Beberapa hal yang kulakukan untuk pertama kali dan berhasil memang selalu hadirkan bahagia dan tentu bangga pada diri sendiri. Sombong donk? Bukan sombong sih...tapi kadang memang aku melakukan hal-hal yang selama ini berlum pernah kulakukan terlebih sesuatu yang masih belum lumrah di sekitar sebagai sebuah tantangan bagi diri. Tentu ketika apa yang kulakukan itu berhasil aku bisa merasakan bahagia dan berkata pada diriku sendiri; "ternyata kamu bisa Jazilah!" 

Bisa melakukan hal lumrah dan menjadi yang pertama kali bagiku saja sangat senang, apalagi hal baru yang sangat baik walaupun belum lumrah. Seperti dulu ketika aku mulai melakukan perbaikan kesehatanku dengan mengurangi asupan nasi putih disusul kemudian dengan sarapan buah dan pola makan yang tidak sama dengan orang sekitarku. Awalnya tentu banyak yang menentang karena memang tidak lumrah di masyarakat. Alhamdulillah aku berhasil dan orang-orang pada akhirnya ikut bahagia melihat perubahan significant pada kesehatanku secara menyeluruh. Masa-masa yang cukup sulit itu kulewati dengan tidak mudah tapi aku tidak menyerah. Saat ini aku merasakan banyak hal baik dari apa yang kulakukan itu. 

Nah termasuk masalah eco enzyme ini. Selama pandemi sekali lagi aku tetap berusaha menjaga "kewarasanku" dengan melakukan atau mencari aktifitas positif yang membuat jiwaku selalu bahagia dan fisikku juga bergerak. Stay at home bukan perkara hanya berdiam tanpa kerjaan, tapi justru ketika kita benar-benar memiliki banyak waktu di rumah. Kita akan bisa melakukan banyak hal yang selama ini tidak kita lakukan. Stay at home tentu juga jangan dimaknai sebagai 'penjara kecil' tapi lebih mencoba untuk dimaknai sebagai 'surga kecil' yang ada di rumah kita. Mengingatkan kembali bahwa rumah adalah tempat segala kebaikan dimulai. 

Aku tinggal sendiri di Surabaya, tentu menjadi tantangan tersendiri ketika benar-benar harus berdiam di rumah. Teman-teman yang tinggal di daerah pedesaan dan masih memiliki lahan luas tentu bisa melakukan banyak hal dengan lahan itu. Sedang aku? Rumah ukuran 8 x 14 ini benar-benar sebuah bangunan rumah kota dengan halaman tidak luas tentunya. Halaman atau lebih tepatnya teras rumah yang tidak seberapa luas  itu sudah sejak lama sudah kupenuhi dengan berbagai tanaman yang biasa kurawat sebagai bentuk 'meditasi cinta' selama ini. 

Selama pandemi, aku sudah bisa membuat kue-kue yang selama ini hanya wacana juga olahan lain yang menurutku sudah dalam kategori berhasil. Mencoba membuat masakan baru dengan bahan-bahan sederhana yang selama ini tidak terpikirkan olehku. Aku juga mengikuti kegiatan online untuk mengisi otakku dengan pengetahuan juga keterampilan baru. Eco enzime ini adalah salah satu yang kubuat selama pandemi dari hasil belajar dengan orang-orang baik. Eco enzyme ini juga menjadi bagian upayaku untuk perlahan  kembali kepada keharmonisan semesta dengan bahan-bahan alami. Aku memang belum sepenuhnya terlepas dari bahan keseharian yang kimiawi (tidak alami) tapi bukan berarti aku tidak belajar untuk memperbaiki diri. 

Nah, awal September lalu (harusnya) adalah panen perdana untuk eco enzyme yang kubuat. Saat proses pembuatan memang selalu bikin deg-degan sih. Bahkan pernah ada satu dalam proses pembuatannya membuatku agak panik. Kepanikan itu terjadi karena kesalahanku sendiri sebenarnya, dalam arti 'menunda' sesuatu yang harusnya kulakukan saat itu juga. Akibat dari penundaan yang aku pikir tidak banyak berpengaruh ternyata efeknya luar biasa mengejutkan. Botol eco enzyme hampir meledak! Aku berpikir bahan yang kugunakan akan memiliki reaksi yang sama, ternyata setiap bahan yang digunakan reaksinya berbeda. Benar-benar sebuah pengalaman yang sangat berguna jika kelak membuat eco enzyme lagi. 

Apa sih Eco Enzyme itu? 

