Mengenang 8 tahun meninggalnya Mak, nenek tercinta salah satu perempuan hebat yang ada dalam hidupku. Aku memindahkan cacatanku di Facebook ke blog ini untuk merapikan beberapa tulisanku. Jadi memang tulisan ini kutulis pada 8 tahun yang lalu sehari setelah Mak meninggal. Catatan di FB dengan judul: "Beautiful Day- 090912- Kematian Yang Menghidupkan". 

Doaku selalu untukmu, Mak, nasehat indahmu kujalankan. Al Fatihah...

**--**

Minggu, 09 09 2012 sebenarnya sejak pagi aku beraktifitas seperti biasa. 03.00 WIB adalah masa heningku dan kebetulan hari Minggu kemarin aku gunakan untuk menulis. Aku melanjutkan tulisanku tentang ‘perempuan hebat’ dalam hidupku. Walaupun akhirnya harus kututup, karena aku kembali membuka sebuah album “Bidadari” di Tochyku. Ada selarik rasa berpendar di langit hatiku akan hadirnya sebuah pesan di Blackberry yang kuterima semalam. Larik-larik rasa yang terpahat sempat menggulirkan kristal-kristal bening untuk membasuh debu-debu yang hinggap di beranda taman hatiku.

Larik rasa itu pula yang membuatku kembali membuka tulisanku tentang ‘perempuan hebat’ itu dan membuka kembali foto-fotoku bersamanya. Saat beliau tengah dinyatakan dalam kondisi kritis oleh dokter. Saat semua berfikir bahwa beliau akan meninggalkan kami semua, menjelang Ramadhan 1433 yang lalu, justru aku yang dipercaya untuk menemani beliau. Aku yang dicarinya, dan malam itu aku kembali menderas rasa, memutar semua slide yang kujalani bersama beliau. Sejak pagi hingga senja, ketika aku menemani beliau, yang dalam pandangan manusia dalam kondisi kritis tetapi senyatanya dalam kondisi spiritual terindah yang pernah kurasakan selama membersamainya. Dan pada 9 September 2012 di pagi yang hening aku kembali ingat semuanya ya…semua yang beliau sampaikan saat tubuh beliau dikerubuti alat-alat medis yang sangat tidak disukainya. Ada selarik rindu, yang kubahasakan dalam doaku saja.

Ingatanku kembali merupa saat idul fitri kemarin kami masih berbincang tentang banyak hal. Dan…sekali lagi aku belum menyelesaikan tulisanku tentang Syawal bersamanya. Semua sudah tertulis, tetapi sempat hadir ketidakinginan untuk publish tulisan itu, hingga aku tidak mengeditnya lagi. Terlalu banyak sisi lain yang mungkin tidak semua orang yang membacanya bisa menerima atau mau memahaminya. Hingga pagi, 9 September 2012 entah…pagi itu banyak sekali saudara yang menyapaku. Ada satu yang membuat ‘janji’ untuk bertemu di IBF. Ada yang bercanda di FB, di BBM dan juga ada yang menghubungiku hingga beberapa waktu lewat telpon.

Siang renjana, aku tiba-tiba mengkalkulasi waktu kalau nanti selepas dari IBF akan pulang saja. Karena semua pekerjaan telah terselesaikan, demikian juga tentang meeting super serius aku perlu sesaat bersama Bunda. Adzan Dhuhur berkumandang indah, selepas itu E90ku berdering dan muncul My Lovely Mom di layarnya.

“Assalamu’alaykum, Bunda.”

“Wa’alaykumsalam warahmatullahi wabarokatuh.” dengan isak tertahan.

“Ada apa? bunda sakit lagi?” khawatirku membuncah

“Im, jangan kaget ya…Mak wes kapundut Allah, sudah gak ada barusan.”

“innalillahi wainna ilaihi rooji’uun, kapan bun? sakit lagi kah? Kenapa tidak ada yang hubungi aku?”

“Tidak sakit, sejak pagi tidak apa-apa masih bicara seeprti biasa menjelang dhuhur tadi melemah dan setelah dhuhur sudah pergi.”

“Iya bunda, aku pulang.”

