Doa tulus melangit sempurna
Ketakutan menjelang tawaf, sama sekali tidak terjadi. Justru aku merasakan begitu mudah dan lancar. Tidak sedikitpun terdesak, seperti jalan santai di taman. Sedikitpun tidak tersentuh orang lain. Allah di pusaran ka’bah aku meniada ya sungguh meniada. Setiap mendekati rukun Yamani, TL menyampaikan untuk berdoa secara pribadi. Saat itulah doa-doa kuderas untuk orang-orang terkasih, juga yang “menitip” doa. Sebuah kejadian menyentak kesadaranku, ketika berusaha mendoakan seseorang tetapi tidak satupun doa terucap bahkan dalam gerak hatipun tidak bisa.

Awalnya aku mengira sekedar lelah atau bernafsu, ternyata ketika aku tawaf lagi (termasuk waktu tawaf sunnah) bahkan dalam sholat fardhu tepat saat aku menatap Ka’bah, tetap saja tidak bisa kuderas doa untuk wajah itu. Sekuat apapun aku berusaha berdoa, semakin aku tidak bisa berdoa untuk orang yang selama ini kuanggap baik dan selalu berdoa untukku. Allah membuka semua dengan cara terindah. Munculnya wajah-wajah baik yang selama ini tidak sering komunikasi, muncul pula wajah-wajah mereka yang pernah menerima uluran tanganku (lintasan-lintasan ingatan, seperti sebuah film yang diputar ulang, wajah tulus mereka, senyum mereka) justru tepat saat di depan Ka’bah, secara otomatis lisan dan batinku menderas doa terbaik untuk mereka begitu sempurna. 

Bahkan saat aku bisa menyentuh pintu Ka’bah, sholat di Hijr Ismail dengan segala kelapangan yang diberikanNya, pun yang muncul adalah mereka yang tersenyum tulus, seolah akupun tersenyum kepada mereka. Aku merasakan ketulusan doa mereka memantul sempurna. Aku seperti menemukan sebuah formula dalam berdoa untuk sesama agar saling memantul sempurna. “Mari kita saling mendoakan”, dengan diikuti ketulusan tentunya.

Kemudahan demi kemudahan selama menjalankan ibadah di tanah suci, teramat indah untuk bisa kutulis. Dalam diamku di masjidil haram, aku merenung sambil menatap Ka’bah. Aku kemudian menangis sendiri, aku yakin bahwa segala kemudahan dari Allah ini juga berkat doa-doa sunyi yang dilantunkan mereka yang secara tulus menerima uluran tanganku. Mereka yang mendoakan aku hanya karenaNya, mereka yang menerima uluranku juga dengan ikhlas. Ya, ternyata bukan hanya memberi yang harus ikhlas, menerima pun harus ikhlas. 

Mungkinkah di situ letak keberkahan? Ketika apa yang kita berikan secara tulus bermanfaat bagi orang lain dan orang itu bahagia atas apa yang mereka terima. Aku menemukan sebuah makna begitu dalam di jiwaku dari kata “terima kasih”. Hanya orang yang telah “menerima” akan bisa “mengasih/kasih/asih.”
Aku seperti menemukan kumpulan potongan puzzle dan saat di tanah suci itu, aku diberiNya kemampuan menyusun semua kepingan itu menjadi sempurna. Semua rasa negative begitu saja meniada.

Inikah pencairan deposito tidak berjangkaku? Tentu saja bukan hanya saat aku di tanah suci ini, Engkau telah mencairkan deposito tidak berjangkaku setiap saat, setiap waktu saat aku membutuhkan. Dan aku tau setiap saat aku selalu membutuhkanMu, ya Allah.
**
            Perjalanan ini perjalananku, tentu sangat berbeda dengan perjalanan yang lain. Perjalanan cinta ini semoga bukan sekadar perjalanan biasa. Setidaknya ada pencapaian lebih baik setelahnya. Aku ingat apa yang disampaikan Cak Nun: “Jangan sampai surga memalingkan dirimu dari Allah.” Maha suci Engkau ya Allah, sudah benarkah perjalanan cintaku ini? Benarkah aku hanya menujuMu bukan sekadar menuju Ka’bah dan tanah suciMu? 
Perjalanan ini, perjalanan ruhani tiada akhir. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dariMu, biarkan aku selalu rindu tanah suci, agar selalu bisa mendamba cintaMu, semakin memahami sisi kehambaan dan kemanusiaanku. Pun, sampaikan aku kembali ke Mekkah, Madina hingga Al Aqsha. 
Aku pun terus beharap Engkau memanggilku untuk menjalankan ibadah haji. 
Aamiin.

Lagu Maher Zein masih samar kudengar...
InsyaAllah...InsyaAllah...


Semoga kelak aku bisa menuliskan perjalanan Cinta ini lebih bagus lagi, agar bisa membawa manfaat.

Unta yang tersenyum dan fokus lihat kamera, bikin heboh teman-teman perjalnanku. 

0 Comments