Apa yang terjadi pada tulisan bagian (1) adalah hasil dari “deposito tidak berjangka” yang selama ini aku investasikan. Ketika banyak temanku berlomba investasi deposito berjangka dengan angka spektakuler (ada minimal nominal untuk awal deposito). Walaupun aku memiliki deposito berjangka, tapi nominalnya belum besar. Sebaliknya aku suka menginvestasikan uangku dalam bentuk deposito tidak berjangka, yang kadang tidak memerlukan jutaan rupiah. 
Kadang investasiku hanya berupa sebungkus nasi, kembalian belanja 500 rupiah, sebesar ongkos angkot, sebesar pulsa telepon, sebesar ongkos parkir atau beberapa bungkus jajan pasar. Melebihkan ongkos taxi, becak, ojek, membayar penuh promo taxi online atau membelikan sopir yang mengantarku makanan sama dengan yang aku beli. 
Kadang juga SPP untuk seorang siswa, sebuah kursi roda, biaya rumah sakit, biaya rehab rumah, atau sekadar membelikan handphone kepada yang membutuhkan. Selembar kerudung, sebuah mukena, sehelai baju, sebuah jaket, satu sarung, sekotak kurma, buku koleksi pribadiku, juga obat dengan untuk orang yang pernah memfitnahku sebagai perempuan dan muslimah. 

Bahkan khusus untuk obat ini aku punya kisah terlalu indah. Orang tersebut berpikir aku berusaha menjebaknya (mengejarnya) untuk "memilikinya". Tepat saat obat itu kuserahkan padanya, dari matanya aku tau dia tidak akan memakai obat itu. Tapi niatku untuk menolongnya, Allah yang tau segalanya. Aku tersenyum tepat saat tangannya menerima obat itu. Senyum yang hanya Allahlah Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di hatiku. 

Setelah sekian purnama, Allah membuka kebenaran yang kulihat dari matanya, dia benar-benar membuang obat yang kuberikan dengan harga jutaan itu. Dia mungkin berpikir harga obat itu puluhan ribu atau ratusan ribu saja (harga jual obat tersebut di toko online memang hanya ratusan ribu. Dan aku yakin dia melihat harga obat itu di toko online). Dia tidak tau aku konsultasi dengan seorang ahli pengobatan China untuk mendapatkan obat terbaik. Merk mungkin sama, tapi hanya orang tertentu yang mengetahui obat mana yang terbaik. Seorang teman yang mengetahui bagaimana usahaku mendapatkan obat itu,  mengumpat tidak karuan. Dia bilang aku bodoh karena berlaku baik kepada orang yang telah memfitnahku itu. 
            Aku tersenyum bersamaan dengan air mataku. Tidak ada sakit di hatiku atas perlakuannya. Aku justru kasihan pada jiwanya yang sakit itu. Banyak memarahiku karena tetap baik padanya. Aku hanya tau satu hal, dia yang telah memfitnahku itu tengah mengalami gangguan pada syaraf otaknya, bahkan dia mengalami amnesia parsial. Anehnya, kepada beberapa orang dia tidak bisa mengingat dengan baik, tapi padaku (awalnya juga lupa) dia bisa bercerita secara teratur tanpa kehilangan jedah ingatan. Dia menjelma seperti anak kecil di depanku. 
"Sebegitu bencinya dia padaku, ya Allah? Hingga dia bisa begitu detail mengingat segala peristiwa bersamaku? Atau dia ingin minta maaf atas segala khilafnya? Aku telah memaafkan jauh sebelum dia meminta maaf (yang tidak pernah dilakukan) ya Allah, berikan dia yang terbaik, selayaknya manusia dan hamba walaupun mungkin dia tidak lagi mengimaniMu. Aku memohon Rahman dan rahimMu untuknya.”
             Kebencian hanya menumbuhkan kesengsaraan dalam dada. Pun prasangka buruk tidak akan pernah membawa kita pada keindahan budi pekerti. Aku memilih tersenyum untuk semua perlakuannya. Tidak hanya padanya, ada banyak orang yang bersikap tidak jauh berbeda dengannya. Dia hanya satu contoh untuk deposito tidak berjangka yang taruhannya adalah keberserahan diriku kepadaNya semata. Bahkan untuk mengambil dana supaya aku bisa membayar obat itupun, aku merasakan betapa Maha Agungnya Allah yang telah memudahkan aku mengingat PIN ATM yang sudah lama tidak kuingat. Aku telah menulis tentang kisah ATM ini pada sebuah catatan panjang di media sosialku (facebook). 
Dan, entah sejak kapan, tanganku ini selalu diberiNya kemudahan mengulur kepada tangan lain yang lebih membutuhkan. Mungkin sejak aku menemukan keimanan dan keislamanku. Mungkin sejak aku diberiNya kesempatan kedua untuk tetap bisa merasakan hangatnya matahari setelah sekian waktu aku selalu tersungkur tidak berdaya dalam beberapa menit diterpa sinar matahari. 
Setelah aku tidak berakrab ria dengan yang namanya darah, juga setelah aku lupa dengan hobby yang bikin semua orang menunduk pedih, yaitu pingsan. Aku tidak boleh lelah, tidak boleh kehausan. Hemoglobinku selalu rendah, hidupku tergantung dengan obat. Ya, setelah aku melewati semua itulah, aku begitu mudah memberikan apa yang ada. Aku selalu mudah merasa cukup. Aku selalu melihat bayanganku di setiap orang yang ada di depanku. 

