Sambungan... dari Kuterima engkau dengan...

Air mataku tumpah ruah, membanjiri seluruh ruang hatiku. Mungkin banjir bandang di sana. Aku telah mengambil keputusan yang sangat penting dalam hidupku dan akan mengubah segalanya dalam waktu singkat. Sekian detik aku tidak mendengar suaranya untuk merespon keputusanku. Aku hanya mendengar isaknya. Ya, laki-laki itu menangis, dan sekali lagi aku tidak tahu tangisan apa itu? Tangisan bahagianya atas keputusanku, atau tangisan kesadaran bahwa sejenak lagi dia akan kembali memiliki tanggung jawab berat sebagai seorang suami? Sampai saat ini pun aku tidak berani bertanya apa makna tangisannya senja itu. 

Sekali lagi aku sampaikan padanya tentang kekurangan dalam diriku (dalam pandanganku dan sebagian kudengar dari orang lain) agar dia tidak terkejut mendapatiku yang berbeda. Kujelaskan juga tentang riwayat kesehatanku. Sakit apa yang pernah kualami dan hal-hal yang menjadi kekuranganku. Aku mencoba mengawali semua dengan komunikasi jujur terbuka. Aku banyak belajar hal semacam ini dari berbagai persoalan yang dihadapi orang lain. Terlebih aku akan menjadi seorang istri bukan diawali dengan rasa cinta. 
Mengapa aku menyampaikan segala hal yang menurutku adalah kekurangan? Bagiku, apa yang disebut kelebihan oleh orang lain atas diriku itu adalah hasil pemikiran mereka sendiri. Aku secara sadar tidak sesempurna seperti dalam benak mereka. Mereka hanya melihat apa yang tampak baik sengaja atau tidak sengaja kutampakkan. Mereka tidak tahu betapa banyak kekurangan yang selama ini tak terlihat oleh mereka, yang sengaja kututup atau bahkan Allah yang menutupnya. 



Aku hanya ingin laki-laki ini mengenaliku dengan baik, tidak sekadar dari yang dia dengar dari orang lain. Karena dialah yang akan menjadi pakaianku demikian juga aku padanya. Aku tidak hanya ingin dia mengenaliku ketika aku mengenakan blaser kebesaranku, tapi juga kondisi terburukku. Pun, dia padaku. 
Sungguh aku tergagap demi mendengar penuturan tentang dirinya yang dulu. Aku mendengar semua hal buruk tentangnya justru saat aku telah memutuskan menerimanya. Deraian air mata selalu menyertai "perkenalan" kami betapa kehidupan kami sebelum ini telah membawa kami pada titik ini dengan segala bentuk cerita yang telah ditakdirkanNya. 
Saling menerima. Itulah satu titik awal yang coba kami sinergikan setelah mengetahui kondisi terburuk masing-masing. Kondisi terendah kami, juga masa-masa dimana kami berada pada titik terindah dalam hidup. 


Malam selepas senja yang cukup menguras energi itu aku bisa tidur nyenyak. Namun, apakah pagiku kembali tenang setelah semua peristiwa itu? Ternyata 'ketegangan' baru akan dimulai. Pagi itu aku diberitahu, tentang rencananya untuk datang bersama keluarganya ke rumah orang tuaku. Aku bertanya, setelah acara pertemuan keluarga itu, kapan kami akan menikah? 
Ketika dia menyampaikan rencananya, aku menjadi sangat resah mengingat bagaimana sikap bapakku. Bapak cukup tahu aturan yang benar, sehingga aku sangat yakin jika rencana yang disampaikan padaku itu aku sampaikan ke bapak, bisa dipastikan bapak akan menolaknya. Kami sama-sama terdiam setelah aku sampaikan keresahanku tentang sikap orang tuaku. 

Aku menghubungi bapak dan menyampaikan sedikit rencana yang aku ketahui. Benar, bapak tidak menyukai rencana itu. "Ini bisa disegerakan, kenapa harus diundur?" Aku tidak bisa menjawab pertanyaan bapak. Karena semua harus dilihat dari dua sisi, bukan lagi keputusan sepihak. Diskusi dan sharing berbagai hal akhirnya diambil keputusan luar biasa itu. 

