#KelasInspirasiRembang #SetahunIkutkelasInpirasi #SDNLabuhanSluke #SlukeRembang #Rembang #relawanpengajar
KELAS INSPIRASI REMBANG
Kelas inspirasi Rembang ini agak istiwewa, karena setelah Bali aku belum pernah ikut Kelas Inspirasi di provinsi lain. Tulisan tentang KI Rembang ini akan menjadi tulisan terakhir di #SetahunIkutKelasInpirasi yang telah kuniatkan bisa menyelesaikan dan menjadi rekam memory yang semoga punya arti. Rekam jejakku yang semoga selalu mengingatkan aku untuk tidak pernah lelah berbagi kebaikan ke semesta ini.
Apakah setelah ini, aku tidak menuliskan jejak perjalananku menjadi relawan pengajar di kelas Inspirasi? Insya Allah akan tetap menulis jejak perjalanan sebagai relawan KI selanjutnya, namun bukan dengan #setahunikutkelasinpirasi lagi. Setahun perjalananku pertamakali pada 27 January 2019 hingga 11 January 2020.
Lebih istimewa lagi, karena hari inspirasinya adalah tanggal 11 January. Sebuah tanggal istimewa dalam hidupku, tentang sebuah jiwa baik yang menyadarkan diriku akan arti mencintai, menerima dan melepaskan. Bahkan perjalanan menuju Rembang, adalah tepat saat orang-orang menyebut sebagai hari lahirku. 10 dan 11 January, memang dekat, sedekat hati kami untuk bisa menerima dengan lapang segala kehendakNya. Al fatihah untuk 11 yang kurindukan...
Perjalanan Menuju Rembang
Aku memutuskan membawa kendaraan ditemani dua orang sepupu. Kami berangkat dari Surabaya selepas sholat Jumat. Tidak ada kendala selama perjalanan. Hujan yang memang sudah memasuki waktunya untuk turun setiap saat tentu menjadi salah satu alasan kami untuk lebih waspada menyiapkan segala kemungkinan. Namun, alhamdulillah selama perjalanan semua baik-baik saja. Sempat istirahat di area masuk kota Tuban dari wilayah Bojonegoro. Kami memang memilih rute tengah, melewati Lamongan dan tidak lewat Gresik utara.
Kami sampai di lokasi briefing (titik kumpul relawan) sesaat setelah adzan maghrib. Masih banyak relawan yang belum menuju lokasi, ya ada beberapa rombongan belajar yang saling menunggu relawan lain untuk bersama menuju lokasi.
Hawa dingin langsung menyergap. Hal pertama yang harus kulakukan adalah makan. Kami sudah cukup lapar dan sejak awal memutuskan ingin makan setelah sampai Sluke Rembang.
Tidak jauh dari lokasi titik kumpul, kami menyeberangi jalan raya Sluke. Ada sebuah lapangan dan di pinggirnya ada banyak penjual makanan. Sepanjang mata memandang, dari beberapa penjual makanan yang ada....kenapa semuanya menjual AYAM GEPREK? Tampaknya ayam geprek masih menjadi trend makanan di Sluke. Kalau di Surabaya, sudah mulai tergeser dengan menu kekinian yang bagiku juga tambah bikin makan kurang selera. Ada juga nasi dan mie goreng, tapi aku dan kedua sepupuku sama-sama tertawa melihatnya.
"Gak meyakinkan."
"Iya, daripada gak kemakan nanti."
"Benar kita tidak pernah makan nasi goreng di sini, lebih aman beli ayam geprek. Kalaupun berbeda dari tempat kita...mungkin gak jauh beda."
"Tetap ayam." tawa kami pecah, tepat saat kami akan memasuki salah atu warung yang tulisannya Ayam Geprek.
Alhamdulillah...lidah kami tetap bisa merasakan itu adalah menu ayam geprek yang tidak jauh berbeda dari yang biasa kami makan di Surabaya atau Gresik. Tapi...dengan harga sedikit lebih murah tentunya.
