Untuk peristiwa Jumat, 20 Juli 2018

Aku tidak tau harus mengatakan apa saat mendadak, perempuan itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca pada pagi yang begitu hangat di kotaku, Surabaya. 
"Semoga Allah selalu membuatmu bahagia dunia akhirat, karena kau selalu membahagiakan orang lain, Nak." 
Mendadak seperti ada semua balok besar mengganjal tenggorokanku. Merasa sesak yang bukan sesak seperti dipahami orang lain. Aku mengaamiinkan doa terindah pagi ini sambil sekuat daya menyembunyikan air mata dari hadapan perempuan itu. Melangitkan -aamiin- dengan gemuruh dada yang tidak biasa. 
.....

Ya, pagi masih teramat sejuk tapi begitu hangat. Jumat masih menyuguhkan aroma wanginya di pagi yang ramum.
"Aku capek, mungkin hari ini tidak bisa berbagi masakan ke orang-orang. Tapi...bagaimana jika ini Jumat terakhirku? Ah, semangat saja, aku ke pasar beli bahan masakan. Masak sekenanya." batinku berdialog.

Kakiku melangkah ke pasar tradisional di dekat tempat tinggalku. Niat awal membeli ikan Pe (Pari) ---orang Surabaya menyebutnya Iwak Pe-- sebagai bahan utama masakan. Sedikit merapal doa semoga ikan ini ada di pasar, karena beberapa hari sebelumnya tidak tampak dijual pedagang ikan. Kenapa juga ikan Pe? Karena sudah sejak seminggu yang lalu beberapa orang sekitarku sering sekali membincang masakan berbahan ikan Pe ini, tapi tidak pernah nampak keberadaannya di pasar.



Dan, benar adanya. Pagi ini, aku tidak mendapati Ikan Pe hampir di semua pedagang ikan yang ada di pasar. Hanya satu orang pedagang yang dikerumuni ibu-ibu banyak sekali. Artinya aku harus antri untuk dilayani. Hal terburuknya bisa saja pembeli yang antri itu juga membeli ikan Pe yang tidak seberapa banyak itu. Alhamdulillah, ternyata antrian berlalu cepat dan ibu-ibu yang di depanku ternyata membeli ikan Pe juga. Entah mengapa aku berharap ibu ini tidak membeli ikan Pe yang tinggal 7 iris itu semuanya. Tiba-tiba terdengar dialog dengan pedagangnya.
"Iwak Pe larang yo, ngambil akeh berarti yo larang." kata penjualnya.
"Larang piro?"
"Suwidak sekilo."
"Halah...kelarangen. Perangpuluh wae, oleh ta gak."
Pikiranku langsung kecut ketika ibu itu menyebut sekilo. Ya, jika si ibu ini ambil ikan Pe sekilo, artinya  bisa saja aku tidak kebagian, kalau pun tersisa mungkin hanya satu atau dua potong/iris saja. Tentu itu tidak akan cukup untuk makan bersama, lebih dari 10 orang. Sungguh aku tidak mikir harga ikan yang memang lagi mahal itu.
"Gak tuku yowes, aku kulake larang. Gak oleh seket, kok dituku petangpuluh. Ojo dituku." gerutu penjualnya. Dan ternyata si ibu ini tetap saja memilih ikan Pe sambil nggrundel juga.
"Wes aku tuko loro ae, larang kok." aku lihat ibu itu melemparkan 2 potongan ikan Pe yang ukuran besar-besar. Aku kira akan lebih dari setengah kilo atau bahkan hampir sekilo.
Setelah ditimbang penjual bilang harganya dengan keras;
"Petangpuluh loro, gak oleh kurang."
"Halah, petangpuluh wae."
"Wes tak kandani ket mau, kulake larang. Gak sido yowes."
Sambil terus bicara si ibu mengeluarkan uang 50 ribuan dan tetap ngotot minta kembalian 10 ribu yang juga tetap diberi kembalian 8 ribu oleh penjualnya. Aku tersenyum menyaksikan mereka, kemudian segera memilih ikan Pe yang tersisa.
"Larang yo, Mbak."
"Iya, Pak. Saya perlu kok, saya mau ambil sekilo."
"Iyo, iku sik cukup sekilo, gede-gede potonganne."
Aku segera memilih 4 potong ikan Pe, menyerahkan untuk ditimbang.
"Seadanya itu saja, Pak."
"MasyaAllah pas sekilo, Mbak. Gawe apa kok beli banyak, biasanya kan sepotong kalau beli. Sering beli kan bandeng tanpa duri disini to?"
Aku tersenyum ternyata si bapak ini mengingatku karena memang lebih sering beli ikan bandeng tanpa duri di tempatnya. Kalau ikan lain aku lebih memilih membeli ke penjual lain, karena memang ada alasan tersendiri untuk itu.
"Buat makan bersama sepulang sholat Jumat, Pak." jawabku jujur saja karena memang untuk itu. Lagian beliau tadi sudah heran ketika aku beli cukup banyak, karena memang terbiasa beli sedikit.
"Oh gitu, wes tak potong rongewu yo,"
"Alhamdulillah, makasih, Pak, semoga berkah rezekinya..."
"Aamiin, dungo dinungo yo, Mbak."
"Inggih, Pak, makasih sekali lagi."

lodeh Pe
Hatiku gerimis sebenarnya. Orang-orang sederhana ini begitu mudah melakukan kebaikan setelah tau tujuan yang aku sampaikan. Bagaimana tadi begitu "kekeh" tidak mau memberi potongan kepada ibu yang sebelumnya, tapi kepadaku? Tanpa kuminta, walaupun itu hanya dua ribu rupiah, tapi aku tau bagi mereka keuntungan dua ribu itu sudah cukup besar dan dengan senang membaginya kepadaku yang artinya untuk orang-orang yang nantinya makan masakanku. Beliau telah menjadi bagian yang ikut menyenangkan orang lain hari ini.

Sambil mencari bahan lain, entah mengapa hari ini hatiku merasa ringan banget. Walaupun hanya sekadar ikan Pe, tapi Insya Allah orang-orang akan senang. Karena beberapa hari ini mereka berharap bisa menikmati masakan itu.

Seringkali bahagia itu hadir dengan cara-cara sederhana, merekahkan hati sehingga hadir perasaan yang tidak mudah diterjemahkan dalam kalimat. Namun, ada satu kunci yang cukup berarti untuk bisa selalu menemukan kebahagiaan di setiap waktu dari hal-hal sederhana di sekitar kita. Apakah itu? Kita harus selesai dengan diri kita sendiri terlebih dahulu. Artinya, kita telah menerima diri kita dengan rasa syukur yang sempurna. Menerima dengan tersnyum menjalaninya dengan bahagia segala yang ditakdirkan. Saat itulah, Insya Allah hidup kita akan selalu dikerumuni rasa bahagia.
Suka duka dalam hidup itu wajar adanya. Jika kita bisa mengatakan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, mengapa kita tidak bisa berpikir hal sama saat duka melanda?
Ya, kita hanya butuh kesabaran dengan terus menjalani hidup ini.

Dan, kembali kepada ikan Pe, pada hal-hal kecil yang berharap selalu bisa kulakukan untuk membuat orang lain tersenyum. Doa terindah yang kuterima hari ini berasal dari perempuan indah dalam hidupku, Bunda. 💕


#tulisan ini kuselesaikan dalam kondisi "memaksakan diri" karena kondisi kesehatan yang memang mengharuskan aku rehat.



0 Comments