Cerpen
SERENADE GAYO
Melangit rasa dalam pendar
cahaya/ Aku meluruh, memintal kisah bersama penenun cerita
Angga terus tersenyum, dia tidak menyadari ketika di sampingnya telah berdiri seorang laki-laki dewasa yang juga tersenyum mengawasinya, kemudian menyentuh bahu Angga.
Aku tersenyum, memahat aksara /Aku terdiam, melukis keheningan
jiwa
Aku sunyi dan langit memelukku dalam damai.
(Serenada Gayo-Evita)
Angga memandangi tulisan
Evita yang terpahat di dinding salah satu sudut café. Porfesinya sebagai dokter,
tapi dia juga menyukai design interior. Sejak remaja dia suka berkreasi di
setiap sudut rumahnya. Ayahnya seorang pelukis dan ibunya seorang dokter.
Sebuah karakter unik tumbuh menyempurna dalam darahnya. Angga tersenyum.
Jiwanya melesat jauh kepada sebentuk hati yang dikenalnya setahun lalu, Evita.
Gadis ayu yang unik, seorang penyuka segala hal tentang kopi tetapi bukan
penikmat kopi.
Perjumpaan dengan Evita
yang serba menakjubkan membuatnya menyerah pada kenyatan bahwa hatinya tak
mampu berpaling dari Evita.
“Selamat pagi Evita…sudah
membaik ya?” kali pertama menyapa Evita di ruang perawatan sekitar setahun yang
lalu. Evita adalah pasiennya setelah melakukan operasi tulang kaki yang patah
karena kecelakaan. Sayang sekali reaksi gadis itu sebaliknya. Dia justru
melempar segala sesuatu yang ada di dekatnya. Menarik jarum infuse di tangannya
dan berteriak histeris.
“Mengapa dokter harus
mengoperasi kakiku? Mengapa tidak diamputasi saja? Atau sekalian mengapa
dokter tidak membunuhku saja? Untuk apa aku cacat seperti ini?!”
“Evita…tenang, kamu akan
bisa berjalan lagi. Tolong segera tenangkan Evita.” Perintah Angga kepada
perawat yang menemaninya. Semua bekerja cepat dan berhasil menenangkan Evita.
Pertemuan hari itu
akhirnya menjadi pertemuan rutin bagi Angga dan Evita. Kakak Evita yang tengah
bertugas di luar negeri memutuskan agar Evita dirawat di rumah sakit karena
tidak ada yang akan merawatnya di rumah. Hampir 3 bulan Evita di rumah sakit
dalam pengawasan Angga.
Evita yang sangat keras
kepala, sebenarnyanya tengah menyelesaikan tesisnya sebagai arsitek dan Angga
juga menyukai design interior.
Angga terus tersenyum, dia tidak menyadari ketika di sampingnya telah berdiri seorang laki-laki dewasa yang juga tersenyum mengawasinya, kemudian menyentuh bahu Angga.
“Astaga! Mas, Eko? Sejak
kapan datang?”
“Hahaha…” tawa orang
yang dipanggil Eko memenuhi seluruh Café. “Makanya jangan melamun saja, Dokter.
Gimana kalau yang datang tadi perampok, bisa ludes semua lho. Aku ada kerjaan di Gayo, jadi kusempatkan
mampir. Ternyata Dokter disini.” Ucap Eko sambil menjabat
tangan Annga. Angga segera merangkul laki-laki yang dipanggilnya Mas Eko itu.
“Ah, Mas bisa aja.
Lagian café ini juga belum dibuka, tentu tidak akan ada tamu yang datang, Mas.
Aku juga harus mengawasi pekerja, karena jangan sampai tidak sesuai dengan
harapan kita.” Keduanya tersenyum kemudian duduk menempati dua kursi yang ada
di tengah ruangan.
Eko mengamati semua
dengan decak kagum. “Hebat, kau ini seorang dokter tapi jiwa senimu cukup baik.
Evita mungkin tidak akan percaya bahwa ini sebagian besar adalah karyamu.”
