Deposito tidak berjangka
DEPOSITO TIDAK BERJANGKA MELUNASI RINDUKU PADA HARAMAIN (1)
Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone
All you is see is night
And darkness all around
You feel so helpless
You can't see which way to go
Don't despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side
Insya Allah, Insya Allah
Insya Allah you will find your way
Samar, lagu yang
dilantunkan oleh Maher Zein itu menemaniku menulis kisah ini. Lagu ini
mengingatkanku pada semua peristiwa hidupku.
Perjalanan demi perjalanan, kisah demi kisah, suka, duka, senyum tawa dan air
mata. Terpaan sakit sekian tahun, lapar tanpa pekerjaan, dilimpahi fitnah, pun
hal lain yang secara logika manusia seharusnya aku sudah tidak mungkin menulis
kisah ini sekarang. Entah di belahan bumi mana aku saat ini, jika aku tidak
memiliki iman. Di bawah ini salah satu kisahku, semoga ada hikmah yang bisa
diambil.
Setiap muslim mempunyai harapan bisa pergi haji/umroh, termasuk diriku. Sejak perjalanan
ruhani dalam pencarian keimanan (keislaman) dan menemukan cahayaNya, niat itu
terus menyala. Ada rindu yang “berdifusi” (terus
menyebar, membesar, memenuhi ruang-ruang hatiku, harapan yang tidak pernah
terhenti) sebagai kalimat yang membahasakan harapan dan doaku. Kusimpan
doa-doa, selalu tergetar melihat segala hal terkait tanah suci. Namun, hadir kesadaran
lain yang melemahkan diriku. Aku butuh banyak hal untuk bisa ke tanah
suci.
Sejak 2016 aku
memutuskan segala uang yang kuterima selain gaji, dari sumber jelas (reward prestasi kerja, hadiah, fee
pelatihan, dan lain-lain) harus kusimpan untuk tabungan umroh atau haji. Pertengahan
2016 aku meminta jadwal keberangkatan awal January 2017, dan terkejut karena
paket yang kupilih (biayanya di bawah 25 juta) telah habis quotanya. Jika mau
menunggu, berangkat bulan Maret. Kupertimbangkan lagi, jika ambil paket lebih
mahal maka dibutuhkan dana lebih besar. Aku tidak tahu bagaimana dan darimana
mendapatkan uang itu. Saat itulah kembali sebuah kesadaran diberikanNya.
Tepat saat aku merasa
kerdil, aku mohon ampunseperti mengerdilkanNya dengan ketidakyakinanku
bisa berangkat umroh. Aku membolak-balikkan rasa hatiku, memperbanyak istighfar,
menanam kuat selalu kembali pada Allah. Tidak ada sesuatu tanpa pengjagaanNya.
Termasuk urusan umrohku ini, jika sudah saatnya berngkat aku yakin Allah akan memudahkan.
Kepasrahan, ya sebuah kepasrahan yang seharusnya kubangun sejak awal. Tapi aku tidak menyesal karena tidak ada kata
terlambat menjadi lebih baik. Justru titik ini menjadi bara yang terus
melecutkan kesadaranku sebagai bamba.
“Ingat Allah Jazim, Allah yang akan memampukanmu. Kamu itu tidak pernah mampu.
Minta sama Allah untuk memampukan, untuk melunasi biaya itu. Minta saja sama
Allah, tidak usah ngatur Allah gimana caranya. Sudah manut sama Allah saja.” Dialog
nurani inilah yang sulalu kusematkan dalam doa-doaku. Aku merasa ringan sekali
setelah memasrahkan kepada Allah. Lebih semangat menyambut tangan Allah
mengulur mendekapku. Berangkat atau tidak sudah bukan menjadi masalah bagiku.
Terserah Allah saja.
