Siapa yang pernah rajin menulis buku harian? Atau sampai sekarang masih menulisnya secara manual di buku? Aku (dulu) sangat suka menulis segala apa yang terjadi di buku harian. Mengingat kembali bahwa Jazilah kecil, kata Mak (nenekku) kalau bercermin suka bicara sendiri, bercerita, berdialog dengan banyak suara tapi tidak pernah menyanyi. Hehehe sepertinya memang benar, bahwa aku tidak begitu suka menyanyi sejak kecil. Lagu-lagu yang kuhafal tentu karena menjadi kewajibanku sebagai murid saja, berarti lagu kebangsaan/nasional. 

Seingatku aku sudah menulis puisi sejak SD, dan suka membacanya juga. Satu hal pasti aku sangat suka membaca sejak aku mulai bisa membaca. Apapun yang ada akan kubaca keras-keras. Buku paket pelajaran isinya hampir bisa kuingat karena terlalu sering kubaca. Aku seringkali menulis apa dan bagaimana 'kenanganku' tentang buku. Ada banyak tulisanku tentang ini. Jadi kali ini aku tidak akan menulis lagi tentang kecintaanku pada buku, tapi tentang kebiasaanku menulis di buku harian. 

Puncak bagaimana rasanya hidup sebagai anak dari orang tua yang bercerai aku rasakan justru saat aku menginjak remaja. Aku menjadi suka memerhatikan orang tua teman-temanku, aku merasa tidak memiliki kehidupan yang lengkap saat itu. Terlebih 'doktrin' yang aku terima tentang orang tuaku (khsusunya bapak) sudah tertanam sejak kecil. Mungkin saat itulah aku mulai memahami arti kehadiran orang tua, arti kebutuhan nasehat secara langsung dari mereka. Walaupun jelas aku masih sepenuhnya mendapatkan kasih sayang dan nasehat-nasehat terbaik dari kakek nenekku tentunya. Sepertinya sejak itulah aku mulai menulis dan tumbuh menjadi remaja yang pendiam (introvert) bahkan mungkin minder, tidak punya percaya diri karena merasa tidak memiliki keluarga yang sempurna.

Aku ingat menulis sebuah puisi dan kubagikan ke teman SMP saat kami pengumunan kelulusan. Saat itu aku sudah tidak ada harapan untuk bisa melanjutkan sekolah walaupun prestasiku bisa masuk SMA Negeri 1. Harapan untuk mengenyam pendidikan SMA itu pupus sudah karena kondisi orang tua yang memang tidak memungkinkan membiayai sekolahku. Saat itulah hadir bapak kandungku yang selama ini kekenal lewat 'doktrin' tentang keberadaannya. Kehadiran beliau bagai malaikat yang akhirnya mewujudkan impianku untuk bisa melanjutkan sekolah. Satu kenyataan yang mulai kuakrabi saat itu adalah penerimaan atas segala yang terjadi termasuk tentang sekolah ini. Demi aku bisa sekolah maka aku menerima dimanapun aku akan disekolahkan. 

Tidak pernah ada di benakku bahwa pada akhirnya aku dimasukkan ke sekolah yang berada dalam naungan pesantren. Artinya akupun harus menjadi santri di pesantren karena tidak mungkin aku pulang setiap hari. Aku mulai menerima kenyataan hidup yang jauh dari bayanganku sejak kehadiran bapakku. Semua berubah secara mendadak. Aku meyakini inilah cara Tuhan mencintaiku. Tapi sekali lagi, Tuhan selalu punya cara paling elegan untuk membuatku menjadi sosok yang lebih tangguh ketika mendadak orang yang kusebut bapak dan membawaku ke pesantren ini tidak lagi hadir memenuhi kewajibannya. Akupun harus menerima kenyataan itu. 

Buku Harianku. Ada yang berani baca?

Air  mataku jelas tumpah kepada bunda dan bapak sambungku. Aku menangis agar bisa tetap sekolah walaupun akupun tahu bagaimana kondisi beliau. Ada adik-adikku yang masih kecil. Omongan orang agar aku pulang dan bekerja mulai kudengar. Untuk apa sekolah karena aku hanya anak perempuan. Alhamdulillah aku punya sosok bapak sambung dan seorang ibu yang luar biasa. Dengan segala kekurangannya, beliau memastikan akan terus menyekolahkan aku sampai lulus SMA. 

