Menjelang akhir Desember tahun lalu, aku pernah menulis sebuah status di facebook:
"Bisa melakukan sesuatu yang selama ini diimpikan
Menemukan sesuatu yang selama ini diimpikan
Sesuatu yang sangat sederhana
Begitulah caraNya membahagiakan seorang hamba."

Beberapa hari berselang setelahnya ternyata memang aku menemukan sesuatu yang teramat sederhana dan selama ini kucari. Terlebih hal sederhana ini sangat membahagiakanku, rekahkan senyum tak henti dalam syukur. Ada apa sih, mbak Jazim? Sesuai judul tulisan ini...ya tentang apa yang namanya JENGKOL.
Jengkol? Nggak salah nih? Jenis makanan yang super khas itu? Yang segala-galanya sangat khas tidak bisa dibasuh-basuh?
Iya, memang :)
Mungkin bagi banyak orang Jengkol adalah jenis makanan lumrah, karena sudah biasa menikmati dan sebagian lainnya sangat "alergi" dengan satu jenis makanan ini.
Ya...alergi bukan menyebabkan gatal-gatal setelah memakannya, tapi alergi dalam arti sangat tidak menyukainya karena aroma khasnya itu. Aku bukan bagian dua golongan tersebut, karena secara pasti beberapa hari sebelum ini aku memang tidak pernah sama sekali menikmati yang namanya jengkol.
Ah...ndeso banget sih, mbak Jazim nih? Hehehe mungkin itu juga yang akan terlontar untukku. 

Sejujurnya memang aku belum pernah makan jenis makanan ini. Walaupun selama ini selalu terpesona lihat postingan teman-teman atau status yang betapa bahagianya mereka sebagai penikmat jengkol.
Pun, aku suka mengernyitkan dahi kepada mereka yang alergi tadi karena dengan segala ekspresi menjadikan jengkol adalah sosok makanan menakutkan yang tak layak sentuh. Aku tidak mungkin berpihak kepada keduanya karena memang belum pernah makan yang namanya Jengkol ini. Bahkan dalam group yang aku ikuti sempat menjadi trending topik ada yang namanya ‪#‎KerajaanJengkol‬ dan ‪#‎RepublikPete‬.


Kalau Pete sih...aku sudah bisa menikmatinya dengan baik, bahkan yang mentah pun sudah biasa kumakan dengan sayuran lainnya. Pernah aku bertanya "apa bedanya jengkol sama pete sih?" atau "enak mana jengkol atau pete?" Jawabannya tentu sesuai dengan kesukaan penjawab, yang suka pete jelas pete lebih enak daripada jengkol. Demikian juga yang suka jengkol akan mati-matian mengatakan bahwa jengkol itu serupa rendang daging. 
 
Aku? Hanya bisa tersenyum karena bagiamana bisa membedakan kalau makan jengkol saja tak pernah?
Nah...di Surabaya, di sekitarku tak banyak (bahkan mungkin tidak ada atau aku yang tidak tahu) yang menjual jengkol masak. Jengkol mentah saja tidak kutemukan. Pernah sih...waktu ke supermarket, aku tertegun-tegun ketika melihat penampakan jengkol mentah dengan harga selangit. Karena saat itu belum begitu gandrung dengan pola food combining (secara ketika mengenal FC aku selalu mencari "formula" terbaik yang bisa kunikmati dan tentu baik bagi tubuhku) jadi ya kuabaikan saja. Akhir Desember tahun lalu, ketika aku belanja sayur ke pasar, antara percaya dan tidak aku melihat bungkusan jengkol mentah di salah satu penjual sayur langganan. Agak ragu, akhirnya aku tanya:
"Bu, ini jengkol ya?"
"Iya, Mbak. Enak lho kalau bisa masaknya dibikin rendang, kayak rendang daging. Murah kok mbak, 10 ribu saja itu sebungkus, 1/2 kilo."

Aku tersenyum dan kuputuskan membelinya. Aku tidak pernah tahu harga jengkol itu berala perkilonya? Yang pasti ingatanku melayang pada harga jengkol di supermarket saat itu. Jelas yang ada di depanku ini sangat murah. Eh..memang harga jengkol itu berapa sih? Serius nanya nih...

Jengkol setelah direbus dengan duan salam dan potongan sere
Akhir sebuah cerita, jengkol itu kusimpan di kulkas karena tidak mungkin memasaknya pagi itu.
Sepulang kantor ingatanku pada jengkol dan kukeluarkan dari kulkas untuk kukupas. Dan betapa terkejutnya ketika ternyata kulitnya susah dikupas.
 
