Kontemplasi
SURAT UNTUK JIWA MERAH YANG TELAH PUTIH
Yang
dirahmati Allah
Dokter If
Assalamu'alaykum :)
Alhamdulillah...apa kabar dokter? Mudah-mudahan saat kau baca
goresanku ini dokter dalam keadaan semakin bahagia di belahan dunia mana pun
kau berada. Di dataran memutih bersalju, di altar berpelangi atau berumput hijau.
Doaku melangit untuk bahagiamu. Dokter, seperti pintamu aku baik-baik saja
hingga bisa kukirim surat ini untukmu. Janji hati telah kutuliskan dalam dekap
kasihNya.
Dokter, mungkin kau bertanya mengapa aku menuliskan surat ini
kembali padamu. Jangan khawatir ya...yakinlah aku baik-baik saja. Siang tadi
aku pun berpikir tentang keseimbangan rasa. Apakah itu tentang kita?
entahlah...aku pun tak tahu. Jangan berfikir aku sakit ya. Aku sudah sehat dan
semakin sehat dokter. Aku bukan lagi Jazim Naira Chand-mu yang suka pingsan
atau memucat bagai mayat bernafas. Aku bukan lagi sebentuk jiwa yang mudah
lenyap dalam terang sinar matahari, atau jiwa yang larut dalam kering tanpa
air.
Dokter yang dirahmati Allah,
Aku hanya ingin bercerita kepadamu, dengarkan ya di dimensi
manapun kau berada. Aku masih melihatmu tersenyum dengan tatapan matamu yang
mengkhawatirkan aku. Aku masih tidak suka dengan caramu memaksaku waktu itu.
Mengapa dalam diammu kau lakukan itu padaku?
Dokter, pada kepingan rasa manusiawiku, izinkan sejenak saja aku
menepi dari keramaian jalan ini. Aku ingin mempercayai bahwa dokter telah
mengabadi. Aku ingin yakinkan diriku bahwa dokter telah menjadi mawar putih
seperti yang kulihat. Dokter bukan lagi mawar merah yang menemani melati
putihku. Dokter, pada kepingan rasa yang tak kupahami hingga kini adalah saat
10 januari terpahat di langit waktuku. Aku merasakan hadirmu yang merupa.
Apakah semua karena lemahnya jiwaku? Entahlah…aku hanya melihat
semua menjadi berbeda. 1011 yang kita eja dalam nada yang sama kau balik dengan
semena-mena. Aku sudah bilang 10 itu aku dokter dan dokter adalah 11. Aku
melati putih dan dokter adalah mawar merah. Tetapi kau meminta menjadi 10 dan
aku kau paksa menjadi 11. Aku terdiam dan bersorak riang akhirnya. Ah…benar,
karena kita satu maka sama saja kan dokter? Walaupun 10 adalah aku dan sekarang
menjadi kamu, demikian juga 11 adalah kamu dan sekarang menjadi aku. Ya sama
saja.
Lalu mengapa dokter kembali meminta keduanya menjadi mawar? Dan
lebih gila lagi dokter semena mena menukar kembali semuanya, menggantinya
dengan jiwa lain. Setelah 10ku kau minta dan kau jadikan mawar merah kau
berikan mawar merah itu kepada jiwa lain. Dan 11 milikku adalah mawar putih,
aku memutih putih dokter seiring pergimu perlahan dengan bayangan putihmu.
Memendarkan cahaya, dan kau mandikan aku dengan cahaya putihmu. 1011 kini
menjadi sepasang mawar merah dan putih antara dia dan aku. Apakah itu yang kau
mau?
Dokter
yang baik,
Dokter, dalam perjalanan panjangku aku semakin berada di jalan
cahaya. Ada yang salah dokter atas cinta yang meraja di tahta nirwana. Bukan
pada rasa yang membaluri jiwa kita, tapi pada peletakan rasa yang seharusnya.
Kita kalah dokter, lemah. Maafkan aku, jika masih menulis surat ini untukmu.
Aku tahu dokter…renjana hati kita tetap terjaga di altar tertinggi cintaNya.
Kidung rindu yang pernah terlantun pun tak layak disenandungkan. Pada butiran
hujan pernah kutitipkan sel-sel cinta penuh cahaya kepada jiwamu, karena janji
yang terpahat atas namaNya. Sel itu berdifusi membentuk kasih sayang yang
abadi, bukan nafsu.
Dokter, boleh sekarang aku mengaku...tapi jangan marah ya...
Aku sakit dokter, seharian ini hanya terbaring. Gejala yang
tampak adalah kondisi jantungku yang melemah. Pembengkakan terjadi di beberapa
bagian tubuhku. Tapi yang kurasakan bukan jantungku yang lemah, aku baik-baik
saja dokter. Aku hanya terbaring tanpa tenaga tapi tidak merasakan sakit apa
pun. Denyut jantungku pun sempurna, bukan dua-dua satu, tidak ada keringat
dingin. Artinya aku sehat kan dokter?
Aku pun tetap bisa tertawa seperti
biasa merasakan getaran bahagia yang kian menyempurna. Ohya dokter...satu hal
penting yang ingin kutahu: dokter tidak sakit kan? Dokter tidak mengalami hal
yang sama denganku kan?
Dokter, mungkin kau berfikir aku gila. Padahal tadi aku bilang
bahwa aku tengah meyakinkan diri....bahwa dirimu telah sewarna putih di taman
surgawi. Tidak ada lagi sakit di sana, karena kau orang baik. Hanya bahagia di
sana, karena keikhlasanmu menerima takdirmu. Tapi kuyakin...di sana kau
melihatku tersenyum.
Maafkan dokter...kapan hari aku gunakan namamu untuk menamai
seseorang gapapa ya. Oke..aku harus istirahat, jika kita harus bertemu di dalam
alam keabadian, kau akan tahu aku melewati pintu nirwanamu.
Dokter, apakah
kamboja di bawah ini bukan pertanda aku segera mengabadi? Usah kau jawab,
jiwaku terus berjalan titian cintaNya. Menembus hening dalam
beningnya rasa.
Aku MenujuNya saja.
Wassalam,
Aku, Putih
*Untuk sekisah beberapa tahun yang lalu saat takdirNya
dilantunkan dengan begitu merdu bagi jiwa kita. Biarkan Luka Hanya Milik
Semesta.
0 Comments