, Mbak. Masak seperti waktu di surabaya setiap hari jumat itu saja. Pokoknya kami bisa silaturrahim ke rumahmu itu sudah cukup bahagia."

Bagaimana pun aku yang baru tinggal di Madiun tetap berusaha menyiapkan segala sesuatu sebaik yang aku/kami bisa. Menggunakan peralatan memasak seadanya, Alhamdulillah bisa menyuguhkan hidangan yang disukai tamuku. Masakan sederhana tentu kumasak dengan sepenuh cinta hehehe. 

Lalu kenapa dengan foto itu? Foto itu adalah kerjaan suami ketika beliau sendiri yang minta mberesi dapur. Katanya supaya tamu yang ke kamar mandi tidak melihat dapur mungil kami penuh peralatan memasak. Setelah tamu pulang, aku baru menyadari kalau semua barang/peralatan memasakku tidak berada di tempatnya. Dapur mungil kami begitu bersih dari barang-barang. Aku melihat satu lemari/etalase untuk menyimpan makanan dan piring/gelas ternyata tidak ada di sana. Langsung aku tanya kepada suami kemana semua barang dan peralatan memasakku? Santai beliau menjawab bahwa semuanya ada di dalam mesin cuci, ya di dalam MESIN CUCI!!!
Allah Kariim....antara kaget dan tidak percaya dengan pendengaranku, aku mengulang pertanyaanku. Jawaban beliau tetap sama. Aku tersenyum sambil bersitighfar segera menuju mesin cuci di dekat pintu samping rumah bagian belakang (ujung dapur mungil kami). 
Allah...aku tertegun, tersenyum mendapati kenyataan yang ada. Foto itu adalah bukti nyatanya. Beliau menyusul ke dapur tanpa rasa bersalah melihatku yang menyuguhkan wajah heranku. "Lha daripada kelihatan numpuk kan lebih baik dimasukkan ke masin cuci, ditutup jadi lebih tampak rapi." ucapnya dengan santai mengeluarkan peralatan mengembalikan ke tempat semula. Aku tersenyum saja, mencoba memahami cara pikirnya. Memaklumi jalan rasa yang ia pilih. Aku memahami lagi satu sisi diri laki-laki yang telah menjadi suamiku itu.  
Sedangkan foto ini, adalah kejadian pada minggu awal aku tinggal bersama suami. Sejak berada di Madiun, beliau wanti-wanti untuk urusan mencuci pakaian biar beliau yang mengerjakan. Tentu aku senang saja kan? Nah, aku tetap berusaha pembantunya ketika akan menjemur cucian. Hari itu, betapa kagetnya, ketika mendapati semua pakaian berwarna putih berubah warna menjadi pink. Allah Kariim...
"Mas, ini kenapa jadi begini? apa yang bikin begini?"
"Gak tau, Dek, kelunturan apa ya?" Jawabnya santai saja. Aku segera ngecek semuanya, ya Allah ada mukena, handuk dan tentu kaos beliau yang sukses berubah warna. Aku mencari pakaian mana yang menjadi biang keroknya. 
Karena tidak menemukan aku ingat jaket reuni SMA yang baru kuterima dan berwarna merah. "Mas nyuci jaket merah?" Tanyaku. 
"Ada jaket merah juga ada daster batik merah di bagian bawah. Apa itu ya yang luntur?" Senyumnya tanpa rasa bersalah. 
"Ya Allah kok nggak nanya dulu to, Mas? Jaket itu masih baru ya luntur...kalau dasternya jika direndam ya mungkin luntur juga."
"Ya aku campur saja semua."
"Astaghfirullah... Lihatlah ini kaos putihmu jadi pink, mukena juga. Aneh jadinya. Kayak aku sebagai istri ndak perhatian saja sama suami. Ngawur nyucinya." Aku uring-uringan serius. 
"Hahaha tapi bagus kok, lihat tuh mukenanya gak ada yang jual warna kayak gitu lho. Kelunturannya menyeluruh jadi kayak dicelup warna pink. Bagus kok. Kalau kaos putihku ya gapapa, kalau ditanya orang beli dimana, hadiah dari istri tercinta!" senyum lebarnya menanggapi keseriusanku. 
Mau marah? Tentu gak bisa saudara! Ya kaos itu memang aku yang membelikan ketika beliau tiap pekan ke Surabaya. 
"Wes pokoknya besok nanya dulu kalau ada pakaian berwarnaku atau batik sebelum dicuci ya, luntur apa tidak. Batik tulis lebih baik aku cuci manual saja, jangan dicuci pakai mesin cuci!" Pesanku melanjutkan menjemur pakaian. 
Nah, jika karena persoalan itu aku marah padanya, tentu bukan menyelesaikan apa-apa kan? Pakaian putih telah berganti warna. Memang menjadi kurang elok tapi sekali lagi aku harus belajar menerima kenyataan lain lagi tentang dirinya yang sekali lagi "kewolesannya" kali ini juga tidak terlalu prinsip. Semua sudah terjadi kan? Mungkin aku juga ikut andil dalam proses perubahan warna itu, karena tidak memberitahu beliau sebelumnya. 


