ADA BEDA DI CINTA KITA
Matahari pagi kota Pahlawan masih bersembunyi di balik
dedaunan. Seorang gadis dengan abaya biru dan kerudung sewarna langit meluncur
dengan mobil Honda Jazz metalik menuju wilayah selatan kota. Gadis itu seorang
calon dokter yang tak lain adalah Nurul Aini Rosyada dan lebih dikenal dengan
Qian Naira Aini. Penulis novel Cinta di Altar Berdarah tersenyum
saat selesai memarkir mobilnya. Dia sendirian, karena Bayu sedang melakukan
bakti sosial di sebuah yayasan anak Yatim yang berjanji akan segera menyusulnya
ke tempat acara jika tugasnya selesai. Sejenak dia memandang sebuah auditorum besar dan megah
itu. Nurul sedikit terkejut melihat banyak orang sudah memenuhi Auditorium
sebuah PTN yang berada di wilayah selatan kota Surabaya itu. Bukan hanya
mahasiswa, dilihatnya juga keluarga muda hadir dengan anak-anak mereka. Tidak
salah karena ternyata acara bedah novel Cinta di Altar Berdarah ini dibarengi
dengan bazar buku dan berbagai perlombaan untuk anak-anak dan remaja. Lembaga
kegiatan mahasiswa di kampus ini tengah mengadakan acara peringatan hari
pendidikan dan kebangkitan nasional. Bedah novel ini menjadi salah satu
acaranya karena dianggap novel ini bagian dari sejarah kebangkitan Indonesia.
Novel yang memang berdasarkan kisah seputar reformasi itu memang layak dikaji
sebagai renungan apa sebenarnya makna kebangkitan bagi bangsa ini.
Nurul melangkah dengan keyakinan penuh sambil membawa beberapa
novel karyanya untuk dijadikan doorprize dalam diskusi nantinya. Tiba-tiba
seorang bocah berkaos putih menabraknya karena berlarian dengan teman-temannya.
Bocah kira-kira berumur 2,5 tahun itu hampir terjatuh ketika Nurul meraih
tangan mungilnya yang nyaris tergelincir di lantai.
”Innalillahi...
aduh sayang jangan lari-lari ayo tante bantu.” ulur Nurul meraih tubuh mungil
itu. Wajah bocah kecil itu pasi menatap Nurul mungkin takut karena merasa telah
menabrak wanita muda itu. Bocah lain yang mengejarnya pun ikut termangu, mungkin
memiliki rasa takut yang sama.
”Ayo sini kalau main hati-hati.” senyum Nurul disambut
wajah cair bocah-bocah.
Mereka tersenyum. Nurul menggendong bocah laki-laki yang
menabraknya tanpa perlawanan dan mengajak yang lain berjalan menuju area
bermain.
”Ayo adek-adek dimana mama dan papanya?” tanya Nurul pada
mereka.
Wajah mungil dalam gendongannya hanya diam, lainnya
berlari menuju ibu mereka yang segera berterima kasih kepada Nurul yang telah
membawa anak-anak kembali ke arena bermain.
”Adek namanya siapa?” tanya Nurul pada bocah laki-laki
dalam gendongannya.
”Yelu...” singkat jawabnya dengan suara masih cadel.
”Yelu, mama dan papanya dimana?” tanya Nurul kembali.
Bocah itu menggeleng.
”Yelu datang ke sini sendiri?” tanya Nurul kembali
Dia menggeleng lagi. Nurul tersenyum, mungkin bocah kecil
ini bingung dengan pertanyaannya. Nurul segera menuju panitia dan mereka
terkejut karena Nurul datang tanpa sepengetahuan mereka.
”Aduh maaf mbak Aini, kenapa mbak tidak menghubungi kami?
Sama siapa nih? Bukan putra mbak Aini kan?” tanya seorang panitia. Panitia
acara ini lebih sering memanggil Nurul dengan Aini.
”Bukan, anak ini mungkin terpisah dari orang tuanya tadi berada
di sekitar tempat parkir, tolong diumumkan mungkin orang tua anak ini juga
sedang mencarinya.” jelas Nurul dengan tetap menggendong bocah itu.
”Oh...gitu ya mbak, adek siapa namanya?” kata seorang
panitia mencolek pipi tembem putih itu.
Wajah timur tengah dengan kulit putih kemerahan, membuat
siapapun yang memandangnya akan jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan
pertama!
