"Hari gini, mau punya apa-apa itu harus kredit, Mbak. Mau nunggu warisan, wong gak punya jatah warisan orang tua juga gak punya apa-apa."
"Punya cicilan itu bikin semangat kerja, Mbak, karena merasa ada tanggungan. Kalau gak punya cicilan ya kerja sekenanya saja."
"Kalau gak kredit ya gak punya apa-apa, Mbak,"
"Halah...sudah biasa, Im. Kalau tidak kredit darimana kita bisa punya sesuatu?"
"Sudah gakpapa, semua orang juga kredit untuk punya sesuatu, kenapa malu?"

Apakah pernah mendengar kalimat-kalimat seperti di atas? Atau terlalu sering? Bahkan malah kita sendiri yang sering mengucapkan itu? (Semoga tidak). Ya, aku sering sekali mendengar bahkan berhadapan langsung dengan orang-orang seperti itu. Orang sekitarku, ada yang masih ada hubungan keluarga, tetangga, teman baik atau sekadar cerita dari orang-orang yang kukenal. Banyak hal yang selama ini sering dimaklumi dengan kalimat seperti di atas. Membenarkan apa yang sudah menjadi lumrah, padahal sejatinya hal itu (tidak) benar.

Kesempatan ini, jelas bukan kapasitasku untuk bicara tentang hukum/syariat yang mengatur semua ini. Ada 'perselisihan' hukum tentang melakukan kredit juga kartu kredit. Monggo bertanya pada yang punya kompetensi tentang hal itu. Aku hanya menyampaikan "dampak" yang kulihat secara langsung dari orang-orang di sekitarku dari "kredit, kartu kredit, dan riba tentunya". Riba sudah jelas dalam kitab suciku, jika mau lebih jelas bertanyalah kepada yang ahli atas semua itu. Keputusan akhir jelas ada di tangan kita masing-masing seiring tanggung jawab/konsekuensi atas segala keputusan yang  kita ambil. 

Apakah mbak Jazim tidak pernah terlibat utang? Tidak pernah punya cicilan? Tidak pernah menggunakan kartu kredit?
Pernah, dan aku melihat masih dalam tataran sangat manusiawi. Mengapa aku harus berhutang atau meminjam uang. Aku pernah utang untuk bayar SPP kuliah pascasarjanaku, karena jika tidak kubayar aku tidak bisa lulus bahkan terancam dikeluarkan. Aku pernah utang uang untuk beli laptop, karena laptop inilah yang menunjang kerjaku. Aku pun pernah utang untuk menambah DP rumahku. (Nah ini beli rumah pakai DP? Kredit donk...nanti akan kujelaskan
Saat inipun aku masih punya utang kepada adik iparku untuk sebuah keperluan yang penting dan aku tengah berusaha untuk segera mengembalikannya. Semoga Allah memudahkan, Aamiin...
Ketika aku berani mengambil cicilan misalnya, artinya aku memang mampu untuk membayarnya. Dan barang yang aku beli itupun barang yang sangat penting untukku.

Ada satu kalimat yang cukup membuatku menangis untuk urusan cicilan/kredit ini. Sebenarnya bukan karena kenyataannya aku tidak memiliki berbagai hal yang sudah dimiliki banyak orang, tapi lebih pada siapa yang mengucapkan itu padaku. Ya, yang mengucapkan itu masih ada hubungan "dekat" denganku. Ternyata itu yang lebih menyakitkan ketika aku mendengarnya. Orang yang kuanggap keluarga yang kuharapkan menjadi tempat 'kepulangan' segalanya, kurasakan bukan lagi sebuah ikatan yang membuat aku lebih punya arti.

"Deloken awakmu, Im, gak gelem ngredit yo gak duwe apa-apa." Sebuah ucapan yang sangat negatif ditujukan langsung kepadaku oleh orang-orang yang bisa kukatakan sebagai orang 'dekat'. (baca dengan benar ya...dekat dalam tanda petik)

Sungguh, saat kali pertama mendengar itu bibirku memang tersenyum lebar tapi hatiku benar-benar terluka. Orang-orang yang kuharapkan menerimaku selayaknya "saudara", ternyata memandangku dari sisi materi itu.

