Sambungan dari... menuju halal 2

Ada banyak kejadian di dunia ini yang serba mendadak, ujug-ujug, dumadakan, ndilalah kersaning Allah atau apapun istilahnya untuk segala kejadian yang terjadi begitu saja tanpa kita prediksi bahkan ada lintasan di pikiran. Mungkin, begitulah yang terjadi padaku akhir-akhir ini terkait dengan masalah jodoh (pernikahan). 

Aku ingat apa yang disampaikan oleh Abi Quraish Shihab dalam narasi Shihab and Shihab : 

"Kalau menikah itu jangan pakai akal, karena akal tidak akan pernah puas. Tapi pakailah hati, jika hati sudah klop maka menikalah. Mencintai itu ada tempatnya. Jika bilang mencintai karena Allah...maka jika dalam perjalanan itu ada yang salah dengan pasanganmu maka kamu akan mengingatkannya karena Allah." 

----
8 November setelah menghadiri undangan pernikahan, kami menuju rumah orang tuaku. Bapak sempat bertanya kami akan sampai rumah beliau jam berapa. Aku semakin resah, apakah keputusanku untuk langsung meminta laki-laki ini menemui bapak adalah keputusan yang benar? Jauh sebelum ini, untuk segala urusan sejenis ini, hanya Bunda yang menjadi tempatku menceritakan segalanya. Termasuk bahkan kalaupun aku dikhitbah seorang laki-laki, keputusan bukan di tangan bapak tapi ada di tangan bunda. Sejak kepergian abadi bunda, aku memang lebih banyak bersinggungan dalam hal positif dengan laki-laki yang mencintaiku dengan cara luar biasa yaitu, Bapak. Termasuk hal mendadak yang mengejutkan ini, Allah langsung mengingatkanku kepada bapak sebagai satu-satunya orang yang bisa menjadi tempat meminta pertimbangan terbaik untuk masa depanku. 

Aku termasuk orang yang meyakini, bahwa urusan pernikahan itu bukan urusan main-main yang mudah diceritakan ketika semua masih belum jelas. Alasan itulah yang membuatku tidak bisa menceritakan apapun terkait kedatangan mendadak teman lama ini. Aku belum yakin, aku tidak mau ada prasangka pun aku sangat tidak ingin akan ada banyak harapan dari orang-orang yang selama ini selalu ada bersamaku dalam suka dan dukaku. Aku hanya ingin menyelesaikan sendiri, menanggung beban seberat ini sendiri dan sedikit berbagi dengan bapak sebagai waliku. 

"Bapak lihat dia saja, apakah dia layak menjadi suamiku." itu kalimat yang kusampaikan ke bapak ketika beliau kuminta "menginterview" laki-laki yang pernah kukenal 20 tahun yang lalu itu. Kalimat yang mungkin terkesan sangat sombong. Bapak sempat menanyakan kepadaku tentang fisiknya dan mengingatkan akan hal itu walaupun bukan menjadi syarat utama dalam pernikahan bahagia. Aku sedikit memberitahu bapak tentang siapa laki-laki yang semalam telah menyampaikan niat untuk mempersitriku itu. Ya, sebatas yang aku tahu dari penjelasannya kepadaku langsung kusampaikan ke bapak. Termasuk hal penting tentang kegagalan pernikahannya jauh sebelum bertemu aku (kembali). 

Bagaimanapun aku memang tidak mengenal laki-laki ini sebatas apa yang disampaikannya beberapa waktu terakhir ini dan tentu apa yang diucapkan pada malam dia berani mengatakan niatnya itu. Saat aku banyak bertanya kepadanya dan aku baru mengetahui hal-hal yang selama ini memang tidak kuketahui sama sekali tentangnya. 
Ucapan-ucapan 'sadisku' sesaat ketika dia selesai menyampaikan keinginnannya, membuatku sedikit mengetahui siapa laki-laki ini. Sebuah kenyataan yang tidak mudah kupahami, apalagi kuterima secara logis di otakku. Aku belum menyentuh hatiku sama sekali malam itu, hanya mengandalkan logikaku untuk menghadapinya. 

