"Ven, tinggalkan suamiku, menghindarlah. Tolong jagalah keutuhan rumah tanggaku." pinta Rasti, wanita cantik istri teman baikku itu tepat saat bertemu aku di sebuah toko buku. 
Karena terkejut, aku hanya terdiam berupaya melihat bayanganku di bola matanya. Sayang sekali, teramat sulit aku menemukan bayanganku di bola matanya, karena mendadak ada air mata yang menggenang tanpa permisi. 

Ada sebuah benda tumpul seperti menghantam dadaku.Telak, memar di dalam, bahkan mungkin berdarah. 
"Tolonglah, Ven." ucapnya lagi dengan mengatupkan kedua tangan di dadanya sebagai tanda permohonan yang sangat, seolah aku telah melakukan apa yang ada di pikirannya. Merebut suaminya!

Kurekahkan senyumku, kuberi sebuah tepukan di bahunya. Wajahnya tak bisa kuterjemahkan kegundahannya. 
"Ras, aku tidak pernah mendekati suamimu. Bagaimana kau minta aku menjauhinya? Aku sibuk dengan pekerjaanku, dengan aktifitas sosialku telah menyita banyak waktuku. Bagaimana aku punya waktu untuk mengganggu rumah tangggamu? Bagaimana bisa kau simpulkan bahwa aku melakukan semua itu?" 

Mata redupnya tiba-tiba menyala-nyala. Aku memilih meredupkan pandanganku tepat ke titik matanya. 
"Aku tidak percaya, kamu tidak ada hubungan dengan suamiku. Suamiku selalu berkisah tentangmu, membanggakan dirimu di depanku. Seolah aku ini tidak ada artinya lagi di depannya. Rumah tanggaku diambang kehancuran, Ven, jadi pergilah dari suamiku." Mata yang menyala-nyala tadi mengerjab, air matanya jatuh. 
"Bisa kita duduk berdua di kafe itu, Ras?" 
Tanpa mengiyakan, perempuan yang tengah gundah ini mengikuti langkahku menuju sebuah kafe di luar toko buku. 

Kupersilakan dia duduk, dan kuminta dia memesan minuman atau makanan yang dia suka. Dia berseikeras tidak mau makan, hanya memesan minuman. Aku memesan juice avocado tanpa gula dan terhenyak begitu tau minuman apa yang dia pesan. 


Aku tau, kami hidup di kota metropolitan, dan kafe ini menyajikan minuman apa saja, termasuk minuman dengan sentuhan alkohol. Aku pun banyak memiliki teman yang suka bersinggungan dengan minuman beralkohol walaupun dalam kadar ringan. 
"Sejak kapan, kau minum minuman itu, Ras?" tanyaku. 
"Sejak suamiku tergoda olehmu." jawabnya tanpa melihatku dan tentu tanpa peduli dengan rasaku. 
Mungkin baginya aku adalah perempuan seperti di pikirannya. 
"Ras, aku ini perempuan sepertimu. Jangan berpikir karena statusku yang single, lalu dengan gampangnya kamu menuduhku seperti itu. Ok, mungkin di luaran sana, banyak sekali perempuan single yang tingkahnya seperti kau katakan, tapi tidak semua, Ras. Apapun pembelaanku, aku tau kau tetap tidak percaya padaku." 
"Memang, aku tidak akan pernah percaya padamu, sejak suamiku membanggakanmu." 
"Lalu kau menemuiku sekadar untuk bilang semua itu tadi?" 
"Aku sejak lama mencarimu, dan Tuhan berpihak padaku hari ini dengan bertemu kamu di sini. Aku melihatmu masuk ke Mall ini dan kuikuti."
Dia menyecap minumannya, dan aku mual melihatnya. 