Aku mendadak ingat semua perjalananku, bagaimana dulu aku menjadi tujuan banyak orang ketika membutuhkan sesuatu. Alhamdulillah, kemudian semuanya sukses. Sementara aku, ya seperti ini saja dalam menjalani hidup. Bagi mereka, aku tidak sesukses mereka karena tidak memiliki apa-apa yang mereka miliki saat ini.

Aku sempat bercerita tentang hal itu kepada Bunda (almarhumah) waktu itu. Bunda pun ikut sedih, dan hanya bisa membaluri hatiku dengan doa-doa terbaik seorang ibu. Aku sangat bersyukur dilahirkan oleh perempuan yang selalu menerimaku dan mendukungku dalam segala kondisi. Ada lho, seorang ibu yang tak layak disebut "ibu". Pun, aku bersyukur terlahir dari seorang bapak yang luar biasa pandangannya tentang segala bentuk kredit dan utang. Setahuku, bapak tidak pernah memiliki sesuatu dengan jalan riba. (semoga ini benar--karena selama hidup di dunia ini, aku tidak banyak bersama beliau--sedikit sekali pengetahuanku tentang beliau).

Iya, aku yang hidup di kota metropolitan memang sangat 'memalukan' karena tidak memiliki apa-apa dalam pandangan umum. Jangankan rumah, mobil atau motor saja aku tidak punya. Tentang hal ini banyak yang tidak percaya. Tapi Alhamdulillah, sebelum marak transportasi online, biasanya jika aku butuh kendaraan selalu ada 'orang baik' yang menyediakan. 
Handphone yang kupakai juga dianggap murahan untuk orang sekapasitas aku. Aku ini siapa dalam pandangan mereka? Memang ada ya, ukuran atau standar untuk itu? Padahal aku melihat handphone itu tidak lebih dari sekadar alat komunikasi yang mendukung aktifitasku. Tidak lebih dari itu, apalagi sampai melihat itu sebagai gengsi bahkan menunjukkan status sosial seseorang.

"Wes wayahe nggawe Iphone11 awakmu iku, Mbak." ucap seseorang belum lama ini.
"Awakmu itu sakjane wes nyekel setir bunder, atau ada yang nyetiri. Piro seh...uang mukae lhak yo murah. Cicilane lho ya biasa." ucap yang lain.
"Pantese omahmu iku sakjane yo wes gede magrong-magrong. Kerjo puluhan tahun ora onok sing diopeni. Mangkane tukuo lewat KPR lak wes nduwe ket biyen. Nunggu nyelengi, kapan duwe omahe? Selak tuwek gak duwe omah." kata lainnya.
"Mangkane kredito!!!" teriak suara lain.
"Awakmu lak nyekel kartu kredit to? lha gawe opo kalau tidak untuk memiliki sesuatu yang berguna untuk hidupmu?" vonis lainnya.

Apapun, jika prinsip dan cara pandang kita berbeda tentu akan menghasilkan sudut pandang yang jauh berbeda pula. Keputusan yang kita ambil sudah tentu tidak akan pernah sama. Segala konsekuensi dari putusan hasil pandangan yang berbeda itu pun menjadi tanggung jawab kita masing-masing.

Sikap kehati-hatianku, mungkin dianggap sikap seorang pengecut atau golongan manusia yang tidak berani punya tanggung jawab. It's up to you! Untuk semacam ini, aku bahagia saja kalian katakan seperti itu. 

Ohya, sampai saat ini aku memang megang kartu kredit yang kuperoleh sebagai persembahan dari Bank dimana aku memiliki rekening aktif di sana. Ketika orang-orang sekitarku dengan berbagai cara dilakukan agar bisa mendapatkan kartu kredit dari sebuah bank tertentu, sementara aku? Aku tidak pernah mengajukan permohonan itu. Lalu bagaimana aku bisa mendapatkannya dengan mudah?

