Jejak Cinta Harapan Bunda 

Bahkan saat istirahat, mereka masih "mengejarku" untuk bercerita
tentang kondisi salah satu dari mereka yang tidak boleh sekolah
oleh orang tuanya. 
Sepulang dari Kelas Inspirasi Bangkalan, aku bercerita banyak hal kepada Bunda yang  seharian harus kutinggalkan. Bagai-mana perjalananku, serta kondisi lapangan yang aku hadapi. Kutunjukkan foto-foto kegiatanku dan seperti biasa bunda selalu senang melihat perjalananku. Selama ini aku terbiasa menceritakan per-jalananku kepada Bunda, membuat binar mata teduhnya kian indah. Bunda menyu-kai perjalanan karena kondisi kesehatan-nya yang kurang baik, hal itu tidak pernah dilakukan lagi. 
Aku telah menemaninya melakukan perjalanan yang ingin dilakukannya. 
"Bunda ingin naik kereta." 
Kami pernah melakukan perjalanan ke Malang sekadar untuk makan dan jalan sekitaran kota dan kembali dengan naik kereta lagi. 
"Bunda mau merasakan bagaimana naik pesawat."
Bunda sudah mengunjungi adiknya (pamanku) di Kalimantan dengan menggunakan pesawat. 
"Bunda ajak naik bus kota ya," 
Sejak masih sehat dulu, aku sudah mengajaknya naik bus kota hanya sekadar untuk jalan-jalan dari terminal ke terminal lainnya. 
"Kalau sehat ajak bunda jalan-jalan ke Yogya ya." 
Ketika kondisi kesehatannya semakin memburuk, perjalanan inilah yang belum bisa kuwujudkan karena beliau ingin mengajak cucu-cucunya (ponakanku) ikut serta. Sedangkan kondisi orang tua mereka belum sepenuhnya bisa pergi jalan-jalan. Aku masih menunda dan bunda menyetujuinya. 
Sampai kepulangannya yang abadi rasanya inilah perjalanan yang belum bisa kupenuhi untuknya. 
"Kalau bunda meninggal, umrohkan bunda ya."
"Bunda sehat, dan aku akan umroh lagi mengajak bunda." 
Ternyata itu pesan terakhirnya yang saat ini tengah kuupayakan untuk mewujudkannya. Mohon doanya ya...

Dan, alhamdulillah walaupun semuanya belum bisa kupenuhi secara keseluruhan, setidaknya aku telah berusaha melakukan hal yang menyenangkan beliau. Sejak tinggal bersamaku, aku berusaha mengajak beliau keluar rumah walaupun dengan menggunakan kursi roda. 
---

Setelah aku berkisah tentang kelas inspirasi Bangkalan, aku bertanya apakah aku boleh daftar lagi untuk daerah lain dan juga keraguanku untuk lolos. 
"Daftar saja, insyaAllah lolos. Kamu bisa berbagi hal baik ke anak-anak yang memang membutuhkan. Kamu harus ingat bahwa kamu dulu juga hampir tidak bisa sekolah. Sampaikan ilmumu, kisahmu yang tidak mudah itu agar mereka tidak mengalami apa yang terjadi padamu." 
"Jadi boleh ya, Bun? Kalau aku lolos KI lagi, kita pergi bareng saja. Bawa mobil jadi bunda bisa sekalian jalan-jalan dan tahu daerah lain. Aku akan daftar yang memungkinkan ikut adalah Pacitan karena izinnya tidak terlalu dekat dengan yang Bangkalan kemarin."
"Iya, daftar saja, insya Allah diterima dan pasti dapat izin libur kan hanya sehari saja." 

Percakapan itu akan selalu kuingat setiap aku mendaftar Kelas Inspirasi dan saat aku berada di Hari Inspirasi. Aku selalu merasakan senyum bunda hadir saat aku memasuki ruang-ruang kelas dengan berbagai kondisi. 
18 February 2019, Bunda kembali pada yang Maha Dirindukan, saat kondisi kesehatannya dinyatakan baik, sehat dan bersamaan esoknya pengumuman aku lolos Kelas Inspirasi Pacitan. Bunda sudah beraktifitas secara normal kembali setelah sekian tahun dipeluk HNP dan kesabarannya melakukan terapi membuahkan hasil. Bunda pulang dengan sehat dan bahagia. Semoga Allah mengampuni segala dosanya, menerima amal ibadahnya. Aamiin. 
Dan...yakinlah bunda, bahwa dalam setiap langkahku (di Kelas Inspirasi ini) ada jejakmu. 