“Kamu hati-hati, jaga dirimu. Mak sudah tenang, jangan khawatir, jangan sampai kamu yang jatuh.”

“Iya Bunda, aku baik-baik saja. Kalau bisa aku ingin melihat Mak sebelum dimakamkan.”

“Iya, kamu cepat pulang tapi tetap hati-hati.”

Diam aku sendiri, tetap saja ada selarik rasa yang membuat air mataku jatuh satu-satu. Semua yang ada di dunia ini adalah milikMu ya Allah, ada saatnya Engkau akan megambil semua. Aku berkemas, walaupun sudah dalam kondisi tenang tapi air mataku tak bisa kuhentikan. Cepat aku berangkat pulang, tapi entah mengapa biasanya aku akan sangat tergesa untuk hal-hal seperti ini tetapi tidak untuk tanggal 9 Spetember 2012 kemarin. Aku tenang saja, menderas rasa atas kepergian perempuan hebat itu. aku malah memilih naik angkot menuju kotaku, karena aku bisa merasakan kebersamaan yang indah secara tuntas bersama perempuan hebat itu.

Aku tahu kehadiranku yang cepat justru akan membuat banyak orang semakin histeris. Semua tahu bahwa aku adalah termasuk cucu kesayangan beliau. Semua juga tahu bagaimana kedekatanku dengan beliau. Sampai di kotaku, aku masih diam masih tidak memilih menggunakan taxi untuk sampai ke desa. Langkahku justru menuju tempat penjualan bunga. Aku melihat mawar yang sepertinya baru dipetik. Aku langsung mengambil satu bungkus dan ketika aku membukanya, luar biasa…ini benar-benar mawar dengan aromanya yang khas. Bukan mawar pagar yang tak beraroma. Mahkotanya masih sempurna tidak ada yang jatuh, dan benar adanya ternyata penjualnya mengatakan bahwa bunga ini baru datang dan belum dimasukkan pendingin. Harumnya masih asli. Aku terhenyak saat tahu betapa murahnya harga sebungkus Mawar (kira-kira isinya 100 kuntum perbungkus) akhirnya kuputuskan untuk membeli satu bungkus lagi. Aku melihat bunga yang lain, tetapi tidak begitu segar sehingga aku tidak membelinya.

“Kalau untuk rendaman mandi, bagus mbak ini masih baru. Mau nikah ya?” ucap penjualnya tersenyum.

Dalam hati aku merasakan perih sesaat, tapi kemudian tiba-tiba saja wajah cantik perempuan hebat itu melintas  hadir dan membuatku tersenyum. Senyum yang merona malu, karena aku merasakan sendiri pipiku yang hangat.

“Sayangnya, bunga yang lainnya bukan bunga baru mbak. Saran saya cari di tempat lain cari yang baru saja kalau untuk rendaman mandi jangan yang ini mbak. Kenanga yang masih baru, Kantil yang segar, Melati yang mekar saja biar wanginya sempurna, terus kalau suka pakai sedap malam yang dipetik sendiri dari tangkainya saja. Kalau rempahnya beli yang paket saja mbak.” senyum ibu penjual bunga semakin sempurna.

Mungkin beliau melihatku yang tersipu menunduk (padahal aku menyembunyikan rasa 'kehilangan'), sehingga melanjutkan ucapannya dan berfikir bahwa aku memang akan menggunakan bunga Mawar itu untuk mandi yang biasanya dilakukan sebelum acara akad nikah. Aku tidak mau membuat ibu itu kaget dan merasa bersalah, jika kusampaikan bahwa Mawar itu akan kupakai untuk menghiasi makam perempuan hebatku. Aku tak mau ada duka di wajahnya.

“Iya, Bu, makasih. Sepertinya bunga yang lainnya sudah disiapkan. Saya hanya perlu Mawar.” ucapku dalam senyum.

"Oh gitu ya, iya ini sudah 200an mawar ini kayaknya sudah penuh satu bak mandinya.” ada tawa renyahnya yang membuat senyumku melebar.

“Iya, mudah-mudahan ini cukup menghias makam perempuan hebatku” gumamku dalam hati seraya pamit padanya.

Sesaat setelah aku pesan taxi, Bunda telpon kembali.