Rileks. Tidak ada rasa khawatir atau malu jika
nantinya aku belum bisa berangkat bahkan hal terburuk adalah hangusnya tabunganku
di travel. Tidak ada rasa berat. Aku tidak menceritakan kepada anggota
keluarga, kecuali Bunda yang mengetahui kondisi sebenarnya. “Insya Allah kamu berangkat, Nak. Allah akan
menolongmu.” Itulah ucapan Bunda yang menguatkanku.
Ketika jadwal
keberangkatan ditentukan, aku harus segera melunasi biayanya. Aku menyanggupi,
walaupun jelas aku belum punya dana. Sempat tergoda pinjam uang ke kantor untuk
melunasi. Tapi kuurungkan, terlebih aku sempat cerita ke seorang teman. “Jangan Jazim, jangan pinjam uang untuk
umroh. Usahakan hasil keringatmu sendiri. Aku akan membantumu, bukan untuk
biaya keberangkatan. Aku ingin tasyakuran saat kau datang nanti. Aku akan
berbagi hadiah atas namamu, atas kebahagiaanmu pulang dari tanah suci.”
Aku menangis semakin
berserah. Sudah ya Allah terserah Engkau,
kalau tidak sekarang ke Baitullah, aku yakin Engkau mendengar doaku, Engkau
yang memampukan aku. Aku malu atas pikiran-pikiran kerdilku yang hadir.
Tiga bulan menjelang keberangkatan, passportku diminta pihak travel untuk
tambah nama, tetapi tidak ada tanda-tanda aku bisa melunasi biayaku.
Allahumma
Mekkah Madina ya Allah, selalu aku ucap setiap saat. Sore
itu, aku ditelepon nomer tidak kukenal. Allahu
Akbar! Aku kehabisan kata ketika tahu siapa orang itu.
“Mbak
aku minta maaf ya, karena setelah sekian tahun aku baru bisa melunasi hutangku.
Aku malu sekali sebenarnya, tapi jika tidak kulunasi aku juga takut. Makanya
maafkan aku ya, Mbak karena mengganti nomer. Aku salah Mbak, maaf. Aku minta
nomer rekeningnya ya.” Tidak terlalu lama aku sudah
mendapat bukti transfer. Aku menangis dalam kesyukuran.
Aku tergoda menyusun
ingatan piutangku, karena seseorang tiba-tiba membayar hutang itu. Mengingat satu persatu siapa saja yang pernah datang dalam kesedihan, kemudian menghilang tanpa kabar
setelah membaik. Aku kembali memohon ampun, karena mungkin salah telah meminta
apa yang terlupakan kembali lagi. Aku menangis lagi untuk kekerdilan diriku. Allahuma Mekkah Madina ya Allah…terus
itulah yang kurapal.
Ternyata Allah kembali
memanjakan aku, dari saudara yang juga pernah meminjam uang untuk keperluan
sekolah anaknya. Aku benar-benar lupa, tidak termasuk yang sempat kususun
ingatan tentang piutang itu. “Ima, minta
nomer rekeningnya. Aku mau bayar hutangku. Maaf ya, agak lama.” Allah
menambah kembali biayaku.
Allahumma
Mekkah Madina ya Allah…
“Ini untuk Mbak Jazim,
saya kasih lebih dari biasanya karena ini cabang Kab/Kota. Jadi biaya
pengambilan SKnya juga lebih besar.” Ucap pimpinanku saat penyerahan SK Cabang
baru Asosiasi Konstruksi yang aku pimpin.
Allah, bagaimana aku
tidak bersyukur atas semua ini? Beliau belum tahu rencana umrohku. Aku berencana
menyampaikan setelah berhasil melunasi biaya umroh, berusaha memurnikan semua
biaya.
Ada saja uang yang
masuk dengan cara yang tidak pernah bisa kulogika dalam hitungan hari. Hingga kekurangan
dana tinggal 1,5 juta. Aku menyiapkan cincinku yang seharga 1,67 juta untuk
kujual. Ketika akan menjual cincin, pimpinan meminta laporan keuangan.
“Mbak, print-kan laporan transaksi kekuangan
minggu ini ya.” Cepat aku selesaikan dan menjelaskan pos keuangan yang ada.
