Tidak bisa dipungkiri, pandemi covid19 banyak berpengaruh dalam semua sisi kehidupan kita, termasuk aku tentunya. Aku yang bekerja di dunia konstruksi langsung merasakan betapa semua mendadak stagnan, (seolah) tidak bergerak sama sekali. Beberapa kali aku memotret meja kerjaku yang bersih, karena tidak ada transaksi apapun di sana. Ada kesedihan yang tidak mudah disampaikan lewat kata. Aku hanya merasakan semua berubah dengan begitu cepatnya. Tentu kita semua mengalami itu kan? 

Awal ditetapkannya pandemi di Indonesia dengan munculnya orang-orang yang terkena virus ini, banyak kecamuk dalam hatiku. Melihat bagaimana pandemi ini terjadi di luar negeri dengan segala bentuk kengerian yang luar biasa menghadirkan perasaan yang entah juga. Aku rasa perasaan takut yang menderaku dan juga sebagian besar orang lndonesia (bahkan dunia) adalah sangat manusiawi. Kesan awal ditutupi adanya kasus membuatku cukup merasa 'marah' karena adanya ketakutan itu. 

"Bagaimana jika orang yang kutemui itu ternyata ODP, sementara informasi sama sekali tidak kuketahui tentang posisi mereka yang dinyatakan ODP bahkan PDP." 
(Dan istilah-istilah itu sekarang sudah diganti ya...) 

Tidak lama kemudian, aku mendapatkan informasi itu dan membuatku merasa lebih nyaman karena setidaknya lebih bisa berhati-hati dengan orang-orang di sekitar lingkungan yang dinyatakan ada penghuninya posistif covid19. Rasanya saat itu (pertengahan Maret 2020) kondisiku mulai kurang nyaman. Saat itu sejak awal Maret sudah tidak pergi kemanapun, dan mulai mengikuti aturan atau protokol pencegahan covid19. 
Aku mulai merapikan banyak hal di rumah, mempersiapkan diri dengan lebih baik jika terjadi sesuatu pada diriku. Pertengahan Maret ini juga aku menjalani akupunktur karena selalu ada perasaan kurang nyaman yang membuatku tidak bisa istirahat dengan baik. Sesi terapi itu aku "diistirahatkan" dan beberapa titik kekebalan tubuh harus diakupunktur. Rasa ngilu itu hilang begitu saja ketika aku dengan cepat tertidur. 

"Jangan terlalu membaca informasi yang kurang bermanfaat, kurangi media sosial saja karena mbaknya ini khawatir. Makannya tetap dijaga seperti biasanya mbak lakukan dan ditingkatkan, jangan sampai sakit ya. Tekanan darahnya itu dijaga, asupannya jangan yang membuat drop. Situasi yang mulai tidak menentu begini, lebih baik menjaga diri sendiri." 

Banyak yang beliau nasehatkan ketika kusampaikan bahwa aku mendadak merasa sesak ketika berada di dalam kamar mandi. 

"Itu hanya pikiran mbak saja. Lha ini kenyataannya kondisi kesehatan mbak secara umum bagus kan? Jantung dan paru-parunya bagus. Dikelolah pikirannya ya. Jangan sampai stress...tanda-tanda buruk yang muncul secara tiba-tiba itu biasanya dikendalikan oleh pikiran kita, lalu tubuh kita meresponnya. Sharing saja ada masalah apa?" 
"Tidak ada masalah, Mas Dokter, saya baik-baik saja." 
"Mbak tidak bisa berbohong, kondisi mata yang lelah itu saja sudah nunjukkan bahwa mbak sedang tidak baik-baik saja. Terus keluhan yang aneh-aneh tadi, padahal kondisi kesehatan mbak baik. Itu ada yang kurang pas dengan pikiran. Jangan menyugesti diri berlebihan." 
"Tidak kok, saya selalu berusaha untuk menjalani semua secara natural saja. Ada masalah berat ya berusaha secara optimal kalau tidak bisa ya sudah." 
"Termasuk jangan merasa sehat kalau sebenarnya kondisi mbak sakit, atau sebaliknya jangan ada rasa khawatir sakit kalau senyatanya kondisi mbak sehat. Pikiran kita sangat berpengaruh dengan kondisi tubuh kita. Ingat itu ya." 