Pacitan 

Perjalanan ke Pacitan, jelas sebuah perjalan yang tidak seperti biasanya. Keluarga besar masih "meragukan" kepergianku karena kondisi kesehatanku yang masih kurang baik sepeninggal bunda. Karena itulah aku ditemani dua orang sepupu semata untuk menjagaku jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karena kondisi inilah aku tidak bersama relawan lainnya yang tinggal (menginap) di sekolah. Saat itu aku memilih istirahat di dekat alun-alun kota Pacitan dan berangkat ke lokasi selepas subuh. 

Lokasi yang kami tempuh lebih "indah" dari Bangkalan yang jalannya mulus. Di Pacitan tepatnya di SDN Gasang ini, masih belum begitu baik. Area pegunungan yang lumayan menghawatirkan jika driver tidak perfect menguasai setir mobil. 
Malam sebelumnya aku sempat ditemui oleh ketua cabang asosiasi yang kupimpin di Jatim. Beliau mengkhawatirkan perjalananku menuju Gasang. Beliau meminta agar diantar saja oleh driver lokal yang lebih mengetahui medan. 
"Saya khawatir, Bu. Lebih baik diantar sopir saya saja ya..." bujuk beliau. 
Aku hanya melihat ke sepupu yang menjadi driverku. Ketika dia menggeleng artinya dia tidak perlu bantuan itu. Aku pun yakin bahwa sepupu ini cukup bisa menguasai medan karena selama perjalanan menuju Pacitan juga baik-baik saja. 

Gasang yang penuh mata kejora 

Aku memasuki area SDN Gasang saat udara masih sejuk dengan matahari pagi yang bersinar renyah. Relawan lain sudah bersiap dan aku segera menurunkan mediaku untuk mengajar. Anak-anak mulai datang dan kondisi selepas hujan menyisakan embun yang sejuk menyentuh kakiku sebelum kukenakan sepatu kebesaranku (boots). 

Menjelaskan berbagai alat berat dan fungsi masing-masing. Aku menggunakan tablet untuk menunjukkan gambar alat berat kepada anak-anak. 
Rekah senyum mereka menyapaku, rekah yang renyah dan hangat seperti matahari pagi. Aku tidak bisa berdusta, ada air mata yang kusimpan teramat rapi di ruang batinku saat kumasuki gerbang sekolah. "Bunda, aku di sini sesuai pesanmu." 
Jumlah siswa tidak seperti kelas inspirasi sebelumnya. Di sini, tidak sampai setengah dari SDN Kampak 2 Geger Bangkalan. Sebelumnya aku tidak punya pengalaman pembukaan HI (cuaca hujan dan lampu mati) maka pengalaman di SDN Gasang ini adalah pengalaman pertamaku melihat hari inspirasi yang lebih lengkap. 
Di awali dengan upacara bendera. Ya, upacara bendera ini entah kapan terakhir kali aku melakukannya. Lintasan kenangan muncul, aku kecil yang biasa membacakan UUD 45 sejak SD bahkan saat SMP. Ketika SMA aku hampir tidak pernah menjadi petugas upacara yang kami lakukan  pada tanggal 17 setiap bulan. 



Helm proyek yang menunjukkan keahlian tenaga konstruksi menarik perhatian anak-anak saat istirahat. Aku tidak jadi istirahat ketika jam istirahat, karena anak-anak pada ramai bertanya ini itu. Juga mencoba memakai helm proyek yang kubawa. 


Bersama siswa kelas 2 yang super heboh tapi benar-benar menyenangkan. Pertanyaan mereka yang nyeleneh dan membuatku terbahak. Pikiran anak-anak tentu jauh dari pikiran kita, orang dewasa. Justru kesederhaan pikir anak-anak yang bahagialah yang harusnya kita contoh sebagai orang dewasa. 


Jumlah siswa di kelas 5 memang sedikit. Di kelas ini ada cerita sebuah nama yang "putus sekolah" karena dia anak "istimewa".
"Selalu nakal, Kak. Selalu mukulin teman-teman." cerita salah satunya ketika kutanyakan kemana satu temannya, karena aku melihat satu 'headpiece' tergeletak di meja.
"Dia tidak boleh sekolah lagi sama orang tuanya." lanjut lainnya. 
"Di rumah, tidak ngapa-ngapain, hanya main. Kata orang tuannya mau dipondokkan supaya tidak nakal." jelas lainnya setelah kutanya bagaimana keadaanya sekarang. 