Cepat kubuka tablet dan browshing....mencari artikel cara mengupas kulit jengkol hahaha. Jangan diketawain ya, karena memang aku tidak pernah makan apalagi memasak jengkol.
Dan ternyata...harus direndam dulu, dengan air es. Ya karena memang untuk dimasak esok hari, akhirnya kumasukkan setengah dari jengkol yang kubeli kedalam wadah berisi air, kututup dan kembali kumasukkan lemari pendingin. Saat proses mencucinya dan merendam itulah aku mengenali aromanya yang memang sangat menyengat.

Esoknya selepas beraktifitas pagi, aku kembali ke dapur dan menengok rendaman jengkol. Aromanya semakin menyengat ketika kubuka wadahnya. Kulitnya masih menempel erat saat kubelah-belah. Aku juga sudah mencari informasi di internet tentang bagaimana mengolah jengkol. Ada satu artikel menarik, bahwa aroma jengkol bisa dikurangi dengan merebusnya bersama daun jeruk.
Karena persediaan daun jeruk sedang tidak ada, aku menggantinya dengan daun salam dan sere. 5 lembar daun salam dan satu batang sere kupotong-potong dan kurebus bersama jengkol sekitar 30 menitan.
Saat merebus ini...ternyata yang keluar adalah aroma harum daun salam dan sere. Aku bingung sendiri...lha katanya aroma jengkol itu menyengat dan bahkan saat kubelah-belah tadi aromanya juga sangat luar biasa khasnya. Tapi kenapa sekarang jadi harum? Ya sudahlah...yang terjadi terjadilah... hehehe
 
Tidak kalah mengejutkan ternyata jengkol juga beracun ya? Bisa bikin mabuk, artinya memang ada yang keracunan jengkol. Nah perendaman dan perebusan jengkol selama 30 menitan itu adalah salah satu cara mengurangi racun yang ada dalam jengkol (begitu artiket yang kucaba). Jadi waktu bereksperimen ini, ada debar-debar aneh gitu...apakah tubuhku akan menolak, menerima atau malah keracunan?
 
Luar biasa, setelah 40 menit (aku memilih daging jengkol agak empuk karena melihat jengkol yang kubeli ini sudah tua dan akan lebih lama memasaknya supaya empuk, pun dijaga jangan sampai terlalu lembek) ketika kupadamkan api dan kubuka wadah, ternyata... kulit jengkol yang lekat erat tadi sudah pada ngelupas sendiri. Hanya sebagian kecil yang masih nempel, itupun sangat mudah diambil tanpa bantuan pisau.

Jengkol setelah dimemarkan
Kumemarkan jengkol yang sudah matang, katanya agar bumbu meresap. Untuk bumbunya...aku bikin sesuai seleraku saja. Kalau menurut resep masak merah yang kubaca rasanya akan aneh bagiku.
Makanya kali ini aku memasak merah ala Jazim saja, yang sesuai seleraku supaya aku bisa menikmati jengkol yang fenomenal ini.
Alhamdulillah... merebus dan lainya memang pagi, tapi memasak dengan bumbu merahnya sepulang kantor. Selesai dan kali pertama mencoba mengunyahnya... kenyal dan...jleb!

Ternyata enak dan...mana aroma khasnya itu? Mana? Kok aku tidak menemukan di jengkol masakanku ini? Ada yang salah?!
Lalu, aku bisa tersenyum...tidak bisa menyalahkan mereka yang suka jengkol pun mereka yang tidak suka. Pun tentang pete, bagiku masih satu rangking di atas jengkol untuk aromanya, hahaha... tapi aku lebih suka menikmati pete mentah daripada yang dimasak.

Jengkol kunikmati dengan sarutan timun, tahu dan nasi jagung
Karena masih penasaran kenapa jengkol yang kumasak tidak beraroma menyengat, aku browshing lagi: "cara menghilangkan bau jengkol."
Taraaaaa...muncul kali pertama judul artikel yang mengejutkan sekaligus menggembirakan: Daun salam mampu menghilangkan bau khas jengkol (intinya gitu judulnya aku lupa...yang ingat isi tulisannya )
Jadi terjawab sudah kenapa jengkol yang kumasak tidak beraroma khas yang beberapa orang sangat alergi.
Kalau sudah seperti ini....bagi yang alergi jengkol coba dech direbus jengkolnya dengan daun salam. Seperti halnya aku yang coba-coba saja, karena daun salam memang seringkali membikin aroma masakan kita menjadi tidak biasa dan bagiku lebih sering semakin nikmat. Kebiasaan saja sih...aku suka mengganti laos dengan daun salam untuk beberapa masakanku. Mau masak dan menikmati jengkol lagi? Siapa takut....
Jadi...hal sederhana yang bikin bahagia di akhir tahun kemarin itu adalah jengkol ini:)


Menikmati jengkol dengan nasi hitam, sayur asem tahu dan timun

0 Comments