Aku tertegun mencerna semua. Mencoba memamah secara perlahan rencana-rencana yang dihamparkan Tuhan untuk hidupku. Menikmatinya dengan segenap rasa, terus menghaluskan hati dan jiwaku untuk sebuah penerimaan terindah dalam hidupku. Aku hubungi keluarga dekat, semua terkejut bahkan tidak percaya dengan apa yang kusampaikan. Ada air mata bahagia mewarnai setiap komunikasi yang kulakukan. Termasuk kepada teman-teman dekatku yang selama ini selalu ada untukku, selayaknya saudara. Merekalah yang berhak tahu atas keputusan besar dalam hidupku ini setelah keluargaku. Tidak berbeda dengan keluargaku, semua bahagia dalam keterkejutan atau bahkan ketidakpercayaan. 

Acara pernikahan "impian" yang pernah ada di benakku harus aku LETAKKAN pada tempatnya, karena semua yang serba mendadak ini. Tanggal 7 dia menyampaikan niatnya, tanggal 10 aku ambil keputusan menerimanya dan tanggal 15 atas kesepakatan semua aku sah menjadi seorang istri. Menyiapkan segala hal secara cepat dibantu teman-teman yang akhirnya bisa bertemu sejak sekian waktu. 

"Inikah calon istriku?" tanyanya ketika melihatku memilih pakaian untuk kukenakan esok hari. Aku memang bersama sepupuku membawanya ke sebuah toko pakaian muslimah di kota Surabaya. Sekadar minta persetujuannya untuk pakaian yang kukenakan. 

"Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku ini mahal?" jawabku klise. Aku melihat sekilas senyumnya, ketika aku masih tetap dengan kemandirianku mengeluarkan kartu debitku di depan kasir. Aku menolaknya mengeluarkan uang untuk pakaian itu, karena aku tahu mahar yang kuminta darinya tidak murahan. Terlebih dia sudah menyetujui permintaanku. 

"Her, perempuan yang baik itu ringan maharnya, tapi laki-laki hebat dan mulia itu menghargai perempuan dengan mahar terbaik." itu yang kusampaikan ketika dia bertanya mahar apa yang kuminta.

Aku tidak akan lupa apa yang menjadi impianku walaupun banyak yang mengatakan ini sangat absurd. Juga mengingatkan bahwa mahar itu berupa harta benda (materi). Sejak dulu jika aku ditakdirkan menikah, aku memang tidak akan meminta mahar berupa hafalan Al Quran atau seperengkat alat sholat dari calon suamiku, tapi aku akan meminta tafsir Al Quran padanya. Itulah yang kusampaikan padanya sehari setelah kuterima niatnya dan ternyata dia menyanggupinya. Bahkan sehari menjelang pernikahan, dia mengajakku (bersama sepupu) untuk membeli perhiasan sebagai mahar tambahan darinya. MasyaAllah...aku mulai belajar melihatnya secara perlahan. 

"Sekalian beli tempat cincinnya." ucapnya ketika selesai memilih ukuran cincin yang cocok baik secara ukuran di tanganku juga beratnya. 

Ketika penjual menunjukkan berbagai bentuk tempat cincin, entah kenapa pandanganku jatuh pada replika mobil merah. Tanganku reflek saja mengambilnya."Ini saja." jawabku. "Serius? Model begini?" tanyanya heran. Hahaha aku merasa bahwa diriku memang beda adalah saat-saat kondisi seperti ini. Nilai keindahan bagiku adalah sebuah keunikan yang tidak banyak dilakukan orang. "Hehehe jika ada, aku minta yang model dump truck!" jawabku sekenanya. "Allah Kariim...aneh banget." katanya. Aku tahu dia mungkin merasa geli saja melihat calon istrinya yang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Biasanya tempat cincin berbentuk 'love' atau mawar merah yang dipilih banyak perempuan. 