Keseruan Menuju Lokasi dan Listrik Padam
Perjalanan menuju lokasi (SDN LABUHAN 2) salah satu fasilitator bersama dalam mobilku dan relawan lainnya. Ternyata katanya lokasi kami adalah lokasi tertinggi dan terjauh. Hari sudah cukup malam saat kami menuju lokasi, mobilku harus balik arah (arah ke surabaya). Lokasinya hampir keluar Sluke.
"Ada gerbang desa atau petunjuk jalannya?" tanyaku kepada fasilitator.
"Habis pabrik... (aku lupa apa hahaha) dan jalannya ada di seberangnya." jawabnya.
"Gak ada gerbang?"
"Tidak ada."
"Ya sudah nanti kamu turun ya, tanya dulu saja masuk ke Labuhan." pintaku kepada sepupuku yang juga driver mobil kami.
Ternyata benar, kami hanya sedikit kebablasan. Setelah putar balik, kami kembali tertawa bersama begitu melihat tulisan kecil petunjuk arah masuk desa Labuhan yang ada di bawah pohon sangat besar. Mungkin kalau siang hari, pohon itulah yang menjadi petunjuk utama untuk masuk desa Labuhan.
Jalan yang kami lalui, adalah jalan desa dan ingatanku benar-benar pada perjalanan malam hari saat kelas inpirasi Pamekasan beberapa waktu lalu. Dari inofrmasi yang ada, lokasi sekolah ini juga di dataran tinggi.
"Jangan-jangan kayak di Sana Laok," kataku pada sepupu.
"Wah, semoga tidak hahaha. Kayaknya tidak ini jalannya dicor walaupun sama sempitnya kayak di Sana laok." Sepupu ini juga yang menemaniku di kelas inpirasi Pameksasan dan menikmati keindahan menuju lokasi dalam gelap yang sama dengan saat ini.
"Masih jauh, Mbak?" tanyaku ke fasilitator.
"Iya, lumayan, kita paling atas. Sebelum kita ada rombel lain dan kita akan melewati mereka." jelasnya.
Jalanan berkelok, menanjak. Area pegunungan mulai terasa dan mendadak tersadar kenapa sepanjang jalan ini gelap?
"Kayaknya lampu mati." kata fasilitator.
"What? amazing...tapi bersyukur medannya tidak seperti Sana Laok. Ini jalannya bagus banget." kataku.
"Tapi kalau lampu mati biasanya lama. Nanti beli lilin saja yang belum naik."
Entah berapa tikungan kami lalui. Kami juga telah melewati rombel yang lebih awal titiknya daripada rombel kami. Kemudian, sebuah tanjakan lurus, dan di depan kami sudah ditunggu oleh fasilitator yang datang lebih awal. Karena sepanjang perjalanan gelap, tentu aku tidak bisa melihat apapun pemandangan sekitar (kanan kiri jalan yang kami lewati). Dalam gulita kami turun mengambil perelengkapan yang harus dibawa untuk istirahat.
Akhirnya benar, kami menggunakan lilin sebagai penerangan.
"Kamar mandinya banyak dan airnya bagus, tapi tidak ada lampunya. Jadi kalaupun lampu nyala, kamar mandinya tetap gelap." keterangan fasilitator bikin kami terdiam lagi.
Ya, akhirnya sebelum lampu menyala kami ke kamar mandinya saling tunggu sambil bawa lilin atau menggunakan penerangan di HP.
Lumayan menyeramkan sebenarnya, karena di luar angin berembus sangat kencang memainkan dedaunan di depan sekolah. Tidak ada tanda-tanda angin ini reda, atau mungkin malah akan turun hujan? Entahlah yang pasti saat itu...suhu udara yang kurasakan cukup dingin bagiku yang biasa hidup di kota Surabaya. Ini kelas inpirasi pertamaku tidur di sekolah dan bisa bawa selimut bahkan bantal hehehe. Soalnya mobilnya kosong hanya kami bertiga.