Sejak peristiwa itulah rasanya aku mulai akrab dengan buku harian. Tidak ada orang yang bisa mendengar kemarahanku pada sosok yang kusebut bapak itu. Tidak ada orang yang akan mendengar betapa aku sedang tidak baik-baik saja. Aku tahu aku menjadi sangat pendiam, menjadi sosok yang tertutup dan buku harian adalah teman baikku. Dialah yang akan setia menerima apa yang kutuliskan dengan segala rasa. Aku terus tumbuh dengan caraku, ketika ruang konseling menjadi tempatku sehari-hari karena melanggar aturan-aturan sekolah. Sebenarnya, aku hanya ingin orang lain melihat aku ada dan caraku saat itu adalah dengan melanggar aturan sekolah. Harapanku agar ada orang (guruku) yang bisa kujadikan sosok teladanku dengan sikap-sikap baiknya. 

Ya, masalahnya aku tidak mau banyak bicara sehingga ketika banyak nasehat baik seolah kudengar dengan telinga kanan, kulepaskan lewat telinga kiri. Sejatinya aku tidak ada tujuan membuat kesal guruku hanya sebagai bentuk bahwa ada yang memperhatikan aku. Caraku ini mungkin agak aneh, ketika teman-temanku begitu bengal dengan pelanggaran yang menurutku tidak logis. Setiap ada pikiran aku melakukan tindakan seperti mereka, aku selalu melihat wajah ibu dan bapak sambungku. Perjuangan mereka tidak pantas kubalas dengan kebengalan serupa teman-temanku. Aku tetap menjadi murid yang baik dalam urusan akademis. Aku tidak suka melakukan hal yang memang secara logis tidak layak kulakukan. Di usia saat itu rasanya aku terlalu 'tua' dalam memikirkan banyak hal. Tentang konsekuensi-konsekuensi logis dari segala tindakan. 

Saat itu (menurutku), ketika aku memutuskan keluar kelas saat guru sedang mengajar, atau pindah tempat duduk saat mata pelajaran tertentu atau bahkan kutinggalkan sekolah pada saat pelajaran lainnya bukan pelanggaran berat. Aku pergi begitu saja tanpa memberitahu atau mengajak teman-temanku untuk berlaku bengal serupa diriku. Kebengalan ini tanggungjawabku maka aku tidak boleh melibatkan orang lain bersamaku. Mungkin inilah yang membuat sebagian besar temanku tidak mengenalku dengan baik. Lagi-lagi temanku memang buku harian. Ada memang beberapa orang menjadi teman baikku, dalam urusan akademis namun tidak ada yang tahu bagaimana kondisi mentalku saat itu. Mengapa aku begitu suka meninggalkan kelas? Walaupun ada yang tanya akan kujawab dengan sewajarnya saja. Aku tidak ingin ada yang tahu bagaimana kondisiku yang sebenarnya. 

Akhirnya "perseturuanku" dengan bapak kandungku ada yang mengetahui. Aku merasa dikhianati oleh orang yang sudah kupercayai dan kuanggap sebagai malaikat karena akhirnya aku bisa sekolah. Terlebih orang itu adalah bapakku sendiri. Aku menolaknya ketika beliau datang setelah sekian bulan menghilang tanpa sedikitpun kabar. Aku protes padanya, kemana beliau saat aku menangis tidak bisa membayar SPP? Kemana beliau saat aku harus menahan segalanya karena mangkirnya tanggungjawabnya? Bahkan kenapa aku harus keluar dari pesantren? Aku menolak ketika beliau ingin mengambil hasil belajarku. Saat itulah ada seseorang yang mengetahui kondisiku. 

"Kamu kenapa, yang datang itu bapakmu kan, kok kamu kelihatan tidak senang?" 

Aku terkejut sekali ketika mengetahui dia mendadak ada di sampingku saat aku berangkat sekolah. Ternyata bapak bertegur sapa dengan temanku ini saat beliau keluar dari tempat tinggalku selama SMA. Mendadak muncul rasa takut kepada teman ini, kalau dia sampai tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau ada orang lain tahu tentang kondisiku, yang tidak mudah untuk bisa sekolah. Entah mengapa saat itu aku berfikir seperti itu. 

Saat itu ternyata aku kalah. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhananya, kenapa aku kelihatan tidak senang dengan kehadiran orang tuaku? Aku malah menyuguhkan air mata di hadapannya. 

"Cerita saja kalau mau cerita atau besok-besok. Kalau aku tidak boleh tahu ya tidak apa-apa. Jangan ditahan nangisnya. Nangis saja supaya lebih baik."  Ya aku memilih diam sepanjang perjalanan menuju sekolah dengan derai air mata dan dia terus mengikutiku tanpa bicara. Aku tidak ingin cerita apapun ke siapapun saat itu. 

