Melangit rasa dalam pendar cahaya/ Aku meluruh, memintal kisah bersama penenun cerita
Aku tersenyum, memahat aksara /Aku terdiam, melukis keheningan jiwa
Aku sunyi dan  langit memelukku dalam damai.
(Serenada Gayo-Evita)

Angga memandangi tulisan Evita yang terpahat di dinding salah satu sudut café. Porfesinya sebagai dokter, tapi dia juga menyukai design interior. Sejak remaja dia suka berkreasi di setiap sudut rumahnya. Ayahnya seorang pelukis dan ibunya seorang dokter. Sebuah karakter unik tumbuh menyempurna dalam darahnya. Angga tersenyum. Jiwanya melesat jauh kepada sebentuk hati yang dikenalnya setahun lalu, Evita. Gadis ayu yang unik, seorang penyuka segala hal tentang kopi tetapi bukan penikmat kopi.
Perjumpaan dengan Evita yang serba menakjubkan membuatnya menyerah pada kenyatan bahwa hatinya tak mampu berpaling dari Evita.
“Selamat pagi Evita…sudah membaik ya?” kali pertama menyapa Evita di ruang perawatan sekitar setahun yang lalu. Evita adalah pasiennya setelah melakukan operasi tulang kaki yang patah karena kecelakaan. Sayang sekali reaksi gadis itu sebaliknya. Dia justru melempar segala sesuatu yang ada di dekatnya. Menarik jarum infuse di tangannya dan berteriak histeris.
“Mengapa dokter harus mengoperasi  kakiku? Mengapa tidak diamputasi saja? Atau sekalian mengapa dokter tidak membunuhku saja? Untuk apa aku cacat seperti ini?!”
“Evita…tenang, kamu akan bisa berjalan lagi. Tolong segera tenangkan Evita.” Perintah Angga kepada perawat yang menemaninya. Semua bekerja cepat dan berhasil menenangkan Evita.
Pertemuan hari itu akhirnya menjadi pertemuan rutin bagi Angga dan Evita. Kakak Evita yang tengah bertugas di luar negeri memutuskan agar Evita dirawat di rumah sakit karena tidak ada yang akan merawatnya di rumah. Hampir 3 bulan Evita di rumah sakit dalam pengawasan Angga.
Evita yang sangat keras kepala, sebenarnyanya tengah menyelesaikan tesisnya sebagai arsitek dan Angga juga menyukai design interior

Angga terus tersenyum, dia tidak menyadari ketika di sampingnya telah berdiri seorang laki-laki dewasa yang juga tersenyum mengawasinya, kemudian menyentuh bahu Angga.
“Astaga! Mas, Eko? Sejak kapan datang?”
“Hahaha…” tawa orang yang dipanggil Eko memenuhi seluruh Café. “Makanya jangan melamun saja, Dokter. Gimana kalau yang datang tadi perampok, bisa ludes semua lho. Aku ada kerjaan di Gayo, jadi kusempatkan mampir. Ternyata Dokter disini.” Ucap Eko sambil menjabat tangan Annga. Angga segera merangkul laki-laki yang dipanggilnya Mas Eko itu.
“Ah, Mas bisa aja. Lagian café ini juga belum dibuka, tentu tidak akan ada tamu yang datang, Mas. Aku juga harus mengawasi pekerja, karena jangan sampai tidak sesuai dengan harapan kita.” Keduanya tersenyum kemudian duduk menempati dua kursi yang ada di tengah ruangan.
Eko mengamati semua dengan decak kagum. “Hebat, kau ini seorang dokter tapi jiwa senimu cukup baik. Evita mungkin tidak akan percaya bahwa ini sebagian besar adalah karyamu.”
“Tidak juga, Mas. Bagiku Evita yang menjadi sumber inspirasiku. Kegilaannya akan kopi dengan segala keanehannya, menjadikan aku bisa membuat semua detail ini dengan sempurna. Mungkin dia akan sangat terkejut, karena mendapati apa yang dia tulis di tesisnya telah aku wujudkan menjadi café ini. Bantuan Mas juga sangat besar untuk mewujudkan semua ini.”
