INI TENTANG SEBUAH LUKA (tak biasa)
Untuk seorang sahabat,
Ya, hanya untukmu saja.
"Maafkan aku ya..."
Mungkin itu kalimat yang saat ini layak kusampaikan padamu.
Sebagai temanmu (aku masih merasa sebagai temanmu--entah dirimu terhadapku) yang pernah 'dekat' melintasi waktu, mungkin aku memang terlalu kaku.
"Kamu itu, seperti nggak punya perasaan saja, Naira,"
Kalimat itu, bukan hanya kamu yang mengucapkan tapi ada banyak teman yang sudah menyampaikan hal serupa.
Rasa.
Perasaan.
Tidak punya perasaan.
Apa yang salah? Diamku?
Padahal aku bukan orang yang pendiam.
Pertanyaanku tidak benar ya?
Bahkan kepada sebuah jiwa yang pernah dekat denganku pun sikapku ya seperti ini, yang kau sebut tidak punya perasaan.
"Kamu itu nggak peka, Naira,"
Nah setelah tentang rasa, perasaan dan tidak punya perasaan kini muncul peka dan tidak peka.
"Apakah karena kamu terlalu membeciku, Naira? Hingga sedikitpun kau tidak merasakan, tidak peka dengan semua kondisiku?"
Sahabat,
Sungguh ini bukan tentang benci.
Tidak!
Aku memang tahu kata benci, tapi aku tidak mengenalnya dengan baik.
Aku tidak tahu bagaimana cara membenci, apalagi membencimu.
Apa yang harus kubenci darimu?
Sedang aku tahu, kau bukan orang yang layak dibenci.
Kau adalah orang yang layak dicintai, kucintai seperti semesta ini mendekapku dalam cinta.
Kau adalah jiwa yang harusnya 'kukasihani' karena liku lelaku yang harus kau tempuh adalah perih.
Sahabat,
Setelah lama kita tak bertemu secara materi karena sebuah keputusan yang telah diambil.
Ah, bukan keputusan!
Kau menyebutnya sebagai jalan. Ya....jalan yang harus tertempuh.
Aku yang sempat tergagap dengan jalanmu, mencoba belajar menerima semua itu.
Lalu,
Aku memang menemukan jalanku sendiri.
Sendiri.
Sahabat,
Aku, kamu, kita pernah mengikrarkan janji persahabatan seputih Melati, selembut sinar Rembulan Purna.
Kau tahu?
Betapa aku ingin membuatmu tersenyum, tanpa aku pernah bertanya dan memintamu tersenyum untukku.
Senyummu bahagiaku sahabat.
Kau tahu?
Betapa aku berusaha menjaga lentera-lentera kecil untuk menerangi jalanmu, membuatmu becahaya agar kau tak terjatuh dalam gelap dan tetap bersinar.
(Walau aku sadar, hanya Dia yang mampu lalukan itu)
Tanpa aku pernah bertanya dan memintamu untuk menerangi jalanku, pun membawakan sinar-sinar itu padaku.
Sahabat,
Lalu bagaimana ini disebut kebencian?
Bagaimana aku membencimu?
Aku menangis dalam diamku, ketika mereka bilang;
"Kamu sudah sangat terluka olehnya, sehingga kau tak punya rasa. Semua menjadi kosong yang melompong,"
Ah sahabat,
Sungguh tidak benar yang disampaikan mereka itu.
Kosong ini tidak melompong. Kosong ini penuh. Penuh keheningan!
Luka yang kau torehkan di hatiku memang perih, tapi Taman Hatiku selalu memiliki ruang indah mendekap luka yang kau sematkan.
Bukan hanya kau yang menorehkan luka, tapi jiwa-jiwa lain yang mencintaimu pun merasa cemburu atas lelakuku padamu.
Bahkan,
Mungkin kau tak pernah sadar, karena seuntai maaf yang telah kuberikan padamu
Ketika dengan renjana jiwamu berkisah tentang Anggrek yang mekar di hutan, tentang Mawar berduri yang melukai jemarimu kepadaku.
Kau lupa sahabat,
Bahwa aku Melati yang berusaha selalu tumbuh di Taman Hati dengan sadar dalam kesederhanaan.
Kau lupa sahabat,
Aku bersahabat dengan Teratai yang elok jiwanya di Taman Hatiku.
Sahabat,
Aku memang melepaskanmu ketika kau jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
Aku memang kecewa karena kau menjadi munafik di depanku.
Dulu kau mengajari aku A, sekarang kau kabarkan sesuatu yang bertentangan dengan A.
Jika hatiku hanya taman perih,
Sungguh tamparan jemariku adalah hadiah layak yang tergambar di pipimu.
"Cinta itu membangun, menguatkan, membuat berdaya! Cinta itu melipatgandakan, Naira,"
Kau lupa dengan kalimatmu di atas, kan?
Lalu kau jawab, "Bijaklah, Naira,"
Ya, aku mendekap dualitas itu. Benar salah. Baik buruk.
Sahabat,
Jika saat ini aku seperti menghindar darimu
Bukan, itu bukan sebuah pengingkaran atas hadirmu
Aku mengaca pada cermin hidupku
Menengok ke dalam
Cinta yang melipatgandakan itu sudah tak ada.
Cinta yang membuatku mampu menulis kata-kata manis itu sudah tak ada.
Cinta yang membangunkan diriku dari kebekuan itu sudah tak ada.
Karena,
Kini cinta yang ada melebihi semua itu.
Cinta TAK BERSYARAT.
Rindu yang merona itu pun sudah tak ada
Rindu yang merajam sukma pun sudah tak ada
Rindu yang membiluri jiwapun sudah sirna
Karena,
Kini rindu itu MENGHIDUPKAN.
