RAMADAN TERAKHIR BERSAMA BAPAK (Mengenang 15 Tahun Kepulangan Bapak)
Malam yang Menangis
“Halo... Assalamu’alaykum.” kuterima dering hand phone dengan tergesa karena merasa terganggu deringannya di pagi dini hari. Aku sedang menyiapkan keperluan untuk dibawa ke rumah sakit karena bapak harus di rawat malam itu juga. Mengapa ada orang telp pada saat yang tidak tepat seperti ini? Ada kemarahan dalam hatiku.
“Selamat pagi... bisa bicara dengan pak Sholeh?” suara diseberang tanpa menjawab salamku. Sholeh adalah adik pertamaku. Saat telp berdering dia sedang menyiapkan pakaian untuk bapak dan ibu yang juga harus menunggu di rumah sakit.
“Iya ini dari siapa? Saya kakaknya.” jawabku dengan nada meninggi, karena aku berfikir ini teman-temannya Sholeh dari luar daerah yang seringkali memang telp malam hari. Aku hanya berfikir aku sedang sibuk dengan keadaan bapak yang tiba-tiba kesehatannya menurun.
“Ini dari Rumah Sakit Umum Daerah.” jawab suara laki-laki di seberang sana dengan santai. RSUD? Bukankah itu tempat bapak dirawat?
“Iya ada apa? Kami akan segera ke sana kami sedang mengambil uang untuk membereskan administrasi dan saya minta bapak saya di rawat di ruang VIP.” sengitku lagi.
Birokrasi Rumah sakit umum daerah yang serba rumit, mengantarkan pikiran dan mulutku untuk biacara seperti itu. Pikiran itu hadir begitu saja karena seringkali orang-orang kecil seperti kami tidak pernah dianggap layak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari mereka. Orang-orang yang katanya punya hati nurani. Aku hanya ingin katakan pada mereka bahwa bapakku punya putri yang bisa menghandle semua persoalan. Punya seorang putri yang akan pertaruhkan segalanya demi beliau. Berapa uang kalian butuhkan untuk bapakku? Ahhh...sombongkah aku? Tapi kalimat-kalimat itu tertahan ditengorokanku ketika dengan santai petugas itu bicara kembali.
“Kami hanya mau memberitahukan bahwa bapak Munawir sudah meninggal.” datar ucapnya. Hambar! Tidak berasa. Tanpa diksi.
“Apa?” nafasku tercekat. Dadaku terasa sesak, tak mampu lagi aku berdiri dengan dua kaki tegarku. Aku terduduk lunglai.
“Iya mbak, bapak Munawir sudah meninggal 20 menit yang lalu.” suara itu seperti suara algojo yang tak punya hati dan rasa menebas urat leherku dan batas-batas kekuatanku. Suara tanpa rasa simpati sedikitpun.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun... tapi itu gak mungkin, bapak jangan main-main! Bapak saya masih sehat.” sengitku kembali.
“Kalau mbak tidak percaya ya sudah... saya ini disuruh ibunya mbak untuk telp.” jawabnya tanpa nada simpati. Suara itu kembali mencabik nuraniku. Disuruh ibu?
Aku terdiam memeluk hand phone, mencari serpihan-serpihan kekuatan untuk mampu memahami kembali hakekat kehidupan ini. Mencoba menahan air mata....tapi hatiku menangis deras tak terkira. Air mataku telah menbanjiri seluruh ruang hatiku. Adikku datang bertanya ada apa? Aku hanya menggeleng tanpa bisa berkata.
Tanganku kembali bergerak tanpa kata. Di awal aku tergesa memasukkan baju bapak dan bunda ke dalam tas punggung adekku, kini tanganku menarik kembali baju-baju itu perlahan. Adikku kebingungan mengguncang tubuhku. Tapi aku serasa tak punya kekuatan lagi. Adikku teriak keras kenapa baju-baju dan peralatan sholat itu harus aku keluarkan dari tas punggungnya. Aku tetap diam. Aku masih tidak percaya bahwa yang telp aku tadi adalah petugas rumah sakit tapi gerakan tanganku terus mengeluarkan barang-barang itu.