Ketika semua relawan berkumpul kami masih harus melakukan persiapan untuk hari inspirasi besok pagi. Cukup lelah sebenarnya dan kembali apa yang terjadi di Sana Laok juga terjadi di Labuhan ini. Kami mempersiapkan semua sampai waktu menjelang pagi. Aku memutuskan untuk istirahat terlebih dulu, karena tidak berani bertaruh kondisiku akan baik-baik saja jika memaksakan diri. Adik-adik relawan yang lebih muda menyelesaikan apa yang harus diselesaikan saat aku telah memutuskan untuk istirahat.
Semoga kami dipertemukan kembali di medan juang yang lain dalam kondisi yang lebih baik dan selalu sehat bahagia. Semoga selalu menjadi jiwa-jiwa indah yang tak pernah lelah berbagi kebaikan untuk semesta. Pada mereka aku belajar banyak hal tentang hiudp ini, terlebih tentang semangat mereka. Orang-orang muda yang menularkan energi muda mereka.
Drama Pagiku yang indah di Labuhan
Hawa dingin, membuat aku bahkan relawan lain lebih sering ke kamar mandi. Masalahnya kamar mandi yang gelap dan berada di samping gedung sekolah itu bikin sedikit merinding hehehe... Benar lho, agak bagaimana begitu rasanya. Tapi aku "memutuskan" untuk berani ke kamar mandi sendiri dengan berbekal penerangan dari HP. Sakjane yo wedi...
Pagi itu, selepas adzan subuh aku ke kamar mandi. Saat aku berada di kamar mandi aku mendengar teriakan orang semacam "marah-marah" dan aku merasakan orang tersebut masuk lingkungan sekolah. Jalan masuknya ada di sebelah kamar mandi yang saat itu aku berada di dalam kamar mandi. Sedangkan pintu kamar mandi ini, sekali hentak saja bisa berantakan. Sepertinya orang yang sedang ramai itu adalah orang berkebutuhan khusus, Ketika menyadari itu aku malah semakin khawatir. Namun harus segera keluar dari kamar mandi untuk sholat subuh. Saat sudah keluar , aku melihat orang tersebut "berbincang" dengan relawan laki-laki. Lega rasanya, ternyata beliau baik-baik saja.
Bahkan selepas subuh, aku sempat disalaminya dengan tentu aku tak mengerti bahasanya. Aku hanya mengangguk tersenyum. Saat aku mengambil media di mobil, beliau ini ada di dekat mobilku dan iktu memperhatikan segala yang kulakukan. Ketika aku tawari bahkan berikan sebuah apel, bersikeras menolak. Ya, buah ini selalu menemaniku dalam setiap perjalan karena memang paling mudah dibawa dan aman dikonsumsi kapanpun.
Setelah semua bersih diri, yang harus kami lakukan adalah mengembalikan kelas seperti sedia kala karena akan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Semua barang bawaan relawan dimasukkan ke ruang guru. Saat berbenah ini, ada salah satu relawan yang "kehilangan" barangnya, dan selama aku mengikuti KI, hal ini belum pernah terjadi. Apapun, semoga yang hilang itu digantiNya dengan segala kebaikan.
Kujumpai mata kejora di SDN Labuhan dalam Setahun Ikut Kelas Inspirasi
Pagi itu kami disambut kepala sekolah dan para guru sesaat setelah kami sarapan. Anak-anak mulai datang satu persatu. Aku selalu suka mengamati wajah-wajah segar mereka di pagi yang dini seperti itu. Melihat wajah mereka yang tersipu saat bertatap mata denganku, adalah sebuah syair indah yang memendarkan energy bahagia. Pandang kami akan pecah dalam senyum yang sama. Mata mereka selalu seperti kejora di pagi yang dini.
Setelah acara pembukaan, Alhamdulillah berlangsung dengan baik dan lancar, anak-anak kembali ke kelas dan kami relawan mulai memasuki kelas sesuai jadwal yang kami terima. Sesi awalku masuk kelas V, tentu menjadi hal mudah bagiku karena berada di kelas besar. Memang bagi sebagian relawan kelas V dan VI tidak begitu greget, tapi bagiku aku merasa lebih bisa bicara karena mereka yang sudah menjelang remaja.