"Sekalipun aku tidak pernah bertemu secara pribadi dengan suamimu, Ras. Memang kami pernah bertemu dalam sebuah seminar, dimana aku menjadi pembicara dan suamimu sebagai peserta. Aku pun tidak mengenalinya, jika dia tidak mengingatkan bahwa dirinya adalah teman kuliahku. Selesai acara dia menyapaku, kami bertukar kabar, tidak lebih. Bahkan aku tidak meminta nomer HP suamimu, tapi suami mungkin mencatat nomer HPku ketika moderator memberikan kontakku kepada peserta. Dia WA aku, berkabar lagi tapi kubalas sekenanya. Dia WA lagi mengatakan aku sombong, karena tidak berkenan berbincang dengannya. Setelah dia bilang begitu aku tidak pernah membalas WAnya. Atas saran seorang teman, aku blokir nomer suamimu. Kemudian ada nomer baru yang suka menerorku, mengatakan aku sombong dan sebagainya. Aku blokir lagi, karena aku tidak mau terganggu dengan energy negatif. Sudah itu saja, bahkan aku tidak berminat mencari media sosial suamimu. Lalu dimana letaknya bahwa aku telah mengganggu keluargamu, Ras?" 
"Aku tidak percaya padamu, Ven!"
"Itu hakmu, Ras. Aku yakin kamu lebih percaya kepada suamimu, dan memang harus begitu. Tapi sedikit gunakan logikamu secara waras, Ras. Kalau tidak percaya, ini HPku kamu cek saja apa isinya. Adakah yang berhubungan dengan suamimu? Aku tidak membuka HPku sama sekali sejak kita bertemu tadi, artinya aku tidak menyembunyikan apapun dengan mendelete sesuatu." 
Kusodorkan dua HPku, yang satu untuk urusan pekerjaan dan satunya urusan pribadi. Aku buka passwordnya agar dia bisa membuka dengan cepat. 

Dia menerima dan cepat mengecek HPku. Aku tahu dia sangat cemburu, nyala wajahnya sangat negatif bertebaran di depanku. Aku tiba-tiba merasa bercermin darimu, Ras. Tuhan mengajariku tentang banyak hal tepat saat kau membuka alat komunikasiku. Tentang semuanya Ras, tentang semuanya. 
Aku melihat kau mengernyitkan dahi, entah apa yang sedang kau baca atau lihat. 
"Maaf, jika kau membaca sesuatu yang tidak nyaman." ucapku. 
"Siapa RAN?" 
"Singkatan nama putra putriku, anak dari laki-laki yang mencintaiku dan aku tengah belajar mencintainya. Maaf kalau obrolan kami kurang sopan bagimu. Jadi, silakan kau menilaiku, dimana letaknya aku telah mengganggu rumah tanggamu?" 
"Tapi suamiku sangat mengagumimu. Aku tau kalian pernah dekat waktu kuliah."
"Ras, apa salah kami punya masa lalu? Bukankah dia suamimu sekarang? Bukankah kau juga boleh mengagumi orang lain? Begitu juga suamimu?"
"Tadi suamiku sangat keterlaluan. Sedikit ada yang salah dia selalu mengatakan tentangmu. Seolah dia menyesal telah menikah denganku."
"Kau sudah pernah bicara dengan suamimu tentang hal ini?"
"Tidak perlu, hubungan kami memburuk sejak dia menyebut-nyebut namamu. Aku malas, dia jadi lebih sering hangout dengan teman-temannya. Dia tidak pernah lagi mengajakku makan malam sejak itu. Dia malah keluar hanya dengan Dion, putra kami." 
"Kau yang salah, Ras. Bukan dengan cara seperti itu kau menyelesaikan masalah ini. Masalahnya sebenarnya bukan di suamimu deh Ras, tapi pada dirimu."
"Apa kau bilang?"
 Nyala kemarahan berhamburan lagi. Ah, wanita ini sungguh entah. 
"Iya Ras, suamimu membanggakan aku di depanmu, mungkin salah. Tapi kau cemburu buta, dan kau sendiri yang membuat rumah tanggamu beku."
"Kau jangan menasehati aku, Ven! Kau tau apa dengan rumah tanggaku!"
"Ok, aku memang tidak tau, Ras. Lalu kenapa kau tetap berpikir aku perusak dan melibatkan aku disini?"

Wanita di depanku ini menatap wajahku dengan nyala mata penuh kemarahan. Aku tau dia tidak punya argumen dan aku hanya menunggu kegilaan apa yang akan dilakukan sedetik kemudian. 
Byuur! Pyar! 
Dugaanku tepat. Dia mengangkat gelas minumnya dan menyiramkan ke mukaku. Kaca mataku buram dan aroma alkohol membuatku mual. 