Beberapa kali bapak datang tapi berkali juga aku menolaknya. Keluarga yang aku tinggali sangat paham apa yang terjadi karena bapak sudah menceritakan apa yang terjadi, sehingga tidak sedikitpun bertanya hal-hal yang membuatku semakin menjauhi bapak. Namun tidak dengan teman sekolahku itu. Dia malah selalu hadir ke rumah, memang tidak menyinggung tentang bapak tapi aku sangat tahu dia pun ingin mengetahui apa yang terjadi antara aku dan bapakku.

"Kamu tidak punya hak menceritakan apa yang sudah aku ceritakan ini ke orang lain." pintaku setelah kuceritakan apa yang terjadi. Aku tahu dia ikut merasakan apa yang aku rasakan. Dia awalnya tidak mau menjawab hanya menarik nafas dalam sekali. 

"Iya aku tidak akan cerita ke siapapun, tapi bagaimanapun itu kamu harus bisa memaafkan bapak." 

"Tidak saat ini. Aku yakin aku akan memaafkannya, sekali lagi tidak saat ini." 

"Aku tahu tidak mudah, tapi kamu pasti bisa. Sekarang fokus saja pada sekolah, nanti mau ambil jurusan apa?" 

Dia satu teman baik yang kumiliki sejak awal sekolah, di samping beberapa yang telah kutuliskan siapa mereka pada tulisanku sebelumnya. Namun sekali lagi aku lebih percaya kepada buku harianku bukan padanya. Aku lebih leluasa menuliskan apa saja yang kurasakan tanpa ada perasaan khawatir orang lain akan mengetahuinya. 

Luka itu semakin berdarah ketika aku lulus dengan predikat baik dan belum bisa menerima bapak dengan baik. Ketika aku mencoba ikut tes ke PTN dan sekali lagi bapak mencampuri urusan yang tidak pernah diurusnya saat itu. Aku merasa bapak tidak pernah mengurusi aku sebagai putrinya, maka tidak ada hak baginya untuk mencampuri segala keputusanku. Sepertinya titik inilah yang pada akhirnya membawaku pada proses tidak biasa di hidupku dalam mencari Tuhan. 

Walaupun tidak ada harapan bisa kuliah, tapi demi membuktikan bahwa aku tidak pernah sepakat dengan apa yang disampaikan bapak, aku berusaha keras bagaimana bisa lolos tes PTN itu. Aku mendapat formulir gratis dari sekolah ketika bapak juga mulai mengatakan pilihanku adalah kampus sekuler! Mungkin semua baru tahu mengapa aku bersikeras ingin kuliah saat itu, ya salah satu alasanku adalah membuktikan kepada bapak bahwa aku bisa berhasil dan tetap menjadi muslimah yang benar. 

Saat kuliah, saat menjadi aktifis dan juga hubungan dengan bapak semakin runyam aku masih berteman akrab dengan buku harian. Memang hanya bersamanya aku bisa bercerita segala yang kurasakan. Aku tidak membayangkan, jika saat itu aku tidak berteman dengan buku harian, apa jadinya diriku? Namun, segala sesuatu itu telah diatur dengan baik oleh yang Maha Kuasa. 

Ketika menjadi aktifis dan ketika sebagian teman-temanku yang dari pesantren berubah penampilan karena sudah masuk kota metropolitan, aku semakin mendekat pada kegiatan keagamaan di kampus. Saat itu aku ingin memperbaiki hubunganku dengan bapak setelah aku mendapat alamat rumah beliau di Surabaya. Harapanku indahku ternyata berbalas perlakuan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. 

Hari itu, kerudungku dilemparnya, hingga aku gagap mencari peniti yang tersemat. Aku tidak malu rambutku terbuka karena memang hanya di hadapan bapak dan ibu tiriku. Hari itu semua disampaikan, bahwa bapak tidak sepakat dengan segala aktifitas dan pakaian yang kukenakan. Pakaianku hanya sekadar budaya! Mengapa aku mengajar mengaji, jika aku sendiri belum menjadi seorang muslim. Aku masih islam keturunan, aku belum menjadi muslim....artinya aku kafir! Kalimat demi kalimat terekam dengan sempurna tanpa aku bisa bicara sedikitpun. Bahkan saat kalimat penutupnya yang luar biasapun aku tidak bisa bicara. Ya, aku tidak akan bisa menginjak rumahnya jika aku belum menjadi seorang muslim. Runtuh rasanya seluruh langit hidupku. 

