Silaturahim Penuh Makna 

Perjalanan mengikuti Kelas Inspirasi Pamekasan ini, agak berbeda dari sebelumnya. Bagaimana aku akhirnya bisa menjadi bagian dari kelaurga besar Kelas Inspirasi Pamekasan mungkin tidak perlu aku ceritakan di sini. Cukup rasa terimakasihku kepada semua pihak yang telah mendukung dan menerima kehadiranku sebagai relawan di SDN Sana Laok 2, Waru Pamekasan. 

Kelas inpirasi ini awalnya tidak ada dalam agenda, mendadak karena sesuatu hal aku memutuskan untuk hadir di sini. Karena perjalanan ke Madura harus kulakukan dengan ada alasan, makan kelas inspirasi inilah yang menjadi alasan aku menjejak tanah Madura lagi. 

Aku menyempatkan menghubungi teman-teman kuliah semasa sarjana yang banyak tinggal di sekitar Pamekasan. Alhamdulillah kumulai perjalan ke Pamekasan ini dengan silaturahim ke orang-orang baik yang jauh sebelum ini telah aku kenal dengan baik. Silaturrahim ini sangat berarti, karena mungkin sudah hampir 17 tahun aku tidak bertemu mereka. Aku lulus sarjana mendahului teman-teman seangkatan, sehingga wisuda pun aku tidak bersama mereka, melainkan bersama kakak tingkat. 
Walaupun tidak semua bisa bertemu, tapi aku cukup bahagia melihat mereka semua. Bertemu mereka adalah sebuah anugerah indah luar biasa, termasuk bertemu kembali dengan kawan himpunan yang dulu kami pernah bersama di LKK (Latihan Khusus Kohati). Mengunjunginya, menemukan senyum dan peluk hangatnya. 
Berbagai cerita mengalir, ya...selama ini aku tidak pernah tahu ada reuni teman-temanku ini, bahkan telah berkali diadakan. Pertemuan ini, semoga membawa pada pertemuan selanjutnya yang lebih baik dan bahagia. Tak cukup waktu untuk mengurai segala cerita kehidupan, aku tetap harus melanjutkan perjalanan pada amanah awal sebagai relawan kelas inspirasi Pamekasan yang rencanya akan berangkat ke lokasi selepas sholat ashar. 

Menuju titik kumpul relawan dan aku bertemu dengan relawan kelas inspirasi Bali tepatnya dari SDN Wanagiri 3 Sukasada, Buleleng Bali. Ternyata, aku kembali reuni dengan mereka (ya karena ada 6 orang) dan salah satunya adalah tuan rumah yang menyambutku (kami semua) dengan sangat baik layaknya keluarga. 

Jamuan yang tidak bisa dihindari, menyempatkan briefing sekaligus perkenalan dengan personil dari  rombongan belajar SDN Sana Laok 2 sebelum melakukan persiapan menuju lokasi. 

Drama Keberangkatan dan Ketegangan Perjalanan Menuju Lokasi 

Jadwal keberangkatan yang tertunda sehingga kami melakukan sholat maghrib masih di titik kumpul relawan (di kota Pamekasan). Ketika kami bersiap, untuk rombonganku ada dua mobil yang akan membawa kami menuju lokasi dan sepeda motor sebagai penunjuk jalan. Namun, saat semua perlengkapan sudah masuk bagasi dan kami bersiap, baru tersadar ternyata salah satu mobil yang akan membawa kami bannya gembos. 
Dan...memerlukan waktu untuk menggantinya (harus diganti). Bersyukur di antara kami ada orang-orang tangkas dalam menangani hal tehnis seperti itu. Setelah semua baik kami segera berangkat. Namun, kembali lagi kami mengalami kendala berupa kemacetan di kota Pamekasan yang memang tengah punya gawe besar semacam bulan budaya. Sama seperti di Ponorogo sebelumnya, di Pamekasan selama bulan October juga untuk semua pegawai mengenakan pakaian adat Pamekasan. 
Karena kegiatan budaya ini, banyak jalan protokol yang ditutup untuk kegiatan. Kondisi ini membuat perjalanan kami terhambat kembali, karena harus mengikuti alur yang diarahkan oleh petugas. 