Sepertinya, semua berawal ketika aku dipercaya mengelola perusahaan dalam kondisi 'babak belur'. Kondisi mempritahatinkan itu menjadikan rekening perusahaan pun dipercayakan ke rekening atas namaku (rekening pribadi). Semua dilakukan untuk menyelamatkan keuangan perusahaan (baca: yang babak belul hancul lebul ya...) dari orang yang kurang (baca: tidak bisa) bertanggungjawab. Mereka lebih mempercayaiku. Aku meyakini semua semata juga karena Allah memberi kemampuan padaku untuk menjaga amanah itu. Jika tidak diberiNya kemampuan itu, bagaimana aku bisa?

Adanya transaksi keuangan (cash flow and etc) yang bagus dan lancar tentu menjadi pertimbangan pihak perbankkan untuk memberikan kartu kredit itu. Padahal itu bukan uang pribadiku, karena memang uang perusahaan yang telah kukelolah sedemikian rupa untuk bangkit kembali. Setidaknya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada.
Bagiku sih kartu kredit itu sebuah jebakan, jika kita tidak benar-benar kuat menghadapi godaannya. Setelah memegang kartu kredit satu bank dan kita dalam status berkualitas, akan sangat cepat bank lain menyerbu kita dengan memberikan layanan serupa. Semakin banyak kartu bagiku akan semakin banyak jebakan maut yang mengancamku.
Apakah semua orang berpikir seperti aku? Tentu tidak! Inilah yang akan membedakan kami pada akhirnya. Aku tetap hanya menerima kartu kredit dari satu Bank saja.

Ada satu bank yang ngotot memberiku visa atau master card platinum dan langsung mengirimkan kepadaku. Aku biarkan, tidak kuaktifkan. Mereka kalang kabut dan setiap hari memintaku untuk mengaktifikan.
"Ibu nasabah prioritas kami, mohon hadir ke kantor Bank .... terdekat untuk melakukan verifikasi data dan ibu akan langsung mendapatkan manfaat dari kartu yang kami berikan. Ibu juga langsung mendapatkan hadiah langsung dari kami. Jadi mohon datang ke bank terdekat ya, Bu."
Karena cukup jengkel setiap hari di telpon, aku menjawab agak kurang sopan dan didengar oleh hampir semua karyawan yang ada.

"Mbak, pertama, saya tidak pernah menyetujui untuk menerima kartu kredit. Kedua, jika sebelumnya saya begitu saja diberi kartu kredit mengapa sekarang saya harus repot-repot ke Bank untuk verifikasi dan validasi data? Apalagi tadi mbak menyebut saya sebagai nasabah prioritas, ngapain saya harus repot-repot untuk sesuatu yang tidak saya inginkan? Jadi, saya mohon maaf karena tidak bisa memenuhi semua permintaan mbaknya tadi. Cukup jangan pernah menghubungi saya untuk urusan ini. Jika nanti saya membutuhkan kartu kredit saya akan mengajukan permohonan." suaraku meninggi membuat ruangan senyap.
"Kalau pengajuan sendiri belum tentu disetujui, Bu." mbaknya ngeyel dan memang harus ya karena itu tugasnya dia.
"Ya saya bilang donk...saya nasabah prioritas, kan itu tadi yang selalu mbak sebutkan? Sudahlah, Mbak, saya cukup sibuk semoga mbak mendapatkan nasabah lain ya. Terima kasih selamat siang." telp kututup dengan sempurna.

Sementara di sekitarku kondisinya berbeda. Jelas mereka yang begitu berambisi untuk memiliki kartu kredit tanpa memikirkan pondasi ekonomi yang kuat. Bisa dipastikan akhir sebuah cerita 'bahagia' mereka layaknya sebuah dongeng saja. Namun, bukankah apapun memang akan menemukan konseskuensinya?