Ya, saat itu masih banyak yang meremehkan covid19 walaupun berbagai anjuran mulai beredar. Aku semakin resah ketika anak-anak sekolah mulai diliburkan. Banyak perubahan dalam keseharian yang harus kulakukan. Membaca sebanyak-banyaknya informasi tentang covid19 yang menjadikan pengetahuanku bertambah. Seiring itu kondisi di Surabaya bukan semakin baik, namun semakin memburuk. Red Zone, bahkan sempat pada kondisi black zone! 

Kepanikan  

Melihat perkembangan yang ada masyarakat mulai panik. Memborong segala kebutuhan dan tindakan-tindakan lain yang 'meresahkan'. Ada satu hal yang membuatku berbeda dari orang sekitarku adalah caraku memasok makanan. Aku sama sekali tidak memasok makanan, karena pola makan yang kujalani tidak bisa membuatku menyimpan makanan dalam waktu lama terutama buah-buahan dan sayuran. 
Beberapa sayur yang kusimpan masih cukup menjadi persediaan makananku ketika informasi penyebaran covid ada di sekitar daerah tinggalku. Biji-bijian yang memang sudah biasa ada, tinggal kurapikan dan melihat masa kadaluarsanya. Persedian rempah dan empon-empon yang memang selama ini aku terbiasa masak dengan bikin bumbu sendiri tidak terkena imbas meningkatnya harga mereka semua. 

Aku bersyukur, atas apa yang selama ini kujalani. Kebiasaan selalu menyediakan bahan makanan yang cukup di rumah, aku niatkan untuk "njagani" jika mendadak ada tamu dan kebutuhan mendesak lainnya. Kebiasaan ini membuatku tenang saja, ketika semua panik. Bahkan termasuk alat kebersihan yang menjadi persediaanku, hampir semua masih cukup untuk beberapa waktu. 
Sabun kesehatan, desinkfektan dan perangkat lainnya yang sejenis selalu ada, walaupun sebelum pandemi aku lebih suka membersihkan lantai dengan baking soda. Ketika semua panik memborong alat-alat kebersihan yang harganya mendadak juga naik berkali lipat, aku tidak melakukan itu. Aku yakin, jika persediaanku habis tentu aku bisa membelinya nanti. Termasuk ketika beberapa bahan pokok melonjak harganya dan tidak ada di pasaran, aku tetap biasa saja karena pola makanku itu. Beras merah, hitam atau basmati masih cukup untuk kurun waktu cukup lama. Aku makan nasi seminggu 3 kali atau 2 kali. (Baru bulan Juli ini persediaan itu habis) 

Ya, aku mulai panik bukan urusan makanan, tapi hal lain tentang kondisi kesehatan dan mungkin juga mentalku. Aku membersihkan barang-barang yang sekiranya tidak begitu aku butuhkan. Pakaian yang jarang kupakai langsung kusisihkan dan kumasukkan koper. Memilah dan memilih pakaian yang kukenakan menghadapi pandemi. Jaket, blazer kuatur sedemikian rupa untuk dikenakan ketika aku harus ada sesuatu yang harus diselesaikan di luar rumah/kantor. 

Setiap hari aku merasakan ada yang tidak beres dalam tubuhku. Menjelang ramadan aku sakit bersamaan sedang menerima tamu bulanan. Kondisi tubuh sangat lemah, suhu badan selalu tinggi pada saat-saat tertentu, namum ketika dicek suhu badanku normal-normal saja. Beberapa orang mulai khawatir tentang kesehatanku, sedang aku sendiri merasakan khawatir akan mentalku sendiri. 