“Iya, aku yakin dia akan cemburu dengan karyamu ini. Tapi bagiku ini karya kalian berdua, dan bisa menjadi landasan baik bagi kelangsungan hubungan kalian.” Kerling Eko yang membuat Angga tersipu. “Jadi kapan dokter Angga melamar adikku, Evita?” “Segera, Mas. Setelah operasi dan Evita mulai berjalan. Bisa juga saat kita resemikan café ini.”
**

           Evita tengah duduk di kursi rodanya sambil membaca buku di beranda belakang rumah, ketika Eko akan berangkat kerja.
 “Halo sayang, Mas mau berangkat kerja ya. Mbakmu juga akan pergi ngantar Rini ke sekolah. Kamu sendirian tidak apa-apa?” Evita tersenyum melihat kakaknya dan sejenak kemudian muncul kakak ipar besama si kecil Rini dengan seragam TKnya. “Duh, kesayangan tante cantik banget. Belajar yang rajin ya sayang..” peluk cium Evita kepada Rini yang memanja.
            “Vit, persiapan operasimu gimana? Dokter Angga sudah menghubungimu?” tanya istri Eko.
“Iya, Mbak. Kata dokter Angga, sudah dijadwalkan dan aku diminta untuk jaga kesehatan saja. Rasanya aku ingin segera bisa berjalan kembali, Mbak.”
            “Tenang, tidak lama lagi Insya Allah kamu akan segera bisa jalan lagi.” Senyum istri Eko. “Aamiin, makasih, Mbak.” Senyum Evita.
            Matahari pagi bersinar hangat, sehangat hati Evita menyambut hari operasinnya dan harapannya untuk bisa berjalan kembali. Ada banyak mimpi yang belum diwujudkan, ada banyak tempat yang belum dijejak dengan kakinya. Sebuah mimpi yang akan diwujudkan, mengukir prasasti cinta untuk kedua orang tuanya yang hanya seorang penjual kopi di sudut terminal kota. Membuktikan pada dunia, bahwa secangkir kopi yang akan diraciknya adalah tetesan cinta orang tuanya yang telah bertaruh nyawa demi hidupnya. Dendam itu harus dibalas tuntas dengan cara paling indah!
**
“Jangan ganggu anakku, yang sopan sama perempuan!”
         “Apa kamu? Hanya penjual kopi jalanan. Anakmu pasti juga sebentar lagi kau jual seperti kopimu ini. Lalu dinikmati dan dihirup banyak orang. Hahaha…”
          “Jaga mulutmu! Atau aku hajar kau!”
          “Hah? Kau mau menghajarku? Hahaha, kopimu ini nikmat sekali, pelangganmu banyak. Anak gadismu pasti selegit kopimu yang terkenal ini, Suryo. Anakmu juga akan terkenal nanti dan sebelum itu akulah yang akan menikmati anak gadismu. Hahaha…”
Brak!!!
Sebuah gelas meluncur ke lantai. Piring berisi gorengan telah terbalik dan membuyarkan semua isinya. Laki-laki yang dipanggil Suryo itu naik pitam. Dia tidak lagi mendengar teriakan istrinya agar tidak melawan laki-laki kasar itu. Tapi darahnya mendidih demi melihat anak gadisnya akan dilecehkan oleh laki-laki kasar itu. Dia tidak peduli siapa laki-laki yang akan dihadapinya. Preman terminal yang istrinya juga punya usaha warung kopi remang di sudut kota.