Ketika sudah keluar dari kota Pamekasan, rasanya hampir tidak ada kendala ketika kami menuju kecamatan Waru yang memang berada di area utara wilayah Kabupaten Pamekasan itu. Jalanan menuju kesana relatif bagus dan mendekati lokasi malah jalanannya sangat bagus. 
Aku masih berfikir medan yang akan kami lalui akan baik-baik saja walaupun beberapa teman yang aku jumpai sebelumnya mengatakan bahwa lokasi yang kami tuju sangat jauh dan cukup "indah" untuk dijangkau. 
Sejauh perjalanan masih tidak terbukti apa yang disampaikan oleh teman-temanku semasa kuliah itu. Jalanan justru sangat baik karena tampaknya proyek pelebaran jalan tengah di lakukan di area kecamatan Waru yang lebih dikenal sebagai wilayah pegunungan kapur. 

Mendadak panitia yang memberi arah perjalanan kami, memberi aba-aba agar kami segera berbelok memasuki jalan desa. Dan...aku tertegun sesaat. Mengapa sangat jauh peerbedaannya? Jalan utama yang kami lalui sesaat lalu begitu bagus tetapi sedetik kemudian ketika mobil berbelok, jalanan yang harus kami lalui sungguh jauh dari dikatakan layak. 

"Kita masih jauh, masuknya?" kami semua terjaga dengan baik memperhatikan jalanan yang akan kami lalui. Suasana gelap langsung menyergap dan hanya lampu mobil kamilah yang menerangi jalanan yang tak layak itu. 
"Iya, masih cukup jauh. Saya kurang pasti kalau malam gini, tapi dari jalan raya memang masih cukup jauh." jelas salah satu fasilitator yang ada di mobilku. 
Kami saling berguman kemudian diam. Aku yakin semua tengah berpikir tentang medan yang kami lalui ini. 
Gelap, berbatu dan sempit. Pandangan kami sangat terbatas karena suasana yang sangat gelap. Seandainya kami datang lebih awal mungkin tidak akan "semengerikan" ini perjalanan menuju lokasi yang kami tuju. Tapi bukankah kita tidak boleh berandai-andai akan segala sesuatu yang tengah kita lakukan? 

Kambali kami mendengar instruksi untuk berhenti setelah sekian waktu menempuhi perjalanan di jalanan yang selalu membuat kami menyebut nama Tuhan. 
"Sepertinya kita tersesat. Berhenti dulu, istirahat. Saya ragu ini akan bertanya dulu, daripada kita kebablasan karena gelap jadi agak membingungkan." suara panitia penunjuk arah kami dengar dan membuat kami histeris. 

Kami turun, demikian juga semua penghuni mobil satunya. Kami berbincang dalam gelap menunggu panitia mengkonsfirmasi perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Sebuah pengalaman luar biasa karena itu bukan sore hari tetapi menjelang tengah malam di daerah yang sama sekali tidak kami kenal. 
"Keseruan" cerita tentang Madura dan juga tentang wilayah yang aku jejak saat itu membuatku terdiam sesaat dan memohon pada Tuhan bahwa semua akan baik-baik saja. 
Tepat saat itu panitia mengkonfirmasi bahwa kami tidak tersesat dan memang masih jauh dari lokasi yang kami tuju untuk menginap. 
Tempat kami menginap memang tidak di sekolah karena ketiadaan air di sana. Kami menginap di rumah salah satu warga (mantan kepala desa kalau tidak salah) yang lokasinya lebih jauh dari sekolah dan jalurnya berbeda. Dan malam ini adalah perjalanan menuju tempat menginap. 