“Iya bunda.”

“Kamu dimana? Tidak apa-apa kan?” ringan suara Bunda

“Aku sudah di Gresik, nunggu taxi saja. Gapapa aku baik-baik saja kok.”

“Jangan sampai menangis ya nanti…jangan sampai membuat orang-orang khawatir. Mbah Lurah (adek mbah putri) dalam kondisi sakit, kalau lihat kamu jatuh nanti malah beliau yang tambah sakit. Ini hanya nunggu kamu."

“Aku baik, jangan nunggu aku. Sudah dimandikan?”

“Sudah selesai semua, sedang dikafani tetapi tidak ditutup masih nunggu kamu, semua bilang begitu.”

“Bunda, sampaikan ke semuanya gak usah nunggu aku. Kalau yang menggali kubur sudah selesai segera berangkatkan saja jangan nunggu aku. Nanti aku  minta diantar ke makam saja.”

“Benar kamu tidak mau ditunggu untuk melihat wajah Mak?”

“Iya Bunda, lebih cepat Mak segera dimakamkan. Ini sudah hampir 3 Jam kan setelah meninggal?”

“Ya sudah kamu hati-hati nanti ibu sampaikan ke semuanya, pokoknya kalau sampai rumah jangan jatuh.”

“InsyaAllah tidak bunda, aku baik-baik saja. Mak sudah tenang.”

Ternyata taxi yang aku pesan tidak langsung datang. Ya…mungkin aku memang tidak perlu melihat wajah Mak untuk terakhir kalinya. Tetapi aku tersenyum, saat duduk di depan Bank Mandiri menunggu taxi. Lha wajah Mak bahkan nasehat Mak selalu terlihat, bagaimana aku akan bilang melihat wajahnya yang terakhir kali? Semua tentang beliau telah mengabadi.

Taxi membawaku melaju cepat menuju desa Bogomiring Dungus Kec. Cerme Gresik. Sebuah desa dimana jiwa kecilku ditempah untuk menjadi yang seharusnya oleh jiwa-jiwa besar yang salah satunya adalah perempuan hebat yang pada hari ini telah kembali kepadaNya. Larik kenangan itu hadir begitu indah, seperti sebuah film indah yang diputar begitu saja selama perjalananku. Aku melewati beberapa makam di sepanjang perjalanan dan kamboja putih tersenyum aku kembali melihat wajah cantik perempuan hebatku ada di antara rumpun kamboja. Jelas aku tersenyum kembali tetapi air mataku malah berderai. Hatiku tenang dan damai saat air mataku luruh, sekali lagi bukan karena perih. Aku bahagia karena inilah saat terindah yang dialami Mak, bertemu dengan yang Maha dirindunya.

Tangan inilah yang kali pertama mengajariku berjalan. 

“Apa malaikatnya kelewatan mengambil Mak ya, Im, kok semua orang tua-tua di desa ini sudah meninggal. Lha Mak kok belum dipanggil-panggil.” ucapnya waktu bapakku meninggal.

“Mak bisa saja, ya gak mungkin ada yang terlewat, Mak. Lha daun yang jatuh saja sudah tertulis apalagi tentang kematian. Itu artinya Allah sayang sama Mak, masih diberi waktu untuk ibadah, masih bisa melihat anak cucunya menjadi orang, juga masih bisa mendoakan kakek.” jawabku asal saja.

“Lha orang-orang yang lebih muda dari Mak sudah banyak yang meninggal, sepertinya tenang gitu ya kalau sudah meninggal. Tapi nanti kalau Mak sudah kapundut, doakan Mak ya…padang kubure jembar dalane.” jawabnya lagi

“InsyaAllah doaku selalu. Sudah ah…katanya ingin lihat aku wisuda pascasarjana kok ngomongi meninggal.” alihku waktu itu

“Ya gapapa, kanggo pengeling.” jawabnya dengan ringan tersenyum.

Itu percakapan kami waktu Mak ada di rumahku di kota, saat meninggalnya Bapak. Darinya aku belajar makna syukur. Suatu ketika di Ramadhan.