”Namanya Yelu tante...” jawab Nurul ketika dilihatnya
bocah kecil itu hanya diam saat ditanya panitia.
Segera panitia mengumumkan bahwa ada anak dengan ciri seperti
Yelu di tempat panitia. Selesai pengumuman, seorang laki-laki keturunan berbaju
putih dengan kaca mata tergesa datang.
”Ya Allah Ehsan kamu disini nak, papa bingung mencarimu
kemana-mana.” ucapnya seraya mengambil Ehsan dari gendongan Nurul dan segera
mencium pipi putih anaknya.
Nurul tersenyum demi melihat ayah bocah itu, tetapi nama
bocah itu Ehsan?
”Maaf, tapi tadi anak ini bilang namanya Yelu...” tanya
Nurul gamang, tangannya tidak rela menyerahkan bocah itu ke tangan laki-laki
yang mengaku sebagai papanya.
Laki-laki itu tersenyum, sekali lagi mencium wajah anak
laki-lakinya. Bocah itu balik mencium papanya.
”Yelu itu nama saya mbak, karena banyak yang memanggilnya
Yelu Junior dia lebih sering ikut-ikutan
memanggil dirinya Yelu. Namanya Ehsan Yelu.....” kata laki-laki itu tidak
melanjutkan
”Wa weng Ocad.” jawab bocah laki-laki kecil itu tertawa.
Tentu saja Nurul dibuat terpanah mati oleh dua wajah di
depannya. Bahkan semua panitia ikut bengong menyaksikan adegan bapak anak itu. Adegan
indah yang tidak perlu diarahkan oleh seorang sutradara terbaik karena itulah
bahasa cinta antara ayah dan anak.
”Wah...siapa dek? ternyata Yelu namanya papa ya?” senyum
Nurul menggoda bocah kecil yang tersenyum menggemaskan itu.
”Namaku Ecan Muhamad Yelu Wa Weng Ocad.” jawabnya dengan
cadel cukup sempurna.
”Subhanallah
namanya panjang sekali, sampai tante gak ngerti. Nyebutnya yang jelas,” kata
Nurul mencubit pipinya.
”Mbak makasih, Ehsan memang suka jalan sendiri.” jelas
laki-laki itu berpamitan.
Nurul memandang wajah mungil itu. Ingatannya kembali
menyentak nuraninya. Yelu? Tapi Yelu yang dicarinya bukan dia,
batinnya menolak kemudian sejenak saja menyuguhkan perih.
Belum
genap pikiran Nurul ketika panitia mempersilakan dia memasuki ruangan.
Auditorium sebesar itu sudah dipenuhi manusia, bergetar hatinya. Dia semakin
sadar bahwa ternyata novelnya memang menarik perhatian banyak orang. Diam-diam
hatinya gerimis melompat pada masa 15 tahun lalu. Jiwanya tertunduk menyudut,
tanpa orang tahu bahwa harapannya menulis novel itu semata ingin menemukan
orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Entah
saat ini mereka ada dimana? Harapnya gamang.
Acara
terlaksana dengan lancar sukses. Novel yang disediakan panitia juga terjual habis
bahkan sebagian ada yang memesan kepada panitia. Kebanyakan dari mereka adalah
mahasiswa dari kampus tersebut dan juga utusan dari kampus lain di kota
Surabaya dan sekitarnya. Panitia tersenyum atas kesuksesan yang dicapai dan peserta
menggenggam puas dengan suguhan yang diberikan. Nurul mendedikasikan seluruh
royalty penjualan novel Cinta di Altar Berdarah untuk lembaga pendidikan bagi
anak-anak down syndrom. Bazar masih
ramai pengunjung, ibu-ibu dan remaja mengerubuti Nurul minta tanda tangan atau
berfoto bersama. Tanpa Nurul tahu, ada dua pasang mata menatapnya nanar. Saat
Nurul melangkah keluar Auditorium akan menuju area parkir, pandangannya tertuju
pada bocah kecil yang pagi tadi sempat berada dalam gendongannya, Ehsan!
”Ehsan... belum pulang sayang?” tanya Nurul dari kejahuan.
Ehsan segera turun dari gendongan papanya. Laki-laki itu membiarkan putranya
berlari menuju Nurul. Serentak saja
Nurul merendahkan badannya menyambut Ehsan dengan kedua tangannya, keduanya
tersenyum sebelum berpeluk.