Saat kelas inpirasi ini aku berkesempatan mengajar di kedua kelas tersebut, juga di kelas kecil (kelas III dan II). Jika di kelas kecil biasanya kita akan bertemu pertanyaan-pertanyaan "AMAZING" khas dunia anak-anak tapi bisa membungkam kita, diam tidak berdaya hahaha.
Bagaimana, menghadapi anak-anak ini? Aku selalu berusaha menyelam pada dunia mereka, mengikuti cerita mereka dan mengajak mereka bermain dengan tetap pada koridor tersampaikannya apa dan bagaimana profesiku. Mengajak mereka, seolah kita sedang membangun proyek sekolah mereka, adalah salah satu cara agar mereka tetap memperhatikan apa yang kusampaikan. Anak-anak unik, akan menjadi fokus pertama saat masuk kelas. Anak unik ini, bisa saja tipe kinestetik yang luar biasa bisa juga type lain yang tidak kalah indahnya.
Selama setahun menjadi relawan pengajar di Kelas Inspirasi, aku selalu belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya. Senyum yang tulus tanpa menghakimi ketika mereka melakukan "kesalahan" atau ketika mereka berbuat kurang baik terhadap teman-temannya. Rengkuhan yang tulus saat mereka marah karena berebut sesuatu yang menjadi media pembelajaran akan menjadikan mereka merasa berarti dan diperhatikan. Pujian yang baik untuk setiap jawaban yang mereka sampaikan saat kita bertanya, sungguh itu menjadi sangat berarti untuk mereka. Terlebih tentu sangat membantu kelancaran proses kita sebagai relawan pengajar untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Selama ini, aku terbiasa mengajak anak-anak berkumpul mendekat dalam bentuk lingkaran atau menata meja mereka membentuk huruf U. Dengan begini aku lebih bisa melihat mereka secara dekat, secara keseluruhan. Aku bisa memperhatikan gerak gerik mereka dalam satu sudut pandang.
Jika jumlah siswanya cukup banyak, aku memang membiarkan mereka duduk di bangku masing-masing, akulah yang berjalan mengitari mereka membaca/memanggil nama mereka juga cita-cita mereka. Sebisa mungkin aku lansung berinteraksi dengan anak-anak secara dekat.
Ini sesi awalku di kelas V. Biasanya di kelas V atau VI anak-anak tidak terlalu heboh dan lebih memperhatikan apa yang disampaikan oleh relawan pengajar.
Selalu bahagia, karena dalam setiap perjalanan aku menemukan KELUARGA BARU. Mereka semua keluargaku di Labuhan Sluke Rembang.
Keluarga berenergy indah, mengayakan jiwaku. Setiap perjalanan aku selalu memperhatikan semua profesi relawan pengajar. Mengamati bagaimana mereka bekerja, adalah sebuah pengetahuan yang luar biasa. Segala yang berada di luar kebiasaan duniaku, sentiasa menjadi pengaya pengetahuanku. Jika sempat, memang kadang aku mencoba berbincang tentang profesi mereka. Dimanapun itu aku akan selalu mencoba bertanya. Kadang, dari sebuah profesi yang kupikir pekerjaan mereka begitu "indah" ternyata ada banyak luka yang kadang tak elok diceritakan.
Begitulah aku belajar memahami cara pandang orang lain sesuai profesi mereka yang kuketahui sesaat lewat Kelas Inspirasi ini. Aku pernah terdiam, bagaimana tindakan dokter ketika terjadi bencana. Aku juga terpesona pada pekerjaan seorang apoteker dan tentu profesi lain yang tak kalah menariknya. Kadang terbersit juga, profesi mereka asyik banget ya...hehehe
Di Rembang ini, aku kali pertama satu rombel dengan MUA yaitu mbak Christin dari Jakarta. Aku tertegun sesaat ketika melihat beliau mulai mengaplikasikan berbagai make up di wajahnya, ternyata benar-benar butuh keahlian untuk bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda. Keahlian yang tidak semua orang bisa melakukannya. Bahkan aku, secara jujur selama ini belum pernah bisa melakukan "make up" untuk diriku sendiri secara baik dan benar.