Berdasarkan banyak pengalaman orang di sekitarku, aku tidak pernah melihat orang yang hidup bergelimang riba itu hidupnya sempurna. Secara kasat mata ada sebagian mungkin rumput kehidupannya menghijau indah, mengundang cemburu banyak orang. Tapi perlahan lihatlah dengan kebeningan hati, ada saja sisi lain hidupnya yang "berbeda" dari mereka yang hidup jauh dari riba. Mulai pribadinya, sakitnya, keluarganya atau hal lain yang kadang jika dilogika harusnya baik-baik saja.

Sebagai manusia beragama, tentu aku meyakini adalah 'balasan' atas segala amal perbuatan kita bukan hanya tentang hal baik, tapi juga hal buruk. Tuhan tidak menegur kita dengan cara yang sama dengan hal buruk yang kita lakukan, tapi dengan cara lain agar kita sadar dan menggunakan akal pikiran yang kita miliki sebagai anugrah.

OK, aku mulai saja cerita pilu tentang pengalamanku hidup di kelilingi orang yang menjalankan riba. Hidupku benar-benar dikelilingi riba, bukan dalam arti aku sebagai pelakunya. Karena kondisi inilah aku selalu memohon padaNya agar dijaga dari segala bentuk riba.

Sebuah keluarga dengan beban tak biasa. 

Aku mengenalnya saat SMA, karena keluarga itu bekerja di perusahaan yang sama dengan keluargaku. Beliau juga belanja ke warung kecil milik Bunda. Ya, saat itu bunda sambil bekerja juga jualan 'pracangan' untuk tambahan pendapatan. Secara tidak langsung bunda juga membantu karyawan sekitar yang memerlukan bantuan, dalam arti kebutuhan sembako tanpa harus membayarnya secara langsung. Awalnya memang mereka harus bayar lunas, apa yang mereka beli. Setelah dianggap cukup baik, maka jika ada yang mengalami 'kesulitan' bunda mengizinkan untuk membawa sembako dan membayarnya pada minggu depan. Demkian seterusnya...dan harus dilunasi semua saat menjelang Idul Fitri karena pada umumnya karyawan mendapatkan THR. Aku begitu akrab dengan catatan utang piutang, karena bunda memberi mereka buku catatan secara detail.

Kembali kepada keluarga ini. Seperti halnya karyawan lain yang juga membeli kebutuan keseharian kepada bunda, keluarga ini juga punya utang mingguan. Namun, ada yang tidak beres dalam keluarga ini ketika kuperhatiakn dengan baik keseharian mereka. Awalnya tidak begitu kuperhatikan, tapi ketika setiap saat ada yang datang, ada yang teriak tak nyaman, atau bahkan mendadak semua anggota keluarga ini "menghilang" pada hari-hari tertentu, aku akhirnya tahu apa yang terjadi.

Bersamaan dengan kondisi itu, keluarga ini juga mulai menghindar pembayaran utang mingguannya kepada Bunda. Aku dan bunda akhirnya tahu jika keluarga ini, memiliki banyak tanggungan pada banyak orang (rentenir). Terbiasa dengan 'gali lubang tutup lubang' dalam hidupnya.
Ketika mengetahui semua itu awalnya jelas aku tidak percaya, karena secara penampilan kondisi mereka sangat baik. Pakaian, ucapan mereka adalah kesan orang berada. Namun, pada titik inilah aku menyadari, ada yang "kurang tepat" dengan gaya (pola) hidup mereka. Entah sejak kapan kondisi itu terjadi, mungkin sejak jauh sebelum bekerja di perusahaan yang sama dengan orang tuaku.