Taman Hati
Ya, hanya untukmu saja.
"Maafkan aku ya..."
Mungkin itu kalimat yang saat ini layak kusampaikan padamu.
Sebagai temanmu (aku masih merasa sebagai temanmu--entah dirimu terhadapku) yang pernah 'dekat' melintasi waktu, mungkin aku memang terlalu kaku.
"Kamu itu, seperti nggak punya perasaan saja, Naira,"
Kalimat itu, bukan hanya kamu yang mengucapkan tapi ada banyak teman yang sudah menyampaikan hal serupa.
Rasa.
Perasaan.
Tidak punya perasaan.
Apa yang salah? Diamku?
Padahal aku bukan orang yang pendiam.
Pertanyaanku tidak benar ya?
Bahkan kepada sebuah jiwa yang pernah dekat denganku pun sikapku ya seperti ini, yang kau sebut tidak punya perasaan.
"Kamu itu nggak peka, Naira,"
Nah setelah tentang rasa, perasaan dan tidak punya perasaan kini muncul peka dan tidak peka.
"Apakah karena kamu terlalu membeciku, Naira? Hingga sedikitpun kau tidak merasakan, tidak peka dengan semua kondisiku?"
Sahabat,
Sungguh ini bukan tentang benci.
Tidak!
Aku memang tahu kata benci, tapi aku tidak mengenalnya dengan baik.
Aku tidak tahu bagaimana cara membenci, apalagi membencimu.
Apa yang harus kubenci darimu?
Sedang aku tahu, kau bukan orang yang layak dibenci.
Kau adalah orang yang layak dicintai, kucintai seperti semesta ini mendekapku dalam cinta.
Kau adalah jiwa yang harusnya 'kukasihani' karena liku lelaku yang harus kau tempuh adalah perih.
Sahabat,
Setelah lama kita tak bertemu secara materi karena sebuah keputusan yang telah diambil.
Ah, bukan keputusan!
Kau menyebutnya sebagai jalan. Ya....jalan yang harus tertempuh.
Aku yang sempat tergagap dengan jalanmu, mencoba belajar menerima semua itu.
Lalu,
Aku memang menemukan jalanku sendiri.
Sendiri.
Sahabat,
Aku, kamu, kita pernah mengikrarkan janji persahabatan seputih Melati, selembut sinar Rembulan Purna.
Kau tahu?
Betapa aku ingin membuatmu tersenyum, tanpa aku pernah bertanya dan memintamu tersenyum untukku.
Senyummu bahagiaku sahabat.
Kau tahu?
Betapa aku berusaha menjaga lentera-lentera kecil untuk menerangi jalanmu, membuatmu becahaya agar kau tak terjatuh dalam gelap dan tetap bersinar.
(Walau aku sadar, hanya Dia yang mampu lalukan itu)
Tanpa aku pernah bertanya dan memintamu untuk menerangi jalanku, pun membawakan sinar-sinar itu padaku.
Sahabat,
Lalu bagaimana ini disebut kebencian?
Bagaimana aku membencimu?
Aku menangis dalam diamku, ketika mereka bilang;
"Kamu sudah sangat terluka olehnya, sehingga kau tak punya rasa. Semua menjadi kosong yang melompong,"
Ah sahabat,
Sungguh tidak benar yang disampaikan mereka itu.
Kosong ini tidak melompong. Kosong ini penuh. Penuh keheningan!
Luka yang kau torehkan di hatiku memang perih, tapi Taman Hatiku selalu memiliki ruang indah mendekap luka yang kau sematkan.
Bukan hanya kau yang menorehkan luka, tapi jiwa-jiwa lain yang mencintaimu pun merasa cemburu atas lelakuku padamu.
Bahkan,
Mungkin kau tak pernah sadar, karena seuntai maaf yang telah kuberikan padamu
Ketika dengan renjana jiwamu berkisah tentang Anggrek yang mekar di hutan, tentang Mawar berduri yang melukai jemarimu kepadaku.
Kau lupa sahabat,
Bahwa aku Melati yang berusaha selalu tumbuh di Taman Hati dengan sadar dalam kesederhanaan.
Kau lupa sahabat,
Aku bersahabat dengan Teratai yang elok jiwanya di Taman Hatiku.
Sahabat,
Aku memang melepaskanmu ketika kau jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
Aku memang kecewa karena kau menjadi munafik di depanku.
Dulu kau mengajari aku A, sekarang kau kabarkan sesuatu yang bertentangan dengan A.
Jika hatiku hanya taman perih,
Sungguh tamparan jemariku adalah hadiah layak yang tergambar di pipimu.
"Cinta itu membangun, menguatkan, membuat berdaya! Cinta itu melipatgandakan, Naira,"
Kau lupa dengan kalimatmu di atas, kan?
Lalu kau jawab, "Bijaklah, Naira,"
Ya, aku mendekap dualitas itu. Benar salah. Baik buruk.
Sahabat,
Jika saat ini aku seperti menghindar darimu
Bukan, itu bukan sebuah pengingkaran atas hadirmu
Aku mengaca pada cermin hidupku
Menengok ke dalam
Cinta yang melipatgandakan itu sudah tak ada.
Cinta yang membuatku mampu menulis kata-kata manis itu sudah tak ada.
Cinta yang membangunkan diriku dari kebekuan itu sudah tak ada.
Karena,
Kini cinta yang ada melebihi semua itu.
Cinta TAK BERSYARAT.
Rindu yang merona itu pun sudah tak ada
Rindu yang merajam sukma pun sudah tak ada
Rindu yang membiluri jiwapun sudah sirna
Karena,
Kini rindu itu MENGHIDUPKAN.
Taman Hati
0 Comments