Beberapa kali melihat perkampungan dengan penerangan secukupnya, ada kandang ternak yang kelihatan karena tersorot lampu mobil di sepenjang perjalanan kami. Tanah tampak berdebu. Maklum saja karena wilayah ini pegunungan kapur. 
"Hati-hati di depan jalan sempit setelah jembatan kecil jalannya longsong samping kanan, jangan sampai mobil salah ambil haluan." suara panitia kembali mengejutkan kami. 
Oh...sungguh saat itu kami menjadi sangat religus saja....karena selalu nama Tuhan disebut dan memenjatkan doa yang paling aamiin untuk keselematan kami sampai lokasi. 
Benar, sejenak kemudian aku melihat mobil di depan yang kami kahwatirkan karena ukurannya lebih besar dari mobil yang aku tumpangi, perlahan melalui jalan yang disebutkan oleh panitia. 

Mobilku berhenti dan rasanya kami semua menahan nafas melihat mobil di depan kami selamat melewati jalan bahaya itu. Giliran kami perlahan harus melewati jalan sempit yang salah satu sisinya longsor itu. Alhamdulillah...kami bernafas lega setelah selamat dan tidak berapa lama setelah beberapa tikungan tajam, kami sampai rumah yang kami tuju. 


Makan Malam Kedua (benar-benar malam)

Alhamdulillah, kami sampai halaman rumah yang kami tuju dengan wajah 'sumringah' hahaha bukan karena apa, karena lepas dari ketegangan selama perjalanan saja. Terlebih kami disambut dengan baik dan langsung disiapkan makan malam. Bagaimana pun kami harus makan untuk menghormati tuan rumah yang telah menyediakan semua. Ya, karena seharusnya kami sudah sampai rumah ini sebelum maghrib tadi. 

Hidangan yang disuguhkan membuat kami semua lupa akan apa yang terjadi selama perjalanan. Kami lahap menyantap semua makanan yang ada. Nasi jagung, ikan pindang goreng, sayur bayam, ditambah sambel yang mantab, sungguh menjadi moment indah yang tidak akan kami lupakan. Ada yang mau diet? Diet itu bisa besok saudara!!!! Siapapun akan sepakat denganku, bahwa diet bisa dilakukan besok kan? Hehehe 

Setelah makan malam yang benar-benar mendekati tengah malam itu, kami sejenak bersih diri dan meletakkan barang di tempat yang telah disediakan. Kami melakukan sedikit pematangan persiapan untuk hari Inspirasi benar-benar tengah malam. Setelah selesai kami segera istirahat karena sudah mendekati pagi agar besok bisa lebih segar saat hari inspirasi. 

Pagi Indah di Sana Laok  Waru 

Aku bangun menjelang adzan subuh karena mendengar ibu tuan rumah sudah bangun untuk persiapan sholat subuh. Setelah beliau pergi ke Musholla kampung aku segera bersih diri untuk persiapan sholat subuh dan hal tehnis lain untuk hari inspirasi. Melihat kembali baterei tablet, handphone dan media yang sudah kusiapkan untuk bertemu adik adik di sekolah nantinya. 

Pagi, selepas subuh udara cukup dingin di wilayah itu, tapi begitu segar bagiku. Setelah agak terang, aku berjalan melihat sekitar rumah yang aku tempati. 
Masya Allah...aku tertegun takjub dengan apa yang aku lihat. Pemandangan yang semalam jelas tidak bisa kulihat karena kondisi gelap, pagi itu bisa kulihat dengan baik dan membuatku bahagia. Ternyata aku benar-benar berada di wilayah pegunungan, ketika pandanganku melihat sebuah tebing indah menjulang, aku hanya bisa tersenyum melantunkan syukur kepada Tuhan. 