Pada detik yang sama, ada nyeri di dadaku. Anak-anak 'istimewa' selalu mendapat stempel nakal karena dia tumbuh berbeda dari teman sebayanya. Padahal bisa jadi, dia adalah anak cerdas yang kurang mendapat "perhatian". Secara tidak langsung kita sebagai orang tua yang katanya selalu menginginkan anaknya tumbuh baik, justru "merusak" pertumbuhan mereka dengan segala bentuk statment, ujaran buruk bahkan 'stempel' yang kurang tepat dan membuat anak semakin menujukkan dirinya seperti apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Anak-anak seperti ini, menjadi tanggung jawab siapa? Apakah membiarkan lepas tanpa pendidikan? Tentu...kita semualah yang ikut bertanggungjawab. 


Anak-anak bisa duduk rapi saat aku mengenalkan profesiku adalah "kebahagiaan" tiada tara. Sempat khawatir, tidak bisa meng-handle anak-anak kelas kecil tapi setelah bersama mereka aku langsung tahu apa yang harus kulakukan agar mereka tetap tenang, senang dan antusias dengan apa yang kusampaikan. 





Mereka telah tumbuh sebagai remaja cantik-cantik luar biasa tapi masih lekat dengan dunia anak-anak. Saat aku mengenalkan profesiku, bahkan mereka membuatku ikut lari-larian bersama mereka dalam kelas hanya karena salah satu dari mereka cita-citanya ganti menjadi arsitek setelah aku mengenalkan dunia kerjaku. 
"Mau kayak kak Ima aja, tapi jadi arsitek." kata Putri. Teman lainnya tidak terima karena dia maunya juga jadi arsitek, menuduh ikut-ikutan. Mereka berkejaran muterin ruang kelas dan berhenti ketika aku peluk salah satunya. 
Siswi berjumlah 6 orang ini adalah kelas 6. Kata kepala sekolah tahun sebelumnya jumlah siswa kelas 6 juga hanya 6 orang dan semuanya laki-laki. Untuk tahun aku mengajar ini semuanya perempuan. 


Anak-anak yang manis, jika kelak kalian menjadi pengusaha...semoga menjadi pengusaha yang memegang kunci sukses kemarin ya...



Hari itu, aku mendapat keluarga baru yaitu para relawan di rombongan belajar SDN Gasang. Sebuah kisah yang sering kuceritakan ketika aku mengikuti kelas inspirasi di tempat lain. Penerimaan pihak sekolah yang baik juga tentu tidak lepas dari segala lelah relawan fasilitator yang membuat kami bisa berada di sekolah ini. Aku menemukan banyak mata kejora di sekolah ini. Hanya bisa meng-aamiin-kan segala cita mereka. 

Dalam briefing, bapak sekretaris Bupati menyampaikan bahwa tingkat pendidikan di Pacitan memang masih rendah dan berharap bahwa kehadiran kami bisa membawa purubahan yang berarti. 

Ah...terlalu tinggi harapan itu, Pak, karena kami hanya relawan yang hanya sehari bersama mereka. Rantai putus sekolah itu memang harus segera dihentikan, agar kondisi anak-anak yang merupakan masa depan bangsa ini menjadi lebih baik. Sekali lagi, tanggung jawab siapa? Semuanya, Pak, semua harus bertanggung jawab. 
Tidak hanya guru dan pemerintah dengan berbagai program wajib belajarnya, tapi juga orang tua yang tidak kalah penting dalam "menentukan" masa depan anak. 

Lalu, siapa lagi? 
Masyarakat sekitar di mana anak-anak ini tumbuh, harus lebih peduli terhadap pendidikan anak-anak, siapapun orang tuanya. 

Dan...kami? 
Peran kami mungkin hanya nol koma nol nol nol sekian dari semua yang tersebut di atas. Kami datang hanya sehari untuk sedikit menambah 'pengetahuan' kepada mereka tentang dunia luar yang jauh dari kehidupan mereka selama ini. 
Terlebih untukku...aku datang justru mendapat asupan energy positif dari anak-anak hebat itu. 

