Alhamdulillah atas segala nikmat (sehat, rezeki dan segala kebaikan) yang telah diberikanNya kepadaku, kepada keluarga kecilku serta keluarga besarku baik di Gresik dan Madiun. Kali ini aku menulis tentang 'sesuatu' yang cukup mengusik pikiranku selama perjalanan pulang dari Gresik ke Madiun pada akhir Maret lalu. Merenungkan semua dengan menengok diri lebih dalam. 'Sesuatu' itu kudapati ketika rehat sejenak menikmati dawet di sekitaran hutan daerah Ngimbang Lamongan. Allah mempertemukan aku dengan seorang bapak yang akhirnya menjadi ispirasiku untuk menulis ini. Satu ucapan bapak penjual dawet yang terus 'terngiang' tentang "menikmati hidup." Karena tidak menemukan judul yang sesuai maka aku menggunakan ucapan beliau sebagai judul tulisanku kali ini.
Berkali aku tersenyum dan mengeja kalimat pendek 'menikmati hidup' yang disampaikan si bapak dengan rekah senyumnya yang sempurna. "Aku akan menuliskannya, Mas." ucapku pada suami ketika kami sudah meninggalkan tempat itu. Suami tersenyum dan bertanya, "Apa yang mau ditulis dari bapak penjual dawet di hutan itu?" Aku sampaikan padanya, bahwa aku akan menulis tentang 'menikmati hidup' yang disampaikannya dengan penuh bahagia itu.
Sepanjang perjalanan melintasi hutan apa yang disampaikan si bapak selalu hadirkan sesungging senyum di bibirku yang entah kenapa tidak segera sirna. Selaksa syukur kuderas atas pertemuan yang ditakdirkanNya itu. Ya...Allah selalu punya cara paling elegan untuk memeluk kita dalam kesadaran atas segala karuniah yang diberikan kepada setiap hambaNya. Termasuk yang terjadi padaku, pagi itu.
Setelah mengikuti suami pindah ke Madiun, aku masih ada sedikit amanah di kota Surabaya yang membuatku harus berada di Surabaya setiap menjelang akhir bulan untuk laporan. Ada beberapa agenda yang harus kuselesaikan di Surabaya dan Gresik (menyelesaikan proses pindah domisili mengikuti suami), sehingga suami mengusulkan untuk membawa motor saja ke Surabaya. Awalnya aku cukup khawatir karena ini bukan perjalanan pendek dan juga hal baru bagiku.
Bismillah, akhirnya aku menyetujui usulan suami. Segera aku susun agenda silaturahim yang bisa kami lakukan selama perjalanan menuju Surabaya Gresik, atau sepulangnya. Ada nama teman-teman dan saudara yang kami niatkan untuk bisa mengunjunginya. Alhamdulillah perjalanan kami mulai berangkat hingga pulang kembali ke Madiun diberiNya kelancaran dan keselamatan. Kami juga diberi kesempatan mengunjungi beberapa kerabat (teman dan saudara) di Surabaya, Gresik, Mojokerto dan Jombang.
Kembali kepada judul tulisanku kali ini. Jika berangkat ke Surabaya kami melintasi jalan pada umumnya rute Madiun Surabaya, dan menyempatkan silaturahim ke Mojokerto Kota. Sebaliknya ketika pulang kami mencoba jalan alternatif melintasi perbatasan Gresik, Lamongan kemudian Ploso Jombang dan rehat sekitar 3 jam di BandarKedungmulyo Jombang. Saat melintasi wilayah Lamongan tepatnya di area perhutani kecamatan Ngimbang, aku nyeletuk ke suami. "Mas aku mau mimum dawet atau degan gitu." Pak suami mengiyakan nanti kalau ada penjual di sepanjang jalan yang kami lewati akan berhenti. Aku menikmati aroma sejuk dedaunan di area perhutani, matahari malu-malu bersembunyi di balik dedaunan pohon jati ketika mendadak suami berputar balik.
"Ada apa?" kagetku. "Katanya pingin minum dawet, itu tadi ada dawet." jelasnya.
"MasyaAllah benarkah?" aku tersenyum bahagia sekaligus menderas syukur karena Allah langsung menjawab keinginanku untuk minum dawet.
