Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone 
All you is see is night 
And darkness all around 
You feel so helpless
You can't see which way to go 
Don't despair and never loose hope 
Cause Allah is always by your side 
Insya Allah, Insya Allah 
Insya Allah you will find your way  

Samar, lagu yang dilantunkan oleh Maher Zein itu menemaniku menulis kisah ini. Lagu ini mengingatkanku  pada semua peristiwa hidupku. Perjalanan demi perjalanan, kisah demi kisah, suka, duka, senyum tawa dan air mata. Terpaan sakit sekian tahun, lapar tanpa pekerjaan, dilimpahi fitnah, pun hal lain yang secara logika manusia seharusnya aku sudah tidak mungkin menulis kisah ini sekarang. Entah di belahan bumi mana aku saat ini, jika aku tidak memiliki iman. Di bawah ini salah satu kisahku, semoga ada hikmah yang bisa diambil.

Setiap muslim mempunyai harapan bisa pergi haji/umroh, termasuk diriku. Sejak perjalanan ruhani dalam pencarian keimanan (keislaman) dan menemukan cahayaNya, niat itu terus menyala. Ada rindu yang “berdifusi” (terus menyebar, membesar, memenuhi ruang-ruang hatiku, harapan yang tidak pernah terhenti) sebagai kalimat yang membahasakan harapan dan doaku. Kusimpan doa-doa, selalu tergetar melihat segala hal terkait tanah suci. Namun, hadir kesadaran lain yang melemahkan diriku. Aku butuh banyak hal untuk bisa ke tanah suci.
Sejak 2016 aku memutuskan segala uang yang kuterima selain gaji, dari sumber jelas (reward prestasi kerja, hadiah, fee pelatihan, dan lain-lain) harus kusimpan untuk tabungan umroh atau haji. Pertengahan 2016 aku meminta jadwal keberangkatan awal January 2017, dan terkejut karena paket yang kupilih (biayanya di bawah 25 juta) telah habis quotanya. Jika mau menunggu, berangkat bulan Maret. Kupertimbangkan lagi, jika ambil paket lebih mahal maka dibutuhkan dana lebih besar. Aku tidak tahu bagaimana dan darimana mendapatkan uang itu. Saat itulah kembali sebuah kesadaran diberikanNya.
Tepat saat aku merasa kerdil, aku mohon ampunseperti mengerdilkanNya dengan ketidakyakinanku bisa berangkat umroh. Aku membolak-balikkan rasa hatiku, memperbanyak istighfar, menanam kuat selalu kembali pada Allah. Tidak ada sesuatu tanpa pengjagaanNya. Termasuk urusan umrohku ini, jika sudah saatnya berngkat aku yakin Allah akan memudahkan. Kepasrahan, ya sebuah kepasrahan yang seharusnya kubangun sejak awal. Tapi  aku tidak menyesal karena tidak ada kata terlambat menjadi lebih baik. Justru titik ini menjadi bara yang terus melecutkan kesadaranku sebagai bamba. “Ingat Allah Jazim, Allah yang akan memampukanmu. Kamu itu tidak pernah mampu. Minta sama Allah untuk memampukan, untuk melunasi biaya itu. Minta saja sama Allah, tidak usah ngatur Allah gimana caranya. Sudah manut sama Allah saja.” Dialog nurani inilah yang sulalu kusematkan dalam doa-doaku. Aku merasa ringan sekali setelah memasrahkan kepada Allah. Lebih semangat menyambut tangan Allah mengulur mendekapku. Berangkat atau tidak sudah bukan menjadi masalah bagiku. Terserah Allah saja.
Rileks.  Tidak ada rasa khawatir atau malu jika nantinya aku belum bisa berangkat bahkan hal terburuk adalah hangusnya tabunganku di travel. Tidak ada rasa berat. Aku tidak menceritakan kepada anggota keluarga, kecuali Bunda yang mengetahui kondisi sebenarnya. “Insya Allah kamu berangkat, Nak. Allah akan menolongmu.” Itulah ucapan Bunda yang menguatkanku.