Aku tahu ada banyak orang berpikir bahwa tindakanku terkesan bar-bar, tidak punya perasaan, muslimah yang kasar, sombong atau hal-hal kurang menyenangkan lainnya. Ya, aku harus memastikan bahwa laki-laki yang datang ini bukan laki-laki cemen yang mundur teratur demi melihat cara pikir logisku yang memang kusadari dengan sepenuhnya untuk "menguji" kesungguhannya. Aku hadir sebagai sosok tidak menyenangkan, bukan sosok perempuan lemah lembut yang banyak didamba laki-laki. Pun, sebagai muslimah aku tidak layak berlaku 'menye-menye' di hadapan laki-laki yang bukan siapa-siapaku. 

Siang itu, sesampai di rumah bapak aku persilakan dia bicara langsung dengan bapakku tentang apa yang disampaikan  semalam. Aku menemui ibu dan meninggalkannya hanya bersama bapak. Aku tidak ingin mendengar perbicangan dua laki-laki itu, agar hatiku tidak ada kecenderungan sebelum aku meminta petunjuk dari Allah akan semua ini. Ya, walaupun aku meminta bapak melakukan interview kepadanya, toh pada akhirnya memang keputusan menerima atau menolaknya ada di tanganku sendiri. 

30 menit berlalu...mendekati 45 menit, bapak memanggilku ke ruang tamu dimana beliau menemui laki-laki itu. Deg! mendadak dadaku berdebar demi melihat dua wajah di depanku yang tengah cerah tersenyum. Sungguh...feeling not good pokoknya. Ada apa ini? Jangan-jangan bapakku yang kukenal cukup 'sadis' itu telah 'ditaklukkan' oleh laki-laki itu. Atau sebaliknya? 

Setelah aku duduk di depan bapak, diiringi ibu yang ikut menemaniku duduk di samping bapak. Aku lihat wajah bapak demikian juga kuberanikan melihat wajah laki-laki itu. Ucapan bapak selajutnya benar-benar membuatku kehilangan daya. Bapak adalah perisaiku untuk menghadapi laki-laki ini, ternyata malah seolah berpihak kepadanya. Bapak mengembalikan semua pertanyaan yang seharusnya akulah yang bertanya pada beliau karena meminta menginterview laki-laki itu. Bukan main-main kagetnya. 

Lintasan wajah bunda hadir begitu saja, rasa sendiriku menyerang dengan sempurna. Bapak yang kuandalkan ternyata seolah melepasku begitu saja menghadapi semua ini, sendiri. Malah memberikan restu apapun yang aku putuskan. Lebih menyentak lagi adalah, bapak menyampaikan suatu nasehat mengejutkan kepada laki-laki itu tentang diriku. Aku yang lulusan pascasarjana dan dia yang pernah gagal dalam berumahtangga. Berkali bapak menekankan kalimat yang sama. Ada airmata yang kucoba simpan dengan rapi tapi ternyata aku gagal. Terlebih ketika bapak dengan santai, menyampaikan jika keputusan baik yang diambil maka langkah selanjutnya bagaimana.

What???? Bapakku??!! Laki-laki yang pernah menyebutku belum muslim ini berlaku teramat sederhana? Mengapa jadi sesimple ini? Bapak yang selalu berdebat denganku untuk segala persoalan, menghadapi hal penting dalam hidup anaknya begitu simple? Jika ini sebuah syair lagu, sungguh sikap bapak adalah syair tanpa nada. Tidak kutemukan intonasinya!!!! Bapak mengalir, landai damai saja. Sungguh itu membuatku kehilangan daya. Jika selama ini aku dan bapak ibarat cermin dan bayangannya...maka, itulah yang terjadi padaku saat itu. Simple, tidak ada gejolak aneh, penolakan atau apapun yang memicu amarahku. Padahal aku sedikitpun tidak mengenal laki-laki ini. Apakah berarti aku menerimanya langsung di depan orang tuaku? Tentu tidak! 