Benar, aku melihat ada kerumunan kecil pada sebuah mobil yang tampaknya dimodifikasi dan ada tulisan di sana 'jual dawet'. Ketika kami turun, sedang singgah juga seorang ibu setengah baya menjual makanan dengan sepeda anginnya. Beliau menjual jamu, nasi bungkus, bothok, kerupuk dan makanan kecil lainnya. Aku sempat membeli sebungkus oseng daun pepaya yang dijualnya ketika sedang menunggu antrian untuk minum dawet.
Kami mendapat layakan terakhir karena memang datang paling akhir dari antrian yang ada. Bahkan saat kami menikmati dawet, tidak ada pelanggan lain datang sehingga situasi inilah yang membuat si Bapak penjual dawet bercerita kepada kami. Cerita yang akhirnya kujadikan judul tulisanku kali ini.
Perbincangan diawali dengan pertanyaan si bapak tentang perjalanan kami karena beliau melihat plat nomer AE. Suami menjelaskan tentang perjalanan kami sejak berangkat hingga kenapa memilih jalur alternatif atau jalur dalam yang akhirnya mempertemukan dengan si bapak.
"Ya Allah, dari Nglames? Saya ada apa ya namanya...trauma mungkin ya, dengan Madiun terlebih Nglames." wajahnya tampak serius membuat kami juga serius memperhatikan beliau. Beliau kemudian menjelaskan (menceritakan) sebuah peristiwa yang sangat dekat dengan kematian yaitu sebuah kecelakaan besar antara Bus yang dibawanya dengan mobil pribadi. Kecelakan yang membuatnya mundur dari pekerjaannya sebagai supir bus antar kota antar provinsi. Termasuk bagaimana perasaannya dengan Madiun (Nglames) beliau bahkan berusaha menghindari lokasi ini ketika akan menuju kota lain setelah Madiun. Mungkin benar apa yang beliau sampaikan bahwa beliau mengalami trauma.
Cerita indah mengalir ketika anak-anaknya yang dia cegah sedemikian rupa agar tidak menjadi seorang sopir, justru jalan hidup mereka semua menjadi sopir seperti halnya dirinya sebelum ini. Kini beliau merasa bisa menikmati hidup setelah 'pensiun' dari sopir dan menjadi petani. Hidup di desa sekitaran hutan daerah Ngimbang Lamongan. Beliau menggambarkan sebuah kehidupan yang sederhana, dan membahagiakan di usianya saat ini. Namun, seorang pekerja keras tidak akan pernah bisa diam ketika merasa dirinya memiliki banyak waktu kosong setelah dari sawah. Maka beliau memodifikasi mobil tuanya menjadi sebuah mobil yang berfungsi untuk jualan es dawet itu.
"Setelah dari sawah, saya santai, mbak, terus jualan ini. Istri saya juga jualan di dekat rumah saja. Saya merasa bisa menikmati hidup yang sesungguhnya. Tidak ada tuntutan macem-macem. Sambil jualan begini, kasarannya saya bisa setiap saat melihat berbagai macam orang, yang cantik, ganteng semua bisa saya lihat dengan perasaan senang. Melihat anak-anak bekerja dengan baik dan sehat. Kalau direnungkan, mungkin beginilah menikmati hidup itu. Menikmati yang ada saat ini, bukan seperti dulu saya punya banyak penghasilan tapi hidup saya rasanya selalu dikejar-kejar waktu, tidak tenang." senyumya renyah sekali. Aku bisa merasakan denyar bahagia yang beliau pendarkan dari hatinya.
Setelah mendangarkan beliau bercerita, kami melanjutkan perjalanan. Aku masih merasakan damai yang dipancarkan si bapak, sehingga ingin sekali menuliskan apa yang kurasakan selayaknya menikmati hidup. Menengok diri, mencoba mencerna segala kisah yang terjadi. Ternyata banyak hal yang seharusnya akupun bisa 'menyatakan' bahwa aku telah menikmati hidup seperti apa yang disampaikan si Bapak tadi tentu dengan versiku.
Ya, menikmati hidup. Sebuah ungkapan atau apalah namanya yang bisa dimaknai dengan banyak versi tergantung kedalaman hati dan pikiran bahkan bisa pada kesadaran yang dimiliki setiap orang. Kini, tentang diriku sendiri setelah melihat dan mendengar kisah si bapak. Pada akhirnya semua jatuh pada makna kesyukuran atas segala apa yang diberikan Tuhan dalam hidupku. Titik rasa syukur itulah yang akhirnya juga akan membedakan makna 'menikmati hidup' pada setiap orang.