Selama ini kadang aku bertemu sebuah profesi yang sama denganku yaitu berkecimpung dengan dunia kosntruksi. Tentu perbincangan kami akan cepat melesat kemana-mana, terlebih pada mereka yang berada di proyek lapangan. Atau bertemu profesi yang banyak menggunakan jasa kami para pengusaha konstruksi. Perbincangan kami tentunya tentang aturan yang ada, tentang perubahan aturan setiap saat yang membuat pengusaha harus selalu memiliki jantung yang kuat dalam menghadapinya. Pernah aku berbicang hebat tentang Undang-Undang jasa konstruksi yang memang sampai saat aku menulis ini belum ada aturan pendukung pelaksanaannya.
Aku merasakan selama setahun ini, mendapat banyak manfaat dari mengikuti kelas Inspirasi. Tidak hanya teman baru yang bisa menjadi layaknya saudara, bahkan keluarga. Koneksi bisnis yang baru, juga aku dapatkan. Aku bisa dengan mudah mengingat profesi teman-teman relawan jika aku memerlukan sesuatu yang terkait dengan profesi itu. Juga jika ada peluang bisnis yang baik untuk mereka.
Satu hal yang tidak bisa dibasuh-basuh adalah aku semakin memahami arti kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Aku semakin mengerti bagaimana menjadi manusia yang harus memahami jatidiri sebagai manusia. Manusia yang sebenarnya. Semangat untuk terus berbagi kebaikan ke semesta ini, selalu kusegarkan lewat kelas Inpirasi ini dan kegiatan serupa tentunya. Semoga aku masih diberiNya kesempatan untuk melakukan hal baik pada semesta ini dalam ridhoNya semata.
Wajah dan mata yang benar-benar ingin tahu. Ini langkah awal sebagai relawan pengajar untuk bisa menyampaikan dengan baik apa dan bagaimana profesi yang dijalani. Ketertarikan anak-anak di awal kita bertatap muka dengan mereka, akan menentukan apakah kita diperhatikan sepanjang waktu kita mengajar atau kita dicuekin sebuas-buasnya, hahaha.
Sepertinya aku tengah berdialog dengan anak-anak tentang keahlian yang dimiliki orang yang mengenakan helm. Karena setiap orang yang mengenakan helm dengan warna tertentu artinya dia juga memiliki keahlihan terrtentu.
Aku menjelaskan tentang fungsi berbagai macam alat berat yang ada di dunia kerjaku. Biasanya di momen ini anak-anak kutanya apakah mereka mengenal alat-alat berat itu? Ada yang bisa menyebutkan namanya dengan benar ada juga yang bahkan tidak pernah tahu semua itu.
Kenapa miniatur alat berat itu pada terguling? Saat itu aku tengah menjelaskan jika terjadi kecelakaan kerja, yang mengenakan helm warna apa yang pertama kali diminta pertanggung jawaban? Anak-anak memperhatikan dengan baik. Mereka "terkejut" ketika kusampaikan satu persatu siapa yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan kerja. Antusias merespon. Aku suka jika mereka merespon apa yang kusampaikan terlebih karena mereka menganakan helm sesuai warnanya.
Namanya Mauliddin (semoga tidak salah), panggilannya Ulit. Cita-citanya menjadi pelukis.
"Benar nih, Ulit mau jadi pelukis? Memang selama ini suka menggambar juga melukis ya?" tanyaku. Ulit menjawab dengan tegas, "Iya, Bu saya suka melukis." Entah mengapa aku begitu suka dengan caranya menjawab serta gesturnya yang menunjukkan kesungguhan.
"Semoga suatu saat nanti, Bu Ima masih bisa melihat Ulit melakukan pameran lukisan ya. Bu Ima, gurunya Ulit, orang tua Ulit juga desa Labuhan akan bangga punya seorang pelukis hebat seperti Ulit." ucapku padanya. Dia tersenyum indah, binar matanya seperti kejora. Aku mengaamiinkan segala harapnya dalam hati.