“Mbak.... ada apa? Kenapa barang-barang ini mbak keluarkan? Ini mau kubawa ke rumah sakit. Mbak....tolong mbak, aku juga sedih bapak harus masuk rumah sakit, tapi kita harus kuat kita gak boleh lemah seperti ini.” teriak adikku tepat di depanku. Aku tetap diam.
"Mbak...!!! lihat aku.... kita akan berbuat terbaik buat bapak dan yakinlah Allah akan memberi kesembuhan pada bapak.” celoteh adekku menarik wajahku untuk mau menatap matanya.
Tapi aku tetap berusaha menghindari tatapannya. Aku tetap diam, hatiku perih. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada adekku tentang bapak.
“Mbak jangan seperti ini. Ok, mbak tidak kasihan sama aku... tapi mbak ingat Bunda, kalau mbak begini bagaimana Bunda?” teriaknya dengan air mata yang aku tahu mulai menggenang. Aku terhenyak demi mendengar kata Bunda, beliau yang saat ini sendiri sedang mendampingi kepergian bapak.
Ingatanku melayang pada orang yang barusan telp aku. Aku ingin menampar petugas rumah sakit itu. Jika dia tidak bilang secara langsung seperti itu, mungkin saat ini bunda tidak sendiri. Aku dan adikku pasti sudah bersama Bunda hadapi semuanya. Kenapa dia harus bicara secara langsung seperti itu? Kenapa dia tidak bilang bahwa bapak sedang kritis? Dan kami keluarganya diminta segera datang ke rumah sakit? Kenapa tidak seperti itu? Apakah mereka sudah tidak punya hati yang bisa merasakan kesedihan? Atau hati mereka telah membatu karena setiap hari melihat kematian? Ya Allah....bukankah kematian itu sebuah pelajaran yang sangat berarti bagai orang-orang yang beriman? Apakah dia tidak punya iman? Ya Allah....dadaku masih bergemuruh. Sungguh aku ingin menampar orang itu.
Aku tidak bisa lagi diam, aku harus katakan. Aku peluk erat adikku dan tumpahlah air mata yang kucoba simpan dalam lipatan keteguhanku.
“Ya sudah mbak menangislah jangan hanya diam, aku takut mbak... kalo mbak begini, mbak malah sakit, kasihan bapak sama bunda....” semangat hangat adikku.
“Bapak sudah meninggal dek...” lirihku di dekat telinganya. Serta merta dia lepaskan tubuhku bahkan serasa dia mendorong tubuhku. Aku terhuyung ke lantai.
“Mbak jangan main-main....itu gak mungkin barusan aku masih bicara sama bapak , aku baru pamit pulang, bagaimana bisa mbak bilang bapak meninggal?” teriaknya tak karuan.
Ya Allah pedih hatiku kembali, adikku pasti juga tidak bisa menerima kenyataan ini. Karena memang dia yang mengantar bapak sampai ke rumah sakit. Diapun pulang atas permintaan bapak, agar mengambil barang-barang yang diperlukan.
Aku menatap wajahnya berusaha lebih kuat dari dia, karena aku merasa sebagai saudara tertuanya. Aku lihat dia mendesis lirih “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” kemudian memejamkan matanya. Aku biarkan dia terdiam demikian juga aku. Ketika tiba-tiba adikku berteriak. “ya Allah... kenapa secepat ini Engkau ambil bapak?” air matanya tertumpah sambil memelukku.
Jika sebelumnya dia berusaha lebih tegar dari aku, tapi aku tahu saat ini dia butuh aku yang harus lebih tegar dari dia. “sabar ya dek...jangan menangis, kasihan bapak ingat bunda....sekarang bagaimana kita harus cepat ke rumah sakit dan... bagaimana caranya kita memberitahu Syarif? “ ucapku tercekat.
