MENJADI KONSUMEN CERDAS ITU PILIHAN

http://harkonas.id/koncer.php

Perkembangan tehnologi dan informasi tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menolak mengikuti perkembangannya, membuat  kita tertinggal seolah jatuh pada “kebodohan”. Akan tetapi jika kita mengikuti tanpa bekal pengetahuan kita juga akan jatuh pada tindakan tidak benar lainnya, misalnya fitnah bahkan pelanggaran pada UU ITE. Seperti marak saat ini, berita hoax yang kadang kita percayai sebagai kebenaran. Terlebih mental sebagain masyarakat kita sangat mudah terpengaruh tanpa meneliti ulang terlebih dahulu.
Saya selalu miris membaca atau mendengar orang menulis atau bicara: “viralkan!!!” terhadap sesuatu yang belum tahu kebenarannya baik itu tentang hal buruk bahkan hal yang seolah baik. Jika memang belum ada kejelasan, mengapa tidak berpikir lebih jauh sebelum menyebarkan? Apakah hal itu layak disebarkan? Pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita sebarkan itu (keburukan) juga bisa terjadi pada keluarga kita? Bahkan mungkin terjadi pada diri kita sendiri.
Sebelum berani melakukan tindakan di media social, mulailah dengan membaca dan memahami terlebih dahulu UU ITE dalam Bab VII tentang “Perbuatan Yang Dilarang” termuat pada pasal 27-33. Jika kita tidak mengindahkan aturan itu, tentu ada konsekuensi hukumnya.



Demikian juga dengan konsumen. Pesatnya perkembangan  terhnologi informasi seharusnya semakin memudahkan konsumen untuk mengakses segala kebutuhan informasi tanpa pernah merasa kecewa bahkan tertipu oleh pemberi layanan/produk. Jika ada konsumen yang harus mengumpat dan mencaci pemberi layanan, artinya ada yang belum terselesaikan dalam diri orang tersebut dalam kaitannya dengan caranya mengambil keputusan untuk menggunakan suatu jasa atau produk. Terlepas bahwa kadang memang ada penyedia layanan yang memang tidak berperilaku baik. 
Dalam si koncer sudah  disampaikan bahwa jadilah konsumen yang cerdas, jangan menjadi konsumen yang buta bahkan tuli jika tidak ingin mengalami kekecewaan. Pengambilan keputusan terhadap penggunaan layanan harus dilalukan dengan kesadaran penuh atas apa yang diambilnya. Setidaknya harus meneliti sebelum membeli (mengambil keputusan), memastikan bahwa produk itu memenuhi SNI karena kita berada di Indonesia. Diharapkan juga melihat garansi produk, masa kadaluarsa dan berusahalah untuk mecintai produk dalam negeri kita sendiri. Jangan menganggap hal yang tampak sederhana itu hanya sebagai "nasehat kosong". Apa yang disampaikan itu justru bertujuan untuk melindungi kita sebagai konsumen dari hal-hal yang tidak diinginkan. 


Bagi konsumen, kita sudah mempunyai Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU PK) yang merupakan payung hukum bagi kita (konsumen) jika terjadi hal kurang baik terkait layanan yang diberikan pemberi jasa/produsen.
Namun, bukan berarti karena kita memiliki payung hukum yang kuat lantas kita bisa berperilaku seenaknya terhadap pemberi jasa atau perodusen jika terjadi kesalahan.  Kita juga harus memperhatikan kewajiban kita sebagai konsumen. Apakah sudah dijalankan dengan baik dan benar? 

Konsumen yang cerdas bukan hanya kritis terhadap penyedia jasa  yang melakukan kesalahan tetapi juga pada dirinya sendiri dengan cara membekali diri berupa pengetahuan tentang layanan/produk yang akan dipilih. Selesaikan kewajiban kita dan ambil apa yang menjadi hak kita. 


Kembali pada pesatnya perkembangan tehnologi informasi yang menjadi fokus pada Harkonas 2018 kali ini.  Kondisi ini memudahkan kita mendapatkan informasi tentang layanan yang akan kita pilih/gunakan. Testimony produk, kejelasan kantor, pabrik, adanya CS (customer service), serta info/detail produk, syarat dan ketentuan, saat ini semua bisa diakses dengan mudah. Jika kemudahan itu tidak membuat kita (konsumen) semakin cerdas, bagaimana bisa  dengan mudah menyalahkan pemberi jasa ketika ada yang terlewatkan? Kemudahan akses informasi seharusnya membuat kita semakin dewasa dan cerdas dalam menghadapi apapun terkait layanan yang kita terima.

Ada hal yang juga perlu diingat dalam perkembangan informasi dan tehnologi seperti yang saya sampaikan di awal. Masyarakat kita lebih cepat  percaya terhadap layanan/ produk yang terkesan baru, murah dan “wow” tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu. Misal logis tidaknya sebuah layanan/produk yang ditawarkan. Bahkan kadang kita tidak sadar, bahwa itu juga bagian dari strategi marketing, yang memanfaatkan mental gampang "heran" yang dimilki sebagian besar masyarakat. Ada sebuah kesenjangan dalam berpikir di kalangan masyarakat kita. Mungkin termasuk kita, bahkan diri saya. 


