Saat pelaksanaan KI Bojonegoro tahun 2019, aku belum sempat mendaftar (belum tahu) karena memang masih baru menjadi relawan di Kelas Inspirasi. Sepanjang perjalanan mengikuti KI, aku mendengar apa dan bagaimana para relawan yang mengikuti KIBO 2019. Mendengar semua itu, menguatkan niatku untuk bisa menjadi bagian dari KIBojonegoro selanjutnya.

Perjalanan disambut Bencana 

Ketika pengumunan dan aku dinyatakan lolos menjadi relawan pengajar, hal pertama yang harus kulakukan adalah mengetahui moda transportasi ke Bojonegoro. Termasuk tentunya tempat menginap yang harus kudapatkan sebelumnya. Mengapa harus mencari penginapan? 
Seminggu sebelum acara Hari Inspirasi GTS ini, di kantor punya gawe cukup besar yaitu bimtek tenaga K3 Konstruksi selama 5 hari. Karena alasan itu, aku tidak berani bertaruh masalah kesehatanku untuk istirahat bersama rewalan lainnya. Aku memilih istirahat di penginapan, agar esok hari kondisiku lebih baik. 
Aku mendapatkan tiket kereta dan penginapan jauh sebelum hari inspirasi. Semua dalam genggaman kan? Aku tidak perlu beranjak untuk mendapatkan dan menyelesaikan semuanya. 

Ini kali pertama aku menginjakkan kakiku di bumi Bojonegoro sendirian, tanpa ada yang kukenal (kecuali teman-teman di group GTS) juga tanpa di antar (ditemani). Kepanikan terjadi karena sehari sebelum aku berangkat, kota Bojonegoro dilanda bencana berupa angin puting beliung yang memporak porandakan kota. 
Berita itu begitu "menyeramkan" membuat beberapa orang terdekatku menghubungiku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja karena mengira aku sudah berada di Bojonegoro. Mereka bernfas lega ketika mengetahui bahwa aku belum berangkat ke Bojonegoro. Kekhawatiran itu mendera siapapun karena dari media yang terbaca adalah bagaimana porak porandanya kota Bojonegoro saat itu. 

Benar adanya, ketika kereta yang aku tumpangi sampai stasiun Bojonegoro dan saat aku berada di pintu keluar. Pandangan pertama yang aku lihat adalah pepohonan yang tumbang dan telah "dievakuasi". Bahkan selama perjalanan menuju hotel yang kuputuskan menggunakan bentor (dekat sih dari stasiun--kalau mau jalan kaki sebenarnya tidak terlalu jauh), masih kulihat beberapa alat berat masih berada di jalan utama kota. Petugas masih melakukan pemotongan pohon, menyingkirkan dari jalanan. Kondisi arus lalulintas tampaknya juga banyak dialihkan dan petugas banyak berjaga di jalanan kota Bojonegoro. 

Sesampai di hotel, aku segera bersih diri istirahat karena memang telah kuniatkan untuk itu setelah aktifitas penuh selama 5 hari sebelumnya. Aku memutuskan makan malam di sekitaran tempat menginap dan menemukan restoran yang cukup baik untuk dinikmati menunya. Bahkan jika suatu saat aku kembali ke kota ini, mungkin aku akan kembali makan di sini. 
Namun, baru kusadari bahwa ini Bojonegoro bukan Surabaya ketika pada pukul 20.30 aku mendengar ada tamu resto memesan makanan yang mungkin butuh waktu untuk membuatnya, ditolak oleh pelayan. Kuedarkan pandangan, dan ternyata restoran ini akan segera tutup pada pukul 21. Makanya aku sedikit heran, ketika melihat pemain musik pada "ngringkesi" peralatan ketika makananku baru saja tersaji. Ternyata jam kerja mereka juga hanya sampai pukul 20.30. 



Saat mengikuti upacara bendera sekaligus peringatan hari Pahlawan 

Pagi indah dan drama mangkirnya relawan pengajar 

Masih cukup pagi, aku bersiap dan sarapan buah yang selalu kusiapkan dalam setiap perjalanan. Melihat group rombel dan semua pada memberi semangat dan saling bertanya posisi.