Perjalanan Pulang yang Luar Biasa

Selepas acara refleksi yang tidak kuikuti sampai selesai karena lokasinya yang masih jauh dari kota sedangkan perjalanku masih sangat panjang. Semua pun menyampaikan agar segera keluar dari wilayah Pacitan jika tidak menginginkan untuk menginap kembali. 
Berita cuaca buruk merupakan hal mengkhawatirkan karena pihak keluarga mulai bertanya kapan pulang. 

Medan area Pacitan yang dikenal luar biasa memang menjadi kekhawatiran tersendiri. Bahkan ketua cabangku masih sempat bertanya dan meminta untuk segera keluar dari Pacitan karena cuaca kurang baik. 

"Usahakan maksimal maghrib, bu Jazilah sudah keluar dari jalanan Pacitan, harus sudah masuk Ponorogo. Jadi setelah ashar harus mulai perjalanan keluar Pacitan ya." pesannya. 

Kekhawatiran mereka malah membuatku ikut khawatir ingat perjalanan waktu berangkat yang Alhamdulillah aman-aman saja. 
Aku hanya melihat satu area yang baru saja dibersihkan dari tanah longsor dan alat berat  masih ada di dekat lokasi saat mobilku melintasinya. Ya, jalanan menuju Pacitan memang rawan longsong saat hujan. Bisa dibayangkan jika sudha terjebak di sana, tentu kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu pertolongan datang. 
Saat perjalanan pulang, aku melihat sungai yang ada di sepanjang perjalanan tampak berarus deras dan informasi lain yang kuterima di beberapa wilayah Jatim mulai banjir karena curah hujan yang tinggi. 

Alhamdulillah, sesaat menjelang maghrib mobilku sudah memasuki area parkir masjid Agung Ponorogo. Di sanalah aku rehat untuk beberapa waktu sampai adzan isya berkumanjang. Karena kondisi lapar, aku mencoba mencari sate ayam khas Ponorogo. Namun, saat kami masih mengitari alun-alun, hujan turun tak terkira. Jarang pandang sangat pendek. 

"Kita langsung pulang saja, cari jalan menuju Madiun. Hujannya mengerikan, pakai angin lagi. Laparnya ditahan dulu, kita cari makan di Madiun saja." intsruksiku kepada sepupu yang menjadi driver. 

Dan, belum juga kami keluar dari Ponorogo hujan begitu derasnya. Karena jarak pandang yang pendek tentu tidak bisa melajukan mobil dengan kecepatan lebih. Sampai di alun-alun Madiun hujan masih turun tapi tidak sederas sebelumnya. Kami harus makan. Bersyukur di sekitar alun-alun masih banyak warung makan yang buka. Dan kembali ketika sedang menikmati makan, hujan turun semakin deras. Tapi perjalanan pulang harus dilanjutkan. kami menerobos hujan dan ketika memasuki tol Madiun Surabaya, hujan menyisakan rintik saja. 

Alhamdulillah pukul 01 dini hari kami sampai rumah (Surabaya) dengan selamat dan esok pagi selepas subuh informasi banjir di tol yang kami lewati semalam, baru kami ketahui. Segalanya telah diantur dengan sempurna oleh yang Maha Kuasa. 

Ke Pacitan lagi? Insya Allah...karena belum sepenuhnya menjelajah wilayahnya. 

Lihatlah wajah bahagia mereka saat mengenakan helm proyek, setelah sedikit kujelaskan tentang keahlian yang memakainya. Anak-anak ini tidak bertemu aku di kelas, tapi di luar kelas mereka antusias mendengarkan ceritaku saat istirahat. 
"Ini lagi istirahat, Bu, sebelum kerja lagi makan dulu." celetuk satu dari mereka disambut tawa renyah yang lainnya. Aku ikut mendapatkan energy positifnya. 

Mereka keluargaku di Pacitan.

Ada video yang bisa dilihat nih..bagaimana aku bersama anak-anak di kelas 



Terimakasih untuk relawan dokumentasi ya...


Masih ingin tahu perjalananku setahun ikut Kelas Inspirasi....nantikan tulisanku saat ke Bali ....

#SetahunIkutKelasInspirasi #KIPAC4 #KelasInspirasiPacitan 


2 Comments

  1. Perjalanan yang menyenangkan. Semoga bisa ke Bekasi. Dan mampir ke rumahku ya mbak 😊

    ReplyDelete