           Sejenak saja terjadilah baku hantam yang tidak imbang. Suryo hanya laki-laki penjual kopi dan punya harga diri sebagai ayah berhadapan dengan Marwi, preman terminal yang dikenal memiliki kemampuan bela diri. Marwi menyambar sebuah botol minuman, mematahkannya. Sebuah sabetan tepat mengenai lengan Suryo membuat teriakan istri dan anak-anaknya metinggi. Darah mengucur deras, tapi demi harga diri Suryo kembali bangkit membabi buta. Tepat saat Marwi akan menusukkan potongan botol itu kedada Suryo, kaki kiri Marwi terbentur kursi dan membuat keseimbangannya goyah. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Marwi terjengkang dan naas, karena potongan botol itu justru mengenai mukanya sendiri.
Cres!!!
Darah berhamburan, bukan dari tubuh Suryo tetapi dari muka Marwi. Teriakan istri Suryo mengundang banyak orang datang menyaksikan perkelaian yang dianggap usai karena Marwi terpakar. Di saat yang sama, seorang perempuan hadir dengan teriakan lebih histeris dan mengatakan bahwa Suryo telah  berusaha membunuh suaminya. Perempuan itu, adalah istri Marwi.
           Tanpa memakan waktu, polisi datang dan memborgol Suryo yang masih tertegun menyaksikan bagaimana Marwi bersimbah darah. Tangisan istri Suryo dan anak-anaknya juga menjadi saksi atas semua peristiwa. Evita merekam dengan jelas peristiwa itu bahkan ketika bapaknya harus masuk penjara karena laporan Marwi. Ibunya  kehilangan tempat untuk berjualan kopi. Evita pun, harus meninggalkan kota itu. Peristiwa kematian orang tuanya, juga terekam dengan baik. Rekaman semua peristiwa itulah yang mengentarnya menjadi seorang pendendam.
          “Bapaaak….Bapaaaak…bapak…!” teriak lirih Evita yang baru sadar setelah operasi. Napasnya tersengal dan gelisah. Ada sebuah luka dalam jiwa Evita yang belum terselesaikan. Dokter Angga, Eko dan istrinya yang berada di dekat Evita, berdiri terkejut saling pandang.
            “Evita, sadar, Sayang,” sentuh istri Eko pada pipi Evita. Evita membuka mata dan mendapati kakak iparnya, kakaknya dan dokter Angga. Perlahan mengumpulkan kesadaran. Bayangan wajah bapak ibunya menyempurna. Ah, mengapa aku masih mengingat peristiwa itu? Sungguh dendam ini harus dibalas tuntas dengan cara paling indah!
**

            “Selamat, Evita. Semoga ilmunya bermanfaat.” Peluk Eko dan istrinya kepada Evita yang baru saja keluar ruang sidang tesisnya. Evita berjalan dengan bantuan tongkat.          “Terimakasih, Mas dan Mbak. Semua atas bantuan dan dukungan kalian. Setelah ini aku akan mewujudkan impian yang pernah kusampaikan pada Mas waktu itu. Aku harus punya warung kopi seperti bapak dan ibu, warung kopi versi Evita, Mas.”
            “Hmm, kamu  masih tetap ingat dengan impianmu itu? Mas hanya bisa mendukung segala yang kau lakukan. Kalau bisa tetaplah dengan cita rasa khas kopi Gayo, sebagaimana darah kita adalah darah Gayo.” Eko tersenyum. “Tenang, Mas. Aku memang akan mendirikan café Gayo. Itulah alasanku selama ini menjelajah negeri dan meneliti segala tentang kopi walaupun aku bukan penikmat kopi. Aku akan mengembangkan berbagai minuman berbahan dasar kopi yang akan menjadi cita rasa baru dan menjadi ciri khas caféku.”
            Sejenak Evita merasakan ada yang kurang saat dia harus merayakan kebahagian. Sosok itu tidak ada bahkan sebuah pesanpun tidak diterimanya sebagai ucapan selamat. Eko dan istrinya paham dengan bahasa tubuh Evita yang mencari seseorang.
            “Evita mencari dokter Angga? Tadi waktu kamu sidang dia telpon Mas dan bilang kalau mendadak harus keluar kota. Anehnya dia malah memberimu bahkan memberi kita semua tiket pesawat ke Gayo. Besok kita harus berangkat. Gimana menurutmu?”