"MasyaAllah...alhamdulillah, ternyata alamnya indah banget." gumamku ketika relawan lain juga mulai tertegun menyaksikan keindahan tebing-tebing di sekitar kami. 
"Kalau musim penghujan mungkin akan lebih segar karena pasti menghijau indah." sahut relawan lain yang ikut memperhatikan tebing di depan kami. 

Pagi itu, kembali kami sarapan dengan bahagia menikmati hidangan khas pedesaan di sudut kota Pamekasan. Hidangan yang tidak bisa dihindari oleh yang ada di sana. Aku mencoba menikmati sedikit buah yang kubawa sebelum ikut bersama relawan lainnya untuk sarapan seperti pada umumnya. 

Setelah semua persiapan selesai kami segera pamit kepada tuan rumah. Kami tidak akan kembali lagi setelah acara Hari Inspirasi di sekolah, karena lokasinya yang memang jalurnya berbeda dengan sekolah yang akan kami datangi. Tentu kami semua segera merapikan segala sesuatu agar tidak ada yang tertinggal karena akan merepotkan nantinya jika yang tetinggal adalah hal penting. Biarlah kenangan saja yang tertinggal di sana ya...kenangan apa? Ya terserah...kenagan apa saja! 

Butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke sekolah yang kami tuju. Dan, aku melihat secara lansung jalanan yang kami lalui semalam. Kiri kanan jalan adalah lahan bekas tanaman tembakau yang telah panen beberapa waktu lalu. Hampir semua tanah di sana tampak tandus karena merupakan tanah kapur. Semua berdebu, jalanan dengan batu yang "meringis" dan bikin hati teriris. 

Sampai sekolah kami disambut dengan baik dan segera melakukan persiapan upacara bendera. Hari itu adalah hari Sumpah Pemuda sehingga kami relawan ikut memasang pita merah putih di tangan anak-anak dan juga tangan kami. Upacara berjalan dengan baik walaupun kami (relawan) diminta menjadi pembina upara masih cukup belum sempurna. Tapi setidaknya itu menjadi pengalaman yang sangat berarti bagi kami tentunya. 

Karena kondisi gedung sekolah yang kurang memungkinkan digunakan belajar, akhirnya terjadi penggabungan kelas. Kelas 1 dan 2  menjadi satu kelas, kelas 3 dan 4 juga menjadi satu kelas. Untuk kelas 5 dan 6 tetap di kelas masing-masing. 

Kendala bahasa aku alami di sini. Anak-anak di kelas kecil masih belum familiar dengan bahasa Indonesia, sementara aku jelas tidak bisa menggunakan bahasa Madura untuk mengajar mereka. Aku mengerti jika ada orang berbahasa Madura, tetapi belum bisa secaca baik berbicara menggunakan bahasa Madura. Kendala ini memang cukup merepotkan, sehingga falititor mempunyai peran lagi yaitu sebagai translator untuk anak-anak di kelas kecil (terutama kelas 1 dan 2). 
Pada sesi awal aku mengajar kelas 6 yang memang biasa diajak komunikasi dengan bahasa Indonesia dan aku tidak mengalami kendala apapun menghadapi mereka. 

Saat di kelas gabungan 3 dan 4, Bapak kepala sekolah sempat ikut membantuku mengatur anak-anak yang ramai dan hampir semua teriak dengan bahasa Madura. Karena terlalu ramai, aku jadi tidak paham apa yang mereka sampaikan.
Ternyata mereka berebut menjadi ketua kelas ketika aku sampaikan ketua kelas akan memakai helm yang aku bawa. Bapak kelapa sekolah yang akhirnya menunjukkan siapa dari mereka yang menjadi ketua kelas. (Kalian bisa bayangkan bagaimana rupaku saat itu? hahaha....) 