”Papa mau beltemu tante.” bisik Ehsan ringan setelah
berada dalam pelukan Nurul. Gadis calon dokter itu tersentak.
”Papanya Ehsan mau bertemu tante? Ada apa?” tanya Nurul
memastikan.
Bocah itu diam kemudian menoleh kepada papanya. Nurul pun
perlahan menoleh, matanya tertuju pada laki-laki yang mematung terdiam dalam
tatapan mata yang tidak bisa diterjemahkan. Ketika laki-laki berjenggot tipis
itu melepas kaca mata yang menghias wajahnya, tampak mata sipit memerah
tergenang telaga air mata. Laki-laki itu berjalan mendekat dan berhenti pada
jarak 2 meter di depan Nurul, mengerjabkan matanya. Terdiam!
”Nurul Haiyun.” ucapnya lirih hampir tak terdengar.
Ucapan lirih yang keluar dari mulut laki-laki yang mengatakan dirinya adalah
papanya Ehsan itu bagai halilintar menyambar batas-batas kesadaran Nurul.
Melemparnya pada kecipak air sungai kecil di belakang kebun rambutan milik
Abah. Menjeratnya pada pelepah pisang yang dirajang bersama daun-daun bambu
kering yang dikumpulkan dengan ikatan. Mendudukkannya pada daun trembesi yang
telah menguning dan dikumpulkan dengan sapu lidi. Menguncinya pada ayunan di
bawah pohon mangga di tepian hutan desa. Membelenggunya pada tragedi
kesalahpahaman berdarah selepas euforia reformasi tahun 1998. Tubuhnya gemetar,
tidak sanggup kakinya berdiri. Nurul tertunduk mencoba mengumpulkan serpihan
luka, mengunpulkan tenaga. Air matanya luruh satu-satu.
”Tante... kenapa menangis?” tanya Ehsan polos.
Tak ada jawab, Nurul memeluk bocah kecil itu dengan
hangat dan menciumnya. Seketika hatinya
jernih, ketika merasakan detak jantung Ehsan yang lembut. Perlahan dia menoleh
pada laki-laki yang terpaku di tempatnya.
”Kak Waweng?” ujarnya lirih.
Laki-laki itu tersenyum, tetapi terlanjur tidak bisa lagi
menahan genangan air di matanya. Perlahan laki-laki itu terduduk di samping Ehsan,
menghapus air mata yang tak seharusnya luruh.
”Jadi benar kamu dek Haiyun?” sekali lagi laki-laki itu
bertanya.
Mungkin sekadar ingin menata hatinya atau memastikan
bahwa dirinya tidak salah menanam harap.
”Iya kak bagaimana kabar kak Weng? Dimana Qian?” tanya
Nurul dengan hati gerimis bahkan telah hujan lebat di seluruh langitnya. Banjir
bandang di setiap ruang-ruang rasanya.
Keduanya tertunduk. Ada beban terhempas begitu saja
menghadirkan kekosongan secara tiba-tiba.
”Seperti kamu lihat kak Weng sudah punya Ehsan.” laki-laki
itu mencoba tersenyum disela air matanya sambil mencium Ehsan yang jenaka ikut
menciumi papanya.
Nurul tersenyum menyaksikan adegan serupa saat kali
pertama dia bertemu keduanya pagi tadi. Kebahagiaan yang datang tiba-tiba seringkali
membuat banyak jiwa tidak berdaya. Hanya syukur terucap, alhamdulillah... lenyaplah segala beban yang bernanah selama 15
tahun itu.
”Alhamdulillah
Kak, sungguh aku masih tidak percaya doaku dijawab Allah hari ini. Aku
sudah berkali keliling Indonesia dengan novel ini, ternyata di kota ini kita
kembali dipertemukan.” kata Nurul terbata.
”Sama dek, alhamdulillah.”
ucap laki-laki itu tak mampu lanjutkan kata. Dia memang seperti kehabisan kata
untuk membahasakan semua rasa yang hadir secara mendadak itu.
Nurul tersadar jika laki-laki yang disebutnya kak Weng
itu kini berbeda, dia bukan lagi laki-laki 15 tahun lalu yang masih suka jahil
padanya dengan menarik kerudung Nurul yang tidak tepat dan bertanya mengapa dia
harus mengenakan kerudung itu kemanapun pergi. Atau laki-laki 15 tahun yang
suka membawakan kue untuknya, mengajaknya bermain bersama Qian di seluruh
penjuru desa. Kini dia sudah menjadi laki-laki yang baru.