“Tidak juga, Mas. Bagiku
Evita yang menjadi sumber inspirasiku. Kegilaannya akan kopi dengan segala
keanehannya, menjadikan aku bisa membuat semua detail ini dengan sempurna. Mungkin
dia akan sangat terkejut, karena mendapati apa yang dia tulis di tesisnya telah
aku wujudkan menjadi café ini. Bantuan Mas juga sangat besar untuk mewujudkan
semua ini.”
“Iya, aku yakin dia akan
cemburu dengan karyamu ini. Tapi bagiku ini karya kalian berdua, dan bisa
menjadi landasan baik bagi kelangsungan hubungan kalian.” Kerling Eko yang
membuat Angga tersipu. “Jadi kapan dokter Angga melamar adikku, Evita?”
“Segera, Mas. Setelah operasi dan Evita mulai berjalan. Bisa juga saat kita
resemikan café ini.”
**
Evita tengah duduk di kursi rodanya sambil membaca buku di
beranda belakang rumah, ketika Eko akan berangkat kerja.
“Halo sayang, Mas mau berangkat kerja ya.
Mbakmu juga akan pergi ngantar Rini ke sekolah. Kamu sendirian tidak apa-apa?”
Evita tersenyum melihat kakaknya dan sejenak kemudian muncul kakak ipar besama
si kecil Rini dengan seragam TKnya. “Duh, kesayangan tante cantik banget.
Belajar yang rajin ya sayang..” peluk cium Evita kepada Rini yang memanja.
“Vit, persiapan operasimu gimana?
Dokter Angga sudah menghubungimu?” tanya istri Eko.
“Iya, Mbak. Kata dokter
Angga, sudah dijadwalkan dan aku diminta untuk jaga kesehatan saja. Rasanya aku
ingin segera bisa berjalan kembali, Mbak.”
“Tenang, tidak lama lagi Insya Allah kamu akan segera bisa jalan lagi.” Senyum
istri Eko. “Aamiin, makasih, Mbak.” Senyum Evita.
Matahari pagi bersinar hangat, sehangat hati Evita menyambut hari operasinnya
dan harapannya untuk bisa berjalan kembali. Ada banyak mimpi yang belum
diwujudkan, ada banyak tempat yang belum dijejak dengan kakinya. Sebuah mimpi
yang akan diwujudkan, mengukir prasasti cinta untuk kedua orang tuanya yang
hanya seorang penjual kopi di sudut terminal kota. Membuktikan pada dunia, bahwa
secangkir kopi yang akan diraciknya adalah tetesan cinta orang tuanya yang
telah bertaruh nyawa demi hidupnya. Dendam itu harus dibalas tuntas
dengan cara paling indah!
**
“Jangan ganggu anakku,
yang sopan sama perempuan!”
“Apa kamu? Hanya penjual kopi jalanan.
Anakmu pasti juga sebentar lagi kau jual seperti kopimu ini. Lalu dinikmati dan
dihirup banyak orang. Hahaha…”
“Jaga mulutmu! Atau aku hajar kau!”
“Hah? Kau mau menghajarku?
Hahaha, kopimu ini nikmat sekali, pelangganmu banyak. Anak gadismu pasti
selegit kopimu yang terkenal ini, Suryo. Anakmu juga akan terkenal nanti dan
sebelum itu akulah yang akan menikmati anak gadismu. Hahaha…”
Brak!!!
Sebuah gelas meluncur ke
lantai. Piring berisi gorengan telah terbalik dan membuyarkan semua isinya.
Laki-laki yang dipanggil Suryo itu naik pitam. Dia tidak lagi mendengar
teriakan istrinya agar tidak melawan laki-laki kasar itu. Tapi darahnya
mendidih demi melihat anak gadisnya akan dilecehkan oleh laki-laki kasar itu.
Dia tidak peduli siapa laki-laki yang akan dihadapinya. Preman terminal
yang istrinya juga punya usaha warung kopi remang di sudut kota.