Sejak itu, aku semakin terpuruk. Aku tidak bisa melupakan semua ucapan beliau. Aku kacau bahkan saat di depan orang-orang bermata kejora yang ingin mengeja huruf hijaiyah lewat bimbinganku. Di telingaku selalu terngiang ucapan bapak. Apa arti semua jika disiku sendiri belum menjadi seorang muslim? Aku goyah, aku jatuh sakit. Tidak hanya fisikku tapi jiwa dan hatiku. Hancur semua ketika keimananku dipertanyakan justru oleh orang yang harusnya membimbingku jika memang aku salah. 

Aku menceritakan semua pada buku harianku. Kuliahku kacau dan tentu aku sudah merasakan tidak akan bisa membuktikan kepada bapak bahwa aku akan menjadi perempuan muslimah yang berhasil. Ternyata aku kalah, aku lebih goyah ketika keimananku dipertanyakan daripada sekadar gengsi sebagai mahasiswa di PTN non agama yang kata bapakku adalah kampus SEKULER. 

Aku mencari Tuhanku, mencari pengakuan atas keislamanku juga pengakuan dari orang tuaku. Berjalan dari tanya satu ke tanya yang lain. Kuterima jawab satu dan jawab yang lain, hingga aku bertemu beliau yang sangat indah memaknai Islam. Aku menemukan Tuhanku, teramat dekat denganku tanpa harus kucari kemanapun. Sejak itu, aku sadar dan ingin menjadi manusia yang selalu menyadari sisi kemanusiaan dan kehambaanku. 

Kondisi jiwa yang lemah berakibat buruk pada konsisi fisikku. Aku menjadi 'pengguna' karena harus meminum obat resep dokter tanpa henti. Siapa yang peduli? Tentu bunda, bapak tiriku dan sedikit keluargaku serta buku harianku. Aku menjadi diri yang baru, memiliki semangat baru hingga atas persetujuan dokter aku kembali melanjutkan kuliah. Aku tetap ingin menunjukkan kepada bapak bahwa aku bisa melewati semua tapi dengan rasa yang jauh berbeda saat aku lulus SMA. Satu keajaiban setelah semua pencarian itu, aku lebih bisa bicara secara lisan. Aku lebih cerewet, lebih bisa menyampaikan pikiranku dengan bicara langsung. 

Entah kemana perginya kebencian itu, ketika aku meyakini bahwa Islam sebagai agamaku hanya membawa kedaiaman bagi umatnya. Aku menyelesaikan sarjanaku dalam waktu 7 semester dengan cukup tertatih karena kondisi kesehatan yang belum baik. Aku banyak mengandalkan beasiswa agar bisa menyelesaikan semua dengan tepat waktu. Banyak teman baik selama di kampus, tapi apakah mereka mengetahui aku yang sebenarnya? Hampir tidak ada yang tahu, dan sekali lagi hanya buku harianku yang merekam semuanya. 

Saat aku harus ke Jakarta selepas sarjana dengan banyak harapan nanum harus kembali ke Jawa Timur demi sebuah harapan dari bunda. Aku kembali menakar diri untuk bisa mengenyam pendidikan pascasarjana. Lalu Tuhan sekali lagi memelukku dengan sempurna sama seperti saat aku bisa menyelesaikan pencarianku atasNya dan juga kuliah sarjanaku. Walaupun jelas tantangan selama menjadi mahasiswa di pascasarjana jauh lebih berat dari sebelumnya, pada ujung asa aku berhasil mengenakan toga magisterku tanpa bapak tiri. 

Saat menjadi mahasiswa S2 inilah aku kembali mencari bapak kandungku. Tidak ada drama seperti jilbabku yang dilemparnya saat itu. Banyak perubahan pada dirinya walaupun tetap saja kami selalu berseberangan dalam pendapat. Namun aku sudah bukan sosok 17 tahun waktu itu yang begitu keras menolak hadirnya. Aku adalah sosok mahasiswa pascarsarjana yang telah menemukan Tuhanku dan keimananku, jelas berbeda caraku menghadapi beliau. Saat aku mengenakan toga magister, aku mengizinkan bapak ikut hadir dalam wisudaku. Rupanya beliaupun semakin memahami cara pandangku tentang berislam, karena diskusi kami selanjutnya bukan masalah itu lagi. Diskusi kami lebih banyak tentang masalah keummatan. 

Dan...mengapa hari ini aku bisa menuliskan semuanya? Ya, mungkin ada sebagian orang sudah mendengar tentang perjalananku ini walaupun bukan dalam mozaik yang utuh. Banyak dari teman yang mengetahui hanya sebagai potongan puzle hidupku. Kali inilah aku menuliskannya hampir lengkap tanpa perlu kuceritakan penderitaan apa yang kualami selama menjalani semuanya. Banyak sekali luka juga kebahagiaan yang mengantarku menjadi dan berada sampai titik ini.  