”Kak Weng? Benarkah sekarang kakak seorang muslim?” tanya
Nurul hati-hati.
Weng hanya mengangguk tersenyum memeluk Ehsan.
Hati Nurul bertakbir mengucap syukur tiada terkira.
Ingatannya melayang pada puluhan tahun silam, ketika keluarga Weng yang
beragama Budha sering memberi kue-kue untuknya setiap merayakan Hari Raya dan
Abahnya selalu memarahinya. Padahal dia sama sekali tidak mengerti apa maksud
Abah. Atau saat dia dimarahi umminya karena bercanda keterlaluan bersama Weng
yang beragama lain.
”Alhamdulillah,
kak Imron juga pasti senang bertemu kak Weng lagi.” kata Nurul akhirnya dengan
senyumnya yang kian sempurna.
Serta merta wajah di depannya cerah. Seolah ada secercah cahaya matahari pagi yang
begitu indah menghangatkan hatinya setelah hujan semusim tidak kunjung reda.
”Terimakasih Haiyun, aku ingin sekali bertemu Imron.
Apakah kalian sudah tahu semua cerita tentang orang tua kita?” tanyanya gamang.
”Sudahlah kak, semua itu masa lalu. Aku dan kak Imron
sudah tahu semuanya, setelah Abah meninggal Umi cerita semua. Oh ya bagaimana
kabar orang tua kak Weng?” tanya Nurul hati-hati karena dia masih ingat
peristiwa berdarah itu.
”Papa meninggal tepat sebulan kami meninggalkan desa
karena lukanya terlalu parah sebelum akhirnya kami semua memutuskan pergi ke
Cina, keluarga kami masih punya rumah di sana. Mama juga sudah meninggal 5
tahun lalu di Cina. Sebelumnya mama menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kak
Jiazhen sudah menikah setelah kuliahnya selesai. Kemudian aku kuliah dan
mendapatkan pekerjaan di Bahrain sebagai ahli IT, tapi aku sering ditugaskan di
Saudi Arabia. Di sana aku bertemu ibunya Ehsan dan menjadikan Kak Weng seorang
muslim. Kami menikah, aku tinggal bersama keluarga Fatimah tetapi dia pergi
seminggu setelah melahirkan Ehsan, karena kondisinya sangat lemah.” Jelas Weng
dengan berat.
”Innalillahi wainna
ilaihi roji’un, aku turut berduka untuk kak Fatimah,” tunduk Nurul ikut
merasakan pedih. Weng hanya mengangguk dan tertunduk melanjutkan ceritanya.
”Aku kembali ke Cina dan membawa Ehsan, karena aku tidak
sanggup rasanya hidup di sana tanpa Fatimah. Setelah hampir setahun di Cina, Kak
Jiazhen ingin aku mengurus kembali kekayaan papa di Indonesia yang selama ini
diserahkan pengawasannya kepada keluarga mama. Aku tidak mungkin berpisah
dengan Ehsan, jadilah aku membawa serta Ehsan ke Indonesia.” jelas Weng
bergetar seakan memutar kembali sebuah film usang yang tidak layak tonton.
Hati Nurul berkabut. Andai...
Nurul menepis semuanya. Bukankah semua itu hanya masa lalu?
Segera Nurul beranjak dan berbicara dengan panitia
tentang sesuatu yang cukup serius. Cepat panitia bergerak. Pengunjung bazar masih
menikmati berbagai hal yang di suguhkan.
”Mohon perhatian untuk semua
pengunjung Bedah Novel, Bazar dan lomba. Bahwa Penulis Cinta di Altar Berdarah,
telah menemukan satu orang yang selama ini dicarinya dalam acara kita kali ini.
Jika hadirin berkenan untuk mengetahui siapakah orang yang selama ini dicari,
dipersilahkan untuk masuk kembali ke Auditorium.”
Pengunjung terpanah, terlebih yang mengikuti bedah Novel.
Kesempatan luar biasa bertemu dengan tokoh nyata novel itu. Berduyun mereka
memasuki auditorium. Termasuk sepasang mata yang sejak tadi menatap Nurul.