Aku benar-benar tersenyum, bersyukur atas segala hal yang telah diberikan Allah selama ini. Termasuk kejadian tentang pernikahanku yang serba cepat. Ada banyak doa dikabulkanNya setelah aku benar-benar berada di titik kepasrahan terindahku kepadaNya. Segala rasa khawatir yang 'menggoda' untuk kembali kepada 'keras kepala', ketika aku selalu tersenyum mengembalikan kepadaNya, ternyata justru aku diberiNya banyak pelukan hangat yang indah.
Sejak dulu, aku selalu ingin menjadi ibu rumah tangga. Jika harus bekerja atau punya usaha, maka aku berharap bisa bekerja dari rumah. Rumah harapanku adalah sentra aktifitas utamaku. Keinginan ini seperti mengakar dalam alam bawah sadarku. Maka dari sekian orang yang "datang" bisa kuhitung dengan jari siapa yang jika menikahiku akan memintaku tidak bekerja di luar. Selain dokter If, hanya ada dua orang yang punya niatan memintaku menjadi ibu rumah tangga saja. Salah satunya laki-laki itu adalah yang menjadi suamiku saat ini. Beberapa yang datang, selalu mengagungkan posisiku sebagai perempuan berpendidikan tinggi yang harus punya karir tinggi, bisa dia banggakan sebagai istri. Ah, sungguh mereka tidak memahami apa yang kuinginkan. Apakah berarti dokter If, suami dan seorang laki-laki baik itu tidak menghargaiku sebagai muslimah berpendidikan tinggi? Ketiganya justru sangat menghargaiku dengan cara yang lebih elegan.
Nah, keinginan bekerja dari rumah ini sebenarnya sudah dijawabNya dengan sempurna sejak beberapa tahun sebelum ini. Aku menyadari satu demi satu doaku dikabulkanNya setelah melihat banyak orang-orang merasa iri dengan posisiku saat itu. Ketika aku diamanahi sebuah kantor dengan tata kelolah yang sepenuhnya ada di tanganku, apakah itu bukan sebuah anugrah? Aku bisa menjadi diriku, menerapkan pola manajemen yang sesuai dalam pandanganku. Menciptakan budaya kerja yang lebih manusiawi dan lainya. Namun, yang namanya amanah ya tetap amanah dan ada beberapa hal harus kujalankan sesuai keinginan pemberi amanah. Setidaknya keinginanku untuk 'tidak kemana-mana' dan bekerja dari rumah sudah benar-benar dikabulkan oleh Allah SWT. Aku bisa melakukan segala aktifitasku dari rumah.
Apakah tidak jenuh? Ada beberapa teman sempat menanyakan hal itu kepadaku, ketika melihat bagaimana 'sikap dan tindakanku' jika di luar. Juga ketika melihat aktifitasku di rumah. Aku yang dikenal aktif katanya. Sejujurnya, justru aku senang berada di rumah bukan aktifitas luar yang terlalu. Beberapa orang tidak menyangka jika aku adalah seorang introvert, tidak menyukai hiruk pikuk dunia luar. Kecakapanku yang menjadi anugrahNya adalah alasan mereka tidak terfikir aku sosok seperti itu. Entahlah, aku sekadar menikmati apa yang diberikanNya saja. Menjalani hidup ini secara balance saja. Ada saat aku harus berada di luar untuk sesuatu yang penting, pun ada saatnya aku lebih memilih bertindak dari rumah untuk hal penting lainnya. Bagiku ada hal-hal bisa kau kerjakan tanpa aku harus berada di lokasi (luar).
Jadi, jika direnungkan lebih dalam sebenarnya aku atau kita ini sudah selalu diberiNya nikmat yang luar biasa dalam hidup kita. Artinya juga....kita ini seharusnya bisa menikamti hidup kita dengan bahagia. Hanya saja, kita jarang menengok ke dalam diri, seringkali tidak berkenan melihat atau bahkan tidak mau menyadari segala limpahan nikmatNya itu. Nafsu duniawi kita (aku sih...) lebih mendominasi karena mengagungkan logika dan kurang sering memperhatikan kondisi hati/batin kita sendiri. Mata masih sering melihat rumput tetangga tanpa bersyukur bahwa taman di rumah kita juga tak kalah indah.
