Lalu, titik ini bukan sebuah akhir
Hanya jeda sebuah episode, dan Engkaulah yang menentukan ending kisah ini.
Aku tak tahu adegan awalnya,
Begitu saja aku Engkau "lemparkan" pada klimaks, pada konflik.
Aku berusaha mengeja adegan awal hingga menemukan mengapa dan bagaimana konflik ini terjadi.
Dengan kesungguhan rasa aku suguhkan anti klimaks agar episode ini bisa berakhir.
Tapi rupanya banyak hati yang tak ingin episode ini diakhiri dan kuakhiri.
Banyak ego bertopeng perih, merasa kasihan, merasa dikhianati, merasa disakiti bahkan ego yang berupa derai air mata mengatasnamakan cinta.
Aku termangu
Rasaku berhadapan dengan logikamu
Atau logikaku yang berhadapan dengan rasamu?
Padahal kita sama-sama tahu, hidup ini sehimpunan peristiwa rasa bukan sehimpunan peristiwa logika.
Hitunganku menggunakan kalkulatorNya, hitunganmu menggunakan kalkulator logikamu.
Atau sebaliknya?
Lalu di titik mana kita akan bertemu?
Aku memilih istirah,
Kuunggunkan saja doa-doa agar kau (mau) menujuNya.
Kita menujuNya saja.
....
Jika kau berpikir bahwa senyumku kali ini adalah pertanda betapa ringannya yang harus kuterima dan kujalani,
Terimakasih atas prasangkamu.
Bukankah wajah batin tak harus selalu dilukis dalam renda senyum?
Pun senyum tak selamanya pertanda seperti dugaanmu, bahwa aku baik-baik saja.
Atau aku terlalu pandai melipat rasaku, rapih, hanya renjana yang kuwartakan padamu.
Bait-bait ini (masih) harus kueja, kubaca perlahan agar jiwaku memahaminya.
Paragraf-paragraf ini harus keselesaikan untuk banyak jiwa
Ah, "sepiring nasi" yang Engkau jatah untukku untuk kami
Pun, aku harus Engkau beri amanah untuk semua proses ini
Aku yakin Engkau tidak pernah memberi beban melebihi batas kemampuanku
Jika semua ini Engkau percayakan padaku, artinya Engkaulah yang memampukan aku menjalani dan menyelesaikan semua dengan sebaik-baik penyelesaian.
Aku hanya berupaya melakukan yang terbaik bagi semuanya,
Bagiku, bagimu, mereka dan semesta
Lalu hanya berkah dan ridhoMu semata yang kudamba
Tidak ada hal sulit jika Engkau kehendaki mudah
Kadang air mataku memang harus luruh (bahkan kini semakin sering)
Ini bukan keluh, atau menyaru rikuh
Ini kesadaranku sebagai hambaMu
Aku tidak pernah tahu di mana dan kapan langkahku berakhir
Aku hanya ingat bahwa harapanku satu
Akhir langkahku dalam ridhoMu saja
Husnul khotimah untuk semua jejak langkahku
Karena itulah kujalani saja titah ini
Aku tahu, dalam perjalanan ini begitu banyak aral
Tak jarang sisi kemanusiaanku 'tergadai' di ruang hampaku yang kosong (tapi) tak kubiarkan melompong
Pun sisi kehambaanku kadang 'kularung' di samudera riuhku yang hening
Bahkan teramat sering hanya bisa sampaikan satu kalimat padaMu
"Aku lelah, ya Allah."
Dimana air mata adalah musik yang mengiringi derai lelahku
Muncul selaksa tanya,
"Mengapa aku yang harus menjalani titah ini?"
Lalu fisikku akan memilih mengikuti rasaku, bagai genderang bertalu pada sebuah asa yang terpacu
Terkapar
Tanpa daya
Sakit yang tak kurasakan sakitnya.
Malam-malam menjadi lebih panjang dengan banyak lukisan
Lukisan yang kadang membuatku enggan tenggelam dalam zona Frequency Modulation
Walau akhirnya aku memang memilih tersungkur di zona deltaku yang anggun.
Lalu...
Maaf, jika kau tak melihatku 'seperti yang dulu'
Wahai Maha Cintaku
Terimakasih untuk semua proses ini
Ampuni aku, berkali bilang 'menyerah'
Lalu Engkau dekap aku dengan bentuk cintaMu yang tak biasa
Lewat sepotong hati lain yang mampu rekahkan kembali senyumku
"Start from finish"
Aku serahkan padaMu, aku berproses, menjalani, berusaha melakukan yang terbaik sebagai manusia dan hambaMu.

Tuhan, aku berlindung kepadaMu dari kejahatan makhluk-makhlukMu dan kejahatan orang-orang yang mencintaiku.
Allaahumma arinal haqqo, haqqoo. Warzuqnattibaa'ah.
Wa-arinal baathila, baathilaa. Warzuqnajtinaabah.
Aamiin yaa Rabb...

Taman Hatiku, 8 Juli 2020

Jazilah...wherever you go, there you are.

0 Comments