ARUPADHATU RINDU
Borobudur, Candi
Buddha
yang pernah dipugar
oleh Theodorus Van Erp pada masa Belanda tahun 1909-1911 itu menjadi titik awal
Kartika memulai pencarian. Keputusan mencari kembali seseorang yang berarti
dalam hidupnya dia ambil, ketika dia tahu bahwa membiarkan rindu adalah siksa
tak berkesudahan.
Kartika
keluar dari area parkir Borobudur yang memuat hampir 350-an bus dan kendaraan
roda empat. Pedagang asongan membuntutinya, menawarkan topi beraneka macam. Tersenyum,
dia menolak. Di dekat pintu masuk, bertemu
kembali dengan jasa sewa payung. Kartika mengernyitkan dahi melihatnya.
“Payung, Mbak,
sewa payung lima ribu saja. Nanti di atas panas dan tidak ada yang menyewakan payung.
Jalan sejauh 2 kilometer lho, Mbak.”
Kartika
berlalu menuju antrean
loket Nusantara setelah menyewa payung. Cukup 30 ribu rupiah dia bisa keliling
Borobudur. Di loket Internasional, wisatawan luar negeri juga antri. Borobudur,
candi Budha terbesar di dunia yang terletak di kota Magelang ini tetap menjadi
magnet bagi wisatawan. Kartika
memasuki pintu pemeriksaan.
Hatinya
berdebar, saat dari kejauhan matanya menangkap bangunan yang pada tahuan
1973-1983 dipugar untuk kedua kalinya itu. Debaran itu bukan hanya karena
Borobudur yang megah, tapi di tempat ini dia berharap menemukan sese-orang yang
membuat putik rindunya terus mekar.
Tampak
olehnya taman menuju candi terawat. Ada kereta mobil yang bisa disewa dan
membawa penumpang langsung ke candi tanpa berjalan kaki. Kartika memilih berjalan
menuju candi.
Sebelum
naik, dia membaca Pradaksina yang ada di bagian kiri pintu timur candi.
Pradaksina yang bisa dimaknai sebagai lorong candi adalah prosedur atau tata cara
mengunjungi candi. Melalui Pradaksina, dia tahu untuk memasuki candi melalui
pintu timur kemudian berjalan memutar searah jarum jam hingga puncak candi dan
turun melalui pintu utara.
Menjejak
kaki candi, dia bertemu fotografer dan tour
guide menawarkan jasa. Kartika menyapu seluruh sudut bagian timur candi.
Memeram kuntum doa, berharap ada dari satu fotografer atau tour guide itu adalah orang yang dicarinya. Pandangannya beradu
dengan fotografer yang memerhatikannya. Apakah
dia? Cepat Kartika melukis segaris senyum pada fotografer yang terpaku itu,
untuk menghalau keterkejutan.
“Maaf
mbak, mau berfoto dulu sebelum naik? Atau perlu tour guide?” tawar fotografer yang tadinya tampak terkejut melihat
Kartika.
“Tidak
mas, terima kasih. Saya
ingin jalan sendiri saja.”
jawab Kartika santun dan pergi dari hadapan fotografer. Ternyata laki-laki itu
bukan yang dia cari. Tapi mengapa dia juga seperti terkejut
melihatku? Gumam hati Kartika ketika menaiki tangga candi. Refleks, dia menoleh
ke arah fotografer yang ditinggalkan. Fotografer itu pun melihatnya. Pandangan
yang dipenuhi tanya, terbaca oleh Kartika. Keduanya mengangguk, tersenyum
menyembunyikan keterkejutan.
Kartika
berpaling dan beranjak menuju Kamadhatu, bagian pertama candi Borobudur. Meyakinkan
diri bahwa fotografer itu bukan siapa-siapa. Mengelilingi Kamadhatu, dia memerhatikan
relief yang menggambarkan kehidupan manusia yang masih terbelenggu hawa nafsu.
Sesekali dia melihat tour guide yang
sedang bekerja dan selalu berharap bahwa satu dari mereka adalah yang dicarinya.
Nihil!
Dia
beranjak ke Rupadhatu reliefnya menggambarkan manusia yang sudah bebas dari
belenggu hawa nafsu, Kartika mendapatkan relief yang menceritakan kehidupan
Budha. Saat dia memerhatikan relief, sebuah sapa mengejutkannya.
“Selamat
siang Mbak, maaf,” suara laki-laki. Kartika menoleh dan mundur selangkah ketika
mendapati fotografer yang ditemuinya di kaki candi tadi berada di hadapannya. Ribuan
tanya segera menyelesak, memenuhi otaknya. Siapa
dia, dan apa maunya?
“Eh,
iya mas ada apa ya?” Kartika berusaha santun. Dia memberi jalan kepada
pengunjung lain yang melewatinya.
“Hmm…boleh
saya menjadi tour guide untuk mbak?”
tanya fotografer itu memandang Kartika dengan pandangan memohon.
“Kan tadi
saya bilang, bahwa saya tidak perlu tour
guide, Mas,”
“Eh,
iya tapi saya ingin menjadi tour guide untuk Mbak dan mbak tidak perlu membayar saya,” ucapnya kelihatan gugup.
“Hehehe,
memangnya kenapa Mas mau menjadi tour
guide saya?”
“Saya
ingin mm… membantu mbak saja,” jawaban yang membuat Kartika resah. Apa maunya orang ini?Apakah dia bermaksud
jahat?
“Tidak, Mas, terima kasih. Saya ingin jalan sendiri, permisi.” ucap Kartika
berlalu dari hadapan fotografer itu. Ada resah yang hadir.
“Jika
tentang Dewangga, apa mbak tetap tidak peduli?” suara fotografer yang hampir
lenyap tertelan suara tour guide
lainnya itu bagai pengumuman yang disampaikan petugas informasi. Pengumuman
yang bisa didengar pengunjung Borobudur yang memiliki tinggi 35,39 meter itu
dan mampu menghentikan langkah Kartika. Dia mencari Dewa karena tahu, ada yang
pernah melihat di Borobudur sebagai tour
guide bagi wisatawan asing.
Serentak
kenangan tentang Dewa mengalirkan lara. Jika mereka tidak egois, mungkin
pencarian ini tidak pernah ada. Keduanya menjauh, menghindari pertemuan tapi
membiarkan hati terikat dalam tali rindu tak berkesudahan. Air matanya hampir
tumpah, ketika menoleh pada fotografer yang telah berada di sampingnya.
“Mas
siapa? Mengapa tahu tentang Dewangga?”
Laki-laki
itu mengulurkan tangan, “Saya Bagas, sepupunya Dewa.”
“Kartika,”
sambil menjabat tangan Bagas.
“Ya
saya tahu mbak, karena saya melihat foto mbak dan mendengar cerita tentang mbak
dari Dewa.” jelas
Bagas tanpa diminta. Penjelasan yang membuat hati Kartika terpilin.
“Saya
terima Mas menjadi tour guide. Temani
saya ke Arupadhatu dan ceritakan tentang Dewa. Di mana dia
sekarang?” Kartika memandang Bagas. Air mata yang pernah diharamkan jatuh,
mengalir di sudut matanya.
Bagas
terkesiap. Sigap mengambil payung di tangan Kartika dan memayunginya.
Kisah
dibentangkan oleh Bagas hingga mereka berada di Arupadhatu. Pengunjung riuh bercengkrama dan berfoto,
Kartika dan Bagas duduk hening di antara stupa yang menaungi mereka dari sinar
matahari. Cerita diakhiri. Dewangga, saat ini tengah mencari Kartika di
Surabaya.
Bersambung...
Bersambung...
0 Comments