Aku dijemput oleh panitia untuk menuju lokasi sekolah yang sebenarnya juga tidak terlalu jauh dari tempatku menginap.
"Lho mbak tidak bawa helm?" tanyaku begitu si mbak cantik (Mbak Elsa namanya) berada tepat di depanku yang menunggu di depan penginapan.
"Wah saya lupa bawa, Mbak. Gimana ini?"
Ingatanku justru pada helm proyek yang ada dalam ranselku.
"Hmm...ini gak terlalu jauh kan?" tanyaku.
"Dekat sih mbak sebenarnya, tapi di perempatan depan itu dijaga banyak polisi, gak mungkin kalau tidak pakai helm."
"Kalau makai help proyek, gak apa-apa kayaknya. Aku ada helm proyek di ransel yang mau kupakai untuk ngajar nanti. Pakai itu aja ya?"
"Baiklah dicoba saja, Mbak."
"Gakpapa, lagian kalau sampai kena tilang nanti kujelaskan kenapa aku sampai mengenakan helm proyek ini, sudah gampang."

Segera kami menuju sekolah, dan memang benar polisi berjajar di sekitaran perempatan dekat hotel yang menuju ke SMKN 1. Alhamdulillah...aman sampai sekolah.
Relawan lain sudah bersiap dengan baik di lokasi persiapan upacara. Aku langsung menuju lokasi itu dan bergabung bersama mereka. Satu orang relawan aku telah mengenalnya karena pernah satu rombongan belajar di KI Gresik pada minggu sebelumnya.

Upacara dilakukan sekaligus peringatan hari Pahlawan yang dirayakan dengan luar biasa oleh adik-adik di skolah ini. Ada banyak atraksi budaya bahkan di tempat inipun aku melihat adik-adik begitu mahir memainkan gamelan. Kami disambut dengan baik oleh pihak sekolah.

Menjelang kita masuk ruang kelas, fasilitator menyampaikan bahwa ada relawan yang mendadak menyampaikan tidak bisa hadir pada detik-detik kritis menjelang pelaksanaan hari inspirasi. Kami semua geram, marah pada kondisi ini, karena walaupun kami semua ini relawan yang tidak dibayar bukan berarti kami bisa seenaknya membatalkan apa yang telah direncanakan dan sepakati.

Jika bukan karena hal sangat penting terkait nyawa kami atau nyawa orang lain yang tidak memungkinkan kami mundur dari apa yang telah kami ucapkan, rasanya sangat tidak layak orang yang menyebut diri sebagai RELAWAN mundur begitu saja pada detik-detik akhir seharusnya dia melaksanakan apa yang sudah disepakati dengan berbekal kata "MAAF"

"Blacklist saja dia dari KIBO!"
"Blacktist juga dari KI kalau bisa laporkan ke seluruh KI Indonesia untuk tidak lagi menerima dia dan relawan model seperti ini."
"Tenang-tenang, kita tidak ada gunanya membahas dia. Iya sih kalau bisa memang diblacklist saja orang seperti itu. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana kita handle sekian kelas dengan jumlah relawan pengajar yang ada."
"Iya bagaimana ini? Apa harus dikurangi kelasnya? karena tidak efektif jika kita mengubah waktu pertemuan."
"Mungkin bisa digabung? Masalahnya jumlah siswanya perkelas itu banyak, sangat tidak mungkin tempatnya jika digabung kan?"
"Pakai aula, kita minta izin kepala sekolah. Rasanya kita tetap bisa menggabung dua kelas. Tapi siapa yang harus handle kelas gabungan ini?"

Akhirnya kami sepakati bahwa dua kelas digabung menjadi satu dan harus berada di aula untuk bertemu mereka. Aku dan seorang relawan yang telah kukenal sebelumnya di KI Gresik mendapat bagian untuk handle kelas gabungan itu, bergantian dalam dua sesi. Untuk sesi lainnya tetap mengajar di kelas yang telah ditentukan.

Kondisi yang serba mendadak inilah yang membuat orang-orang seperti kami harus cepat tanggap dan cekatan dalam menyelesaikan persoalan tanpa perlu lagi marah kepada mereka yang secara nyata menunjukkan dimana kualitas dirinya.

Bersama sebagian relawan pengajar GTS KI Bojonegoro


Adik-adik SMKN 1 Bojonegoro Aku padamu...