Sejenak saja terjadilah baku hantam yang tidak imbang. Suryo hanya laki-laki
penjual kopi dan punya harga diri sebagai ayah berhadapan dengan Marwi, preman
terminal yang dikenal memiliki kemampuan bela diri. Marwi menyambar sebuah
botol minuman, mematahkannya. Sebuah sabetan tepat mengenai lengan Suryo
membuat teriakan istri dan anak-anaknya metinggi. Darah mengucur deras, tapi
demi harga diri Suryo kembali bangkit membabi buta. Tepat saat Marwi akan
menusukkan potongan botol itu kedada Suryo, kaki kiri Marwi terbentur kursi dan
membuat keseimbangannya goyah. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat
diraih. Marwi terjengkang dan naas, karena potongan botol itu justru mengenai
mukanya sendiri.
Cres!!!
Darah berhamburan, bukan
dari tubuh Suryo tetapi dari muka Marwi. Teriakan istri Suryo mengundang banyak
orang datang menyaksikan perkelaian yang dianggap usai karena Marwi terpakar.
Di saat yang sama, seorang perempuan hadir dengan teriakan lebih histeris dan
mengatakan bahwa Suryo telah berusaha membunuh suaminya. Perempuan itu, adalah
istri Marwi.
Tanpa memakan waktu, polisi datang dan memborgol Suryo yang
masih tertegun menyaksikan bagaimana Marwi bersimbah darah. Tangisan istri
Suryo dan anak-anaknya juga menjadi saksi atas semua peristiwa. Evita merekam
dengan jelas peristiwa itu bahkan ketika bapaknya harus masuk penjara karena
laporan Marwi. Ibunya kehilangan tempat untuk berjualan kopi. Evita pun,
harus meninggalkan kota itu. Peristiwa kematian orang tuanya, juga terekam
dengan baik. Rekaman semua peristiwa itulah yang mengentarnya menjadi seorang
pendendam.
“Bapaaak….Bapaaaak…bapak…!” teriak lirih Evita yang baru sadar
setelah operasi. Napasnya tersengal dan gelisah. Ada sebuah luka dalam jiwa
Evita yang belum terselesaikan. Dokter Angga, Eko dan istrinya yang berada di
dekat Evita, berdiri terkejut saling pandang.
“Evita, sadar, Sayang,” sentuh istri Eko pada pipi Evita. Evita membuka mata
dan mendapati kakak iparnya, kakaknya dan dokter Angga. Perlahan mengumpulkan
kesadaran. Bayangan wajah bapak ibunya menyempurna. Ah, mengapa aku
masih mengingat peristiwa itu? Sungguh dendam ini harus dibalas tuntas dengan
cara paling indah!
**
“Selamat, Evita. Semoga ilmunya
bermanfaat.” Peluk Eko dan istrinya kepada Evita yang baru saja keluar ruang
sidang tesisnya. Evita berjalan dengan bantuan tongkat. “Terimakasih, Mas dan Mbak. Semua atas bantuan dan dukungan
kalian. Setelah ini aku akan mewujudkan impian yang pernah kusampaikan pada Mas
waktu itu. Aku harus punya warung kopi seperti bapak dan ibu, warung kopi versi
Evita, Mas.”
“Hmm, kamu masih tetap ingat dengan impianmu itu? Mas
hanya bisa mendukung segala yang kau lakukan. Kalau bisa tetaplah dengan cita
rasa khas kopi Gayo, sebagaimana darah kita adalah darah Gayo.” Eko tersenyum.
“Tenang, Mas. Aku memang akan mendirikan café Gayo. Itulah alasanku selama ini
menjelajah negeri dan meneliti segala tentang kopi walaupun aku bukan penikmat
kopi. Aku akan mengembangkan berbagai minuman berbahan dasar kopi yang akan
menjadi cita rasa baru dan menjadi ciri khas caféku.”
Sejenak Evita merasakan ada yang
kurang saat dia harus merayakan kebahagian. Sosok itu tidak ada bahkan sebuah
pesanpun tidak diterimanya sebagai ucapan selamat. Eko dan istrinya paham
dengan bahasa tubuh Evita yang mencari seseorang.
“Evita mencari dokter Angga? Tadi
waktu kamu sidang dia telpon Mas dan bilang kalau mendadak harus keluar kota.
