Sejujurnya, aku tidak pernah membeli buku yang isinya foto (karya fotografi). Beberapa tahun lalu aku menerima hadiah buku dari penulisnya (MATA HATI- A. S. Nugroho) yang isinya foto-foto perjalanan fotografernya. Sepertinya hanya buku itu buku karya fotografi yang kumiliki.

Apakah aku tidak menyukai foto dan karya fotografi?
Justru sebaliknya aku sangat menyukai foto, lukisan, bentuk seni sejenis dan tentu karya fotografi. Namun, sekali lagi aku tidak banyak mengeskpresikan kesukaan itu. Segala keterbatasan yang ada membuatku  mengemas semua kesukaan itu dengan baik, melipatnya secara rapih. Tidak banyak yang tahu tentang kesukaan ini, tapi sebagian lain sangat tahu bahwa "komentarku" tentang hasil foto atau lukisan orang lain, akan diperhatikan oleh pembuat karyanya (fotografer dan pelukis).
Lalu belajar memahami semua itu darimana? Tentu dari membaca, melihat dan mendengar.

Nah, menemukan dan membaca dua buku 'KAMPUNGKU INDONESIA' dan 'SWEET LIGHT'  karya fotografer Italy, Stefano Romano, ternyata mampu memporak porandakan kesukaan yang kusimpan dalam lipatan paling sempurna itu.

Rasanya ingin segera kuambil pensilku untuk melakukan sketsa, mengambil cat dan kuas untuk kugoreskan. Namun, apakah tangan ini masih layak menggoreskan semua, setelah lebih dari dua puluh tahun aku memasungnya?
Ada rindu menyeruak indah untuk berjalan kembali menikmati lorong-lorong sempit perkotaan, luasnya persawahan, terjalnya gunung, dahsyatnya gelombang, riuhnya bandara, terminal dan pelabuhan, dinginnya rumah sakit dan pemakaman. Semua yang selalu kumaknai sebagai "kekuatan". Sekali lagi, apakah kaki, mata dan jiwa ini masih sekuat dan setajam dua puluh tahun yang lalu?

Kau berhasil membuatku menangis, Stef! Menangis untuk diriku sendiri, yang begitu takut keluar ruang monolog yang kuciptakan sendiri atau tercipta sebagai penyesuaian diri. Bahkan ruang yang diciptakan orang-orang yang (katanya) mencintaiku. Semoga setelah ini aku lebih berani untuk 'keluar', berani menegakkan wajahku tanpa rasa takut atau bersalah, apalagi tertekan.

SWEET LIGHT
 Setelah mendapat informasi tentang buku ini, aku segera memesan di dua tempat. Buku ini datang lebih awal dari buku Stef yang lain. Tentu, aku segera membacanya begitu menyelesaikan segala urusan kantor dan keseharian selepas kantor. Tidak memakan waktu lama, karena Sweet Light tidak lebih dari 125 halaman. Terlebih buku ini tentu dilengkapi dengan foto, jadi tulisan yang ada tidak terlalu panjang. Sekali duduk dengan diselingi membalas pesan di HP serta menerima telpon, aku menyelesaikan membaca Sweet Light tidak lebih dari satu koma lima jam.

Namun, apakah menjadi sederhana karena buku ini juga berisi foto? Justru karena isinya foto, dan tulisan yang menyertai setiap foto inilah yang membuatku membutuhkan waktu 'cukup' untuk 'membacanya'. Jika tidak ada fotonya mungkin akan lebih cepat...mungkin ya hehehe.

Eh tapi aku pernah punya buku tebalnya sekitar 110 halaman, baru bisa menyelesaikannya selama 3 bulan! Buku apa? Buku spiritual yang mencabik titik nuraniku dan selalu melemparku ke halaman awal jiwa ada hal yang tidak terpahami. Aneh ya? Begitulah sehingga aku baru bisa menyelesaikan selama tiga bulan, artinya begitulah pemahanan dan perjalanan jiwaku terjadi bersama buku itu. 
Tapi jangan kaget juga, aku menjadi sadis untuk buku yang lain. Membaca judul, sinopsis, membaca bab awal langsung kututup karena aku tahu pasti "begitu endingnya" bahkan alur ceritanya pun sudah kutebak. Maka buku itu tidak pernah kubaca secara baik dan setelah sekian waktu aku membaca bab akhir...benarlah apa yang membuatku menutupnya sejak awal. 