Parasaan atau kejadian aneh semakin banyak kurasakan pada tubuhku. Sedikit aku keluar rumah, sekadar ke minimart yang tidak lebih dari 200 meter dari rumah, aku merasa wajahku gatal semua sesampainya di rumah. Segera setelah aku mencuci tangan, kaki dan wajah semua lenyap begitu saja.  Demkian juga ketika aku harus ke pasar terutama untuk membeli buah dan sayur, aku merasa khawatir ketika bertemu orang yang sekenanya saja berdempetan antri di penjual sayur. Jika sudah seperti ini, mendadak aku merasakan badanku dingin dan sangat resah. Jika seperti ini, aku segera meninggalkan pasar, segera ganti baju bahkan mandi lagi. Juga perasaan selalu kurang nyaman, setiap melihat staffku membeli makanan online dan paket untuk urusan kantor atau lainnya.  Ya, ada yang tidak beres dengan mentalku. Bersyukurnya aku sering menyadari itu walaupun tidak mudah menghalaunya. Aku sangat ingat apa yang disampaikan mas dokter pada sesi akupunktur itu. "Mbak mengalami psikosomatis." 

Apa itu psikosomatis? 

Menurut Wikipedia, psikosomatis terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah.

Melihat banyak kejadian yang aku alami, tidak salah lagi aku mengalami kondisi ini saat awal pandemi (Maret April Mei) ketika di beberapa wilayah mulai terjadi PSBB. Bahkan dalam kondisi sudah sadar saat ini pun kadang 'serangan' itu masih aku alami. 

"Relaks saja mbak, hindari pergi keluar yang menjadi penyebab perasaan resah bahkan reaksi tubuh yang mendadak sakit. Lebih baik beraktifitas di rumah. Memasak, membaca buku, bersih-bersih, menjahit atau apa saja yang bikin senang. Nonton film atau latihan sesuatu." pesan mas dokter ketika aku kirim WA dan bertanya apakah aku perlu akupunktur lagi. 

Aku berusaha memberikan asupan yang layak bagi tubuhku di tengah pandemi, saat harga berbagai bahan makanan tidak lagi sama seperti sebelumnya. Berusaha konsisten memahami bahasa tubuh dan merasakan banyak hal positif lainnya. Hasilnya? Alhamdulillah berat badanku berada pada posisi terberatnya saat menjelang ramadan yang lalu, hahaha. 

Nah selama ramadan sempat kurang sehat (demam). Duuh... dalam kondisi pandemi kayak gini demam itu adalah sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi pada siang harinya aku memang harus ke Bank dan berurusan dengan ATM untuk mengambil uang tunai yang tidak sedikit. Ya, karena kegiatan ramadan yang butuh uang agak banyak itu tidak bisa diselesaikan dengan transfer saja. Mau tidak mau harus ke Bank (ATM juga tentunya). 
Ini, fakta aku mengalami psikosomatis itu, karena baru dari Bank pikiran negatif itu menyerang kuat. Aku merasakan deman yang sangat. Padahal secara logika jika memang aku tertular virus saat di Bank, bukankah reaksinya juga tidak secepat itu? Masa inkubasi virus adalah 7 sampai 14 hari kan? Lha kenapa sehari saja aku langsung merasa demam tidak karuan? Walaupun kenyataannya suhu tubuhku normal...tentu semua karena pikiranku yang sakit.

Ada beberapa hal yang kutargetkan untuk diriku sendiri selama menjalani ibadah ramadan di tengah pandemi. Tidak bisa ikut taraweh di masjid, tidak bisa ikut kajian-kajian yang biasanya kuikuti di masjid Al Akbar. Namun, ada banyak hal juga yang bisa kuikuti secara online selama ramadan. Semua untuk mengisi pengetahuanku. Supaya jiwaku tidak kering dalam kondisi berbeda ini. 

Alhamdulillah, lebih banyak aku dalam kondisi sehat selama ramadan. Kondisi tekanan darah benar-benar stabil karena sedikitpun tidak ada keluhan yang menunjukkan tekanan darah menurun atau bahkan anemia. Berat badan rasanya juga kembali pada posisi normalnya, setelah sebelum ramadan sempat memiliki berat badan 'terberat' sampai saat ini karena benar-benar hanya berada di rumah tidak ada aktifitas keluar. Ke pasar yang bisasanya kugunakan sebagai alasanku untuk gerak di pagi hari, sekali lagi karena kondisi pandemi, aku jadi enggan ke pasar. Olahraga ringanku dengan berkebun atau senam ringan dalam beberapa waktu setiap harinya. Kadang, melakukan senamnya TRE menjadi pilihan ketika kondisi tubuh memang perlu diistirahatkan. 

