Kelakuan Cinta sudah keterlaluan, aku tidak kuat lagi. Seandainya aku tidak memanjakannya melebihi saudaranya yang lain, mungkin ceritanya akan berbeda. Ini salahku, terlalu menginginkan anak perempuan. Akhirnya Tuhan menjawab ke-egoisanku, dengan menghadapi kenyataan menyesakkan tentang putriku.
            “Apakah semua orang di rumah ini tuli ya? Aku panggil sejak tadi, tidak ada yang membukakan pintu. Lihat, basah semua!” teriak Cinta setelah berada di teras dengan baju seragam yang basah, saat aku membuaka pintu gerbang untuknya.
            “Jaga ucapanmu, Cinta! Ibu sendirian di rumah, dan baru saja selesai sholat ashar saat kamu panggil tadi.” ucapku.
            “Ah…! Ibu sengaja kan?! Supaya aku sakit dan tidak bisa kemana-mana! Iya kan?! Besok ulang tahunnya Arsyad, Bu! Kalau sampai aku sakit, aku akan pergi dari rumah!” teriak putriku masuk rumah dengan menghempaskan pintu.
            Hempasan keras dan ucapan Cinta membuatku sesak. Bagaimana Cinta ber-pikir seperti itu? Arsyad, siapa dia sampai membuat putriku begitu berani kepada ibunya?
~*~
            “Cinta sudah keterlaluan, Bu. Dia harus diberi pelajaran agar bisa bersikap sopan, menghormati ibu. Aku akan menyelidiki siapa temannya. Tresna kan satu sekolah? Tidak pernah cerita?” tanya sulungku sepulang kuliah.
Iwan berpapasan dengan Cinta yang akan keluar rumah. Cinta tidak menyapa Iwan, atau pamit pada kakak sulungnya itu. Bahkan ketika Iwan bertanya mau kemana, Cinta menjawab dengan kasar. “Bukan urusanmu, Mas!”
            “Ibu tidak apa-apa, Wan. Cinta memiliki karakter yang berbeda dengan kalian, tapi ibu sayang sama Cinta, Wan.”
            “Iya, Bu. Tapi tetap kita tidak bisa membiarkan kelakuan Cinta. Sepeninggal bapak, Cinta berubah jauh lebih kasar, ucapannya seperti preman pasar. Tidak peduli urusan rumah, pulang seenaknya. Dia itu seorang gadis, Bu.”
            Aku hanya bisa diam, jika Iwan bahkan kedua adiknya Bayu dan Tresna bicara tentang Cinta. Mereka menyayangi Cinta seperti aku, tidak bisa melihat perangai Cinta yang semakin brutal. Belum lagi cibiran tetangga. Kadang, ada yang bilang Cinta berada di sekitar TPA Keputih. Itu tempat kumuh yang cukup jauh dari rumahku di Permata Jambangan dan sekolah Cinta di jalan A. Yani. Sebenarnya, aku pun tidak kuat melihat kelakuan Cinta, tapi aku takut kehilangan Cinta jika bersikap kasar padanya. Aku yang menyusuinya dan merawatnya.
*

            “Cinta minta uang, Bu. Satu juta, ada keperluan sangat penting.” ucap Cinta sambil menyuap nasi ke mulutnya. Aku diam memerhatikannya, mencari Cinta yang dulu. Tiba-tiba dia berdiri pongah meletakkan sendok. Benturan sendok dan piring terdengar nyaring, mengiris telingaku. Aku belum menjawab, Cinta bicara lagi.
            “Kenapa diam?! Uang segitu saja ibu tidak mau memberi? Uang peninggalan bapak kan banyak? Kalau tidak mau, jatah warisan aku ambil sekarang!” ucapnya tanpa rasa bersalah. Aku gagu, bukan karena jumlah uang yang diminta putriku tapi bagaimana bisa dia berpikir mengambil harta warisan? Kerasukan roh jahat di mana dia? Atau ada yang mempengaruhinya? Menekannya?