"Biar bedalah..."sergahku, ketika melihat dia masih seolah tidak yakin dengan pilihanku. "Ya sudah, gapapa biar beda ya? Calon istriku memang beda." senyumnya. Aku sangat yakin betapa dia ragu melihat pilihanku, namun dia berusaha untuk memahami sisi lainku. Sepupuku jelas tertawa lebar melihat tempat cincin pilihanku. 

Ketegangan lain ada di pihak teman-teman dekatku yang tergabung bersamaku di "bersama berbagi bahagia" yang awalnya terdiri dari 7 orang kini bertambah satu orang lagi. Aku membuat group khusus untuk menyampaikan kabar bahagiaku ke mereka. Jelas terkejut dan semakin tidak menyangka ketika aku sampaikan acara pinangan itu sudah dipastikan akan menjadi acara akad nikah. Pada akhirnya aku seolah membuat 'kekacauan' jadwal mereka untuk bisa hadir pada acara special dalam hidupku ini. Mereka, teman-teman baik yang bukan sekadar teman, tapi sungguh telah selayaknya saudara bagiku. 

"Wes, mbak Jazilah yang dikenal perfect, detail banget kalau bikin acara...lha ini mau nikah kok ndak ada rundownnya hahaha." begitulah teman-teman mencandaiku. "Wo...tak doakan, yang belum nikah besok nikahnya lebih cepat dari aku." elakku.

Ya, mengingat semua itu aku tersenyum sendiri. Betapa ... ternyata aku dikenal cukup 'detail' dalam beberapa hal (hehehe seringnya memang iya sih) namun kadang terlalu ceroboh juga dalam hal lainnya. Urusan makanan tentu menjadi tanggung jawab adik-adikku dan bapak yang kebetulan rumah beliaulah yang diputuskan untuk ditempati acara itu. 

Bapakku, yang aku kira akan berani menikahkan kami...ternyata tidak cukup kuat melakukannya. Beliau menyerahkan semua kepada seorang penghulu. Padahal pikiranku sejak dulu....bapak akan menikahkan putrinya ini bukan diwakilkan. "Bapak tidak tatag kayaknya, kemarin bilang yang menikahkan kita adalah penghulu, bukan bapak." ucap calon suamiku sehari sebelum kami menikah. Ternyata calon menantu ini sudah diajak bicara tentang hal ini dan aku mengetahui darinya. Lintasan kenangan tentang sosok bapak menjelma sempurna. Ah, bapak! Cintamu, aneh!

Ketika teman-teman mencandaiku sebelum akad, aku memang bisa tertawa bersama mereka walaupun sungguh dalam hatiku masih ada impian bahwa bunda ada bersamaku saat moment penting ini. Sungguh itulah yang membuatku khawatir. Wajah Bunda tak pernah lepas dari pandangku, entah mengapa. Aku hanya tidak ingin tersungkur saat acara penting ini. Aku harus kuat aku harus sehat. Aku yakin, bunda pun bahagia dengan keputusanku ini. 

Setelah semua terlewati, hal terpenting dalam hidupku terjadi. Ketika laki-laki itu telah mengucapkan ijab qobulnya, dinyatakan syah...maka aku telah menjadi seorang istri. Ada sesuatu yang tidak bisa kuterjemahkan dalam kalimat, ketika dia mengenakan cincin di tangaku, ketika dia kali pertama mengecup keningku dengan lantunan doa-doa. Pun saat dia sholat dan aku bermakmum padanya. 

Senja menjelma, sejenak hening ketika sadar bahwa semua telah berbeda. 

"Aku sudah menjadi istrimu ya, Her? Aku harus manggil kamu apa?"


Jadi...aku ingin mengucapkan terimakasih dan doa terbaik untuk semua yang telah membantu semua acara pada tanggal 15 November 2020 yang lalu. Ada sepupu yang "memakeover" wajahku, ada Abinya Al yang sudah mengabadikan moment penting itu. Keluarga besarku atas supportnya, teman-teman baikku di B3 atas segala bantuan, doa dan hadiahnya. 


"Segera diurus pendaftaran pencatatan di KUAnya, jangan tunda-tunda!" instruksi Bapak.
Aku menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Masih ada tahapan yang harus diselesaikan! 

Bersambung...

0 Comments