Aktifitasku dan caraku menghibur diri selama pandemi 

  
Ada banyak hal yang kulakukan di rumah, tanpa harus beraktifitas di luar. Banyak agenda kegiatan ditunda bahkan dibatalkan. Walaupun dalam kondisi mengalami 'psikosomatis' tapi dalam banyak hal aku masih SADAR dengan sepenuhnya. 
Pandemi ini mengajarkan aku untuk selalu kembali "pulang". Ya, pulang ke dalam diri sendiri, menengok lebih dalam dan dekat dengan diriku sendiri. Mengisi kembali ruang-ruang jiwaku yang mungkin selama ini kubiarkan tidak terisi dengan baik. 

Membaca buku-buku yang selama ini terdiam di tempatnya dan banyak dari mereka yang masih tersegel rapi. Aku merasa dzolim banget melihat mereka, dzolim pada diriku juga (mungkin) pada orang lain. Bagaimana tidak? Buku yang aku beli seharusnya menjadi asupan berkualitas untuk mengisi dan menjaga kewarasan diriku tapi tidak kubaca. Juga...banyak di luar sana orang-orang yang tidak bisa membeli buku untuk dibacanya, sedang aku membiarkan buku-buku bagus itu terdiam tidak dibaca. 

Memasak adalah hal lain caraku melakukan 'meditasi' yang menentramkan jiwaku. Aku bukan seorang ahli dalam urusan memasak, tapi setidaknya aku bukan seorang koki yang buruk untuk urusan makanan yang baik bagi tubuhku. Pola makan yang kujalani memang tidak banyak 'menuntut' aku untuk ahli dalam berbagai masakan, tapi harus lihai memadu padankan berbagai makanan yang baik untuk tubuh. Justru dengan pola makanku yang sekarang, aku menyadari banyak hal sederhana tapi maknanya sangat tidak sederhana. Kesederhanaan yang membawa dampak positif bagi kesehatanku dan juga 'kenangan' semasa kecil.

Ya, aku kembali banyak bertemu dengan pola makan yang dulu diajarkan kakek nenekku, saat kaki kecilku belum berani melangkah jauh. Mengambil yang segar dari alam, menikmatinya dengan suka cita adalah salah satu bentuk menjaga anugerah sehat yang diberikan Allah SWT. Walalupun tentu caraku saat ini jauh berbeda dengan masa kecilku. Terlebih kehidupan di kota metropolitan semacam Surabaya ini, tentu ada banyak penyesuaian harus kulakukan untuk menjaga kondisi sehatku. Berbagai 'kenangan' kurang baik tentang kesehatanku jauh sebelum ini, tentu menjadi pelajaran SANGAT PENTING  bagiku untuk menjaga diri. Apa dan bagaimana asupan itu masuk dalam tubuhku. Saat pandemi ini, tentu aku semakin rajin mematuhi aturan main pola makanku. 

Perubahan yang sangat tampak tentu kegiatan yang selama ini dilakukan secara offline harus dilakukan secara online. Aku menjadi sangat akrab dengan yang namanya webinar (zoom) baik untuk urusan dengan cabang ataupun dengan pimpinan nasional. Kegiatan online itu semakin menggila selepas Ramadan. Mulai dari halal bi halal, regional meeting, rapat pimpinan nasional juga regional, juga meeting online untuk koordinasi sebuah kegiatan bersama. Aku juga mulai mengikuti kegiatan keilmuan secara online. Sekali lagi dalam situasi seperti ini, aku bersyukur karena diberi fasilitas yang memudahkan segala urusan online ini. Tempat yang baik dan sambungan internet yang baik pula. 

Khusus kegiatan keilmuan ini, tentu untuk mengisi ruang-ruang kososng di hati, jiwa dan otakku. Tidak hanya bekerja, tapi juga harus 'mencharge' energy positif lain agar tetap waras dalam situasi seperti ini. Berbagai kondisi harus kuhadapi dengan pengambilan keputusan (berusaha) yang terbaik untuk semua sisi. Setiap saat aku berhadapan dengan situasi yang berubah secara mendadak. Meminimalkan risiko bagi semua pihak, sebisa mungkin kulakukan untuk keputusan-keputusan yang cukup riskan. Maka, aku harus selalu 'waras' untuk menghadapi semuanya dengan cara mengisi diriku dengan hal-hal baik yang baru atau sekadar untuk mengingat kembali apa yang pernah ada. 