Kami ternyata tak setegar harapan kami. Akhirnya kami bertangisan sesaat berdua, sampai aku sadar bahwa aku tidak boleh lama terdiam di rumah. Bunda sendirian dan Syarif adek kecilku juga harus tahu. Bagaimana aku menghubungi dia? Dia sedang kerja shift 2 artinya sesuai aturan perusahaan, maka HPnya dalam kondisi mati ketika dia sedang menjalankan mesin. Tapi tetap aku berusaha meraih Hand phone yang tergeletak, dengan perlahan aku mencari nama adekku. Akhirnya bisa menghubunginya, si bungsu yang sangat dekat dengan bapak. Aku hanya minta dia izin pulang karena bapak kritis di rumah sakit, aku tidak bisa mengatakan padanya bahwa bapak telah meninggal.
Tangisan kami di dengar karyawan lainnya karena keluargaku tinggal di lingkungan perusahaan bersama karyawan yang lain. Hanya saja, fasilitas yang kami miliki berbeda dengan keluarga lainnya. Aku justru semakin lemah saat mendapat simpati mereka, mereka malah bertangisan melebihi aku. Adekku segera diantar ke Rumah sakit dengan beberapa tetangga. Aku mencoba hubungi saudara dan semua malah "memarahi" aku, dan membuatku menangis semakin luka.
Mereka TIDAK PERCAYA pada kabar yang kusampaikan, karena semua keluarga tahu bahwa Bapak baik-baik saja. Lebaran yang baru berlalu 15 hari, semua masih bertemu bapak dengan candanya yang indah.
"Gak mungkin Munawir meninggal...aku baru datang dari Arabia untuk menemuinya. Aku teman kecilnya bermain sepak bola di alun-alun. Ke sekolah bareng...ngaji bareng ya Allah..." teriak seorang tamu berwajah Arab saat berada di depan rumah kami. Aku melihatnya dari balik jendela dimana jasad bapak disemayamkan. Hatiku perih kembali dan serta merta kudengar bunda kembali menangis di kamar.
Orang itu masuk dan .... dia memeluk bapak yang sudah terdiam dengan begitu rupa bahkan menangis hebat. Semua yang hadir segera memintanya berhenti menangis dan segera menjauh dr bapak. Sesaat kemudian orang itu bisa mengendalikan diri dan berdoa di sampingku.
"Kamu putrinya Munawir?" tanyanya menoleh padaku kemudian. Aku hanya mengangguk berusaha tersenyum. Karena orang ini pasti tidak tahu kalau aku anak tirinya bapak.
"Nawir pasti bangga punya putri sepertimu." ucapnya membuatku tertegun.
"Jaga ibumu dan adik-adikmu ya." pesannya. Aku hanya mengangguk lagi, hatiku telah banjir air mata. Tapi aku pantang menangis di depan bapakku.
Kembali hadir teman-teman kecil bapak, teman sekolah dan tetangga bahkan penjual makanan kecil di sekolah bapak-pun hadir. Seorang perempuan tua yang akhirnya menjebolkan pertahanan kami. Air mataku tak mampu lagi kubendung, semua yang hadir menyusut air mata saat perempuan itu bercerita keindahan akhlak bapak. Allah....cukuplah cerita itu. Mudah2an bapak tersenyum menyaksikan kami yang menangis "kehilangannya". Bahwa betapa banyak jiwa yang mencintainya.
Kehilangan lebih dahsyat terjadi di perusahaan tempat bapak dan keluargaku bekerja. Semua karyawan tertegun, pimpinanpun. Hari itu kantor dan operasional pekerjaan dinyatakan libur. Semua ikut prosesi pemakaman bapak. Bunda tidak boleh lagi menampakkan diri karena masuk masa Iddah. Praktis akulah yang menghandle semuanya. Dari cerita yang kudengar dari adekku...begitu banyak yang mengantar kepergian bapak sepanjang jalan, semua memberi penghormatan terakhir. Sepanjang jalan Malik Ibrahim dipenuhi kerabat dan tetangga serta teman-teman bapak yang datang ikut mengantar ke pemakaman. Dan sebagaimana tradisi di kampung kami (kampung Arab) semua dikerjakan dengan cepat. Tidak ada halangan apapun yang memperlambat prosesi itu. Semua dimudahkan Allah.