Lalu mengapa? Sejak pandemi ini aku banyak belajar dari orang-orang baik. Saat mengikuti PTCO aku bertemu seorang psikolog yang menyampaikan materi "Hutang Pengasuhan Masa Lalu" yang fokus pada kesalahan pengasuhan orang tua kita selama ini. Hutang yang membuat langkah kita tidak indah secara sempurna. Kami diminta mengungkapkan hal buruk apa yang terekam saat kecil tentang sesuatu yang tidak disukai/dibenci dari pengasuhan orang tua kita. Atau peristiwa apapun di masa lalu yang tanpa kita sadar malah melakukan hal yang sama. Trauma, bullying dan apapun itu. Aku terdiam untuk waktu lama, tanpa bisa menuliskan apa yang kurasakan tentang orang tuaku. Kami diminta untuk memaafkan semuanya, mengucapkan dengan keras, mendengarkan suara diri sendiri pun merasakan dalam hati. Terus diulang hingga hadir perasaan lebih damai dari sebelumnya. Mudah? Tentu tidak semudah membalik tangan yang sehat...

Pun, pada 24 Agustus lalu aku mendadak melihat Pakde Prie GS sedang live di Facebook. Lagi-lagi membincang tentang "Mendamaikan Masa Lalu yang Masih Mengganggu". Pakde menyinggung tentang buku harian dan meminta untuk menuliskan "noktah-noktah yang kurang baik dalam hidup." Kembali aku mencoba menuliskan segala yang disebut noktah itu, tapi bukan lagi tentang bapakku. Terus kucoba sebanyak-banyaknya noktah yang mungkin selama ini belum termaafkan dengan baik dalam hatiku. Orang-orang yang bersinggungan dengan kurang baik denganku, peristiwa kehidupan yang hadirkan luka, semua kutulis. 

Apakah menuliskan semua itu mudah? Tentu tidak semudah apa yang kubayangkan. Aku memaksakan diriku untuk menuliskan semua dengan tanganku, coretan, tekanan pena, dan semuanya rasanya mewakili emosi yang ada. Walaupun apa yang kutulis rasanya masih belum tuntas, tapi setidaknya apa yang kulakukan membuatku merasa lapang. Sebuah perasaan yang tidak bisa kuterjemahkan dalam kata tapi aku bisa rasakan damainya. Aku tahu masih banyak noktah yang belum tertulis dan 'kuselesaikan'. 

Lalu, kembali aku tersenyum untuk rencana Tuhan yang selalu elegan. Saat aku pulang awal bulan Agustus tiba-tiba ada perasaan ingin sekali membuka buku harianku yang selama ini kusimpan rapi bersama buku-buku koleksiku. Aku membawanya ke Surabaya dengan tujuan memusnakannya setelah kubaca. Mengapa aku melakukan itu? Karena di buku itu banyak hal pahit tentang orang tuaku, terlebih bapak kandungku. Aku ingin membersihkan diriku setelah mengikuti PTCO tentang hutang pengasuhan masa lalu itu. Dan semua menjadi sempurna ketika Pakde Prie menguatkan semua dengan penjelesan sederhanya. Sungguh rencana Allah selalu sangat sempurna. 

Kini, hari-hari terakhir ini aku membaca kembali buku harian puluhan tahun itu dan perlahan aku tersenyum menerima serta memaafkan semuanya. Memang belum selesai, tapi aku yakin InsyaAllah aku akan diberiNya kemudahan menyelesaikan semuanya. Menghapus semua noktah itu, membersihkan hati dan jiwaku sebelum kepulanganku yang abadi. Aamiin. 

-----Aku tidak tahu kapan terakhir begitu rajin menulis buku harian. Sepertinya kebiasaan itu memudar saat aku berada di dunia kerja. Aku tidak menemukan buku harian lagi sejak itu, atau sudah kuhanguskan sebelumnya? Artinya saat itu aku lebih banyak akrab dengan handphone, komputer dan laptop. Aku lebih jarang menyentuh buku tulis selain urusan pekerjaan.----

Foto di bawah ini adalah salah satu peristiwa yang kutulis di buku harian. Menjelang Pak Harto turun banyak sekali ungkapan perasaanku tentang peristiwa itu. 


Satu lagi peristiwa penting dalam hidupku saat menjadi mahasiswa, ketika aku terpilih menjadi Ketua BEM Fakultas Ekonomi .


TULISAN INI JUGA...SEBAGAI UPAYAKU MEMBERSIHKAN SISA-SISA NOKTAH!



0 Comments