            “Apa Mas? Dokter Angga memberi kita tiket ke Gayo? Jadi beliau di Gayo sekarang? Kenapa tidak pernah cerita ya?” Evita tampak curiga. “Dokter Angga perginya mendadak, Vit. Mungkin tidak sempat memberitau kamu.”  Tambah istri Eko.
            “Ya sudah kita pulang saja dan kita bicarakan nanti. Tapi Evita bisa pergi? Kebetulan kamu selesai ujian sekalian ziarah ke makam bapak ibu.” Ajak Eko karena berharap segera mengakhiri perbincangan itu. Dia tidak mau Evita tau bahwa semua telah direncanakan sejak jauh sebelumnya. Sejak Evita masih belum bisa menerima kenyataan ketika dia mengalami kecelakaan itu. Sejak dokter Angga selalu bertanya tentang Evita, sejak dokter laki-laki berdarah Jawa itu menyampaikan keinginannya kepada Eko untuk memperistri adik semata wayangnya. Terlebih sejak Eko menceritakan satu mimpi Evita tentang warung kopi.
**

            Dada Evita berdebar, ketika duduk di ruang tunggu Bandara Internasioan Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Beberapa kali dia melihat pada jam tangan Giordano yang  bertengger manis di pergelangan  tangan kanannya. Jam tangan hadiah kakaknya saat ulang tahunnya yang ke 20. Evita sudah bisa berjalan, tapi dia selalu merasa belum yakin melangkah tanpa tongkat.  Dia membawa kursi rodanya untuk datang kembali ke tanah Gayo. Eko tidak bisa melarang, karena dia sangat tau bagaimana perasaan Evita terhadap tanah Gayo, dimana udara kehidupan kali pertama dihirupnya. 
            “Mas, apakah kita bisa memaafkan mereka? Bagaimana merweka saat ini?” Evita memecah kebekuan. Eko hanya diam memandang adiknya. Sepi. Keduanya memilih tenggelam dalam riuh hati mereka sendiri. Kebahagiaan membuncah karena akan menginjak kembali tanah Gayo, tapi juga tidak bisa dibasuh bahwa luka itu akan tertoreh lagi.
“Kita datang ke sana untuk memaafkan diri kita, juga tentu memafkan mereka. Kita tidak perlu mencari tau apakah mereka hancur atau berjaya. Kita datang ke Gayo karena ada cinta di hati kita.” Ucap Eko tanpa menoleh kepada Evita. Serentak keduanya menarik napas dalam, seolah mencoba meretas kebekuan menjadi sebuah serenade yang hangat.
Pewasat telah membawa mereka menuju Bandar Udara Senubung atau disebut sebagai Bandar Udara Blangkejeren, karena letaknya di kecamatan Blangkejeren Gayo Lues Aceh. Di sudut kota Gayo Lues inilah mereka tumbuh sebagai anak penjual kopi Gayo yang sangat terkenal saat itu, hingga tragedy itu. Gayo Lues adalah cinta mereka, sekaligus menjadi luka.
Keluar bandara, mereka mendapati seseorang yang mengaku utusan dokter Angga untuk menjemput. Evita mengernyitkan dahi, semakin merasa ada sesuatu disembunyikan dokter Angga. Sejak dia ujian tesis, bahkan sampai kedatangannya di tanah Gayo ini, Angga tidak sekalipun menghubunginya. Ada yang sesak di dada Evita, tentang sebuah nama, Angga. Ah, kenapa aku harus mengharapkan perhatiannya? Siapa dia bagiku? Dan siapa aku baginya? Guman hati Evita.
“Kita kemana ini, Pak?” tanya Eko yang juga berdebar melihat banyak perubahan di tanah kelahirannya itu. “Saya diminta dokter Angga untuk mengantar Pak Eko sekeluarga ke tempat dokter Angga sekarang.” Jawab sopir itu ramah. “Dokter Angga dimana sekarang? Kita sudah di Gayo Lues, kita akan kemananya?” Evita tidak sabar ingin segera tau akan dibawa kemana.