Ya, gaya hidup mereka jika dilihat memang agak terkesan wah dan mewah tentunya. Jika kita keluarga kurang mampu, tentu akan lebih baik bisa membeli beras, lauk pauk untuk keluarga daripada harus membeli makanan matang yang tentu lebih mahal dan lebih banyak untuk semua keluarga.
Aku sangat ingat, dulu keluargaku jika membeli rujak, bakso, mie ayam dan makanan sejenis yang dijual penjaja makanan yang datang ke kampung kami tidak setiap saat kami membelinya. Makanan ini bukan makanan harian kami. Makanan jenis ini kami nikmati saat ada rezeki lebih banyak dari biasanya. Bahkan kami biasa menikmati dua bungkus rujak untuk sekeluarga (bapak, bunda, aku dan dua adikku). Aku dan adik-adikku selalu diajari bunda untuk berlaku (berbagi) seperti itu. Jika ada sedikit, kami harus berbagi dan tetap bisa menikmati semuanya.

Nah, keluarga yang aku ceritakan ini memang jauh gaya hidupnya dengan apa yang diajarkan orang tuaku. Aku tidak merasa gaya hidup keluargaku terbaik, dan mereka buruk. Tidak sama sekali. Aku hanya melihat, bahwa dalam kondisi inilah kita sangat rawan untuk jatuh pada riba jika membiarkan diri larut dalam kemewahan semu yang pada hakikatnya menyiksa.

Jika waktu gajian, keluarga ini akan membeli makanan yang menurut keluargaku masuk kategori makanan mahal. Di keluarga ini, cara menikmati makanannya juga jauh berbeda dengan cara keluargaku. Mereka berlima, maka akan makan bakso 5 mangkok, nasi padang, nasi goreng, apapun jika beli ya lima porsi entah itu dengan cara utang atau tunai. Jika ada yang menawarkan pakaian, maka keluarga inilah yang pertama akan membeli (yang tentu kredit dengan harga yang sangat tidak wajar) walaupun sebenarnya pakaian itu tidak begitu dibutuhkan.
Satu lagi yang dimiliki keluarga ini, yang bikin geleng kepala adalah ucapan mereka yang selalu "di atas" dan menepuk dada, tidak mau ketinggalan (lebih rendah) dari orang lain.

Itulah, letak persoalan awal hingga mereka jatuh pada riba. Sangat biasa, istrinya meminta kepada bunda untuk pinjam uang panas katanya. Bunda tentu tidak pernah mau meminjamkan itu, karena memang bunda hanya jualan sembako dengan keuntungan tak seberapa. Hidup mereka tidak pernah tenang, seperti aku sampaikan di awal. Mendadak aku tidak melihatnya seharian, demikian juga anak-anaknya. Mereka diajak sembunyi oleh orang tuanya untuk menghindari rentenir yang datang. Sudah dipastikan semua juga akan memperngaruhi sekolah mereka. Sepertinya anak-anaknya juga akhir putus sekolah saat berada di sekolah menengah pertama.

Jadi, kurang bersyukurnya kita akan segala nikmatNya, rasa sombong, iri kepada orang lainlah yang akan sangat mudah membawa kita jatuh pada riba. Keluarga inilah contoh nyata "kesusahan hidup yang tiada henti" yang ada di sekitarku.
Entah, saat ini bagaimana kondisi mereka, karena sejak sekitar 8 tahun yang lalu semua keluargaku pindah dari perusahaan itu.

Seorang yang membungakan uang

"Gaween duwekku, gapapa. Balekno sak isomu."
(Pakailah uang saya, tidak apa-apa. Kembalikan sebisamu)
"Sak isone maksute piye?"
(Sebisanya gimana?)
"Ya mboke jarno meneng gakpapa, anake wae satus seminggu sampai awakmu isok mbalekno mboke."
(Ya pokoknya biarkan tidak apa-apa, bunganya saja seratus seminggu sampai kamu bisa mengembalikan pokoknya.)