“Ya Allah Ima, Mak senang banget bisa lihat kamu bisa sekolah, lihat adek-adekmu dan semua cucu-cucu. Mak bersyukur, bisa berada di kota, bisa sholat di Masjid Jami’ bisa kemana-mana karena kalian ajak. Seandainya mbah kakungmu masih ada, mungkin tambah senang ya. Selama mbahmu masih ada, Mak tidak pernah pergi kemana-mana selain bersama mbahmu.”

“Memangnya mbah kakung gak pernah ngizinkan Mak pergi sendiri?”

“Kalau mau ngunjungi ibumu, pasti bareng mbahmu. Kalau bulekmu kan dekat. Mak gak pernah nentang mbahmu, kalau gak boleh ya sudah nanti juga akan bertemu anak-anak. Belanja juga terserah sama mbahmu, Mak tinggal mengelola apa yang ada, gak seperti anak-anak sekarang banyak yang ngatur suaminya. Kamu nanti jangan begitu ya, jadi perempuan yang manut walaupun gawan bayimu itu keras, tapi kata mbahmu justru kamu lembek, kealusen.”

“Hehehe…gitu ya Mak? Keras tapi lembek kealusen…aneh. Tapi insyaAllah doakan saja aku akan jadi istri yang manut Mak, istri yang sholihah pokoknya. Tapi belum jadi istri sekarang kan Mak? Manutnya sama bapak ibu to?”

“Ya ora weruh, mbahmu ngomong gitu. Anak itu keras, tapi lembek hatinya, bahkan terlalu lembut gak tegaan tapi yang tampak memang kerasnya.”

“hehehe…lha yang ngajari aku tidak boleh cengeng kan mbah :) harus tegas, gak boleh nangisan, gak boleh mengeluh, gak boleh sombong, gak boleh pamrih terus gak boleh suka beli baju, nrimo ing pandum itu kan ucapan mbah." senyumku. Mak tersenyum.

“Lihat sekarang, mak yang dulu tidak tahu apa-apa bisa tahu banyak ketika kamu cerita dari mana-mana. Mak senang kalau mendengarmu bercerita. Mak bisa menggunakan telpon, bisa lihat TV, Mak bisa tahu banyak hal dan Mak juga belajar dari kamu.”

“Belajar apa dari aku, Mak?”

“Semakin besar kamu semakin pinter, Mak sering lihat kamu kalau wudhu, kalau sholat. Kamu mungkin gak perhatian kalau Mak tanya-tanya, tapi jawabanmu sangat berarti bagi Mak. Ternyata wudhunya Mak belum benar selama ini ya, terus sholat malam, terus sholat sunnah yang lain. Mak lihat saja dari kamu, matursuwun kamu sudah mengajari Mak. Bacaan-bacaan sholawat, dan dzikir-dzikir semua membuat Mak tambah senang.” ucapnya dengan mata berlinang.

Aku terhenyak, betapa perempuan ini begitu hebatnya dalam usianya yang senja masih terus belajar. (Mak lahir katanya tahun 1932 atau 1933) Kenangan inilah yang melintas, percakapan-percakapan kami seolah diputar ulang, seolah aku masih duduk di depannya sambil membuka-buka buku. Atau rebahan di tempat tidur dan beliau memijit kakiku sambil berkisah tentang hidup dan kehidupan. Atau bercerita tentang masa kecilku, selalu indah aku mendengar semuanya. 

“Mak belikan buku Yassin yang tulisannya besar-besar dan ada maknanya (terjemahannya) ya, Im.” ucapnya suatu ketika.

Waktu itu Mak berada di rumahku karena bapak tiriku meninggal dan aku membeli buku-buku Yassin kecil yang dibagikan. Ternyata Mak ingin membaca terjemahnya. Luar biasa, diusianya yang senja kembali semangat belajarnya tidak pudar. Ternyata dari 5 bersaudara tepatnya dari 3 bersaudara putrinya hanya Mak yang bisa membaca AlQuran. Beliau bercerita kalau dua kakaknya (perempuan) tidak mau disuruh belajar mengaji walaupun saat itu orang tua Mak (Buyutku) adalah orang terpandang di desa. Bahkan kedua kakak perempuan Mak juga tidak tamat sekolah rakyat. Hanya Mak dan dua adek laki-lakinya yang mau sekolah. Kalau dua adek laki-laki Mak bisa membaca Al Quran.  Buyut kakungku adalah seorang carik (sekretaris desa) dan mertua Mak (buyut kakungku juga)  seorang Lurah. Di era penjajahan, di tempat pengungsian ternyata Mak tetap belajar mengaji.