Eko menoleh kepada adiknya yang tampak tidak nyaman. Kakak beradik itu bertatap mata dan Evita paham, ketika Eko tersenyum kepadanya. “Sabar ya,” senyum Eko. Evita membuang muka, memandangi setiap jengkal tanah yang dilewatinya. Waktu 10 tahun telah mengubah wajah kota ini.
Mereka melewati sebuah terminal dan mendadak dada Evita bergolak hebat melihat dari kejauhan, tempat yang dulu menjadi tempat bermainnya sepulang sekolah dan dikenal sebagai warung kopi Gayo Terminal, kini telah menjadi café modern yang megah. Mobil yang membawa mereka mendekat ke arah café tersebut. Tidak bisa dipungkiri, Evita terkagum dengan design menakjubkan café itu. Sepertinya baru akan diresmikan, karena berbagai karangan bunga ucapan selamat, sebagian baru ditata. Evita tersentak sadar, ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan café itu dan memasuki halamannya.
“Kita kesini, pak?” tanya Evita tidak sabar. “Iya, Mbak. Pak Eko sekeluarga sudah ditunggu semua orang, termasuk dokter Angga.” Jawab sopir tetap ramah. Eko diam saja, sementara Evita merasa kepalanya akan meledak karena ketidakmengertian semuanya. Cepat dia meminta bantuan sopir menurunkan kursi rodanya. Dia merasa akan ada persitiwa yang tidak biasa. Mendadak sekitar 6 orang membawa mereka menuju ruangan lain di bagian samping. Mereka menyulap Evita menjadi bidadari. Evita jengkel karena semuanya tidak ada yang mau bicara, hanya menggunakan bahasa isyarat. Eko dan istrinya dan juga putrinya hanya bisa terdiam menyaksikan semua.
Evita masih tidak mengerti, apa maksud semua? Ketika pintu dibuka, muncul dokter Angga dengan senyumnya yang damai. Dia mengenakan pakaian senada dengan pakaian yang barusan dikenakan Evita.
“Selamat atas kelulusanmu, selamat ya. Maaf aku sangat sibuk dan aku mau memberimu sesuatu juga untuk Mas Eko. Aku berharap kamu mau menerimanya.”
“Dokter Angga, dosa apa yang aku lakukan sehingga dokter memerlakukan aku seperti ini? Tidakkah aku punya hak untuk mengetahui semua?” Evita tidak tersenyum justru bicara dengan nada dingin. Angga tersenyum lagi, mengalihkan arah pembicaraan. “Evita, mengapa kamu masih setia dengan kursi rodamu? Padahal kau harusnya sudah bisa berjalan, mengapa tidak yakin?” Evita diam, menunduk.
Angga segera membawa Evita keluar menuju tempat utama café itu dengan sebelumnya dia memohon untuk menutup mata Evita dengan kain putih. Evita sekali lagi diam tidak menampakkan reaksi positif. Bahasa tubunya menunjukakn kecewa.
Angga membuka kain penutup mata Evita. Gadis itu perlahan membuka mata dan mendapati suguhan memesona. Dia hanya bisa menatap sekelilingnya dengan takjub seperti orang terhipnotis. Detail ruangan itu, juga kursi serta meja di café serta aksesoris yang mempercantik dinding café. Rak buku terisi berbagai buku, lengkap dengan bermacam alat musik tradisional Indonesia. Pandangannya terhenti kepada meja barista dan di sana telah berdiri 7 orang barista dengan seragam tradisional Jawa, tengah tersenyum ke arahnya. Dia melihat aneka cangkir yang unik, aneka peralatan untuk menikmati kopi dan dia baru sadar bahwa aroma kopi telah membuatnya mabuk bahagia.