Anehnya dia malah memberimu bahkan memberi kita semua tiket pesawat ke Gayo.
Besok kita harus berangkat. Gimana menurutmu?”
“Apa Mas? Dokter Angga memberi kita
tiket ke Gayo? Jadi beliau di Gayo sekarang? Kenapa tidak pernah cerita ya?”
Evita tampak curiga. “Dokter Angga perginya mendadak, Vit. Mungkin tidak sempat
memberitau kamu.” Tambah istri Eko.
“Ya sudah kita pulang saja dan kita
bicarakan nanti. Tapi Evita bisa pergi? Kebetulan kamu selesai ujian sekalian
ziarah ke makam bapak ibu.” Ajak Eko karena berharap segera mengakhiri
perbincangan itu. Dia tidak mau Evita tau bahwa semua telah direncanakan sejak
jauh sebelumnya. Sejak Evita masih belum bisa menerima kenyataan ketika dia
mengalami kecelakaan itu. Sejak dokter Angga selalu bertanya tentang Evita,
sejak dokter laki-laki berdarah Jawa itu menyampaikan keinginannya kepada Eko
untuk memperistri adik semata wayangnya. Terlebih sejak Eko menceritakan satu
mimpi Evita tentang warung kopi.
**
Dada Evita berdebar, ketika duduk di
ruang tunggu Bandara Internasioan Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Beberapa kali dia melihat pada jam tangan Giordano yang bertengger manis di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan hadiah kakaknya saat ulang tahunnya yang ke 20. Evita sudah
bisa berjalan, tapi dia selalu merasa belum yakin melangkah tanpa tongkat. Dia membawa kursi rodanya untuk datang kembali
ke tanah Gayo. Eko tidak bisa melarang, karena dia sangat tau bagaimana
perasaan Evita terhadap tanah Gayo, dimana udara kehidupan kali pertama
dihirupnya.
“Mas, apakah kita bisa memaafkan
mereka? Bagaimana merweka saat ini?” Evita memecah kebekuan. Eko hanya diam
memandang adiknya. Sepi. Keduanya memilih tenggelam dalam riuh hati mereka
sendiri. Kebahagiaan membuncah karena akan menginjak kembali tanah Gayo, tapi
juga tidak bisa dibasuh bahwa luka itu akan tertoreh lagi.
“Kita
datang ke sana untuk memaafkan diri kita, juga tentu memafkan mereka. Kita
tidak perlu mencari tau apakah mereka hancur atau berjaya. Kita datang ke Gayo
karena ada cinta di hati kita.” Ucap Eko tanpa menoleh kepada Evita. Serentak
keduanya menarik napas dalam, seolah mencoba meretas kebekuan menjadi sebuah
serenade yang hangat.
Pewasat
telah membawa mereka menuju Bandar Udara Senubung atau disebut sebagai Bandar
Udara Blangkejeren, karena letaknya di kecamatan Blangkejeren Gayo Lues Aceh. Di
sudut kota Gayo Lues inilah mereka tumbuh sebagai anak penjual kopi Gayo yang
sangat terkenal saat itu, hingga tragedy itu. Gayo Lues adalah cinta mereka,
sekaligus menjadi luka.
Keluar
bandara, mereka mendapati seseorang yang mengaku utusan dokter Angga untuk
menjemput. Evita mengernyitkan dahi, semakin merasa ada sesuatu disembunyikan
dokter Angga. Sejak dia ujian tesis, bahkan sampai kedatangannya di tanah Gayo
ini, Angga tidak sekalipun menghubunginya. Ada yang sesak di dada Evita,
tentang sebuah nama, Angga. Ah, kenapa
aku harus mengharapkan perhatiannya? Siapa dia bagiku? Dan siapa aku baginya?
Guman hati Evita.
“Kita
kemana ini, Pak?” tanya Eko yang juga berdebar melihat banyak perubahan di
tanah kelahirannya itu. “Saya diminta dokter Angga untuk mengantar Pak Eko
sekeluarga ke tempat dokter Angga sekarang.” Jawab sopir itu ramah. “Dokter
Angga dimana sekarang? Kita sudah di Gayo Lues, kita akan kemananya?” Evita
tidak sabar ingin segera tau akan dibawa kemana.