Aku tersentak kaget saat sopir taxi bicara. “Mbak, dari pertigaan kecamatan ini belok kanan atau lurus?”

“Oh belok kanan, Pak.” ucapku gelagapan saat melihat kenyataan aku sudah di kecamatan Cerme.

Aku hapus cepat air mataku yang luruh. Ah…ternyata aku tidak ditempat untuk beberapa waktu, padahal rasanya baru saja aku naik taxi artinya aku baru saja di kota sekarang sudah sampai kecamatan. Masak sih 17 km hanya beberapa menit saja? Ah entahlah…

Desa Bogomiring, masih dengan aromanya yang khas yaitu kering tetapi dengan pemandangan yang jauh berbeda dari masa kecilku. Tidak ada lagi kini halaman rumput menghijau yang biasanya kugunakan rebahan di setiap purnama bersama kawan-kawan kecilku sambil mendengarkan cerita kakek. Ya tidak ada lagi, yang ada adalah gedung-gedung berjajar ya, tanah itu telah berubah menjadi perumahan.

Aku melihat rumah mbah (pamanku) ada tanda bela sungkawa. Aku berhenti di depan rumah tetangga. Tidak kulihat lagi hiruk pikuk, artinya Mbah sudah diberangkatkan ke makam, atau pemakaman sudah selesai. Ternyata tepat saat aku turun dari taxi, wajahku memanas karena serentak begitu banyak (bahkan sangat banyak) orang berdiri, hampir semuanya laki-laki. Kaget dan malu beradu satu. Aku tertegun sesaat, mengatur nafas dan berusaha tersenyum melihat wajah-wajah yang aku kenali sebagai keluarga besar tetapi lebih banyak yang tidak kukenal. Aku melihat tanda kekhawatiran yang sangat luar biasa di semua wajah itu. Dua pamanku langsung menyongsongku dan dua sepupu kecilku juga langsung menyalamiku.

“Aku bawakan tasnya mbak Ima.” sapanya melunturkan semua kebekuan yang ada.

Aku tersenyum mengucap salam dan wajah-wajah tegang masih nyata di depanku. Ya aku tahu semua khawatir akan keadaaku, karena aku masih ingat bagaimana peristiwa yang terjadi saat kematian kakek waktu itu. Pamanku muncul dan segera aku jabat tangannya, kemudian paman terkecilku juga aku tak bisa menahan diri untuk tidak memelukknya. Beliau adalah putra bungsu yang seperti kakakku saja.

Sesaat saja, muncul Bunda yang segera memeluk dan menciumiku. Tak ada air mata, hanya tatap mata kami bertemu dengan bahasa yang terlalu luas untuk dikata. Aku tersenyum melepas pelukan Bunda. Tidak ada debaran yang menyesakkan, semua tenang dan sesaat kemudian aku lihat bulekku. Padanya aku hampir luruh, karena beliau selalu ‘cengeng’ dan membuatku lemah. Aku peluk lama dan ada bisikannya “Kita sudah gak punya mak, Im.” tidak ada jawabku, karena aku hanya membahasakan dengan pelukanku yang semakin kueratkan. Aku menoleh kembali kepada Bunda, ternyata perempuan hebatku itu begitu tegar, tidak tampak pucat seperti biasanya. Cukup sudah itu membuatku semakin tenang.

“Antar aku ke makam.” ucapku begitu saja.

Muncul adek-adek Mbah dan aku mejabat serta mencium tangan beliau. Mata kami bertemu, tanpa kata tapi berjuta makna ada disana. Ada genang air mata yang sama-sama kami ‘haramkan’ untuk jatuh.

“Makmu masih di dalam, kau masuk saja. Kalau mau lihat wajahnya, kamu bisa buka kafannya.” ucap adek Mak yang juga berarti Mbahku.