Beda cerita lagi dengan foto kipas angin ini. Adakah yang berbeda dari foto ini? Sekilas tidak ada hal yang terlalu penting, dan memang begitulah akhirnya aku menerimanya. Toh kipas angin ini berfungsi dengan baik sebagaimana fungsi utamanya. Mengenai tampilannya? Nah itu yang perlu sekali lagi melihat foto ini dengan lebih teliti. 
Ceritanya, kali pertama aku pindahan dengan seabrek barang yang aku bawa dari Gresik dan Surabaya (ada 3 koper untuk pakaian, banyak dus besar untuk buku dan peralatan rumah tangga, Meja komputer lengkap dengan PC fullset, bed dan lain-lain) yang menyertaiku ke Madiun, rumah suami. 
Karena membongkar barang cukup banyak, aku meminta suami untuk segera merakit kipas angin besar yang aku bawa dari Surabaya. Aku sibuk membongkar pakaian ketika beliau sibuk merakit kipas angin. Hingga beliau memberitahu kalau sudah selesai merakit kipas anginnya. Aku melihatnya untuk kuletakkan di ruang tengah agar waktu bongkar-bongkar tidak gerah. Aku mendadak sedikit teriak. "What??? why alike this, Mas?" 
"Lha kenapa? Kan sudah bisa dipakai ini." senyumnya. Aku tertegun dan menarik sabit purnama di bibirku menyaksikan santainya beliau melihat hasil kerjanya. 
"Ya Allah, Mas, ini kan harusnya pengunciannnya ada di bawah sehingga tidak kelihatan seperti ini, terus tulisannya ini juga harusnya kan lurus, Mas. Lihat ini kan nggak tepat?" cerewetku sambil menunjuk beberapa titik yang tidak berada di tempat seharusnya. 
Beliau tertawa lebar, dan tetap dengan pendiriannya bahwa yang penting kipas angin itu sudah berfungsi sebagaimana seharusnya. 
Allah...jelas aku awalnya tidak bisa tertawa lebar, tapi demi melihat wajahnya yang seolah tanpa dosa, aku tersenyum juga membiarkan kipas itu sebagaimana adanya hasil rakitan suamiku. Aku berusaha melakukan inprofisasi dengan hasil yang dia berikan. Aku melihat bunga hiasan hantaran atau bunga di box hadiah pernikahan kami. Jelas jika melihat diriku yang dulu, aku tidak akan bisa melihat kipas angin terpasang seperti itu. Jika itu dilakukan oleh orang lain bisa saja aku akan memarahinya. Namun, aku telah berada dalam sebuah lembaga pernikahan, tengah belajar meletakkan suatu kejadian pada titik maklum untuk hal-hal yang tidak fatal.  
"Ah, toh nanti jika aku ada waktu bisa kubenahi sendiri, dan benar kata suami bahwa yang penting adalah fungsi dari kipas angin ini sudah berjalan dengan baik." Gumanku sendiri, belajar 'menghaluskan' rasa. 
"Ya sudah untuk nutup bautnya itu aku pasangin pita berbunga ini lho ya? Ndak boleh protes. Nanti kalau ada yang nanya aku bilang itu kerjaan suami daripada lihat pita keleleran." ucapku tersenyum lebar. Suami tertawa karena bukan sisi kesalahan pemasangan yang kusampaikan tapi justru pada sisi pita bunga yang aku ikat di atasnya. 




"Astaghfirullah, maaf, Mas ini tadi aku belum masak sayur. Ikan dan sambelnya sudah, tadi rencananya supaya sayurnya hangat aku masak menjelang mas pulang. Ternyata aku fukos ada kerjaan sampai njenengan pulang ini. "
"Sudah gakpapa lanjutin pekerjaannya saja, biar aku yang masak sayurnya saja." Usulnya. Aku masih ragu walaupun aku tau beliau bisa memasak untuk masakan sederhana seperti menumis sayuran. 
Beliau memaksa, aku menyerah. Aku persilakan mengambil aneka sayuran di kulkas dan ditumis. 
"Pokoknya jadi ya, jangan diprotes kalau gak enak."
Aku hanya tersenyum saja, toh dimanapun tumis sayuran itu rasanya tidak jauh berbeda walaupun dimasak oleh orang yang berbeda. 
Beliau berkutat di dapur setelah tanya ini itu kelengkapan untuk numis sayuran. Mendadak aku penasaran kira-kira aneka sayuran apa yang ditumis beliau? Aku mendengar beliau menggeprek bawang, mencuci sayuran dan mulai menumis bawang. 