Eko
menoleh kepada adiknya yang tampak tidak nyaman. Kakak beradik itu bertatap
mata dan Evita paham, ketika Eko tersenyum kepadanya. “Sabar ya,” senyum Eko.
Evita membuang muka, memandangi setiap jengkal tanah yang dilewatinya. Waktu 10
tahun telah mengubah wajah kota ini.
Mereka
melewati sebuah terminal dan mendadak dada Evita bergolak hebat melihat dari
kejauhan, tempat yang dulu menjadi tempat bermainnya sepulang sekolah dan
dikenal sebagai warung kopi Gayo Terminal, kini telah menjadi café modern yang
megah. Mobil yang membawa mereka mendekat ke arah café tersebut. Tidak bisa
dipungkiri, Evita terkagum dengan design menakjubkan café itu. Sepertinya baru
akan diresmikan, karena berbagai karangan bunga ucapan selamat, sebagian baru
ditata. Evita tersentak sadar, ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat
di depan café itu dan memasuki halamannya.
“Kita
kesini, pak?” tanya Evita tidak sabar. “Iya, Mbak. Pak Eko sekeluarga sudah
ditunggu semua orang, termasuk dokter Angga.” Jawab sopir tetap ramah. Eko diam
saja, sementara Evita merasa kepalanya akan meledak karena ketidakmengertian
semuanya. Cepat dia meminta bantuan sopir menurunkan kursi rodanya. Dia merasa akan
ada persitiwa yang tidak biasa. Mendadak sekitar 6 orang membawa mereka menuju ruangan
lain di bagian samping. Mereka menyulap Evita menjadi bidadari. Evita jengkel
karena semuanya tidak ada yang mau bicara, hanya menggunakan bahasa isyarat.
Eko dan istrinya dan juga putrinya hanya bisa terdiam menyaksikan semua.
Evita
masih tidak mengerti, apa maksud semua? Ketika pintu dibuka, muncul dokter
Angga dengan senyumnya yang damai. Dia mengenakan pakaian senada dengan pakaian
yang barusan dikenakan Evita.
“Selamat
atas kelulusanmu, selamat ya. Maaf aku sangat sibuk dan aku mau memberimu
sesuatu juga untuk Mas Eko. Aku berharap kamu mau menerimanya.”
“Dokter
Angga, dosa apa yang aku lakukan sehingga dokter memerlakukan aku seperti ini?
Tidakkah aku punya hak untuk mengetahui semua?” Evita tidak tersenyum justru
bicara dengan nada dingin. Angga tersenyum lagi, mengalihkan arah pembicaraan.
“Evita, mengapa kamu masih setia dengan kursi rodamu? Padahal kau harusnya sudah
bisa berjalan, mengapa tidak yakin?” Evita diam, menunduk.
Angga
segera membawa Evita keluar menuju tempat utama café itu dengan sebelumnya dia
memohon untuk menutup mata Evita dengan kain putih. Evita sekali lagi diam
tidak menampakkan reaksi positif. Bahasa tubunya menunjukakn kecewa.
Angga
membuka kain penutup mata Evita. Gadis itu perlahan membuka mata dan mendapati
suguhan memesona. Dia hanya bisa menatap sekelilingnya dengan takjub seperti
orang terhipnotis. Detail ruangan itu, juga kursi serta meja di café serta aksesoris
yang mempercantik dinding café. Rak buku terisi berbagai buku, lengkap dengan
bermacam alat musik tradisional Indonesia. Pandangannya terhenti kepada meja
barista dan di sana telah berdiri 7 orang barista dengan seragam tradisional
Jawa, tengah tersenyum ke arahnya. Dia melihat aneka cangkir yang unik, aneka
peralatan untuk menikmati kopi dan dia baru sadar bahwa aroma kopi telah
membuatnya mabuk bahagia.