“Ini untukmu, hadiah dariku juga dari Mas Eko atas kelulusanmu.” Senyum Angga merunduk di depan Evita. Bibir Evita bergetar hebat, dia marah karena telah marah kepada dokter berdarah Jawa yang ada di depannya ini. Dia marah karena laki-laki ini begitu sempurna mewujudkan mimpinya. Dia pun menoleh kepada kakaknya. Dia marah karena tidak diberitahu rahasia sebesar ini. Evita menangis, tangis bahagia. Sungguh kebahagian dan kesedihan itu hanya sebatas kata karena ketika keduanya tampil bersama hanya jiwa bening yang akan mampu menerjemahkan dengan sempurna.
Eko terharu menyaksikan Evita yang matanya berkaca. Mendadak gadis itu berusaha berdiri. Evita berdiri tegak tanpa tongkat dan melangkah. Akhirnya dia berhambur ke pelukan kakaknya.
“Mas Eko jahat. Mengapa merahasiakan semua ini dariku?” isaknya dalam dekapan Eko.
“Karena dokter Angga melarangnya, karena mas percaya padanya untuk menjadi pendamping hidupmu.” Evita segera melepas pelukan kakaknya dan tampak terkejut. Di sampingnya dokter Angga menunduk tersenyum.
“Vit, di depan kakakmu dan semua yang hadir aku melamarmu. Maukah kau menjadi istriku? Menjadi ibu bagi anak-anak kita? Menjadi barista di café ini? Juga menjadi seorang artsitek yang mendampingiku mengabdi sebagai dokter?” ucapan Angga seperti salju yang turun menyejukkan setiap lorong jiwanya.
Evita punya ribuan aksara, tapi tak berdaya menyusun kata untuk kejutan yang diberikan Angga dan kakaknya. Dia hanya kembali memeluk kakaknya, menenggelamkan diri dalam tatap mata Eko yang selalu melindunginya.
“Dokter Angga, laki-laki baik dan benar. Mas rela dia menjagamu. Kamu berkenan, kan?” tanya Eko. Perlahan sebuah sabit terpahat di bibir Evita. “Alhamdulillah,” ucapan istri Eko mencairkan semuanya. Tepat saat itulah Evita jatuh dipelukan kakak iparnya itu.
Angga pun tersenyum menderas syukur atas semuanya. Kekhawatirannya akan penolakan Evita tidak terjadi. Dia sangat tau bahwa Evita cukup keras kepala jika merasa dibohongi.
“Vit, hari ini kita akan meresmikan café ini. Aku mohon kamu yang membuka kain penutup nama café ini sebagai simbul dibukanya sebuah lembaran baru. Bahwa kita telah memaafkan masa lalu, kita tidak perlu mengangankan masa depan. Kita hanya butuh hidup untuk saat ini, melakukan segala yang terbaik untuk saat ini.” Angga membimbing Evita menuju tempat tertutup di tengah ruangan. Evita mencerna semua kalimat yang diucapkan Angga. Hatinya perlahan menjadi sejuk dan lapang.
“Guntinglah pita itu, maka kain yang menutupi nama café ini akan terbuka.” Ucap Angga lagi dan Evita mengangguk tersenyum. Dadanya berdebar ketika seseorang membawa gunting untuknya. Evita mundur selangkah melihat siapa yang membawakan gunting. Laki-laki yang tengah tersenyum di depannya ini adalah laki-laki yang terlahir dari preman terminal, Marwi. Evita tidak akan lupa bagaimana Marwi menghancurkan keluarganya. Dan kini? Di depannya berdiri tegak anaknya Marwi, yang juga teman sekolahnya!
Melihat penolakan Evita, Eko segera hadir di antara mereka. “Vita, kita datang kesini karena kita telah memaafkan diri kita, memaafkan masa lalu. Dirman, memang putra Marwi tapi dia anak baik. Dialah barista terbaik di kota Gayo yang sekarang akan bersama kita.” Eko menepuk pundak Evita sebagai isyarat menerima gunting dari Dirman. Ragu tampak jelas di wajah Evita.