Maraknya “penipuan” dalam jual beli online saat ini bisa diambil sebagai contoh nyata yang tidak bisa kita generalisasi bahwa semua online shop itu penipu. Kemudian menolak segala bentuk transaksi secara online. Jika kita gegabah mengambil kesimpulan, justru akan menyulitkan diri sendiri. 
Mengapa sebagai konsumen kita tidak melakukan introspeksi? Online shop penipu, atau kita (konsumen) yang tidak cerdas membaca informasi kemudian merasa ditipu? Lalu kita menjelekkan dan menuduh pemberi layanan  sebagai penipu. Kita lebih cenderung mencari kambing hitam atas sesuatu yang menjadi “kelemahan” kita.
Ingat satu hal sebelum berani atau bahkan iseng (bercanda) menjelekkan pihak lain yang telah melakukan kewajibannya sesuai prosedur. Produsen/pemberi layanan sudah menuliskan semua detail produk/layanan, tapi karena kita tidak teliti kemudian menuduh orang lain melakukan kesalahan. Kita akan terjerat pelanggaran UU ITE. Pencemaran nama baik atau hal lain yang mengandung unsur pidana. 
Kalaupun online shop itu melakukan penipuan, sebenarnya sejak awal sudah tampak “gejalanya” jika kita sebagai konsumen bertindak secara adil dengan melakukan “pencegahan” terjadinya hal itu. Tentu kembali pada kewajiban kita sebagai konsumen.  
Bagaimana melakukan pencegahan supaya kita tidak merasa tertipu? Ada hal yang sering kita lakukan ketika memutuskan menggunakan layanan/produk:


1.  Tidak membaca atau mencari informasi tentang layanan/produk yang akan kita pilih secara baik dan benar. 
     Langkah awal untuk menjadi konsumen cerdas adalah biasakan MEMBACA. Nasehat si Koncer tidak akan ada artinya kalau kita malas untuk sekadar membaca informasi yang diberikan oleh pemberi layanan atau produk. 
     Merasa cukup mengerti tentang layanan/produk padahal sebenarnya kita enggan bertanya atau bahkan malu. Memberikan pemakluman sejak awal terhadap pemberi layanan/produk yang kurang tepat, juga menjadi kontribusi maraknya tindak penipuan. Menjadi konsumen yang "cerewet" untuk mendapatkan layanan terbaik dan juga membuat pemberi layanan meningkatkan  kualitas pelayanan, bukan merupakan hal buruk. 


2.  Mental “High Expectation” dan “Low Cost is Everything” 
     Ini hanya istilah saya untuk menggambarkan satu bentuk kesalahan yang justru dianggap lumrah/wajar oleh sebagian masyarakat. Harapan yang berlebihan, mengagungkan produk luar negeri (padahal sebagian besar produk itu adalah karya negeri kita yang dijual ke mereka dalam bentuk setengah jadi, kemudian dijual kembali mereka ke negeri kita dengan harga tinggi). Cintailah produk dalam negeri, saya yakin tingkat kekecewaan akan menurun. 
     Mental “harga murah barang bagus/barang bagus harga murah” ini perlu dihapus dari muka bumi seperti halnya penjajahan. Logika dari mana, dengan biaya produksi murah bisa menghasilkan barang yang berkualitas tinggi? Itu hanya ada di negeri dongeng saja. 
     Jadi, agar menjadi konsumen cerdas,  milikilah mental dewasa yang sehat. Memiliki mental dewasa yang sehat itu dengan mengubah salah satu mindset tentang "berharap barang bagus dengan harga murah."  

Hal di atas harus kita "selesaikan" terlebih dahulu dalam diri kita. Mari kita menjadi konsumen yang dewasa. Karena konsumen yang dewasa akan membuat produsen/pemberi layanan tidak bertindak gegabah, misal melakukan penipuan. 
Mungkin yang tengah membaca tulisan ini berpikir saya cenderung membela produsen/pemberi layanan. Tidak sama sekali. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di pikiran saya sebagai konsumen. Pengalaman bertemu orang/teman bahkan keluarga yang marah dan merasa ditipu. Kenyataannya semua jelas tidak sedikitpun ada unsur penipuan (ternyata mereka tidak membaca syarat dan ketentuan yang ditetapkan pemberi layanan/produsen), membuat saya menyampaikan hal ini. 
Kita sudah terlalu sering meneriaki orang lain secara negatif hanya sekadar untuk menutupi bahwa diri kita sendiri tidak lebih baik dari mereka. Atau malah lebih buruk? Konsumen yang cerdas, juga akan membuat produsen/pemberi layanan memberikan yang terbaik. Setidaknya mereka akan jujur atas layanan yang diberikan. Apabila mereka tetap melakukan penipuan, maka konsumen cerdas juga tidak akan menjadi korbannya. 
Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi? Jika bukan saat ini kita mulai, kapan lagi? Mari kita mulai menjadi konsumen yang lebih dewasa dan cerdas saat ini. Sekarang! 

***




#harkonas2018 #KonsumenCerdasDiEraDigital #KonsumenCerdas #harkonas.id 

0 Comments