Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru 
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku 
Sebagai prasasti terima kasihku, tuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan 
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan 
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jahasa....

(sepertinya terakhir kalinya aku menyanyikan lagu ini saat masih seragam putih biru)

Hari ini, aku mengingat beliau yang kukenal saat menapak di Sekolah Dasar . Aku tidak masuk TK seperti kebanyakan teman-teman lain. Karena di desa kami, tidak ada yang namanya Taman Kanak-kanak. Biasanya, saat usia 7 tahun maka anak-anak akan masuk SD atau MI.

Dulu, aku selalu menangis ketika diberitahu bahwa untuk bisa sekolah harus bisa memegang telinga kiri dengan tangan kanan melalui atas kepala. Jika tidak bisa maka, tidak boleh sekolah. Entah, mengapa aku sangat percaya dengan cerita itu dan selalu memangis, mengadu kepada kakek nenekku kalau aku mau sekolah.

"Iya nanti sekolah, memang masih kecil tidak boleh sekolah." itu kalimat penghiburan yang selalu kudengar dari beliau berdua.



Ketika tanganku sudah bisa melakukan apa yang seperti diceritakan , tentu aku luar biasa senangnya, karena aku akan sekolah.
Apakah aku diajari menulis sebelum sekolah? Tidak sama sekali. Kakek nenekku adalah petani tapi beliau berdua bisa membaca dan menulis. Beliau tidak sama dengan masyarakat kebanyakan seusia beliau. Tapi aku kecil sama sekali tidak pernah diajari menulis sebelum waktuku sekolah.
Rasanya saat itu aku juga tidak kenal huruf dan baru mengenal semua saat aku masuk kelas 1 SD.

Aku masih ingat semua guru yang mengajar  di SDN Dungus Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik itu, antara lain.