“Ini
untukmu, hadiah dariku juga dari Mas Eko atas kelulusanmu.” Senyum Angga
merunduk di depan Evita. Bibir Evita bergetar hebat, dia marah karena telah
marah kepada dokter berdarah Jawa yang ada di depannya ini. Dia marah karena
laki-laki ini begitu sempurna mewujudkan mimpinya. Dia pun menoleh kepada
kakaknya. Dia marah karena tidak diberitahu rahasia sebesar ini. Evita
menangis, tangis bahagia. Sungguh kebahagian dan kesedihan itu hanya sebatas
kata karena ketika keduanya tampil bersama hanya jiwa bening yang akan mampu
menerjemahkan dengan sempurna.
Eko
terharu menyaksikan Evita yang matanya berkaca. Mendadak gadis itu berusaha
berdiri. Evita berdiri tegak tanpa tongkat dan melangkah. Akhirnya dia
berhambur ke pelukan kakaknya.
“Mas
Eko jahat. Mengapa merahasiakan semua ini dariku?” isaknya dalam dekapan Eko.
“Karena
dokter Angga melarangnya, karena mas percaya padanya untuk menjadi pendamping
hidupmu.” Evita segera melepas pelukan kakaknya dan tampak terkejut. Di
sampingnya dokter Angga menunduk tersenyum.
“Vit,
di depan kakakmu dan semua yang hadir aku melamarmu. Maukah kau menjadi istriku?
Menjadi ibu bagi anak-anak kita? Menjadi barista di café ini? Juga menjadi
seorang artsitek yang mendampingiku mengabdi sebagai dokter?” ucapan Angga
seperti salju yang turun menyejukkan setiap lorong jiwanya.
Evita
punya ribuan aksara, tapi tak berdaya menyusun kata untuk kejutan yang
diberikan Angga dan kakaknya. Dia hanya kembali memeluk kakaknya,
menenggelamkan diri dalam tatap mata Eko yang selalu melindunginya.
“Dokter
Angga, laki-laki baik dan benar. Mas rela dia menjagamu. Kamu berkenan, kan?”
tanya Eko. Perlahan sebuah sabit terpahat di bibir Evita. “Alhamdulillah,” ucapan
istri Eko mencairkan semuanya. Tepat saat itulah Evita jatuh dipelukan kakak
iparnya itu.
Angga
pun tersenyum menderas syukur atas semuanya. Kekhawatirannya akan penolakan
Evita tidak terjadi. Dia sangat tau bahwa Evita cukup keras kepala jika merasa
dibohongi.
“Vit,
hari ini kita akan meresmikan café ini. Aku mohon kamu yang membuka kain
penutup nama café ini sebagai simbul dibukanya sebuah lembaran baru. Bahwa kita
telah memaafkan masa lalu, kita tidak perlu mengangankan masa depan. Kita hanya
butuh hidup untuk saat ini, melakukan segala yang terbaik untuk saat ini.” Angga
membimbing Evita menuju tempat tertutup di tengah ruangan. Evita mencerna semua
kalimat yang diucapkan Angga. Hatinya perlahan menjadi sejuk dan lapang.
“Guntinglah
pita itu, maka kain yang menutupi nama café ini akan terbuka.” Ucap Angga lagi
dan Evita mengangguk tersenyum. Dadanya berdebar ketika seseorang membawa
gunting untuknya. Evita mundur selangkah melihat siapa yang membawakan gunting.
Laki-laki yang tengah tersenyum di depannya ini adalah laki-laki yang terlahir
dari preman terminal, Marwi. Evita tidak akan lupa bagaimana Marwi menghancurkan
keluarganya. Dan kini? Di depannya berdiri tegak anaknya Marwi, yang juga teman
sekolahnya!
Melihat
penolakan Evita, Eko segera hadir di antara mereka. “Vita, kita datang kesini
karena kita telah memaafkan diri kita, memaafkan masa lalu. Dirman, memang
putra Marwi tapi dia anak baik. Dialah barista terbaik di kota Gayo yang
sekarang akan bersama kita.” Eko menepuk pundak Evita sebagai isyarat menerima
gunting dari Dirman. Ragu tampak jelas di wajah Evita.