            “Bu! Ibu tuli ya?! Aku minta uangnya sakarang!” ucapan Cinta menyadarkan aku. Benar yang dikatakan Cinta, harta peninggalan suamiku banyak, warisan anak-anak sudah diatur. Aku berkewajiban menjaga sampai mereka pantas menerima. Cinta? Dia itu…
            Brak!!!  Prang!!!  Pyar!!!
            Meja digebrak, penutup makanan jatuh dan gelas minum pecah berantakan di lantai. Aku tiba-tiba takut sekali putriku seperti kerasukan. Ketiga putraku tidak di rumah. Iwan belum pulang, ada kegiatan di kampus. Bayu bimbingan karena sudah kelas XII, dan Tresna sepulang sekolah pamit ke rumah ustaz Ibrahim merencanakan acara Maulid Nabi.
            “Iya Cinta, sabar! Ibu akan berikan uangnya, tapi jangan kasar begitu, Nak. Memangnya untuk apa uang sebanyak itu, bukankah kemarin Cinta sudah minta?” ucapku gugup. Aku merasa seperti berhadapan dengan debt collector.
            “Ibu gak perlu tahu, ini urusanku. Ayo cepat mana uangnya, aku harus cepat pergi. Sudah ditunggu temanku.” ucap Cinta tak peduli.
            “Tapi ini cukup banyak Cinta? Ibu harus tahu, untuk apa? “
            “Cerewet banget sekarang sih? Coba bapak ada, aku pasti diberi uang tanpa harus meminta-minta seperti pengemis kayak gini. Ayo cepat ambil uangnya, Bu!” kasar Cinta. Air mataku luruh dan dengan dada gemuruh luka, aku ke kamar mengambil uang. Ternyata dia membuntutiku dan mengambil uang di tanganku dengan kasar, tanpa terima kasih. Aku menangis, menatap foto almarhum suamiku di atas meja kamarku.
            Belum reda air mataku, terdengar keributan di luar. Suara Bayu dan Cinta saling teriak. Rupanya Bayu sudah datang. Aku bergegas ke luar dan mendapati kedua buah hatiku itu beradu mulut di halaman. Tampak beberapa tetangga melihat pertengkaran anakku.
            “Aku pinjam sebentar saja, Mas!” teriak Cinta menarik motor.
Bayu mempertahankan motornya. Aku tahu, beberapa kali Cinta meminnjam motor, selalu ada hal yang membuatnya kecewa. “Tidak! Aku tidak akan meminjamkan ke kamu lagi, Cinta! Kalau mau aku antar!” kata Bayu. Keduanya tarik menarik motor dan aku tidak sanggup melihat pertengkaran mereka.
            “Cukup Bayu, Cinta! Tidak malu dilihat tetangga, sudah besar bertengkar saja kerjaannya!” teriakku membuat keduanya menoleh, menghentikan aksi mereka. 
            “Cinta, biar diantar mas Bayu saja. Kamu tidak punya SIM kan?” bujukku. Di luar dugaan, Cinta menyambar kunci motor yang ada di tangan Bayu. Mereka berebut saling dorong dan aku memisahkan keduanya. Tapi naas, aku yang berusaha merangkul Cinta, justru Cinta mendorongku hingga terjengkang di lantai. Aku merasakan lututku membentur lantai, sangat sakit.
            “Ibu…!” suara Bayu segera meraih tubuhku yang terlanjur jatuh. Cinta berlalu dengan motornya Bayu, sama sekali tidak menengokku.
“Cinta…jangan pergi, Nak!” Ada perih yang teramat sangat di hatiku, terlebih ketika tetangga datang bersimpati. Mereka menggumam perih tentang Cinta. Bahkan, Iwan dan Tresna juga datang. Iwan membawaku ke rumah sakit, karena kakiku agak sulit digerakkan.
Di rumah sakit aku berpapasan dengan kereta dorong bocah kecil yang kakinya diamputasi. Miris! Ketika kubaca namanya yang tertera di samping kereta dorong, bocah itu tersenyum padaku, seolah mengatakan dia masih bisa bahagia tanpa kaki. Anak-anak memang selalu membuat bahagia, seharusnya juga anakku.  Arsyad, namanya dan mengingatkan aku kepada apa yang diucapkan Cinta ketika meminta uang. Arsyad?