Mata pengemis itu juga mataku, laparnya anak-anak jalanan itu juga laparku. Pedihnya tidak bisa melanjutkan sekolah bagi anak-anak kurang mampu itu juga pedihku. Lemahnya mereka yang terbaring di rumah sakit itu juga kelemahanku. Kedinginan yang dirasakan oleh mereka yang rumahnya hampir roboh itu juga rasaku dinginku. Kursi roda yang dibutuhkan itu juga kursi rodaku. Semuanya selalu tampak seperti itu. Aku selalu melihat bayangan diriku di bola mata mereka.


Mengapa mbak Jazim menyampaikan apa yang telah diberikan ke orang lain? Apa ini bukan masuk kategori pamer kebaikan? Bukankah itu akan menghapus amal yang telah kita lakukan?
Iya, semua kembali kepada niatan kita. Dan aku merasakan bahwa apa yang telah kuterima saat ini adalah panen dari apa yang kutanam selama ini. Perlu diingat juga bahwa saat menanam, InsyaAllah hanya Allah dan orang yang bersangkutan (bisa juga perantara) yang mengetahui semua itu. Kamu yang tidak berhubungan denganku jelas tidak tahu kan? 


PadaMu aku kembali, di depanMu aku meniada.


Perjalanan cinta terindah dimulai, umroh pertama miqat di Bir Ali. Alhamdulillah jadwal yang diberikan pihak travel semua berjalan dengan baik. Berangkat tawaf,  dan melihat pintu-pintu megah Masjidil Haram yang agung. Gemuruh di dada semakin membuncah ketika kakiku memasuki masjid itu. Doa-doa terus dilafazkan, kami terhenti sesaat melihat ka’bah secara langsung untuk kali pertama dan membaca doa. Tiba-tiba aku merasakan “kengerian” yang sangat menyaksikan betapa banyaknya manusia sedang tawaf. 
Aku menengok diri, berbagai rasa muncul. Bagaimana jika terpisah dari rombongan, bagaimana jika terseret arus manusia bahkan bagaimana jika aku terjatuh di pusaran itu? Ada sesak mendera, hingga tepat saat menuruni tangga aku merasa tamparan angin yang lembut menyadarkan kekerdilanku lagi. “Ya Allah aku ke sini karenaMu, aku yakin Engkaupun akan menjagaku. Segala yang akan terjadi di sini adalah terbaik menurutMu, terserah Engkau ya Allah asal Engkau ridho.” Kuyakinkan diri, melepas segala resah, kemudian tenang tepat saat alat yang terpasang di telingaku mendengar TL meminta kami untuk membentuk barisan yang rapat, dan tawaf dimulai. Di pusaran cintaMu aku meniada, doa-doa kehambaan terus kuderas.


Bersambung...

0 Comments