“Jadi Mak belum dimakamkan? Kenapa? Aku kan sudah bilang, gak usah nunggu aku." ucapku baru tersadar lagi bahwa masih begitu banyak manusia berdiri di halaman rumah, di jalan-jalan. Artinya memang Mak belum dimakamkan. Bunda memegang tanganku.

“Gakpapa, tidak menunggu kamu memang penggalian makamnya belum selesai.”

“Tapi kan sudah lama, Bu?”

“Belum terlalu lama, hanya 3 jam. Sudahlah kamu masuk dulu.” pinta adeknya Mak lagi.

Aku masuk rumah, dan terhenyak lagi di dalam rumah penuh dengan perempuan. Pandanganku jatuh pada jenazah Mak yang telah dikafani dan ditutup kain panjang. Semua mata kembali menatapku dengan cemas. Ah…betapa mereka semua mengkhawatirkan aku. Sebelum aku bersimpuh di depan jenazah Mak, seorang sesepuh perempuan meraih tanganku. Cepat aku mencium tangan beliau dan untuk meredahkan ketegangan semuanya, aku putuskan untuk menyalami semua tamu yang ada di bagian depan. Setelahnya aku duduk di depan jenazah Mak, dan sudah dipastikan paman-pamanku, bulekku dan kerabat dekat lainnya termasuk Bunda dan adekku sudah berjaga di belakangku. Aku tahu semua khawatir akan keadaanku, padahal yang kurasakan adalah ketenangan yang luar biasa.

Aku buka kain panjang yang menutup jenazah Mak, entah mengapa yang kulihat adalah Mak yang tengah tersenyum padaku seperti biasanya dan itu membuatku tersenyum sebelum aku memelukknya. Hanya hening yang kurasakan, begitu banyak pelajaran yang kuambil dari jenazahnya. Ketidakberdayaan, kepasrahan dan sungguh hidup dan mati adalah sebuah keindahan rasa yang tidak sembarangan bisa dibahasakan oleh setiap jiwa. Entah…aku seperti bertatap muka dengan Mak, diam tanpa kata. Semua nasehat indahnya membanjiri hatiku, seiring doaku untuknya. Tersadar dari keheningan bersama Mak, ketika di belakangku suara-suara berbisik untuk membuka saja kafannya agar aku bisa melihat wajah Mak. Dan juga kekhawatiran, air mataku jatuh pada kafannya.

Demi menenangkan semuanya, aku segera bangkit dan menoleh pada semuanya dengan senyum.

“Tidak usah dibuka, sudah cukup saya lihat Mak. Secepatnya saja dimakamkan, kasihan kalau terlalu lama.”

Tepat saat itu ada yang mengatakan bahwa penggalian kubur sudah selesai. Artinya jenazah akan segera dibawa untuk disholatkan. Cepat prosesi itu dilakukan, aku tidak mencium aroma khas kematian yang biasanya aku tahu. Hanya aroma bunga kenanga yang begitu menyentak di penciumanku serta aroma bunga yang lain. Mengapa tidak ada aroma wewangian yang biasanya ada? Minyak wangi yang biasanya membuat 'pusing'. Aku diam saja menyimpan semua di hatiku. Sholawat dan dzikir mengantar jenazah Mak ke tempat akan disholatkan, sebuah musholla kampung. Ah…musholla yang telah dipugar dan dibangun menjadi lebih bagus, di sana aku pernah belajar mengeja huruf-huruf hija’iyah, di sana juga aku kecil sering sholat bersama Mak dan mbah kakung. Di sana pula aku mulai mengerti tata cara ibadah.

Semua mata masih memperhatikan aku, aku tahu itu. Aku memang pernah tumbuh di desa ini, tetapi sudah cukup lama aku tidak sering datang ke desa ini, aku sudah tidak mengenali orang-orangnya. Ada kasak-kusuk yang saling tanya apakah itu cucu kesayangannya itu? ah…ternyata predikat itu masih ada, dan dari wanita-wanita sepuh ada yang mengenaliku mengingatkan aku kecil yang paling rajin tadarus di waktu Ramadhan meramaikan malam-malam Ramadhan yang sunyi di desa, yang suaranya bagus. Ah kenangan memang selalu lancang hadir membanjiri hati. 