*

            “Selamat sore, benar ini rumahnya Bu Nani, ibunya Cinta?” sapa seorang polisi menyambut kedatanganku dari rumah sakit. Dari dalam rumah muncul Bayu bersama Tresna yang akan membukakan pintu untukku dan Iwan.
            “Iya benar, Pak. Ini ibu saya, Bu Nani ibunya Cinta,” jawab Iwan mendahului lidahku yang kelu. Ada apa dengan Cinta, sampai polisi datang? Cinta…?
            “Maaf, Bu. Putri ibu kami tahan di polsek Sukolilo. Dia ngebut di kampung dan tidak memiliki SIM. Cinta hampir saja menabrak orang.” kata polisi itu membuat kepalaku pening seketika.
            Aku dan ketiga putraku menuju polsek Sukolilo. Iwan mengemudikan mobil dengan tergesa. Bayu menahan marah. Aku tahu, dia membayangkan motornya berantakan ketika polisi mengatakan Cinta hampir menabrak orang. Tresna tenang merangkulku, membisikiku nasehat kesabaran. Tresna, dia pernah tidak kuinginkan hadirnya. Tapi dia begitu menyayangiku, dibanding Cinta. Maafkan ibu, Tresna.
*
            Aneh! Apakah kantor polisi ini sedang mengadakan acara santunan untuk anak-anak yatim? Ketika mobil kami memasuki area polsek, di sana tampak puluhan anak-anak bergerombol dan aku melihat beberapa remaja tanggung seusia Cinta berbincang serius dengan polisi. Kami disambut oleh polisi yang tadi ke rumah.
            “Nah, itu keluarganya Cinta. Hanya mereka yang bisa membebaskan Cinta, bukan kalian!” ucap satu polisi yang bicara serius dengan remaja-remaja tanggung itu. Mendengar nama Cinta disebut, aku berbelok ke ruang informasi di mana remaja tanggung dan anak-anak berdesakan berbincang serius dengan polisi itu.
            “Cinta tidak punya keluarga, Pak. Pokoknya bebaskan Cinta! Kami butuh Cinta, sekarang adik kami operasi kakinya, kami butuh pertolongan Cinta! Hanya Cinta yang membantu kami, Pak!” ucap mereka riuh tak beraturan, hampir menyeru-pai teriakan. Aku tergagap. Mereka bilang Cinta tidak punya keluarga?
            “Maaf, Pak, siapa anak-anak ini?” tanyaku menyibak kerumunan.
            “Mereka teman-temannya Cinta Bu, mereka maksa Cinta dibebaskan karena satu dari mereka sedang sakit dan katanya hanya Cinta yang bisa menolongnya.”
            “Benar, kalian sahabatnya Cinta? Saya ibunya Cinta.”
            “Ibunya Cinta?!” kaget gadis seusia Cinta dengan wajah lusuh. Pun bisikan lain terdengar, mendengung bagai lebah tapi dengan nada yang menyakiti telingaku.
“Iya, Nak, saya ibunya Cinta.”
“Cinta bilang tidak punya ibu atau keluarga! Dia dibuang di rumah sakit sejak bayi.” jelasnya lagi dengan wajah curiga. Serasa ada bom diledakkan tepat di dadaku. Bagaimana bisa Cinta tahu masa lalunya? Akulah yang mengambilnya di rumah sakit itu. Apakah ini yang membuat Cinta berubah?
Air mataku mengalir mendengar penjelasan bocah ini. Aku seperti penipu yang mengaku ibunya Cinta di depan mereka. Putriku meminta uang begitu banyak, ternyata untuk anak-anak ini. Di kejauhan aku lihat Cinta dalam rangkulan putra-putraku. Tiba-tiba aku merasakan bagaimana kali pertama dia kutemukan di tempat sampah rumah sakit setelah aku melahirkan Tresna. Bagaimana tangan lemahnya memelukku, dan dia menyusu padaku kali pertama. Cinta, mengapa kau memiliki dua wajah, Nak?
~end~

0 Comments