Perusahaan kehilangan satu ahli pewarnaan untuk tenun sarung tradisional, dan bahayanya... satu rumus pewarnaan itu dibawa mati oleh bapak. Karena rumus ini dikenal sulit dipelajari. Stabilitas pekerjaan juga sangat terganggu setelah kepergian bapak. Semua berjalan normal kembali setelah hampir satu bulan kepergian bapak. Tetap tanpa satu rumus itu dan diputuskan menggunakan rumus warna yang baru.
Kemudian dunia gelap saat kulihat bingkai foto di kamarku "Bapak, aku dan Bunda" saat aku wisuda dengan predikat yang membuatnya tersenyum bangga padaku. Aku ingin terus menjadi putrimu yang membuatmu bangga Pak...selamanya.
Senja Terakhir Bersamamu
Hari itu aku tidak ke kampus di samping masih "libur" lebaran, memang kuliahku sudah selesai. Aku hanya tinggal menyusun tesisku saja. Aku membantu aktifitas di rumah dan hari itu adalah hari ke tiga bapak dan adek-adekku mulai masuk kerja lagi setelah libur lebaran.
Tidak ada yang aneh, siang itu kami makan siang dengan bahagia. Sore aku memilih bersibuk ria di dapur dan saat itulah bapak memesan makanan yang berbeda dari biasanya. Makanan yang disukai almarhum nenek (Ibunya Bapak) tetapi tidak begitu disukai oleh bapak hanya berbeda pada pemberian KECAP saja. Nenek suka masakan ini diberi kecap sedang bapak tidak suka makanan ini diberi kecap. Dan hari itu...bapak ingin makanan itu diberi kecap!
Sejak dulu keluargaku menyukai buah-buahan, termasuk sore itu aku mengupas Mangga Madu. Kami nikmati bersama. Hingga selepas adzan asar, "biasanya" Bapak akan langsung ambil wudhu kemudian sholat. Tetapi senja itu, bapak ingin menutup kantor lebih dahulu baru kemudian mandi dan sholat asar. Menutup dan membuka kantor perusahaan tempat orang tuaku bekerja adalah tanggung jawab bapak, termasuk menjaga semua hal di perusahaan. Itu salah satu tugas atau kewajiban keluargaku yang memang berfasilitas lebih dari yang lain. Sepertinya bapak ingin menyelesaikan amanahnya. Selesai mengunci semuanya, bapak pamit untuk mandi. Tetapi...Allah berkehendak lain.
Tepat bapak selesai mengucapkan kalimatnya untuk mandi dan wudhu, tiba-tiba beliau terhuyung dan memanggil bunda. Aku yang cepat lari menuju beliau, melihat Bapak memegangi dadanya. Aku raih tangannya dan tepat bunda datang dan kami menuntun bapak ke kamar. Tangan bapak sudah dingin dan nafasnya sesak. TIDAK PERNAH ada riwayat kesehatan bapak untuk urusan SESAK ini. Saat sampai kamar, baru aku menyadari bahwa tubuh bapak sangat lemah, memucat dan keringat dingin keluar dengan derasnya. Untuk sesaat aku tertegun, ingatanku melayang pada 5 tahun yang telah berlalu. Saat tiba-tiba bapak roboh dan harus masuk rumah sakit dengan vonis yang mencengangkan , JANTUNG dan LIVER BAPAK BERMASALAH, SAKIT!
Lima tahun yang lalu kami disapa kabar indah, dengan perubahan drastis pada kondisi kesehatan bapak dan hari itu aku disapa kembali dengan gejala yang sama. Masih segar dalam ingatanku bahwa tepat 2 bulan yang lalu bahkan sebulan yang lalu sebelum Ramadhan hasil cek kesehatan bapak yang terakhir ke semua dokter spesialisnya, BAPAK DINYATAKAN SEMBUH. Kondisi jantung bapak SEHAT. Betapa bahagianya kami...dan kini setelah sebulan lebih kami bahagia dalam kesempurnaan rasa, Allah menyapa kembali dengan gejala yang sama. Ditambah sesak yang dirasakan bapak, membuatku menangis tidak tega melihat deritanya.