Allah…justru kenangan itulah yang hampir membuatku goyah, melemahkan persendianku. Semua karena didikan kakek nenekku, hingga aku dikenal mereka dalam kebaikan. Aku menderas doa, mudah-mudahan kebaikan yang kulakukan juga menjadi amal abadi bagi kedua jiwa baik itu, karena beliaulah yang mengajari aku banyak hal. Karena aku tidak ikut mensholati jenazah, maka aku  mendengar bahwa aku menjadi bahan pembicaraan orang-orang sepuh. Dan tentunya aku hanya bisa menjawab: “Inggih Mbah, inggih Nyi, Inggih Bu…iya mbak, iya Lek, Iya Makyu”

“Kamu di mana sekarang? Sudah jadi orang besar ya, Nak? Ngajar dimana? Jadi guru? Jadi orang penting? Kok tidak pernah pulang? Sudah nikah? Suaminya orang mana? Sudah punya anak berapa? Kok tetap cantik saja? Tetap masih muda, kan kamu temannya si… dia sudah meninggal karena melahirkan Nak, terus si… sudah tua sekali wajahnya, kamu kok ya masih sangat muda. Karena hidup di kota ya? " Dan lain-lain pertanyaannya.

Aku menjawab sebisaku dan sebaik-baiknya. Bulekku juga ikut membantu menjawab karena beliau tahu bagaimana keadaanku. Semuanya kaget, ketika aku menjawab dengan tenang bahwa aku belum menikah dan aku bukan seorang guru. Akhirnya jawaban itu juga yang membuat rangkaian dari jawaban lainnya. Ya…karena aku belum menikah, beban kehidupanku berbeda, makanya mungkin karena itulah aku masih selalu kelihatan muda. Pekerjaanku juga tidak bekerja secara fisik jadi kondisi kesehatanku juga baik-baik saja. Dan seterusnya…

“Iya nak, sabar ya…jodoh itu sudah diatur sama Allah, gak bisa dipaksa-paksa. Yang penting kamu menjaga diri, terus berdoa insyaAllah kamu akan diberi jodoh laki-laki baik hati dan sholih karena kamu gadis yang baik dan sholihah.” ucap seorang sesepuh yang dalam hitungan kekerabatan masih sepupunya Mak.

Aku terharu, semua wajah menatapku dengan ‘kasihan’ mungkin, tetapi aku tahu mereka juga berdoa untukku. Aku mengamini doa mereka, cinta mereka.

“Itu bunga mawar kamu yang beli, Nak?’ tanya seseorang ketika melihat aku membawa mawar banyak sekali. 

“Inggih, saya beli tadi waktu pulang dari Surabaya.”

“Apik-apik tenan mawarnya, dibawah ke makam semuanya? MasyaAllah bagus-bagusnya, Makmu pasti senang. Lho gak ada yang rontok, semuanya masih utuh wangi.” ucapnya sambil meraba kuntum-kuntum Mawar dan menciumnya. Aku hanya tersenyum.

Andai hiasan indah adalah sesuatu yang bisa meringankan dosa beliau maka aku akan berikan hiasan terindah, tapi tentunya hiasan alam kuburnya yang terindah adalah amal ibadahnya Mak sendiri dan doa-doa kami putra putrinya, cucu-cucunya. Mawar ini hanya sebuah tanda, tanda cinta secara materi yang orang hanya melihat kekaguman secara materi pula. Mawar ini memang indah, walaupun secara spiritual aku pun berharap keindahan ada di jalan Mak menuju alam keabadiannya. Jalan yang wangi, lapang dan penuh cahaya. Kuntum Mawar ini, begitu banyak, merekah indah dan wangi yang menenangkan.

Di areal pemakaman, ada keheningan yang berbeda. Aku bertanya sendiri pada keheninganku. Kami cucu-cucu diperkenankan ikut ke makam dan melihat secara langsung prosesi pemakaman. (ini juga tidak biasa, mudah-mudahan kami diampuni jika ini menyalahi adab). Inilah untuk kali pertama aku melihat secara langsung proses pemakaman. Aku melihat liang lahat, kondisinya bagiamana. Kemudian aku tahu bagaimana dari menurunkan jenazah, meletakkan, membuka kain kafan, memberi tanah di pipi, meletakkan jenazah senyaman mungkin, menutupnya, hingga ditimbun oleh tanah. Ada banyak pelajaran kuambil dalam diam.