Sebuah percakapan  mendarat sempurna di telingaku. Otak matematikaku langsung bekerja dan menghasilkan sebuah perhitungan yang mengerikan. Bagaimana ketika ada minimal 5 orang yang memanfaatkan jasa orang ini? Aku seperti dilempari bebatuan mendengar semua itu bahkan langsung bertanya kepada bunda, tentang kebenarannya.
Ternyata bunda sudah tahu tentang itu dan tentu tidak ada hak bagi bunda untuk mencampuri urusan orang itu. Kami hanya menjaga diri agar tidak sampai menggunakan jasanya seburuk apapun keadaan yang kami alami.

Kehidupannya begitu tampak sempurna. Perhiasannya berderet, uangnya tidak terkira banyaknya. Siapapun membutuhkan uang dia pasti bisa menyediakan. sebesar apapun. Ya kebutuhan orang-orang ekonomi kecil tentu tidak sebesar kalangan menengah ke atas kan? Tidak hanya bentuk uang, bahkan kebutuhan dalam bentuk barangpun dia bisa diwujudkan, tentu dengan harga yang 'menakjubkan'. Lebih 'mengherankan' lagi sangat banyak orang yang menggunakan jasa orang ini. Ya, semua kembali kepada banyak pertanyaan yang aku sampaikan di awal tulisanku ini. Rata-rata tentunya pikiran mereka ya seperti itu.

Banyak orang yang bepikir tidak jernih memilih meminjam kepada tetangga yang 'rentenir' tadi. Pinjaman 'halus' dengan pola pengembalian murah meriah tapi mencekik sampai mati. Dia merasa hanya membayar sedikit, tapi dia tidak sadar (bahkan mungkin sadar juga dan merasa itu hal lumrah) setiap minggu membayarpun tidak akan pernah menyelesaikan utangnya.

Lalu si rentenir ini...segala apa dia miliki dalam arti materi. Tapi aku diam-diam melihat, bahwa orang ini tidak pernah sehat. Hidupnya sangat tergantung dengan obat. Jadi walaupun secara materi dia berlimpah ruah, tapi ada satu sisi lainnya yang tak pernah baik. Bahkan, tidak sekali dua kali, anaknya sendiri yang "menipunya". Entah bermaksud menipu atau tidak, yang pasti si anak akan selalu mencari alasan bagaimana caranya mengambil uang ibunya.

Atau kondisi anaknya inilah yang akhirnya sering sekali membuatnya harus mengeluarkan uang tidak sedikit. Ada saja kejadian tidak normal dalam pandanganku yang seharusnya kehidupan mereka baik-baik saja. Sedikit-sedikit ada kejadian yang harus mengeluarkan uang, entah urusan tidak ada kerjaan, atau bahkan urusan hukum.

Aku hampir setiap saat juga mendengar keluhannya, sangat tampak bahwa di balik semua hartanya, dia tidak pernah merasakan hidup dengan tenang. Setiap saat dia akan marah-marah kepada orang-orang yang telat membayar utang atau bunganya. Setiap saat dia harus ke dokter untuk urusan 'emosinya' ini yang tentu ada efek kepada kesehatannya. Pokoknya aku tidak pernah melihat hidupnya itu damai. Padahal secara materi sangat berlimpah, secara logika dasar seharusnya kan hidupnya bahagia damai sejahtera.

Ya, apapun yang didapat dengan cara tidak baik rasanya memang tidak akan membawa keberkahan dalam hidup dalam arti kebahagian yang sebenarnya. Sebuah pelajaran penting bisa diambil dari melihat cara hidupnya.
Entah bagaimana kondisinya saat ini, karena aku benar-benar tidak pernah lagi berkomunikasi dengan orang tersebut. Semoga tidak menjadi rentenir lagi.

Dua orang itu, benar-benar aku tahu bagaimana kesusahan hidup yang disebabkan oleh riba yang tentunya itu adalah konsekuensi logis dari keputusan yang kita ambil. Lebih jauh lagi tentu pada prinsip serta gaya hidup yang menjadi pilihan kita.
Ketika lihat foto Jazim kayak gini? Ngeri nggak?


Orang yang memanfaatkan (menggantungkan hidup) kartu kredit untuk gaya hidupnya

Bersambung ya....


0 Comments