Mengingat apa yang disampaikan si Bapak penjual dawet, sampai saat menulis inipun aku tersenyum. Betapa selama ini aku dilimpahi anugrah dan nikmat hidup yang luar biasa oleh Sang Maha Cinta, Allah SWT. Terlebih ketika aku sudah tinggal di Madiun, di rumah suami. Kekhawatiran sempat hadir ketika aku harus meninggalkan segala hal di kota metropolitan Surabaya. Segala hal di Surabaya mudah aku akses, apakah akan begitu juga ketika di Madiun? Terlebih ketika aku memilih untuk tidak bekerja, apakah aku bisa menjalani hari-hariku tanpa semua itu? Termasuk kekhawatiranku tentang bagaimana pola makanku selama ini apakah bisa tetap kujalankan dengan baik saat meninggalkan metropolitan?
Sungguh kerdilnya diriku, mengingat segala kekhawatiran itu ketika sisi lain aku mengatakan 'manut kersane Allah SWT'. Apakah ini bukan sebuah bentuk pengingkaran atas KuasaNya? Astaghfirullah...
Senyatanya, ketika aku menyesuaikan diri berada di kota Madiun, jauh dari hingar bingar metropolitan yang dinamis ternyata semua berjalan dengan baik-baik saja. Ada banyak hal yang justru bisa kujalani dengan jauh lebih baik dibandingkan saat berada di kota Surabaya. Juga kekhawatiran lain yang membuatku tersenyum malu saat ini.
Sebenarnya Tuhan selalu memberikan segala yang terbaik bagi kita, dan lagi-lagi diri kita sendirilah yang seringkali tidak mau mengakui itu. Contoh kecil yang aku alami kesukaanku pada sayuran, ya di Surabaya aku mudah mendapatkan segala bahan terbaik tapi di Madiun aku diberiNya segala yang lebih baik. Lebih fresh dan lebih murah!
Bahkan untuk urusan pekerjaan yang sebelum ini seharian harus fokus "ngantor", saat ini aku hanya perlu beberapa waktu untuk menengok amanahku itu. Ya, aku tidak begitu saja diizinkan meninggalkan kantorku di Surabaya. Atas izin dan kesepatakan dengan suami juga, aku masih menerima amanah itu dengan 'ngantor' dari rumah Madiun pada jam-jam tertentu. Sebagai pertanggung jawaban, harus ke Surabaya setiap akhir bulan.
Ini adalah salah satu sudut rumah kami yang kujadikan sebagai tempat ngantorku dari Madiun. Kami telah bersepakat bahwa ruangan ini adalah ruang kerja kami baik kerja secara meterial (tugas kerja dunia kami) dan spiritual (membaca buku, Al Quran, mengikuti kajian dan proses belajar lain yang saat ini bisa dengan mudah kami ikuti secara online). Bagaimanapun, kami harus tetap upgrade pengetahuan. Di ruang ini juga ada televisi dan menjadi ruang untuk menonton film yang kami sepakati untuk ditonton. Nonton YouTube, nyari resep atau destinasi wisata di sekitar kami yang bisa menjadi alternatif meningkatkan rasa syukur kami.
Keberadaan sofabed di ruang ini memang sengaja. Aku bisa saja santai di sana sambil membaca dan menemani suami yang sedang bekerja atau sebaliknya. Kadang juga harus tertidur di sana. Segala peralatan elektronik untuk urusan kerjaan ada di ruang ini. Di ruang ini pula aku bisa melakukan zoom meeting untuk urusan pekerjaan dan lainnya.
Batapa aku bisa menikmati hidupku secara sederhana dan hadirkan bahagia. Segala kekhawatiran tentang hal-hal logis di kepalaku sebelum meninggalkan kota Surabaya ternyata berjalan secara natural dan menyenangkan saja. Aku hanya butuh sedikit penyesuaian seperti halnya aku harus bisa mengaplikasikan ilmu secara teori yang aku miliki dalam kehidupan nyata. Selalu menyadari bahwa tidak semalanya teori yang kita kuasai itu bisa diterapkan secara mentah-mentah dalam kehidupan nyata. Sesekali aku harus menyesuaikan, tersenyum merelakan, atau sejenak mengendapkan pikiran untuk bisa menerima semua yang terjadi sengan senyuman. Menjalani hidup dan kehidupan itu butuh inprofisasi!
Alhamdulillah...atas segala nikmat hidup yang Engkau berikan padaku, pada kami di dunia ini. Semoga semua keberkahan yang Engkau berikan kepada kami di dunia ini, mengantar kami untuk Engkau ridhoi berada dalam firdausMu kelak. Aamiin.
Tenang
Damai
Bahagia...
0 Comments