“Evi,
aku tetap memanggilmu Evi. Atas nama bapak, aku mohon maaf atas semua kesalahan
beliau di masa lalu. Bapak memang tidak pantas mendapat maafmu, tapi aku
putranya tetap memohon padamu. Bapak sudah tidak ada Vi, bapak terbunuh oleh
perampok 5 tahun lalu. Aku tau semua ceritanya Vi, bapakku memang bersalah.
Maafkan bapakku, Vi. Mas Eko dan dokter Angga yang menyekolahkan aku menjadi
barista dan aku bahagia menjadi bagian dari semua ini.” Dirman bicara, Evita
menunduk menerima gunting dari Dirman. Keduanya bertatap mata, saling
mengangguk. Semua yang hadir tersenyum.
Kain
keemasan itu perlahan jatuh dan membentuk siluet indah di lantai. Sebuah bola
dunia berputar, lampu menyala redup kemudian nama café itu terbaca sempurna.
“SERENADE GAYO”.
Tepuk
tangan membahana, semua tersenyum. Evita menangis. Kopi mulai dihidangkan
dengan aneka makanan berbahan atau berasa kopi pun disuguhkan. Evita mengamati
semua, hatinya bahagia. Menarik napas dalam, membiarkan aroma kopi memenuhi
seluruh sel darahnya.
“Vi,
kenakan baju barista ini dan aku yakin kau bisa membuat satu resep kopi yang
akan menjadi ciri khas kopi di café ini.” Dirman mengejutkan Evita. Gadis itu
tersenyum dan masih pelit kata. Cekatan dia mengenakan baju barista, menuju
tempat barista lain tersenyum padanya.
Tangan
halusnya mulai berkarya. Aneka bubuk kopi ada di depannya juga bahan lain
sebagai pelengkap. Evita mendadak seperti kesurupan roh orang tuanya yang
begitu lihai meracik kopi bagi pelanggannya. Suryo, peracik Kopi Gayo Terminal
itu seolah hadir kembali.
“Evita,
perhatikan semua detail café ini. Apa yang kau rasakan?” Angga muncul dengan
pertanyaan yang membuat Evita tersadar.
“Dokter?
Oh Tuhan…bukankah ini tesisku? Ruangan café ini sungguh hemat enegi. Green construction yang aku harapakan. Design? Bagaimana Dokter bisa menyulap
semua menjadi nyata? Lalu tulisan itu, bagaimana juga Dokter mengetahuinya?
Jadi dari tulisan itukah nama café ini?”
Angga
tersenyum. “Luar biasa, Evita yang kukenal telah kembali. Pertanyaannya
langsung seribu dan aku kebingunan menjawab. Mas Eko membantuku mewujudkan
semua ini. Tentang nama Serenade Gayo, aku tanpa sengaja mendapatkan penggalan
puisimu itu di mejamu. Tapi bukankah nama ini tepat sekali?”
“Mengapa Dokter merasahasiakan hal sebesar ini
kepadaku?” Evita menatap mata Angga. Saat itulah dia sadar, bahwa di dalam
kebeningan mata Angga dia menemukan kedamaian. Evita tau, bahwa hatinya
berserah pada dokter berdarah Jawa itu.
“Tapi
rahasia terbesarku kepadamu justru bukan tentang café ini. Masih ada yang lebih
besar.”
“Apa?”
“Sebenarnya
rahasia terbesarku kepadamu adalah, aku mencintaimu sejak kali pertama kita
bertemu, Evita.” Ada yang menghangat di pipi keduanya, hati merekapun hangat.
Dua hati itu tersenyum, memaknai setiap sel kehidupan dengan kesyukuran. Dendam itu terbalas tuntas dengan cara paling indah!
Membadai rasa di
relung sukma/ Pada kekuatan rasa di kedalaman hati
Keberjodohan dan
kedamaian terpahat /Kekuatan dan keberhasilan merupa nirwana di pucuk semesta
Tsunami cinta pun
menari di altar terindah/ Tarian pasrah dipersaksikan malaikat
Membadai menujuNya
saja.
The End.
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOf Story Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
0 Comments