Bersama mereka, aku "dipaksa" bergaya seperti itu. "
"Ayo Bu...saranghaeyo, tangannya gini ya..." Duuh..anak-anak ini bikin tertawa lepas saja. Energy kalian memang indah. Di kelas VI ini, hanya ada satu murid perempuan yang begitu manis. Aku suka melihat mata tajamnya yang kejora.
Malu-malu ingin mengenakan helm, dan ketika selesai tersenyum lebar. Sungguh ini sesi terakhir yang bikin sedikit "galau" karena kelas kecil dan jadwalku paling akhir sebelum mereka pulang. Akulah yang memandu mereka untuk menuliskan cita-cita dan ditempel ke pohon cita-cita yang ada di depan kelas. Walaupun tetap antusias tapi energy mereka sudah waktunya pulang hehehe.
Alhamdulillah, acara berjalan dengan baik lancar semua. Kami terutama aku, pulang menuju tempat refleksi dengan buncah bahagia. Sepanjang perjalanan, medan yang semalam kami lewati dalam gelap gulita kini bisa terlihat begitu indah. Kami melihat bangunan masjid yang sangat indah dalam perjalanan pulang ini. Dan, rasanya aku baru menyadari jika di Rembang ini (selama perjalanan) aku sering melihat bangunan masjid dengan desain eksterior yang lumayan memanjakan mata siapapun. Warna yang ditampilkan juga selalu segar dan menarik, agak berbeda dengan masjid yang selama ini kutemui di tempat tinggalku.
Lokasi kami memang mungkin paling jauh dan juga di dataran tinggi. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan pegunungan yang elok. Karena musim hujan, jadi semua menghijau. Ingatanku melayang pada perjalanan Kelas Inspirasi Pamekasan yang medannya masih lebih "seru" dari ini. Mungkin dataran tingginya sama, tapi jalanan yang kami lalui sangat jauh berbeda. Di Labuhan Sluke Rembang ini jalan yang kami lewati sudah dicor bagus (walaupun secara kasat mata --sebagai orang kosntruksi-- aku bisa melihat pengerjaan pengecoran jalan ini masih belum sempurna). Tapi ini sudah sungguh sangat bagus sebagai infrastruktur yang memudahkan masayarakat bermobilisasi.
Jika berada di Sana Laok waktu itu di musim hujan, mungkin pemandangannya juga akan seindah yang kulihat di Labuhan Sluke ini. Keduanya membawa cerita indah yang layak kuceritakan pada semesta.
Sedikit "kekaucauan" kami lakukan (tepatnya yang semobil denganku) setelah melewati tempat refleksi kami masih melajukan mobil menuju pantai terdekat. Benar, awalnya kami kira tersesat ternyata ada jalan yang bisa dilewati mobil hingga mendekat ke pantai. Kami sejenak turun, mengabaikan panggilan fasilitator juga teman-teman satu rombongan. Duuh...maaf ya hehehe, kami sengaja.
Setelah puas menghirup aroma laut, foto-foto dan sempat melihat orang mencari kerang, kami kembali menuju lokasi refleksi. Menjalankan sholat dhuhur, makan siang dengan makanan khas Rembang SATE SREPEH. Wow...ternyata memang khas banget ya. Semoga kelak bisa mengulang menikmati makanan ini di kota Rembang lagi.
Terima kasihku untuk semua relawan panitia lokal, fasilitator yang tentunya telah bekerja keras untuk terselenggaranya KI Rembang ini dengan baik, sehingga kami relawan pengajar dan dokumentator bisa melakukan tugas kami dengan baik. Segala bentuk kekurangan, adalah hal wajar dalam setiap perjalanan yang kelak itu semoga menjadi pengingat untuk bertindak lebih baik lagi.
Ini sate Srepeh itu...
Ada video yang bisa dilihat nih...bagaimana keseruan kami bersama adik-adik...Kembali ke Rembang? InyaAllah aku tidak akan takut untuk kembali menikmati aroma lautmu yang mengenergi....ya aku akan kembali.
#SetahunIkutKelasInpirasi
*terimakasih untuk relawan dokumentator: Prabawati, Nashir, dan Lutfi
0 Comments