Sepasang mata itu memegang sebuah benda yang menggantung didadanya, berdoa ikut
melangkah masuk. Di Auditorium Nurul menggendong Ehsan.
”Kak weng, dimana Qian?” tanya Nurul mengusiknya. Weng
menatap ragu pada Nurul.
”Setelah aku masuk Islam, dia menjadi pengikut Yesus. Dia
pergi ke Perancis mengambil kuliah
design pada 1,5 tahun yang lalu tepat ketika aku berangkat ke Indonesia. Sudah
lima bulan ini kami tidak tahu kabarnya, setelah terakhir dia mengatakan berada
di Vatikan Roma. Kami merindukannya dan hanya bisa berdoa untuk keselamatannya.
Kamu tahu sendiri Qian orangnya pemberani dan kadang gegabah. Sifatnya ini yang
justru sering membuatnya berada dalam kondisi tidak menguntungkan.” lara Weng.
Qian aku sangat merindukanmu,
batin Nurul sambil melambungkan doa ke semesta. Rindu bermain lempung dan
sejuta rindu yang lain. Di mana kamu Qiancheng??
Auditorium
tiba-tiba hening ketika pembawa acara mulai bicara. Semua mata tertuju pada
satu titik dimana Qian Naira Aini nama pena dari Nurul Aini Rosyidah duduk
menggendong Ehsan.
”Assalamu’alaykum salam sejahtera,” Nurul membuka suara. ”Wa’alaykum
salam,“ jawab semua hadirin menggema. Menggetarkan jiwa.
”Saya mohon maaf jika membuat hadirin kembali ke ruangan
ini. Seperti saya sampaikan bahwa saya sedang mencari semua tokoh utama dalam
novel saya. Dengan kuasa Allah, hari ini saya dipertemukan dengan Kak Weng yang
telah menjadi Mohammad Yelu Wang Wenxiao dan Ehsan ini anaknya. Akhirnya saya
juga tahu keberadaan Kak Jiazhen, hanya Qian yang belum saya temukan.” getar
suara Nurul.
Perlahan Yelu duduk di samping moderator. Semua mata
terpanah, tidak sedikit berderai. Mereka tidak hanya menikmati Novel
berkualitas tetapi diajak mengalami sebuah kisah nyata, bahwa harapan dalam
novel itu dijawab kontan oleh yang Maha Kuasa. Mereka saksi pertemuan penulis
dengan orang tercinta yang terpisah 15 tahun lalu. Moderator meminta Yelu
bicara.
”Assalamu’alaykum
saya Yelu, kerena kuasa Allah saya bertemu Haiyun atau yang Anda kenal dengan
Qian Naira Aini. Saya hadir di acara bedah novel ini karena Ehsan merengek
ingin masuk, mungkin ini cara Allah memberi petunjuk. Ternyata di sini saya
menemukan potongan hidup saya. Saya membeli Cinta di Altar Berdarah pagi tadi
sebelum masuk ruangan ini. Ternyata Novel ini untuk Yelu Wang Wenxiao,
Qianzheng Gauzhan dan Jiazhen Wang Wenxiao dan penulisnya adalah sahabat kami
yang terpisah sejak tragedi berdarah itu. Alhamdulillah
semoga saya akan segera bertemu dengan adek saya.” Yelu tak sanggup lagi bicara
karena dadanya sesak oleh bahagia dan sedih yang tak terkira. Bahagia karena
kepingan kehidupannya telah menyatu, sedih karena satu keping hatinya masih
belum bertemu.
Ehsan melompat turun memeluk kaki papanya. Laki-laki itu
menggendongnya. Nurul tertunduk menahan keharuan yang menyeruak. Hadirin
terhipnotis, terpaku dan semua tergenang telaga air mata. Mereka tersadar bahwa
persahabatan tidak pernah berdosa, tidak pernah menyimpan dendam hanya karena
segelintir hati yang mencoba mencerca. Lihatlah laki-laki keturunan Cina itu
bersahabat baik dengan seorang muslimah saat keduanya dalam perbedaan yang
menyulut tragedi itu. Andai tragedi itu tidak terjadi, mungkin mereka tidak akan
pernah mengerti apa arti persahabatan dan juga mengapa Tuhan menciptakan
perbedaan pada makhlukNya.