Keseruan masih berlanjut ketika aku mengajar kelas yang paling kecil (gabungan kelas 1 dan 2) di sesi terakhir. Sungguh sesi akhir untuk kelas kecil adalah tantangan indah yang luar biasa bagi relawan yang harus bertanggung jawab untuk itu. Aku mengalaminya saat berada di Sana Laok 2, dengan keterbatasan bahasa dan menggunakan translator. Sudah...silakan dibayangkan sendiri bagaimana kondisiku ya...tapi seru banget lho. 
Anak-anak yang belum lancar menulis dan membaca, mengajak mereka bercerita dan bermain dengan miniatur alat berat yang aku bawa. Bahkan aku harus membantu mereka untuk menuliskan nama dan cita-cita mereka pada media yang disiapkan panitia untuk acara closing Hari Inspirasi. 
Ah, bersama mereka hilang segala resah dan lelah.


Keseruan untuk pembuatan video Sumpah Pemuda 


Bersama relawan, adik-adik, dan guru SDN SANA LAOK 2 WARU PAMEKASAN 

Setelah acara penutupan dengan menempelkan cita-cita mereka pada pohon cita-cita yang disiapkan, kami semua relawan masih dijamu makan siang oleh pihak sekolah sambil berbincang tentang berbagai hal ke depannya. 
Aku kembali menemukan sebuah keluarga baru di ujung tersembunyi tanah Sana Laok Waru Pamekasan ini. Semoga ini menjadi hal kecil yang dicatat malaikatNya sebagai hal baik yang layak diaamiinkan semesta. 


Coba perhatikan, foto ini dengan baik, terutama bagian atas gedung ya... kelihatan kalau tidak lurus kan? Itulah yang terjadi di sekolah ini, bahwa bangunan ini sudah tidak layak pakai. Dua kelas (bahkan 3) di belakang kami itu sudah rusak parah. Mulai plafon dan bahkan bagestingnya sudah patah. Namun, kami tidak punya "hak" untuk melakukan apapun terkait hal itu. 
Saat refleksi aku sudah sampaikan kepada panitia lokal mungkin bisa menyampaikan apa yang terjadi dengan gedung SDN Sana Laok 2 kepada dinas terkait yang menangani hal ini. 
Aku tahu permasalahan seperti ini, seperti perih yang lirih seolah jeritan itu tak terdengar lagi, karena aku bekerja di dunia konstruksi. Jadi...sampai kapan negeri ini (orang-orang yang seharusnya tahu apa yang harus dilakukan) berdiam, menutup mata dan telinga atas segala kabar pedih yang disampaikan semesta? 
Ini bukan hanya masalah satu atau dua dinas, tapi ini masalah kita bersama. Sampai kapan? 


"Mbak, panas banget ya..." satu relawan forografer menyapaku sambil menyeka keringat.
"Memang, kita di pegunungan kapur di musim kemarau lagi. Air minumku hampir habis juga." jawabku.
"Hahaha...tadi aku haus banget, larilah aku ke warung depan itu nyari es." ceritanya sambil tertawa satir. Aku menahan tawa memprediksi apa yang terjadi. 
"Terus?" tanyaku dengan tawa siap pecah. 
"Hahaha...bahkan di sini tidak ada yang jual es..." 
Tawa kami pecah berguguran seiring keringat yang bercucuran karena cuaca panas yang memang terlalu hangat untuk kami. 

Perjalanan pulang, kami masih disuguhi kenyataan akan jalanan yang kami lewati semalam. Kalau malam kami tidak bisa melihat sekitar, kini saat pulang kami dengan jelas melihat medan yang kami lalui dan jalan sempit serta longsor itu benar-benar nyata, membuat menahan nafas kembali untuk melewatinya. Tikungan tajam, naik turun jalan yang cukup ekstrim. Bebatuan tampak menantang ban mobil kami, begitu angkuh berdiri di sepanjang jalan hingga kami bertemu jalan raya yang mungkin seindah jalan di surga. Ah...Pamekasan...aku tidak pernah takut untuk kembali.... 

Ohya yang mau tahu video kegiatan kami buka saja di sini ya... 



Fotografer: Enjang, Rian, Faris dan Dimas

0 Comments