Aku menyadari kondisi hati dan jiwaku yang tentram saja, mungkin jauh di lubuk hatiku aku mulai mencerna inikah jodoh? Ketika datang ke kita, tidak membawa gejolak aneh yang mengundang emosi buruk. Tapi sekali lagi kepala logisku belum bisa menerimanya. Aku masih mencerna semua secara logis. Aku mulai bertanya 'dimana yang namanya cinta'? Apakah aku bisa menjalani semua tanpa ada rasa cinta? Sungguh isi kepalaku terus berbincang. 

Kembali lintasan tentang kisah hatiku dengan dokter If juga seseorang yang saat itu sangat dekat denganku hadir menyempurna. Aku melihat laki-laki di depanku yang tentu (dalam pandangan logisku) jauh dari mereka berdua. Otakku membandingkan mereka dengan sangat sempurna. Sungguh aku mengibarkan bendera putih ketika "mendengarkan" perdebatan antara hati dan otakku. Mendadak aku mengandalkan air mataku. Aku menyerah dengan menyampaikan agar memberiku waktu untuk memikirkan semua, dan meminta petunjuk dari Allah apa yang terbaik. Apapun keputusanku, itu adalah keputusan logis baik dari hati dan otakku serta tidak ada yang berhak mengacaukan! 

Demi memuaskan logika kepalaku, setelah tanpa daya melihat kenyataan yang diberikan bapak, aku memutuskan 'membawa' laki-laki ini ke rumahku, rumah bunda dan bertemu adik-adik dan keponakan tercinta yang selama ini selalu ada untukku. Aku tahu tentu mereka berhak tahu lebih awal atas segala yang terjadi padaku, kakak dan budenya ini. 

Bayi kecilku (ponakan gantengku) Argani, tengah belajar jalan dan beberapa waktu mengalami perkembangan (pertumbuhan) yang agak unik. Si kecil ini, hampir tidak pernah mau disapa apalagi digendong oleh laki-laki kecuali ayahnya. Memang ada peristiwa yang membuatnya seperti 'trauma' bersentuhan dengan laki-laki. Mungkin dia berpikir bahwa semua laki-laki akan melakukan hal yang membuatnya takut itu. Banyak orang juga bilang bahwa jiwa seorang bayi itu sangat murni sehingga akan dengan sangat mudah bisa menerima hal yang semurni dirinya juga. Memang aku sering mengalami ini saat mendekati atau berdekatan dengan bayi-bayi. Ketika kondisi emosiku sedang kurang baik, tidak mudah aku mengajak komunikasi mereka. Itu sangat berbeda ketika kondisi hatiku tengah baik, maka akan banyak anak-anak yang begitu mudah sekali berdekatan atau bahkan bercanda dan mudah lengket padaku. Lintasan pikiran gilaku hadir. 
"Apakah laki-laki ini akan membuat Gani baik-baik saja?" 

Perjalanan menuju rumah aku sudah mengabari adikku, bahwa aku akan mengenalkan seseorang pada mereka terutama kepada ponakanku. Tentu mereka berpikir macam-macam. Begitu sampai rumah, aku menyapa Gani yang tengah bermain. Karena sebelumnya beberapa waktu aku istirahat di rumah maka dia masih cepat tersenyum melihat kedatanganku. Hanya saja kakaknya menampakkan gestur yang kurang menyenangkan ketika aku datang bersama orang baru baginya. 
Laki-laki itu menyapa Gani, dan....MasyaAllah, si kecil ganteng ini begitu saja menerima kehadirannya. Tidak ada tangisan histeris yang biasa dia lakukan ketika bertemu laki-laki apalagi yang baru baginya. Bahkan mau bersalaman dan berlaku biasa saja. Berkenan ketika laki-laki ini menyuapinya makanan. 