Aku tinggalkan meja kerjaku dan menuju dapur. Maktratap begitu melihat pemandangan isi wajan di atas kompor. "Allah....Mas....kok motonginnya begini, semua tangkainya dimasukkan ini masih muda ta? Kok diikutkan semua?" cercaku demi melihat tangkai bayam yang panjang berserakan. Oh, betapa cara beliau memotong sayuran ini sungguh membuatku terkejut sekaligus tertawa. "Lha ini kalau dimakan nanti apa ndak kelolotan?!" usikku lagi. Aku tidak mendengar ucapannya hanya senyumnya yang sangat lebar dipamerkan padaku. Aku tidak bisa memarahinya, toh ternyata ini kemampuannya dalam memasak sayuran yang kebetulan adalah bayam. Aku harus bisa ingat bahwa setiap manusia memiliki potensi masing-masing. Duh....itu teori di HRD, Jazim!!!!

Aku bantu membalik sayuran di wajan, dan betapa kagetnya aku (lagi) ketika mendapati aneka sayuran lain yang dipotong dan diirisnya dengan ukuran yang semena-mena (wes bayangin sendiri hehehe). Aku benar-benar tidak bisa marah malah tertawa ngakak ala Surabaya. Melihat "mutiara hijau" juga dimasukkan di wajan bersama buncis dan labu siam. Wortel yang aku sarankan malah tidak tampak batang rupanya. Sekali lagi aku tertawa karena aku seperti kehilangan kata untuk bicara melihat perpaduan sayuran dalam wajan itu. Potongan bawang merah, geprekan bawang putih dan jahe juga potongan cabe yang aduhai mantapnya. Hahaha... Pokoknya jika ada yang melihat langsung pasti akan berkelakuan sama sepertiku. 

Aku biarkan beliau menyelesaikan masakannya, aku harus menghormati perjuangannya untuk membantuku. Aku lihat beliau memasukkan garam dan lainnya, hingga tumis sayuran itu matang dan dihidangkan di meja makan. Kami makan sambil terus tersenyum menyaksikan tumis sayuran ala suamiku ini. "Yang penting kan enak, Dek?" Allah Kariim....aku belajar lagi tentang "kewolesan" darinya, belajar mengendalikan ego dan pikiran logisku yang tidak segera menerima. 

Nah, adakah keganjilan itu hanya terjadi pada suami saja? Apakah aku tidak pernah melakukan hal-hal yang "nyeleneh" dalam pandangan suami? Tentu ada! Aku juga pernah memasukkan gula halus ke adonan telur dadar. Celakanya, baru aku ketahui setelah terhidang di meja makan dan kami siap makan. Aku mulai mengambil telur dadar itu sehingga tahu bagaimana rasanya. Bayangan telur dadar yang enak itu lenyap seketika. Tanganku mencegah suami mengambil telur dadar dimasukkan piringnya. 
"Kenapa?" herannya.
Aku tidak bisa bicara malah tertawa lebar. Beliau bingung menatapku serius. 
"Hehehe Mas jangan marah ya...kayaknya sihh ini masih mending daripada kopi aku kasih garam. Ini ada sambel bajak bisa menghalau rasanya agar tetap enak kita nikmati." 
Suami mengernyitkan dahi melihatku. Aku memintanya tidak marah dan beliau mengangguk.
"Aku minta maaf, ternyata telur dadarnya pakai gula halus bukan pakai garam. Jadi ini manis...."jelasku dengan perasaan malu. 

Aku menunggu reaksi beliau. Apakah seperti di sinetron-sinetron TV, seorang suami membuang makanan tidak enak ke lantai bahkan ke wajah istrinya. Marah-marah bahkan memaki sang istri. Hahaha imajinasiku keterlaluan ya....tapi aku memang pernah mendengar langsung tentang seorang teman yang memiliki suami seperti di sinetron itu. Sedikit makanan keasinan, kurang matang (sayur) makan makanan itu akan di lemparkan ke lantai dan mengotori hampir seluruh ruang makan mereka. Belum lagi makian yang disemburkan sang suami. Mengingat kecerobohanku ini, bisa saja sih suamiku marah. Walaupun dalam hatiku tetap berharap beliau memafkan kesalahanku. 
"Oh walah...sudah nggak apa-apa. Gulanya juga ndak banyak kan? Pasti masih lebih dominan rasa telurnya dan kena sambel juga akan tetap enak kok. Sudah gapapa." tanggapan beliau membuyarkan lamunanku tentang suami galak. 
Aku bernapas lega dan tersenyum mengucapkan terima kasih. Sekali lagi aku belajar tentangnya, sisi lainnya dan juga ingat akan kecerobohanku sendiri. Ya, kebetulan saja aku meletakkan gula dan garam berdampingan dengan wadah yang sama bentuknya. Kebetulan lagi gulanya memang cukup halus seukuran halusnya garam refinasi. Jadi aku tidak memperhatikan detail ketika memasukkan gula ke dalam adonan telur itu. Bisa diperhatikan foto di bawah ini ya...tampak sempurna kan? Padahal telur dadar yang tampak lezat itu rasanya MANIS. 