Sebuah wajah cantik dengan sebentuk hati berembun menunduk
dalam menahan emosi memuncak. Bukan kemarahan yang menggelegak, bukan! Tapi
sebuah kerinduan yang telah menemukan muaranya dan dia tidak sanggup menikmati
indahnya rindu terpaut. Jiwanya tergetar, mencoba menghalau dengan menyelipkan
benci di antara kisi-kisi jiwanya. Tapi cinta adalah raja terindah yang akan
mengalahkan segala luka. Wajah tertunduk itu memegang sebuah benda yang
menggantung di dadanya, menciumnya dengan penuh cinta. Segera di pegangnya
sebuah gelang batu giok yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sekali
lagi menatap wajah-wajah yang tengah menyatu dalam doa, mengharap kehadiran
orang yang dicintai. Sebentuk hati itupun menghampar doa pada seluruh semesta
rasa.
Saat semua wajah tertunduk dalam doa, gadis dengan gelang
batu giok itu berdiri menuju tempat Nurul dan Yelu. Tepat saat mereka dan semua
yang ada di auditorium itu mengucap Aamiin,
sebentuk wajah hadir. Hadirin terpanah saat sebuah suara memecah sunyi yang
syahdu.
”Tuhan menjawab kontan doa kalian. Barusan Tuhan
menyuruhku masuk ruangan ini dan mengatakan bahwa ada orang yang tetap
mencitaiku walaupun aku berbeda. Aku datang untuk kalian.” ucapnya tergetar.
Getar suaranya mampu membuat Auditorium bersyair dalam
kesyahduan yang maha dahsyat. Kristal bening jatuh satu-satu dan segera
mengalir deras dipahatan wajah cantik rupawan. Seorang gadis berkaos putih
lengan panjang dengan kalung salib, tengah berdiri mematung menatap Yelu dan
Nurul.
”Qiancheng Gauzhan!” suara Nurul mampu mengiris semua
hati yang ada di sana.
Suara yang dipenuhi pekatnya rindu. Cinta yang tak
terbantahkan walau banyak beda harus ditampakkan. Yelu terkulai dikursinya
sebelum dia menggenapkan kekuatan menuju gadis itu. Nurul berhambur memeluk
gadis itu, dialah Qian yang dicarinya. Qian mencium Nurul dengan berjuta rasa,
tersenyum dalam balutan air mata. Sungguh, bahagia yang datang tiba-tiba mempunyai
rasa yang sama ketika kesedihan datang tanpa permisi. Hampa! Tak terbahasakan.
”Jangan menangis! Kamu jelek kalau menangis.” suara Yelu
membuat Qian menoleh. Keduanya saling tatap dengan bibir tergetar menahan rasa.
”Qian tidak pernah cengeng kalau kak Weng selalu ada.”
jawab Qian tegar.
Kakak beradik itu tak mungkin berdiri di atas egonya
masing-masing. Sekali lagi cinta adalah raja di atas segala beda, hanya cinta
yang luruhkan resah. Keduanya berpeluk dalam tangis ketika tiba-tiba Ehsan yang
ada dipelukan Nurul bicara.
”Quing,”
ucapnya cadel mengejutkan.
”My
Prince kau tampan sekali Queen rindu padamu.” Qian segera menciumi Ehsan. Bocah
lucu itu segera menggemaskan, ikut menciumi mata dan pipi Qian. Ternyata Ehsan
memang masih mengenali tantenya itu, karena selama di Cina hingga berumur 1
tahun, Qianlah yang ikut merawat Ehsan dan setahun kemudian dia masih sering
diajak papanya untuk melakukan video call dengan Qian. Tentunya keduanya sangat
akrab dengan panggilan princes dan queen.
”Bagaimana kamu bisa ada di sini Qian?” tanya Nurul
”Gelang ini yang membawaku sampai ke tempat ini.”
candanya menunjukkan gelang gioknya yang tersemat manis di pergelangan tangan
kanannya.
”Ya Allah kamu masih memiliki gelang itu? Aku juga
menyimpannya dengan baik masih dalam kotaknya dan aku sering membukanya setiap
saat.” senyum Nurul.
Dua buah gelang batu giok pemberian Jiazhen yang dibawa
khusus dari Cina ketika liburan khusus untuk mereka berdua seminggu sebelum
tragedi. Keduanya tersenyum penuh arti.
”Puji Tuhan, aku menjadi orang paling bahagia karena
memiliki kalian.” ucap Qian tersenyum dalam air mata bahagia.