Hasil membacaku...eco enzyme adalah larutan zat organik kompleks yang merupakan hasil fermentasi dari sisa organik, gula dan air. Eco enzyme ini pertama kali dikenalkan oleh dalam arti ditemukan dan dikembangkan oleh Dr. Rosukan P. Beliau menerima penghargaan dari FAO PBB atas penemuannya tersebut yang melakukan riset selama 30 tahunan untuk hal itu. Namun ada nama lain yang berjasa menyerbarluaskan segudang manfaat dari eco enzyme ini adalah Dr. Joen Oon, director of The Centra for Naturopathy and Protection of Families in Penang Malaysia. 

Untuk lebih jelasnya teman-teman bisa mengakses informasinya di  Zerowaste Indonesia  juga di Sustaination.id

Dari dua situs itu juga  aku menerima informasi lengkap menjawab rasa penasaranku setelah sebelumnya membaca postingan dokter Zaidul Akbar di instagram. Secara tehnis pembuatan eco enzyme juga melihat dari youtube dan aku mencoba untuk bisa membuatnya sendiri. 

Di bawah ini beberapa macam percobaan yang kulakukan sejak bulan Mei-Juni lalu. Bahan organik yang aku gunakan juga beraneka macam supaya aku tahu aroma terbaik yang bisa kunikmati dengan bahagia. What? Bukankah fermentasi itu juga nama lain dari pembusukan? Jelas aromanya tidak enak donk...apalagi itu kan sisa-sisa (kulit) buah lagi. Coba aja bikin ya...nanti akan tahu bagaimana aroma eco enzyme. 

Ujicoba pertama adalah aku menggunakan bahan organik dengan bermacam kulit buah. Ada kulit jeruk, pepaya, semangka dan juga daun pandan. Saat proses benar-benar kuperhatikan dengan baik dan ketika memasuki seminggu aroma hasil fermentasi cukup membuatku jatuh cinta pada pengalaman pertama membuat eco enzyme ini. Jika seharum ini, tentu aku akan membuat lagi. 

Percobaan kedua, aku memilih hanya satu jenis bahan organik yaitu kulit nanas. Hasil fermentasi kulit nanas ini memang (menurutku) yang paling seru hehehe. Karena waktu pembuatannya aku kelupaan tidak membukanya saat pagi hari. Baru ingat ketika sudah sore hari dan kondisi di balkon atas yang tentu lebih hangat. Botol menggelembung. Bersyukur tidak sampai meledak, dan tentu ketika aku membukanya...cairan ikut keluar. Itulah yang menyebabkan hasil dari botol ini lebih sedikit. Mengenai aromanya jelas lebih menyengat dari percobaan pertama. Tapi jangan remehkan karena hasil akhirnya aroma kulit nanas ini juga sangat menyenangkan. Bahkan warna cairannya paling bagus menurutku.  

Tidak ingin mengulang kejadian kurang menyenangkan saat membuat fermentasi kuliat nanas maka untuk kulit pisang ini aku meletakkan botol di tangga menuju lantai atas. Tentu ini sangat aman dari lupa tidak membukanya setiap hari, karena aku setiap saat melewatinya. Proses fermentasi kulit pisang ini, aku kurang sreg dengan aromanya dibanding dua percobaan sebelumnya. Tapi tentu manfaatnya tidak berbeda dengan yang lainnya. 

Percobaan ke empat, aku menggunakan bahan organik berupa kulit jeruk pamelo (waktu bikin lagi musim), kulit semangka dan kuliat nanas. Dalam prosesnya aroma yang tercium masih dalam tataran normal karena ada kulit nanas dan jeruk. Namun ketika kuperhatikan dengan baik, residu kulit jeruk pamelo ini ternyata cukup banyak. Foto ini masih dalam proses 2 bulan dan air masih kelihatan belum lebih pekat warnanya. 

Nah...ternyata pada percobaan pertama, aku memanennya lebih dari 3 bulan, karena kesibukan. Uji coba pemakaian kulakukan untuk menyiram taman kecilku, semoga menunjukkan hasilnya (saat menulis ini baru seminggu dicoba). Selain itu di kesempatan lain aku akan mencoba menggunakan bahan organik selain buah. Sudah tentu aroma yang dihasilkan akan berbeda kan? Tapi ada daun jeruk juga daun pandan wangi yang aromanya sangat enak yang bisa menjadi bagiannya. 

Jadi...menjaga alam ini, sangat bisa diawali dari langkah-langkah kecil kita sendiri dan keluarga, kemudian lingkungan sekitar. Semoga langkah kecilku yang sangat kecil ini bisa menjadi kontribusi positif bagi semesta.  Aamiin.
Hal baik dan positif apa saja yang bisa kita lakukan selama pandemi? Saya...dan Anda sendiri yang bisa menjawabnya!

0 Comments