Karena Sweet Light bukan novel yang harus ada alur dan lainnya, aku menikmati buku  ini dengan ritme yang stabil cenderung mendalam. Secara umum aku kurang menyukai buku beralur lambat, jika bukan karya penulis yang kukenal atau aku memang membutuhkan isi dari buku itu. Aku pasti akan menutupnya tanpa pernah menyelesaikan. Mengenai buku ini, setelah memperhatikan fotonya, baru mengunyah tulisan yang menyertainya secara perlahan. Terdiam, menunduk menengok diri atau nemarik nafas dalam-dalam, mengembuskan perlahan. Ada beban, ada perih, ada pemahaman pun sebuah kesadaran akan makna sebuah kebermanfaatan diri.

Buku yang diterbitkan Mizan Pustaka: Kronik Zaman Baru pada tahun 2019 ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
INSPIRASI  "Fotografi bisa menjadi cermin untuk melihat kedalaman tak berhingga diri setiap orang, ketika tak ada lagi jarak antara manusia satu dan manusia lainnya."

AKSI "Kebaikan dan keburukan ada di setiap tempat. Demikian pula gelap dan terang ada di dalam setiap diri manusia. Jadi, mengapa tidak kita bebaskan diri kita untuk mencari keindahan dan cahaya tanpa sekat?"

ASPIRASI "Saya semakin menyadari kesamaan antara umat manusia. Kita tidak berbeda dari orang lain. Orang lain adalah bagian dari apa yang kita lihat dan perubahan yang kita alami."

Dengan tiga bagian itu, bisa diperhatikan bahwa apa yang disampaikan Stefano dalam buku Sweet Light ini, setelah membacanya aku langsung sepakat dengan apa yang disampaikan fotografer Indonesia Adek Berry atas apresiasinya pada bukunya Stef ini: "benang merah Sweet Light adalah KEHIDUPAN...lebih dari sekadar buku fotografi." 

Ya, Sweet Light itu kehidupan, di dalamnya kau akan menemui dirimu pada orang lain, atau bahkan akan menemukan orang lain dalam dirimu?


KAMPUNGKU INDONESIA

Buku yang diterbitkan Mizan tahun 2016 ini, tidak kalah menariknya dengan buku yang aku baca sebelumnya. Buku fotografi (menurutku) memang paling sempurna jika disajikan (dicetak) dengan hard cover, demikian juga dengan karya Stefano ini. Masih dengan editor yang sama dengan Sweet Light, Kampungku Indonesia juga digawangi oleh Yuliani Lupito. Aku selalu suka melihat siapa editor dari buku yang akan kubaca. Bagaimanapun, menurutku lahirnya sebuah buku adalah kerjasama luar biasa antara penulis dan editornya. Editor adalah peran sunyi yang membuat sebuah buku bisa menjadi 'lebih' dari berbagai sisi. Aku merasakan peran editor dalam kedua karya Stef ini sangat bagus.

Kampungku Indonesia diawali dengan pengantar oleh Duta Besar RI untuk Vatikan dan diapresiasi oleh beberapa orang penting lainnya, juga di bagian akhir.

Buku ini menurutku lebih menunjukkan bagaimana Stef mencintai Indonesia. Ada semacam 'perjalanan spirtual' yang dilewati oleh Stef. Perjalanan Stef ini mengingatkan aku pada apa yang dikatakan oleh Rumi:
"It's your road, and yours alone. Others may walk it with you, but no one can't walk it for you."

Demikian juga dengan Stefano. Ya, Stef mungkin "ditemani" banyak orang selama melakukan perjalanan (ke Indonesia dan ke mana pun), namun Stef punya jalan yang harus dilalui sendiri. Tidak akan bisa orang lain menggantikan jalan yang harus dilewati Stef. Mungkin sekadar menemani perjalanan itu. Disinilah aku melihat bahwa dengan mencintai Indonesia, Stef telah menemukan salah satu jalan yang harus dilewati dalam hidupnya.

Buku ini juga terbagi dalam beberapa bab, antara lain:

Kehidupan di Kampung  
"Jika ada cahaya di dalam hatimu, akan kau temukan jalan pulang ke kampung halamanmu." (Rumi)

Bab ini secara manis diawali dengan quote dari Rumi, yang cukup akrab denganku. Dari quote ini saja aku sudah bisa membayangkan awal perjalanan yang ditempuh Stef sebagai penulis buku ini.
Foto yang disuguhkan langsung membawa pada satu dimensi yang 'entah' tapi aku langsung tersenyum. Ingatanku melesat pada puluhan tahun lalu saat aku berlarian dengan kaki telanjangku di pematang sawah. Membenamkan kaki kecilku di lumpur sawah dengan tawa renyah.