”Qian Aini bukan hanya kamu, tetapi juga kami. Benar kan
Kak Weng?” kata Nurul memandang Yelu.
”Kamu masih memanggilku dengan nama itu? Walaupun aku
telah menjadi pengikut Yesus? Kamu tahu aku hampir gila merindukanmu hingga
menuliskan namamu di altar gereja di Vatikan Roma sana, berharap Tuhan memberi
keajaiban setiap aku membaca namamu di altar itu.” Qian menerawang.
”Kamu tetap Qiancheng Aini seorang gadis bermata indah
dengan masa depan cerah aku selalu melukis namamu dalam setiap doaku.” jawab
Nurul
”Oh My God dan kamu tetap Nurul Haiyun gadis yang berbudi
mulia.” Qian tertawa kecil disela rintik air mata yang tak terhenti.
”Sudahlah yang penting sampai kapanpun kalian tetap
menjadi ade-adek kak Weng.” kata Yelu.
”Iya Kak Yelu yang pintar dalam segala hal.” kata kedua
gadis itu bersamaan dengan senyum bahagia. Yelu tersenyum menganyam bahagia.
”Aku ingin mengajakmu ke Roma dan kutunjukkan namamu yang
aku ukir di altar gereja,” senyum Qian tiba-tiba memecah sunyi.
”Itu hal mudah Qian... angin apa yang membawamu datang ke
sini?” tanya Nurul.
”Aku pelayan Tuhan dalam misi kemanusiaan. Saat dari
bandara aku melihat baliho acara ini. Aku tertarik ketika tahu tujuan penulisan
Novel ini untuk anak down syndrom.
Akupun tidak bisa tidur nyenyak karena nama Qian Naira Aini. Entah, aku
benar-benar tidak bisa tidur saat ingat nama penulis novel itu. Rinduku padamu
semakin pekat, tetapi tak berani berharap bahwa penulis itu dirimu karena aku
ingat cita-citamu,” kata Qian panjang.
”Ya beginilah caraNya mempertemukan kita. Kamu benar
Qian, seperti yang kau ingat bahwa aku sekarang seorang Dokter dan menulis
salah satu hobyku,” jawab Nurul haru.
Mereka saling menatap dalam keharuan yang mempesona. Yelu
memperhatikan keduanya sambil menggendong Ehsan yang mulai tertidur.
”Kenapa kalian diam?” tanya Weng tiba-tiba melihat
keduanya saling diam.
”Tidak, aku hanya ingat peristiwa yang memisahkan kita,”
kata Nurul tertunduk
”Sama, aku masih ingat ketika mereka membakar papa di
depanku,” kata Qian bergetar.
”Sudahlah... semua sudah berakhir kita sudah bertemu. Apa
kalian tidak ingin telp kak Jiazhen? Pasti dia senang dengar suara kalian. Tapi
nanti saja telponnya karena aku baru SMS dan Kak Jiazhen masih sembahyang,”
kata Yelu.
Kedua wajah gadis itu langsung cerah sempurna.
“Kalau begitu kita telpon kak Imron saja.” usul Nurul seraya membuka Nokia E90
kesayangannya.
Cepat setelah tersambung Nurul menyerahkan HP itu kepada
Yelu yang gugup menerima. Ada buliran air mata rindu saat Yelu dan Qian bicara
dengan Imron. Segala dendam itu luruh, kepedihan itu sirna. Walau air mata
sebagai penghiasnya tapi sinar bahagia tak terbantahkan cahayanya, memantul sempurna.
Matahari tersenyum di balik bunga Flamboyan ketika Qian
menanti Nurul dan Yelu melaksanakan sholat dhuhur di Masjid kampus. Qian
tersenyum dari serambi menatap mereka yang khusu’ menyatu dengan Tuhan semesta
alam. Menatap wajah damai Ehsan yang tertidur di pangkuannya. Qian menunduk,
memegang kembali sebuah benda yang tergantung di dadanya dan mengecupnya. Hanya
satu keyakinan dalam hatinya bahwa Tuhan itu ada dan dekat dalam setiap celah
hidupnya. Angin berembus memainkan pucuk-pucuk persahabatan yang indah, memang
ada cinta dalam perbedaan mereka. Biarkan persahabatan mereka terus bersyair
indah selama Flamboyan masih berbunga.
~the end~
0 Comments