Aku diberitahu tentang adanya GTS KIBo ini oleh relawan lain yang tergabung dalam kelas inspirasi sebelumnya yang telah kuikuti. Memperhatikan semuanya, sedikit ada "ragu" karena ini akan berhadapan dengan anak-anak SMA, karena sudah cukup lama aku tidak "berhadapan" dengan orang muda seusia mereka. Terakhir kali berhadapan dengan anak muda ketika diminta mengisi acara di sebuah kampus 3 tahun silam.

Walaupun jika boleh kukatakan.... sejujurnya aku mungkin lebih mudah menghadapi anak-anak seusia mereka daripada menghadapi anak-anak seusia SD. Usia mereka sudah cukup matang untuk diajak "bicara" dan "berfikir". Memberikan motivasi kepada mereka (seharusnya) lebih mudah karena ya itu tadi, mereka sudah remaja yang menjelang dewasa.

Metode penyampaian materi juga bisa dengan mudah kulakukan. Bisa diskusi bahkan brain storming pun tidak akan ada masalah jika kulakukan. Aku akan lebih mudah menceritakan kisah "unikku" semasa SMA kepada mereka sebagai salah satu point cukup penting yang mengantarku bisa berada di depan mereka saat itu.

Ya, kali pertama menatap wajah mereka...jelas wajah bengalku semasa SMA yang muncul. Aku tersenyum untuk semua kisah indah itu. Aku tidak perlu malu mengakui betapa banyak "kenakalan" yang kulakukan saat itu. Wajah mereka adalah cerminan diriku masa itu. Terlebih aku berada di kelas yang semua muridnya perempuan berkerudung. Sama persis dengan posisiku waktu itu yang sekolah di pesantren dengan murid terpisah antara laki-laki dan perempuan. Aku menjadi sangat antusias ketika memberi contoh kepada mereka, tentang "kebengalanku" namun dengan menekankan pada point penting yang membuatku "menjadi" seperti saat ini.

Bagaimana aku bisa "marah" ketika melihat ada yang super cuek dengan kehadiranku? Toh itu adalah wajahku semasa SMA juga saat aku kurang bisa mencerna apa yang disampaikan oleh guru.
Aku memilih pindah tempat duduk ke belakang, diam menulis puisi, menggambar, atau bahkan tidur. Jika ada pilihan lain tentu aku memilih untuk keluar kelas, membaca mading, ke perpustakaan dan tidak kembali ke kelas. Aku sangat tahu, bahwa akhir dari semua perbuatanku itu adalah ruang konseling.

Aku tidak hanya menyampaikan kebengalan semasa SMA, tapi aku juga sampaikan tentang tanggungjawabku sebagai anak terhadap orang tua, juga terhadap sekolah (guru) yang mendidikku. Menjadi diri sendiri, mencitai apa yang dikerjakan, bertanggungjawab, membuat moment penting dalam hidup, memiliki keahlian khusus, akan membentuk pridadi terbaik yang Insya Allah bisa menghadapi apapun perkembangan zaman ini.

Kepada remaja seusia mereka, tentu aku tidak perlu terlalu banyak menyampaikan apa dan bagaimana frofesiku seperti saat aku mengahdapi anak-anak SD. Aku lebih banyak menyampaikan tentang prosesku untuk menjadi seperti saat (profesi)
ini .

"Punyai impian yang tinggi, berusahalah untuk meraihnya dan tunggulah Tuhan akan menjawab semua mimpimu itu dengan cara paling sempurna dan elegan." itu pesan ketika menyampaikan bagaimana Tuhan menjawa doa dan impianku dengan caraNya yang paling sempurna.

"Tuhan memang tidak mentakdirkan Kak Ima menjadi seorang arsitek, tidak sama sekali. Tapi lihatlah sekarang dunia kerja kak Ima adalah dunia kosntruksi, artinya apa? Dunia kerja kak Ima tidak jauh berbeda dari impian itu. Terlebih ketika kak Ima menjadi Kepala kantor bahkan posisi kak Ima saat ini sebagai Ketua umum asosiasi perusahaan konstruksi Jawa Timur membuat kak Ima malah menjadi komandannya para arsitek. Ketika kak Ima menyadari semua itu, betapa indahnya Tuhan memeluk dan mewujudkan mimpi kita, hanya rasa syukur yang kak Ima punya. Lalu bagaimana cara kita mensyukuri nikmat itu?"