Beberapa yang membaca ini mungkin berfikir bahwa sekadar kekonyolan kami berakhir dengan baik dan bahagia karena pernikahan kami baru berumur bulan, belum tahunan. Katanya akan ada banyak hal yang dulunya termaafkan satu sama lain (awal pernikahan) akan terjadi hal sebaliknya setelah bertahun menikah. Saling marah, saling caci dan lainnya. Nau'dzubillah.... Semoga kami terhindar dari semua itu, walaupun kelak kami diberiNya waktu bersama cukup lama. Harapan kami memang bisa selalu sehat dan menua bersama dalam kebaikan dan keberkahan. Tentu berharap dalam ridhoNya semata.  

Di awal menikah, setiap ada hal "manis" terjadi ketika kami di perjalanan atau di manapun aku selalu bilang pada suami bahwa jika suatu saat nanti aku melakukan kesalahan berharap beliau berkenan mengingat hal manis yang kami alami saat itu. Ah, aku mungkin terlalu kenyang membaca, mendengar kisah teman-teman atau bahkan melihat secara langsung bagaimana pernikahan mereka setelah sekian tahun terbina. Pelototan, kata agak kasar sungguh adalah cermin bagiku kini agar tidak mengalami atau melakukan hal serupa. Bukankah dalam setiap pengalaman kita harusnya belajar untuk menjadi lebih baik darinya? Ada yang mengatakan pengalaman (diri sendiri atau orang lain)  sesungguhnya adalah guru terbaik. Namun ada satu titik yang perlu diingat, apakah setiap pemilik pengalaman berkenan menjadikan semua guru terbaik agar (minimal) tidak melakukan hal sama? Tentu harapannya bisa melakukan yang lebih baik. Ya, tidak semua orang berkenan "bercermin" untuk lebih baik. 

Kami menikah dalam kondisi sama-sama dewasa, dengan segala masa lalu penuh warna. Jika pengantin baru mungkin banyak cerita manis, saat itu kami mengawali dengan kisah 'pedih' yang terjadi sebelumnya. Bagaimana Allah membasuh kami, membersihkan jiwa kami dan berharap bahwa pertemuan kami dalam pernikahan ini telah diawali dengan kondisi hati dan jiwa yang bersih karenaNya. Setiap sujud kami adalah air mata. 
Aku mencoba menderas rasaku bahwa ini rasa syukur kami, menjaga jiwa kami untuk selalu bersih dengan saling menerima, memahami satu sama lain. 
"Jika nanti kamu di surga duluan, cari aku ya...kamu orang baik." tangis suami saat awal kami menikah di setiap selesai  perbincangan kami denganNya. 
"Perubahanmu untuk menjadi lebih baik, InsyaAllah justru akan membawaku ke surgaNya, Mas. mari sama-sama berusaha memperbaiki apa yang belum baik selama ini." 
Tidak jarang aku mengulang pesan, "Jika aku meninggal lebih dulu, Mas ridhoi ya. Keridhoanmu adalah jalan lapangku di akhirat." 

Perjalanan atau proses pernikahan kami inilah yang seringkali kubuat "pengingat" agar selalu "on the trek" dalam berrumah tangga. Akan selalu kuingat ucapan pengantin-pengantin lama di pernikahan kami. "SELAMAT MENJALANKAN IBADAH TERPANJANG." Ya, benar adanya, bahwa pernikahan adalah sebuah ibadah terpanjang dalam hidup, karena setiap hal yang kita lakukan untuk keluarga selalu bernilai ibadah. Melaksanakan tanggung jawab sebagai suami istri dengan baik bukan perkara sesaat, namun sepanjang waktu harus dijalankan, sampai Allah memisahkan. 

Semoga kita (yang sudah menikah) bisa menjalani ibadah terpanjang ini dengan baik dan benar dalam keberkahan dan ridho Allah SWT. Bagi yang belum menikah semoga disegerakanNya untuk bisa melakukan ibadah terpanjang dalam hidup. Aamiin...




0 Comments