Melihat atau membaca berbagai pengetahuan di luar dunia kerjaku (kosntruksi) dan juga keilmuan dasarku (manajemen dan HRD) adalah caraku merawat keseimbangan emosionalku. Mengkonsumsi metode-metode sederhana tentang cara berkebun, memasak, DIY, bahkan marketing. Ya, menyebut marketing aku termasuk orang yang belum cukup cakap untuk urusan keilmuan ini, termasuk melaksanakannya. 

Bertemu komunitas baru, orang-orang baru yang mengenalkan aku sisi lain dari duniaku selama ini. Membuka YouTube dan mencari berbagai informasi yang mengayakan. Ya, media internet telah mengantarku mendapat banyak informasi baik dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan offline seperti saat ini. Pandemi membuatku lebih mudah mengikuti berbagai macam kajian online yang diberikan oleh beliau-beliau yang selama ini jarang bisa kuikuti kajiannya secara langsung. Tentunya, semua itu juga memerlukan kedisiplinan diriku dalam mengikuti semuanya. 

Hal lain yang kulakukan selama pandemi adalah "menghibur diri" sekaligus "memanjakan diri" ketika kejenuhan hadir begitu saja. Selama pandemi, hal yang hampir tidak pernah kulakukan adalah mengenakan sepatu kerja juga batik yang biasa kugunakan untuk menghadiri acara-acara penting karena posisiku sebagai ketua asosiasi tingkat provinsi. 
Sebagai cara menjaga kewarasan, selama pandemi ini justru aku lebih suka mengenakan pakaian resmi dan rapih ketika berada di ruang kerjaku selayaknya sebelum ada pandemi. Hal itu kulakukan untuk sekali lagi menjaga ritme emosional agar tetap baik. 

Jika ada sedikit kesempatan keluar rumah, untuk membeli makanan atau keperluan penting yang tidak bisa diwakilkan (ke Bank atau meeting ke rumah pimpinan) aku selalu mengenakan sepatu kerjaku yang resmi. Walaupun setelahnya aku harus mampir ke minimart atau warung untuk membeli sesuatu, aku senang saja mengenakan pakaian resmiku. Banyak mata melihat aneh, tapi aku justru merasa benar-benar sedang bekerja dan senang saja. hehehe... 

Memang benar, ketika aku menghadirkan kondisi (dalam hal berpakaian) seperti waktu sebelum pandemi, aku merasakan semua baik-baik saja. Aku semakin rajin mengenakan pakaian batik tulisku yang selama ini justru jarang kukenakan. Tentu aku semakin rajin dalam merawatnya. 
Aktifitas lain yang tidak kalah seru adalah praktik resep masakan yang kudapatkan dari YouTube. Aku yang gagap urusan membuat kue dan kawan-kawannya, mencoba menemukan pengalaman yang sangat berharga ini dengan berani mencoba. Tidak hanya kue kering bahkan kue basah dan tradisional juga aku coba membuatnya. Jelas hasilnya masih jauh dari sempurna, namun setidaknya dari semua itu aku belajar semakin menghargai mereka yang mengais rezeki lewat jalur kuliner. 

Kue sederhana dalam artian bahan-bahannya mudah kudapatkan dan setidaknya tubuhku bisa menerima makanan tersebut tanpa ada efek buruk. Walaupun pada akhirnya aku lebih suka membagikan hasil olahanku itu kepada orang lain. (pokoknya kuenya berhasil ya...) Ada kebahagiaan tersendiri ketika hal kecil yang kulakukan itu membuat orang lain senang, terlebih anak-anak. 

Alhamdulillah, walaupun masih sering mengalami 'psikosomatis' dalam kondisi tertentu, saat ini aku sudah lebih mudah untuk cepat sadar ketika kondisi itu menyerangku secara mendadak. Yang pasti semoga covid19 ini segera berlalu. Kita bisa beraktifitas secara lebih baik lagi dengan tetap mengingat untuk selalu menjaga diri, keluarga dan lingkungan kita dalam kondisi bersih. Aamiin. 


Surabaya, 28 Juli 2020 



0 Comments