"Perempuan hina!" teriaknya menarik kerudungku yang telah basah. 
Aku tersudut, tapi tidak ada niat melawan. Aku tengah menghadapi kemarahan, kubiarkan saja. 
Serentak semua yang ada di kafe itu menoleh dan sebagian besar beranjak mendekati kami. Aku berdiri melepaskan diri dan mencegah orang-orang itu bertindak. 
"Tolong ini urusan pribadi kami," ucapku. 
Orang-orang itu kembali duduk dengan pandangan yang entah. Rasti masih mencekeram lenganku. 
"Apa maumu, Ras?"
"Tinggalkan suamiku! JIka tidak akan kubunuh kau!" teriaknya.

Kembali semua mata memandang kami. Aku tahu mereka jijik melihatku atas ucapan Rasti. 
Aku merasakan sakit di lenganku dan masih berusaha melepaskan diri. Mendadak sebuah tangan kekar mencengkeram tangan Rasti dan membuatku terbebas darinya. 

"Lepaskan Venus, atau kupatahkan tangamu!" suara itu menenangkanku.

Aku bernapas lega, Bashkara datang tepat waktu. Kami memang janjian akan membelikan buku untuk hadiah ulang tahun putranya.

"Huh! lepaskan tanganku! Didik perempuanmu itu agar tidak mengganggu suamiku! Atau dia juga merebutmu dari istrimu?" teriak Rasti di depan mata Bhaskara. 

"Venus tidak pernah mengganggu suamimu! Dia tidak pernah merebut aku dari istriku! Didik dirimu agar suamimu tidak membanggakan perempuan lain! Aku kenal suamimu, dan ingatlah perempuan tidak hanya perlu cantik fisiknya tapi juga otaknya! Tidak hanya indah wajahnya, tapi juga akhlaknya. Suamimu merindukan wanita seperti itu!" cerca Bhaskara. 

Aku menyentuh bahu Bhaskara agar melepaskan Rasti. Laki-laki itu masih terbawa emosi, dia mendengus dan sesaat kemudian mendorong tubuh Rasti ke tempat duduk. Perempuan itu kelihatan semakin marah tapi tidak berkata apapun. Sedetik kemudian dia melesat pergi secara kasar tanpa bilang apapun. 

"Ras..?" ucapku berusaha mengejarnya. 
"Sudahlah, dia perlu waktu untuk menyadari kesalahannya. Biarkan saja, kalau dia mengganggumu lagi, bilang padaku dan aku akan menemui suaminya agar mendidik istrinya." cegah Bashkara menarik lenganku yang masih sakit karena ulah Rasti.

"Jangan Bhas, aku tidak mau berhubungan dengan mereka." 
"Apa kau pikir aku juga suka? Sejak tahu model suaminya dan ternyata istrinya seperti tadi, aku pun enggan berurusan dengan mereka." 
Aku diam, Bhaskara juga diam untuk beberapa saat.

"Apa dosaku sebagai perempuan single, Bhas? Mengapa mereka selalu menyudutkan diriku? Padahal aku tengah membekali diriku agar menjadi perempuan baik, calon istri dan ibu yang benar. Aku tidak pernah berpikir seperti yang dia tuduhkan. Bahkan demi menjaga mereka aku justru memblokir nomer suaminya. Perempuan seperti aku ini banyak, Bhas, tapi tidak dilihat sama sekali, karena lebih banyak yang tindakannya seperti tuduhannya tadi. Pernahkah mereka berpikir dari sisiku?"
"Sudahlah, kapasitas seseorang itu berbeda. Katanya yang waras ngalah :D, ya sudah kamu masih waras, kan?" ucap Bahskara dengan senyumnya yang damai. 

Aku berusaha tersenyum, tapi kepalaku masih dipenuhi pertanyaan. Bhaskara tahu aku masih berpikir. 
"Sudahlah, Ven. Kita tidak bisa menuntut orang lain menerima apa yang kita inginkan, tapi kita yang harus lebih lapang menerima keberadaan orang lain dengan segala lebih kurangnya. tingkatkah kualitas bijaknya ya hehehe." senyum renyah Bhaskara justru mengingatkan aku pada senyum putranya yang selalu memanggilku dengan sebutan "Momy". Aku pun tersenyum.

(Aku, Kita dan Dia)

#untuk perempuan seperti Venus, tetaplah menjadi benar dan baik serta terus berbuat baik, walaupun kebaikanmu selalu dinggap seperti angin lalu. Kebaikan itu, selalu menjadi deposito tidak berjangka yang selalu siap dicairkan kapanpun dan dimanapun.

0 Comments