Aku memperhatikan semua dengan baik. Tak henti kuderas sholawat dan takbir atas pemandangan unik pada Gani dengan laki-laki itu. Bahkan si kecil inipun mau digendong oleh laki-laki yang baru dikenalnya itu. Mungkin bagi orang lain pemandangan itu biasa saja, tapi tidak bagiku yang mengenal Gani dan mengetahui mengapa si kecil ini sampai ketakutan setiap melihat laki-laki yang baru dikenalnya. Ini sesuatu yang luar biasa secara rasa. 

Ketika laki-laki itu meminta izin untuk sholat di musholla kampung, aku menyampaikan apa yang diniatkan laki-laki itu ke adik-adikku. Tentu mereka terkejut bahkan menangis. Tangisan bahagia dan juga gamang karena akan berspisah denganku jika apa akhirnya aku menerimanya. Aku sangat memahami perasaan itu karena akupun merasakan hal yang sama. Aku meyakinkan mereka bahwa aku masih belum memutuskan apapun tentang apa yang diniatkan laki-laki itu. Saat itu aku benar-benar gamang. Tujuanku 'mebawa' laki-laki itu ke rumah adalah supaya tahu bahwa dia bukan seperti laki-laki sebelum-sebelumnya yang melihatku lebih pada sisi materi karena posisi dan pendidikanku. 

"Ini rumah bunda, bukan rumahku. Aku juga bukan saudara sedarah adik-adikku. Aku tidak punya apa-apa secara materi yang layak dipuja para pemuja harta." santai kusampaikan padanya dengan harapan dia bisa memahami dengan sempurna apa yang kusampaikan. Pun tentang kantor (rumah) di Surabaya yang banyak orang berpikir itu adalah kantorku sendiri. Bahkan dijadikan bahwa itu adalah standart kemapanan pada diriku yang membuat beberapa orang berpikir diri mereka rendah. Lebih mengenaskan, mereka mengambil kesimpulan itu hanya berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar tanpa pernah bertanya padaku sebagai tokoh utama yang mereka beri label sesuai pikiran (prasangka) mereka. Dia hanya tersenyum dan aku jengah melihatnya. 

Perjalanan kembali ke Surabaya, aku mencoba mencari informasi tentang dirinya lewat beberapa ingatan masa lalu. Driver yang menemani kami mungkin juga 'bingung' mendengar perbincangan kami yang aneh itu. Dia duduk di samping driver dan aku di belakang. Aku juga tidak sedikitpun menjelaskan kepada driver yang selama ini sering menemani perjalananku tentang siapa laki-laki yang duduk di sampingnya. Pak sopir adalah orang lain dan tidak ada hak baginya untuk tahu hal yang menjadi urusanku. 

Aku diberinya waktu 3 hari untuk menjawab niatnya. Gila sekali kan? Bagi orang logis sepertiku tentu ini sangat memuakkan. "Ya sudah, seminggu ya. Jangan terlalu lama tidak baik." ucapnya ketika aku merespon ucapannya dengan nada kaget. 
Bagiku baik tiga hari atau tujuh hari adalah hal yang sama, karena keputusan apapun akan mengubah hidupku. Mungkin perubahan itulah yang masih cukup mengerikan bagiku saat itu. Sesuatu yang mendadak itu memang sangat mengejutkan. 

Sejak aku mendengar niatnya untuk menjadikan aku istrinya aku sudah tidak bisa istirahat dengan baik. Mendadak aku selalu merasa sendiri dan masih bermimpi ada bunda yang menemaniku menghadapi semuanya. Aku banyak merenung, tentang hakikat sendiri justru saat benar-benar aku harus bisa berserah padaNya saja atas segala keputusan terbaik untuk dunia akhiratku dalam sebuah pernikahan. Air mataku selalu saja runtuh setiap saat, bahkan aku tidak tahu alasan apa yang mebuatnya terus berderai. Saat di depan meja kerjaku, saat aku fokus dengan pekerjaanku yang menuntut konsentrasi tetap saja air mata itu hadir. Tapi aku tidak merasakan sebuah kesedihan apapun. Semua berjalan dengan tenang dan baik-baik saja. 