  1. Bapak Bapak Koesnadi. Beliau adalah Kepala SDN Dungus saat aku menempuh pendidikan di sana. Beliau mengajar bahasa Indonesia dan bahasa Daerah (Jawa). Beliaulah yang mengajariku mahir menulis aksara Jawa (tapi sekarang tidak mahir lagi :( ) Ada kenangan bersama beliau berupa hukuman "cubit kecil" iya...dicubit tapi dengan kecil banget itu, kan lebih sakit daripada dicubit dengan cubitan lebih besar. Kenapa aku harus menerima hukuman itu? Antara lucu dan takut. Semua terjadi karena aku berlarian dengan teman-teman, lalu... "Brak" tubuh kecilku menabrak beliau (perut beliau yang gendut) lalu aku terpental jatuh. Saat itu tidak kurasakan sakitnya jatuh terpental, tapi rasa takut akan kemarahan beliau lebih mengkhawatirkan. Setelah aku berdiri aku dihukum dengan cubit kecil itu di lenganku. Maafkan aku, Pak. Aku kecil memang suka berlarian. 
  2. Ibu Sumbarti. Beliau wali kelas satu. Beliaulah orang yang pertama kali mengenalkan aku huruf dan angka. Perempuan yang begitu lembut dan sabar. Beliaulah yang mengenalkan aku huruf demi huruf, membantu tanganku menuliskannya dengan penuh kesabaran. Aku sama sekali tidak pernah mendengar beliau memarahi kami terlebih padaku yang selalu menurut dan berusaha keras agar bisa segera menulis. Suatu ketika aku mendapat PR untuk menulis, ya karena belum bisa menulis aku menggunakan penggaris untuk menulis, jadinya? Tulisanku kotak-kotak semua. Apakah beliau marah atau menghukumku? Tidak sama sekali. Beliaulah guru yang selalu membenahi pita rambutku yang kedodoran. Beliau juga tidak pernah marah, jika aku selalu bungkam tidak mau bersuara saat pelajaran menyanyi. Beliau selalu memuji karena setiap akan pulang aku selalu bisa menjawab pertanyaan agar bisa keluar kelas paling awal. 
  3. Ibu Siti Zaenab dan Bapak Mustaqim . Beliau berdua adalah guru agama, dari mereka berdua aku mengenal huruf hijaiyah. Dan saat masuk sekolah aku baru mulai mengaji kepada guru ngaji di desa. Keduanya sangat keras untuk hafalan bacaan dalam sholat juga surat pendek. Terima kasih, Bapak Ibu...semuanya Insya Allah menjadi amal jariyahmu. 
  4. Ibu Srinatun. Beliau guru yang cantik, berperawakan tinggi langsing dengan kulit kuning bersih. Rambut panjang sepinggang sering dikepang rapi. Sosok beliau adalah salah satu motivasiku untuk bisa menjadi guru waktu itu. Bayangan idealku waktu kecil seorang guru itu bernampilan seperti bu Sri. Walaupun Bu Sri tidak sempat mengajarku, karena belaiu mengajar kelas VI sedangkan waktu itu aku masih kelas dua beliau dipindahkan ke sekolah lain. Tapi sosok beliau selalu kuingat. Guru yang cantik dan murah senyum. Senang banget kalau beliau tersenyum padaku. 
  5. Bapak Purwanto Jasmani. Beliau adalah guru termuda di sekolahku waktu itu. Sepertinya beliau itu dulu mendapat beasiswa Ikatan Dinas yang harus mengabdi di SDN Dungus. Beliau tinggal di rumah Kepala Desa (kebetulan Kades Dungus adalah adik nenekku) . Aku lebih awal mengenal beliau saat aku kelas satu itu. Akhirnya beliau menjadi guruku. Beliau mengajar keterampilan dan mengajak kami membuat berbagai macam kerajinan tangan. Tapi sebenarnya beliau adalah guru IPA dan Pramuka. Jika mengajar selalu menyenangkan, kami diajak cerita dan bermain. 
  6. Ibu Siti Aminah. Beliau juga cantik dan guru matematika. Tetapi beliau tidak lama di sekolahku karena dipindahkan ke sekolah lain. 
  7. Bapak Wujud. Beliau adalah guru matematika yang juga pernah mengajar Bunda. Bisa dibilang beliaulah guru matematika favoritku. Agak kejam tapi baik hati. Jika PR kami salah pasti dijewer tapi setelahnya kami akan diajari lagi sampai mengerti. Mungkin cara beliau inilah yang membuatku menyukai matematika dan segala bentuk hitungan.  
  8. Bapak Ruswandi.Beliau guru IPA dan PMP (sekarang PPKN atau malah sudah dihapus ya?) Kalau ngasih tugas banyaak banget dan suka memberi ulangan harian secara mendadak. Tiba-tiba keluarkan kertas, tutup semua buku dan jawab soal di papan tulis. Kenangan terbaik dari beliau adalah (beliau mengajar kelas IV sampai VI) beliau mengakui kalau tulisanku bagus dan suka menyuruh menulis catatan di papan tulis untuk ditulis teman-teman sekelasku. Bisa dikatakan, beliaulah guru yang membuatku berani tampil di depan kelas, berani mewakili teman yang lain. Beliau juga yang membimbingku jika ada cerdas cermat di tingkat kecamatan untuk palajaran IPA. 
Beliau semua adalah guruku saat berada di SDN Dungus. Semua yang membersamaiku hingga lulus, adalah sosok yang selalu bangga terhadap semua prestasiku. Bahkan saat SMP pun beliau masih memperhatikan aku. Memberikan semangat untuk tetap bisa sekolah walapun semua tahu bahwa kondisi ekonomi keluargaku, cukup memupus harapan mereka agar aku bisa terus sekolah. 

Bapak, Ibu, terima kasih atas semua yang kau ajarkan padaku waktu itu. Tempaan yang kau berikan padaku, tidak membuatku kecil hati atau menyerah. Justru aku menjadi lebih kuat untuk meraih apa yang kucitakan. 

Engkaulah yang mengantarku menjadi seperti saat ini. 
Terima kasih...baktimu abadi. 

Surabaya, 25 November 2019 
Muridmu yang baru bisa naik sepeda saat kelas VI karena banyak ancaman tidak akan bisa sekolah ke SMP yang jauh jika tidak bisa naik sepeda. 

Akhirnya, aku bisa menyelesaikan SMPku, SMA, kuliah strata satu bahkan ke pascasarjana. Semua berawal dari tanganmu. 

0 Comments