“Jadi ini ada beberapa
PT masuk di asosiasi yang Mbak pimpin?” Aku mengiyakan.
“Saya perlu dana
untuk…” beliau menjelaskan agar mengeluarkan dana sekian digit.
“Banyak sekali, Pak, untuk
keperluan apa?” Aku mempertanyakan kegunaan uang itu. Mungkin orang berpikir aku
lancang kepada pimpinan, tapi aku dipercaya sebagai “pengendali” keuangan,
tentu punya hak diberi penjelasan untuk apa uang dikeluarkan, walaupun pimpinan
yang meminta.
“Sudah lama saya tidak
memberi bonus ke anak-anak, Mbak. Supaya mereka senang walaupun tidak banyak
paling tidak bisa dipakai beli bensin dan bakso. Satu setengah juta untuk Mbak
Jazim ya.” Ucap beliau di akhir kalimat.
Allah…aku tertegun,
penaku terdiam ketika menulis angka 1,5 juta di urutan terakhir dari semua
nominal untuk karyawan lain. Aku ingat pada angka penulasan biaya umrohku.
Setelah pimpinan pergi aku menangis, menumpahkan kesyukuran nikmat tiada tara
secara kontan dari Allah. Akhirnya lunas dan aku tidak jadi menjual cincinku.
Setelah melunasi semua, aku sampaikan kepada pimpinan dan juga keluarga inti
bahwa Insya Allah aku akan berangkat umroh pada 25 Januari -7 Pebruari 2017
dari Surabaya langsung Madina.
Seminggu penuh sebelum
keberangkatan, aku lebih sibuk karena amanah di kantor. Menyiapkan beberapa
wasiat, jika terjadi sesuatu dalam perjalanan umrohku. Masya Allah, saat itulah aku sadar betapa amanah ini akan diminta
pertanggungjawaban. Jika amanah sekecil ini saja begitu besarnya hal yang harus
kujelaskan, lalu bagaimana jika memiliki amanah lebih dari ini? Aku seperti
menyiapkan diri untuk mati (padahal seharusnya kitas selalu siap menghadapinya), tanpa membuat orang lain kesusahan setelah
kepergianku. Terakhir, harus menyampaikan semua dihadapan orang terpercaya dan
saksi. Sehari sebelum keberangkatan, aku sakit. Menggigil jika tersentuh air. Allahuma Mekkah Madina ya Allah…aku
istirahat.
Perjalanan Cinta dimulai.
Proses imigrasi
selesai, aku merasa mendapat pelayanan lebih dengan biaya yang aku keluarkan. Memasuki
pesawat dengan pelayanan begitu nyaman. Madina
aku datang, Ya Rosulullah aku merindumu.
“Mbak Jazim kemarin
daftar sendiri tidak bersama keluarga?” pertanyaan TL ketika semua peserta
sudah memasuki kamar. Tinggal aku dan beberapa TL group lain di loby hotel.
“Saya memang daftar
sendiri, untuk yang sekamar 4 orang, Ustaz.”
“Ok, ini kunci kamarnya. Mohon maaf karena Mbak harus sendiri. Tapi jangan khawatir, hotel
ini aman. Hubungi saya atau di group jika ada sesuatu.”
“Tapi, saya membayar
yang untuk 4 orang, Ustaz?”
“Iya, tidak apa-apa,
Mbak. Penjenengan diberi Allah keluasan nikmat. Segera berbenah dan saya tunggu
di sini sejam lagi, kita semua ke masjid Nabawi untuk sholat Isya.”
Aku menerima kunci
dengan debaran tidak menentu. Aku telah
sampai di Madina ya Allah dan Engkau terus melimpahiku dengan cintaMu yang Maha
Indah.
**
Lalu, apa hubungannya deposito tidak berjangka dengan perjalanan cintaku di tanah suci?
Insya Allah...akan aku jelaskan di tulisan selanjutnya...
(BERSAMBUNG)
0 Comments