Sungguh aneh, walaupun aku tidak bisa istirahat dengan baik tapi tidak ada perasaan yang kacau dalam pikiranku. Tidak ada rasa menolak pun aku belum menemukan apakah aku menerimanya. Setiap sholat, dalam sujudku dan doa-doa panjangku, aku hanya minta diberi ketentraman batinku jika memang laki-laki itu baik untuk hidupku baik di dunia ini dan tentu akhiratku. Saat itu aku tengah dalam pemulihan setelah istirahat panjang di rumah karena neutrofilku nol. Istirahat lebih awal tetap kucoba lakukan walaupun menjelang tengah malam aku terbangun dengan sempurna. Kembali air mata tiada henti dalam sujud malamku. Mencerna segala peristiwa sebelum semua kejadian ini. 

Semakin panjang sujudku tidak ada rasa yang meresahkan, hanya tenang saja. Tidak ada ketakutan seperti pengalaman sebelum-sebelumnya. Pun aku baru sadar pada hari ketiga tentang doa yang kupanjatkan pada Allah. Selama ini, jika ada yang mau ta'aruf atau bahkan ingin menemui orang tuaku aku selalu punya doa andalan yang kulakukan dengan penuh kepasrahan kepadaNya. Mungkin terdengar aneh, tapi inilah doa yang selalu kubaca jika dihadapkan pada laki-laki yang secara logika  kepalaku tidak menerima. 

Allohumma arinal haqqo haqqon warzuqnat tibaa'ahu, wa arinal bathila bathilan warzuqnaj tinaabahu. Wa laa taj'alhu multabisan 'alayna fanadlilla, waj'al a lilmuttaqiina imaama. 

(Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya. Janganlah Engkau menjadikannya samar di hadapan kami sehingga kami tersesat. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.)

Dan berkali, Allah menjawab doaku itu secara langsung. Laki-laki yang 'menyembunyikan' niat aslinya ingin menikahiku atau menyembunyikan sisi lain kehidupannya...biasanya dibuka langsung oleh Allah.  Ada sajacara yang diberikan Allah, dan selalu elegan. Kadang terlintas kecewa, jika aku sudah melibatkan perasaanku tapi selalu Allah memelukku dengan cara paling sempurna, membuatku tersenyum pada akhirnya. 

Kali ini, entah mengapa aku 'lupa' dengan doa itu. Justru aku meminta ketenangan atau ketentraman hati jika laki-laki itu baik untukku. Dan memang aku mendadak sadar ketika selesai sholat bahwa Allah ternyata sudah menunjukkan banyak hal yang harusnya menjadi alasanku untuk menerimanya. Hatiku yang tidak mudah berpaling, kepalaku yang sering mengagungkan logika, mereka tidak lagi 'berperang' untuk saling mencari kemenangan atas keputusanku. 

Akhirnya dengan segala kepasrahanku hanya padaNya (dalam hening doa dan sujud panjangku) juga ketenangan yang kurasakan, setelah berbincang dengan bapak juga adikku, maka senja itu......menjelang maghrib yang kuyakini sebagai salah satu waktu istijabah terkabulnya doa-doa, aku sampaikan padanya: "Maafkan aku, Her, hingga saat ini tidak ada sedikitpun perasaanku kepadamu. Maka ajari aku untuk bisa mencintaimu, Her. Mencintai sebagai istrimu dengan harapan Allah ridho atas keputusanku ini." 

Ah...aku masih agak emosional menuliskan semua ini, dilanjutkan nanti ya... di bagian 2 khusus tentang hal ini maaf!



1 Comments

  1. Masya Allah ... aku bacanya ikut deg-degan, Mbak. Semoga yang terbaik yang terjadi.

    ReplyDelete