Ada banyak jawaban kudengar dari mereka, ada yang terdiam dengan mata berkaca. Aku memperhatikan mereka dengan baik, karena berjalan mengitari mereka.

"Tapi ingat satu hal, kita tidak pernah tahu kapan Tuhan akan menjawab dan mengabulkan doa dan impian kita. Kak Ima telah melewati proses "berdarah" itu, dengan terus bekerja keras dan cerdas tentunya untuk meraih semuanya. Apakah semua mudah? Tidak sama sekali, kak Ima pernah dipandang sebelah mata karena kak Ima seorang muslimah dengan kerudung yang kak Ima kenakan. Apakah harus menyerah? Jika saat itu menyerah, tentu saat ini kak Ima tidak akan berada di sini di depan adik-adik. Proses itulah yang kita lalui untuk menjadi apapun kalian nantinya. Teruslah berbuat baik untuk sesama, karena sekali lagi kita tidak pernah tahu jalan mana yang diberikan Tuhan akan mengantar kita pada apa yang selalu kita harapkan."

Wajah-wajah yang awalnya menunduk, cuek, mengantuk perlahan mendongak memandangku. Terlebih ketika aku menyampaikan semua dari sisi aku sebagai perempuan dewasa. Sedikit menyinggung masalah perempuan yang aku yakin akan sangat sensitif untuk usia mereka, pasti membuat mereka berfikir. Aku mengambil satu contoh lagi betapa proses perjalananku hingga berada pada kondisi saat ini, telah kulalui dengan berderai air mata luka.

Ketika aku membagikan "kunci sukses" kepada mereka, mata kejora terpancar indah seperti ketika aku bertemu adik-adik SD selama ikut KI. Mata indah mereka lebih punya makna. Jika kepada anak-anak SD aku bertanya tentang cita-cita mereka dan menghubungkan dengan kunci yang mereka pegang, kepada mereka aku lebih bebas menyampaikan sesuatu yang membuat mereka merenung.

Aku meminta mereka membaca dengan keras tulisan apa yang tergantung di kunci mereka dan yang lain kuminta untuk mendengarkan dengan baik.
Setelahnya, aku merangkum semua dalam kalimat-kalimat yang membuat beberapa diantaranya menyuguhkan genangan air mata, terlebih ketika...
"Orang-orang yang mengatakan dirinya sukses, kak Ima yakin adalah orang-orang yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Kalian sudah melakukan itu?"

Ah, adik-adik yang manis semoga semanis itu pula masa depan kalian. Semanis itu pula wajah Indonesia di masa depan, karena tangan kalianlah yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Aku padamu adik-adik...

Bersama sebagian siswi SMKN 1 Bojonegoro sesaat setelah penyampaian sedikit hal "motivasi" kepada mereka. Melihat mereka, menyempurna segala kenangan semasa seragam putih abu-abu. Jejak itulah yang setidaknya mengantarku menjadi. 
"SMK, BISA!!!" 


Aku mendapat "SURAT CINTA" begitu banyak dari adik-adik. Terimakasih untuk bahasa cinta kalian yang justru membuatku merasa punya arti. Terimakasih atas ketulusan yang kalian semai lewat tulisan singkat ini, yang telah membuatku untuk tidak pernah lelah berbagi kebaikan kecil pada semesta. 

Menjadi diri sendiri adalah hal terbaik yang harus kita lakukan dengan penuh kesadaran. Kamu boleh mengagumi orang lain, tapi sejatinya semua telah ada dalam dirimu. Hanya saja, apakah kau mau mengakui segala kekuatan dan potensi indah dalam dirimu? 

Aku memutuskan tidak ikut refleksi yang diadakan di sekolah lain, karena memang harus segera kembali ke Surabaya (tiket sudah terpesan) karena esok pagi ada agenda penting urusan pekerjaan yang harus kusiapkan malam sebelumnya. 

Bojonegoro, sungguh aku tidak pernah takut untuk kembali menghirup aroma cintamu yang membuatku punya arti. Terima kasih untuk semuanya...terima kasih telah mengajariku banyak hal tentang kehidupan ini. 

#SetahunIkutKelasInspirasi 


0 Comments