Benar-benar protret kehidupan kampung memenuhi bagian ini. Mereka yang tidak pernah punya kisah kehidupan sejenis ini, tentu akan menggelengkan kepala sebagai penolakan atau ketidakpahaman atas kehidupan kampung. Walaupun aku tidak sepenuhnya mengalami apa yang ada di foto karya Stef ini, setidaknya aku pernah merasakan bagaimana menikmati alam dengan suka cita di masa kanak-kanakku. Aku sangat mengenal kebersahajaan kehidupan di kampung yang ada di buku ini justru saat kakiku telah lebih kuat untuk menempuhi perjalanan "cinta" bagi semesta.

Stef memadu keterangan foto yang isinya memang sepenuhnya adalah "telaah jiwanya" dengan quote-quote manis dari orang-orang terkenal lainnya. Ini membuat pembacanya  mendapat pengetahuan baru atau menikmati sebuah pemahaman baru. Atau bisa juga quote inilah yang membuat pembacanya lebih mudah memahami arah pikir yang coba dihadirkan Stef lewat foto yang diabadikannya.

Anak-Anak Kampung 
"Anak-anak tak ubahnya pelaut; ke mana pun mereka memandang, yang terlihat adalah hamparan luas terbuka." (Chistian Bobin) 

Membaca quote yang mengawali bab ini saja kita akan cepat mengerti atau menebak apa yang akan disuguhkan Stef di bab ini. Bagaimana dia memotret anak-anak kampung? Melihat binar mata anak-anak itu seolah begitu saja dengan sangat sempurna memantulkan diriku di sana. Stef benar-benar menangkap mata anak-anak dengan kameranya secara baik. Binar mata mereka yang ditangkap Stef, adalah samudra yang bisa mengisahkan berjuta makna. Senyum anak-anak yang terperangkap dalam kamera Stef pun selayak matahari pagi, begitu renyah. Kita akan langsung menemukan sebuah kehangatan dan juga harapan di senyum mereka.

Cahaya Manis di Kampung 
"Fajar takkan datang tanpa melewati kelam malam." (Kahlil Gibran) 

Di bagian ini aku menemukan kisah nyata tentang "Islam rahmatan lil 'alamiin" dan juga bagaimana Rosulullah SAW mengajarkan kita umatnya, untuk mengedepankan akhlakul karimah. Ternyata di sinilah Stef menemukan CAHAYA  MANIS itu. Perhatikan apa yang disampaikan Stefano ini.

"Saya kira saya tidak akan pernah menjadi seorang muslim jika saya tidak bertemu dengan istri saya dan komunitas orang Indonesia, karena bersama merekalah saya pertama kali melihat ketulusan dan hubungan erat antara apa yang saya baca di dalam teks-teks religius dan perilaku orang beriman."

Terlepas bahwa semua itu memang jalan yang diberikan Tuhan untuk Stef, setidaknya untuk menempuhi jalan itu Stef mengawali dengan menemukan hal-hal logis dengan arah pikirnya.
Foto-foto yang disajikan di sini kembali adalah kumpulan potret sederhana yang sekali lagi tidak sederhana untuk mencernanya. Semoga Stef selalu dalam manisnya iman dan islam, sebagaimana gambar yang ditangkap lewat kameranya yang manis.

Kasih Ibu dan Kisah Orang-Orang Kampung 
"Cinta adalah pesan universal, kita tak lebih dari sebutir atom. Dialah samudra, kita adalah setetes air." (Rumi)

Stefano, memilih jenis fotografi yang lebih banyak bersentuhan dengan manusia. Baginya, anak-anak dan wanita adalah hal indah yang akan mencapai puncak intensitasnya dalam kasih seorang ibu kepada anaknya. Jika Anda mau membaca tulisan beliau tentang ibunya, Anda akan tahu salah satu alasan Stefano menyukai ini.
Benar adanya, hasil tangkapan kamera Stef di bagian ini selalu mengadirkan buncah rasa yang pasti akan dirasakan denyarnya oleh setiap orang yang melihat dan membacanya. Apalagi disamping keterangan tentang foto yang ada tetap ditambah dengan quote manis yang mengayakan jiwa. Bagian ini ditutup dengan foto yang berkisah tentang banyak hal.