Ketika jadwal keberangkatan ditentukan, aku harus segera melunasi biayanya. Aku menyanggupi, walaupun jelas aku belum punya dana. Sempat tergoda pinjam uang ke kantor untuk melunasi. Tapi kuurungkan, terlebih aku sempat cerita ke seorang teman. “Jangan Jazim, jangan pinjam uang untuk umroh. Usahakan hasil keringatmu sendiri. Aku akan membantumu, bukan untuk biaya keberangkatan. Aku ingin tasyakuran saat kau datang nanti. Aku akan berbagi hadiah atas namamu, atas kebahagiaanmu pulang dari tanah suci.”
Aku menangis semakin berserah. Sudah ya Allah terserah Engkau, kalau tidak sekarang ke Baitullah, aku yakin Engkau mendengar doaku, Engkau yang memampukan aku. Aku malu atas pikiran-pikiran kerdilku yang hadir. Tiga bulan menjelang keberangkatan, passportku diminta pihak travel untuk tambah nama, tetapi tidak ada tanda-tanda aku bisa melunasi biayaku.
Allahumma Mekkah Madina ya Allah, selalu aku ucap setiap saat. Sore itu, aku ditelepon nomer tidak kukenal. Allahu Akbar! Aku kehabisan kata ketika tahu siapa orang itu.
“Mbak aku minta maaf ya, karena setelah sekian tahun aku baru bisa melunasi hutangku. Aku malu sekali sebenarnya, tapi jika tidak kulunasi aku juga takut. Makanya maafkan aku ya, Mbak karena mengganti nomer. Aku salah Mbak, maaf. Aku minta nomer rekeningnya ya.” Tidak terlalu lama aku sudah mendapat bukti transfer. Aku menangis dalam kesyukuran.
Aku tergoda menyusun ingatan piutangku, karena seseorang tiba-tiba membayar hutang itu. Mengingat satu persatu siapa saja yang pernah datang dalam kesedihan, kemudian menghilang tanpa kabar setelah membaik. Aku kembali memohon ampun, karena mungkin salah telah meminta apa yang terlupakan kembali lagi. Aku menangis lagi untuk kekerdilan diriku. Allahuma Mekkah Madina ya Allah…terus itulah yang kurapal.
Ternyata Allah kembali memanjakan aku, dari saudara yang juga pernah meminjam uang untuk keperluan sekolah anaknya. Aku benar-benar lupa, tidak termasuk yang sempat kususun ingatan tentang piutang itu. “Ima, minta nomer rekeningnya. Aku mau bayar hutangku. Maaf ya, agak lama.” Allah menambah kembali biayaku.
Allahumma Mekkah Madina ya Allah
“Ini untuk Mbak Jazim, saya kasih lebih dari biasanya karena ini cabang Kab/Kota. Jadi biaya pengambilan SKnya juga lebih besar.” Ucap pimpinanku saat penyerahan SK Cabang baru Asosiasi Konstruksi yang aku pimpin.
Allah, bagaimana aku tidak bersyukur atas semua ini? Beliau belum tahu rencana umrohku. Aku berencana menyampaikan setelah berhasil melunasi biaya umroh, berusaha memurnikan semua biaya.
Ada saja uang yang masuk dengan cara yang tidak pernah bisa kulogika dalam hitungan hari. Hingga kekurangan dana tinggal 1,5 juta. Aku menyiapkan cincinku yang seharga 1,67 juta untuk kujual. Ketika akan menjual cincin, pimpinan meminta laporan keuangan.
“Mbak, print-kan laporan transaksi kekuangan minggu ini ya.” Cepat aku selesaikan dan menjelaskan pos keuangan yang ada.
“Jadi ini ada beberapa PT masuk di asosiasi yang Mbak pimpin?” Aku mengiyakan.
“Saya perlu dana untuk…” beliau menjelaskan agar mengeluarkan dana sekian digit.
“Banyak sekali, Pak, untuk keperluan apa?” Aku mempertanyakan kegunaan uang itu. Mungkin orang berpikir aku lancang kepada pimpinan, tapi aku dipercaya sebagai “pengendali” keuangan, tentu punya hak diberi penjelasan untuk apa uang dikeluarkan, walaupun pimpinan yang meminta.
“Sudah lama saya tidak memberi bonus ke anak-anak, Mbak. Supaya mereka senang walaupun tidak banyak paling tidak bisa dipakai beli bensin dan bakso. Satu setengah juta untuk Mbak Jazim ya.” Ucap beliau di akhir kalimat.
Allah…aku tertegun, penaku terdiam ketika menulis angka 1,5 juta di urutan terakhir dari semua nominal untuk karyawan lain. Aku ingat pada angka penulasan biaya umrohku. Setelah pimpinan pergi aku menangis, menumpahkan kesyukuran nikmat tiada tara secara kontan dari Allah. Akhirnya lunas dan aku tidak jadi menjual cincinku. Setelah melunasi semua, aku sampaikan kepada pimpinan dan juga keluarga inti bahwa Insya Allah aku akan berangkat umroh pada 25 Januari -7 Pebruari 2017 dari Surabaya langsung Madina.

Seminggu penuh sebelum keberangkatan, aku lebih sibuk karena amanah di kantor. Menyiapkan beberapa wasiat, jika terjadi sesuatu dalam perjalanan umrohku. Masya Allah, saat itulah aku sadar betapa amanah ini akan diminta pertanggungjawaban. Jika amanah sekecil ini saja begitu besarnya hal yang harus kujelaskan, lalu bagaimana jika memiliki amanah lebih dari ini? Aku seperti menyiapkan diri untuk mati (padahal seharusnya kitas selalu siap menghadapinya), tanpa membuat orang lain kesusahan setelah kepergianku. Terakhir, harus menyampaikan semua dihadapan orang terpercaya dan saksi. Sehari sebelum keberangkatan, aku sakit. Menggigil jika tersentuh air. Allahuma Mekkah Madina ya Allah…aku istirahat. 

Perjalanan Cinta dimulai. 
Proses imigrasi selesai, aku merasa mendapat pelayanan lebih dengan biaya yang aku keluarkan. Memasuki pesawat dengan pelayanan begitu nyaman. Madina aku datang, Ya Rosulullah aku merindumu.
“Mbak Jazim kemarin daftar sendiri tidak bersama keluarga?” pertanyaan TL ketika semua peserta sudah memasuki kamar. Tinggal aku dan beberapa TL group lain di loby hotel.
“Saya memang daftar sendiri, untuk yang sekamar 4 orang, Ustaz.”
“Ok, ini kunci kamarnya. Mohon maaf karena Mbak harus sendiri. Tapi jangan khawatir, hotel ini aman. Hubungi saya atau di group jika ada sesuatu.”
“Tapi, saya membayar yang untuk 4 orang, Ustaz?”
“Iya, tidak apa-apa, Mbak. Penjenengan diberi Allah keluasan nikmat. Segera berbenah dan saya tunggu di sini sejam lagi, kita semua ke masjid Nabawi untuk sholat Isya.”
Aku menerima kunci dengan debaran tidak menentu. Aku telah sampai di Madina ya Allah dan Engkau terus melimpahiku dengan cintaMu yang Maha Indah.
                                                            **

Lalu, apa hubungannya deposito tidak berjangka dengan perjalanan cintaku di tanah suci? 
Insya Allah...akan aku jelaskan di tulisan selanjutnya... 
(BERSAMBUNG) 











0 Comments