“Evi, aku tetap memanggilmu Evi. Atas nama bapak, aku mohon maaf atas semua kesalahan beliau di masa lalu. Bapak memang tidak pantas mendapat maafmu, tapi aku putranya tetap memohon padamu. Bapak sudah tidak ada Vi, bapak terbunuh oleh perampok 5 tahun lalu. Aku tau semua ceritanya Vi, bapakku memang bersalah. Maafkan bapakku, Vi. Mas Eko dan dokter Angga yang menyekolahkan aku menjadi barista dan aku bahagia menjadi bagian dari semua ini.” Dirman bicara, Evita menunduk menerima gunting dari Dirman. Keduanya bertatap mata, saling mengangguk. Semua yang hadir tersenyum.
Kain keemasan itu perlahan jatuh dan membentuk siluet indah di lantai. Sebuah bola dunia berputar, lampu menyala redup kemudian nama café itu terbaca sempurna. “SERENADE GAYO”.
Tepuk tangan membahana, semua tersenyum. Evita menangis. Kopi mulai dihidangkan dengan aneka makanan berbahan atau berasa kopi pun disuguhkan. Evita mengamati semua, hatinya bahagia. Menarik napas dalam, membiarkan aroma kopi memenuhi seluruh sel darahnya.
“Vi, kenakan baju barista ini dan aku yakin kau bisa membuat satu resep kopi yang akan menjadi ciri khas kopi di café ini.” Dirman mengejutkan Evita. Gadis itu tersenyum dan masih pelit kata. Cekatan dia mengenakan baju barista, menuju tempat barista lain tersenyum padanya.
Tangan halusnya mulai berkarya. Aneka bubuk kopi ada di depannya juga bahan lain sebagai pelengkap. Evita mendadak seperti kesurupan roh orang tuanya yang begitu lihai meracik kopi bagi pelanggannya. Suryo, peracik Kopi Gayo Terminal itu seolah hadir kembali.
“Evita, perhatikan semua detail café ini. Apa yang kau rasakan?” Angga muncul dengan pertanyaan yang membuat Evita tersadar.
“Dokter? Oh Tuhan…bukankah ini tesisku? Ruangan café ini sungguh hemat enegi. Green construction yang aku harapakan. Design? Bagaimana Dokter bisa menyulap semua menjadi nyata? Lalu tulisan itu, bagaimana juga Dokter mengetahuinya? Jadi dari tulisan itukah nama café ini?”
Angga tersenyum. “Luar biasa, Evita yang kukenal telah kembali. Pertanyaannya langsung seribu dan aku kebingunan menjawab. Mas Eko membantuku mewujudkan semua ini. Tentang nama Serenade Gayo, aku tanpa sengaja mendapatkan penggalan puisimu itu di mejamu. Tapi bukankah nama ini tepat sekali?”
 “Mengapa Dokter merasahasiakan hal sebesar ini kepadaku?” Evita menatap mata Angga. Saat itulah dia sadar, bahwa di dalam kebeningan mata Angga dia menemukan kedamaian. Evita tau, bahwa hatinya berserah pada dokter berdarah Jawa itu.
“Tapi rahasia terbesarku kepadamu justru bukan tentang café ini. Masih ada yang lebih besar.”
“Apa?”
“Sebenarnya rahasia terbesarku kepadamu adalah, aku mencintaimu sejak kali pertama kita bertemu, Evita.” Ada yang menghangat di pipi keduanya, hati merekapun hangat. Dua hati itu tersenyum, memaknai setiap sel kehidupan dengan kesyukuran. Dendam itu terbalas tuntas dengan cara paling indah!

Membadai rasa di relung sukma/ Pada kekuatan rasa di kedalaman hati
Keberjodohan dan kedamaian terpahat /Kekuatan dan keberhasilan merupa nirwana di pucuk semesta
Tsunami cinta pun menari di altar terindah/ Tarian pasrah dipersaksikan malaikat
Membadai menujuNya saja.
The End.


*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOf Story Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com 

0 Comments