Welan Tri Augist sepupu kecilku sering dipanggil Elan atau Well. Jelang 1 tahun, dia mulai memanggil orang tuanya dengan ”mbuk” dan ”yayah”. Cantik dan selalu tersenyum membuat siapapun rela menggendongnya kemana-mana. Suka minum air putih, tetapi kalau dia ingin minum ASI, langsung teriak ”mbukkk...” dan menangis. Anehnya dia akan langsung tersenyum dalam dekapan ibunya sambil minum ASI.
Seperti halnya anak yang baru belajar bicara, Welan suka menirukan pembicaraan orang sekitarnya. 1,5 tahun, dia sudah bisa bilang ibu dan ayah. Semua sepupu di panggilnya dengan mbak dan mas yang sama –sama diucapkannya dengan Ka. Syamsul Hidayat sepupu kami, dia panggil dengan Ka Cung (Mas Sul). Adiknya Syamsul, Fitria Amaliyah dia panggil Ka Pit (mbak Fit). Akhirnya kamipun ikut memanggil mereka Kapit dan Kacung. ”Kacung” inilah yang membuat kami punya cerita indah, terpingkal dan ”malu” karena ulah Welan.
Alkisah... aku mengajak Welan dan ibunya ke rumahku di kota dengan naik angkot. Angkot penuh sesak, tidak membuat Welan rewel. Dia menikmati perjalanan yang mungkin baginya sebuah petualangan hebat.
Welan bertanya apa saja yang dilihatnya, duduk di pangkuan ibunya sambil memeluk air putih dalam botol kesayangannya. Celotehnya yang cadel membuat beberapa penumpang angkot tersenyum. Tiba-tiba dia bertanya siapa saja yang duduk dalam angkot.
”Buk capa tuh...” tanyanya sambil menunjuk orang-orang dalam angkot.
Aku dan ibunya menjelaskan, bahwa yang duduk dalam angkot itu ada Tante, Om, Mas, Budhe, Adek dan Kakek sambil menunjuk satu-satu orang dalam angkot. Diapun memperhatikan dengan seksama. Welan mulai merapal sebutan orang-orang dalam angkot yang kami beritahukan. Tragedi dimulai!!!
”Tate, Ong, Ka, Dadeeek, Uddee, Tekek” bangga tersenyum menunjuk setiap orang.
Deg! Dia memanggil kakek itu dengan ”Tekek”? Otakku melesat pada seekor hewan di pohon besar belakang rumah nenek. Astaghfirullah, aku tercekat melihat sang kakek melotot pada wajah mungil Welan. Kakek berwajah keriput itu mengenakan pakaian purnawirawan.
”Well... ka-kek gitu manggilnya” ucapku dekat di telinganya.
”Tekek...!!” ucapnya keras sambil menunjuk lagi. Waduh! Gawat bin darurat! Welan malah teriak. Mungkin tidak mau diusik pencapaiannya menguasai kata-kata baru. Aku mencubit ibunya demi melihat kakek itu tampak marah.
”Maaf Pak, anak saya baru belajar bicara, belum bisa bilang kakek” kata ibu Welan sesopan mungkin. Aku berfikir mengapa tadi tidak kami ajari menyebut eyang? Pasti Welan akan memanggil ”yayang” pada kakek itu. He.. pikiran gilaku mampir.
Luar biasa! Sang kakek diam, acuh! Suasana tegang, tapi Welan tetap merapal kata tanpa dosa.
”Sytop... sytop syaya tuyryun disyini” kata kakek. Saat berusaha bangkit dari tempat duduk yang ada di depan kami dia terjerembab. Aku tahu Welan memperhatikan itu.
”Tekek atuh...” ucapnya perhatian. (kakek jatuh....)
Allah... mukaku memanas malu ketika mencoba menggapai tangan kakek itu untuk menolong, beliau mengibaskan tanganku dengan keras.
”Dak usyahh!!, adjari anakmu itu syopan syantun” ucapnya melihat ibunya Welan.
Aku bengong? Ternyata beliau ompong dan tidak bisa bicara dengan sempurna lagi. Apakah ini yang membuat beliau marah? Merasa seperti balita? Atau sebutan yang diberikan Welan ”Tekek” tadi? Ya Allah... pilu kusembunyikan di celah hatiku. Kakek itu turun dengan tongkatnya, hatiku gerimis kemana gerangan anak-anaknya sehingga membiarkan dia sendiri?
”Dad...daaa Tekek...” teriak Welan. Cepat kuraih tangannya yang melambai agar kakek itu tak melihat.
”Welan gak boleh manggil kakek begitu...” bisik ibunya.
Beberapa orang dalam angkot menahan senyum. Rasanya malu, tapi bukankah Welan hanya bocah yang baru 1,5 tahun? Seorang ibu bicara.
”Gak pa-pa mbak, namanya anak belum ngerti...” ucapnya berlogat Madura.
”Saya malu mbak, beliau berfikir saya yang ngajari” kata ibunya Welan.
Kejadian ”lucu” ternyata belum selesai!!!.
”Kacung... buk.. kacung Ka Ima!” ucapnya sambil menunjuk laki-laki yang tadi duduk di samping kakek.
”Bukan, Kacung ada di rumah” jawab ibunya.
Welan terus memperhatikan laki-laki itu.
”Kacung....!!!” teriaknya.
” Bukan sayang...” bisik ibunya
”Kacung!!” tangan mungilnya menunjuk laki-laki itu.
Aku mulai khawatir, jangan-jangan laki-laki ini juga akan marah karena sebutan kacung. Belum selesai aku berfikir,
”Apa...saya bukan kacung! Saya normal!” kata laki-laki itu memandang Welan yang seketika merapatkan tubuh pada ibunya. (Di daerah kami, Kacung itu sebutan laki-laki tak normal yang tidak bisa menikah—tidak bisa memberi nafkah batin pada istri)
”Maaf Mas, ini anak kecil... dia kira Mas kakaknya. Kacung bukan seperti pikiran Mas” kataku keras.
”Ajari ngomong yang bagus itu” ucapnya angkuh.
Mengapa Welan memanggilnya kacung? Kuperhatikan, ternyata gelang yang dipakai laki-laki itu sama persis dengan gelangnya Syamsul. Jadi itu maksudnya, tapi Welan belum bisa mengatakannya. Ah Welan...
Di trafic light, laki-laki itu turun. Tetapi? Sebelum kakinya turun, wajahnya yang berminyak itu dicondongkan ke Welan yang masih ceria memanggilnya Kacung. Tentunya Welan teriak kaget.
”Kacung... hiks hiks” tangisnya pecah. Welan ketakutan dipelukan ibunya.
Laki-laki itu ngeloyor setelah membayar. Rasanya kakiku ingin menendang dia waktu turun tadi. Welan terus dalam tangis.
”Makanya Welan gak boleh nakal” kata ibunya
Bocah lucu ini terdiam dan menggeleng tanpa dosa. Dia rela dibilang nakal karena menyebut laki-laki itu Kacung, juga kakek yang dipanggilnya Tekek. Ah... Welan hatimu bersih sayang. Hari itu adalah petualangan hebatmu!!!
”Tragedi angkot” bersama Welan kuceritakan pada keluarga. Semua terpingkal dan akupun baru bisa tertawa lepas mengingat ”ketulusan” dan ”kesungguhan” Welan dalam belajar menguasai kosa kata. Celotehmu memang lucu dan menggemaskan, kelak jadilah muslimah berhati emas dan peduli pada sesama.



banner-celoteh-anak

0 Comments