“Ini yang menggali lebar banget ya kuburnya, masak sampai lapang kayak gini.” celetuk seseorang

“Iya, Makyu ini memang suka melapangkan jalan orang lain, tidak suka menyulitkan, jadinya kuburnya juga lapang.” jawab salah satunya. Kalau orang ini memanggil Makyu, maka dia adalah kerabat dekat kami.

Ada debaran tak biasa saat aku mendengar ucapan itu. Lapang, ya Allah aku menderas doa, mudah-mudahan itu adalah pertanda indahMu bahwa jalan Mak menujuMu memang telah Engkau lapangkan. Aku langsung menengok ke liang lahat ketika mendengar ucapan itu. MasyaAllah… aku memang melihat jenazah Mak yang tergeletak itu masih jauh dari tanah yang meninggi di sampingnya. Bahkan dari ujung ke ujung juga lebar, padahal biasanya kan diukur sesuai tinggi orangnya? Entahlah… hanya lapang dan lapang, aku menderas doa saja.

Kesunyian melandaku dengan hebat, saat kami diminta melempar tanah ke liang lahat yang telah ditutup kayu. Semua diam, sunyi dan hening. Luar biasa, semua cucu perempuan, anak perempuan dan menantu perempuan Mak, tidak ada yang meneteskan air mata. Wajah-wajah yang kulihat begitu damai, sedamai hatiku yang hening. Akhirnya semua selesai, tinggal menabur bunga di atas pusara yang sudah sempurna. Prosesi lanjut, sesuai adat desa kami ada pembacaan tahlil. Satu persatu pelayat meninggalkan areal makam, tinggal keluarga yang merapikan tanah dan menabur bunga. Terakhir pulang adalah aku dan sepupu kecilku yang duduk di SMP kelas VII.

"Yaa Ayyatuhan Nafsul Mutmainnah, Irji'ii Ilaa Rabbiki Radhiyatan Mardhiyah, Fadkhulii fii Ibadii Wadkhulii Jannatii." 

(Wahai nafsul mutmainah (jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.)

Mak, bahkan dalam kematianmu pun kau mengajari aku akan makna kehambaan, makna hidup dan kehidupan. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian bersamamu Mak. Doaku, doa kami semua akan selalu menyertaimu, hingga kelak insyaAllah kita bertemu di surgaNya dalam bahagia yang abadi. Senja telah sempurna, saat aku melangkahkan kaki meninggalkan areal pekamanan yang telah sunyi dengan hati damai. Kematian itu menghidupkan.

Bogomiring, di Taman Hatiku

10-09-12 (01.31 WIB)

KeMATIan yang MengHIDUPkan

Hidup tidak akan sempurna jika tanpa kematian sebagaimana Kehamilan tidak sempurna jika tanpa kelahiran. Orang yang ingin hidup terus ibarat orang hamil yang enggan melahirkan. Kalau kita tak belajar rela untuk mati maka kita akan dipaksa mati olehNya. Orang yang enggan menghadapi kematian adalah orang-orang yang tidak suka disempurnakan olehNya.

Kita dilahirkan dalam kondisi Nol (fitrah) dan kita pun hendaknya mati dalam kondisi Nol (Tenang-Muthmainnah), karena angka Nol adalah angka yang menyempurnakan, sebuah angka yang menyederhanakan banyak hal. Agar kita bisa Nol, maka kita harus banyak "melepaskan", itulah mengapa bahwa "melepaskan itu indah" karena ia mengantarkan kita dengan cepat kepada kondisi Nol. Sebab "melepaskan" itu adalah "berbagi ke semesta". Dan puncak dari keindahan melepaskan yaitu "melepaskan nyawa" sebab melalui itulah pintu kita bertemu dengan Yang Maha Dirindukan, Yang Maha Indah. (Kang Zain)

Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun

Sugeng tindak mbah putri, doa kami selalu bersamamu.





0 Comments