Buku dengan tebal sekitar 170 halaman ini, kuakhiri dengan bermacam perasaan. Mengobati kerinduan masa kanak-kanak di kampungku, menemukan kesederhanaan yang tidak sederhana (hehehe bagaimana ini) atau bahkan inilah kesederhanaan yang sesungguhnya membawa kedamaian itu. Lalu menengok perjalanan jiwaku sendiri dan tentu sebagaimana Stef punya 'jalan' yang harus ditempuhinya. Melihat apa yang disajikan Stef tentu aku bisa menengok kembali "jalanku" sendiri.

Jadi, siapapun yang mencintai FOTOGRAFI... menurutku, cobalah membaca buku karya Stefano Romano ini, agar karyamu lebih punya energy, lebih bermakna dan lebih berCAHAYA.


Behind the scenes menemukan dua buku itu 

Sebuah sapaan masuk di mesengger. Saat aku membukanya, MasyaAllah agak kaget. Kenapa? Karena yang mengirim pesan itu adalah orang yang sekilas aku tahu adalah orang terkenal. Hehehe walaupun aku tidak kenal beliau sama sekali. Maaf beribu maaf ya, Stef.

Sungguh aku tidak mengenal beliau, sekadar tahu tentang beliau karena teman facebook pernah sharing tentang beliau. Aku hanya tahu beliau seorang fotografer dari Italy yang mualaf. Itu saja tidak lebih. Mungkin karena mua'alaf aku follow facebooknya. 

Dulu pernah like foto-foto yang beliau sharing. Tapi rasanya sudah lama banget aku tidak melihat postingannya. Ya, kalau kita tidak banyak berinteraksi dengan orang tersebut, maka statusnya memang akan jarang muncul di beranda kita. Demikian juga dengan postingan beliau.
Nah, selepas Idul Fitri ini, aku melihat beliau upload foto Idul Fitri di Roma. Jelas menarik dan aku langsung like beberapa foto yang memang bagus. Semua foto hasil jepretannya bagus...lha beliau memang ahlinya kan? 

Beberapa waktu kemudian, ada sapaan di mesengger itu. Aku beranikan membalas sapaan beliau dengan emoticon tangan tertangkup, sebagai simbol penghormatan dan salam. Kaget lagi ketika beliau membalasnya.
Dari sanalah beliau menyampaikan jika aku mau melihat karyanya, aku bisa membeli buku-bukunya yang  terbit sejak 2016 lalu. Mungkin ya sejak itu aku follow facebook beliau. Berawal dari perbincangan itu, aku diberinya kesempatan untuk menjadi temannya di facebook. Tentu menjadi satu kebahagiaan tersendiri, ketika kita bisa berteman dengan orang-orang hebat di bidangnya.
Setidaknya energy positif yang dibawanya akan menghasilkan hal positif juga. Ini berlaku untuk siapapun yang bagiku membawa energy positif. Jadi, aku pun tak segan untuk unfriend mereka yang bawaannya selalu negatif.

Begitulah akhirnya aku membeli buku beliau melalui Mizan Store dan toko buku online lain. Seperti biasa kalau beli buku maka sekalian saja membeli yang lain (hemat ongkos kirimnya hehehe). Aku juga membeli karya Cak Nun (Lockdown 309 tahun)  dan  karya Bang Andrea (Guru Aini), selain Kampungku Indonesia karya beliau.



Akupun mencari informasi tentang siapa beliau. Lagi-lagi aku tertegun, kagum dengan buncah bahagia. Melihat apa dan bagaimana yang dilakukan beliau selama ini bahkan ternyata istri beliau adalah muslimah Indonesia. MasyaAllah...
Aku bersyukur, 'dipertemukan' Allah dengan sosok seperti beliau. Aku membaca tulisannya (jika berkenan kunjungi blog beliau ) dan menemukan sesuatu yang berbeda. Satu keindahan, satu energy, satu cahaya, satu cinta, satu kebijaksanaan. 

Grazie, Stefano! 👍
I learned a lot from you!!!!

*Karena istrinya orang Indonesia dan kecintaan beliau terhadap Indonesia, InsyaAllah jika beliau ke Indonesia semoga bisa bertemu secara langsung di waktu terbaik. Aamiin. 









Jika mau melihat sedikit siapa Stefano Romano bisa lihat ini :


1 Comments

  1. Masya Allah, Mbak Jazim, ulasannya bikin aku tertarik dengan sosok beliau (dan tentu saja hasil karyanya), tfs

    ReplyDelete