Aku sudah ramai dan memaksa untuk ke rumah sakit, tapi beliau tetap bersikukuh tidak mau ke rumah sakit. Kedua adekku sudah berangkat kerja untuk sore hari. Praktis aku hanya bersama bunda, melakukan tindakan-tindakan pertolongan yang sudah diajarkan dokter untuk bapak. Saat itu bapak bicara dengan baik, bahwa ingin sholat asar karena waktu sudah sangat sore. Tapi kondisi beliau tidak memungkinkan untuk bergeser dari tempat tidur. Akupun walaupun bersama bunda tidak akan bisa mengantar bapak ke kamar mandi. Aku menangis, memohon agar beliau mau dibawa ke rumah sakit. Tapi beliau bilang "tidak apa-apa, bapak gapapa...hanya ingin istirahat saja. tidak usah ke rumah sakit nanti opname, biayanya dari mana?".
Aku yakinkan dengan segala kemampuanku bahwa semua akan baik=baik saja kalau bapak berkenan ke rumah sakit atau ke puskesmas terdekat yang berjarak 500 meter dari rumah kami. Tapi beliau tidak mau, dan memilih istirahat. Bunda menunggu bapak yang tertidur pulas tetapi keringat dingin terus mengucur deras dan bunda yang mengeringkan keringat yang seolah tak ada habisnya itu. Aku memperhatikan dengan derai air mata. Aneh, bapak tertidur hingga jelang sholat isya. Terbangun dan "marah" karena sudah meninggalkan sholat lagi. Aku kembali memohon, meyakinkan bahwa bapak hanya butuh oksigen agar tidak terlalu sesak nafasnya. Karena yang dikeluhkan hanya sesak nafas saja.
Tapi beliau tetap tidak berkenan. Hingga beberapa karyawan yang juga tetangga kami datang dan ikut meyakinkan agar bapak segera ke rumah sakit. Saat itulah bapak ingin makan, dan meminta makanan yang tadi sore aku memasaknya. Makanan yang selama ini kurang disukainya tetapi disukai nenek. Hanya sesendok yang bisa ditelan dan memintaku mengambilkan minum air putih. Setelahnya kembali istirahat. Jelang tengah malam...keringat dingin itu kembali deras dan aku tidak bisa diam. Aku panggil beberapa tetangga dan dengan sedikit memaksa aku kembali memohon bapak berkenan aku bawa ke rumah sakit.
"Bapak hanya sebentar di rumah sakit, selesai di beri oksigen...nanti tidak sesak lagi insyaAllah bapak langsung pulang" kataku. Bapak orang Sulawesi dan kami lebih sering berbahasa Indonesia dan bahasa Gresik Surabaya. Tidak ada bahasa Jawa halus di keluargaku.
"Gak usah ke rumah sakit, ke puskesmas saja." kata beliau
"Ya sudah...pokoknya bapak mendapatkan perawatan." kataku lagi.
Bunda menyiapkan baju ganti dan karena gugup mungkin selalu mendapatkan baju lengan panjang yang agak repot memakainya. Saat itu bapak yang masih bisa duduk bersandar padaku, tiba-tiba limbung kembali. Bunda cepat meraih tubuh bapak dan aku yang mencari baju ganti untuk bapak. Aneh aku malah menemukan baju lengan pendek dan masih baru. Cepat aku buang label baru di baju itu dan kukenakan pada bapak.
"Lho kok baju ini?" protes bapak mungkin sadar kalau itu baju barunya yang belum dipakai.
"Sudah Pak, gapapa...enak pakai baju baru karena ini saja yang kutemukan berlengan pendek." elakku.
"Iya aku pakai baju baru saja..." ucapnya melemah.
Aku yang mengenakan baju itu kemudian tetangga membantu bapak untuk berjalan keluar. Tapi saat itulah aku semakin lemah, bahwa bapak tidak bisa lagi berdiri dan itu membuatnya tidak ingin ke rumah sakit.
"Aku merepotkan orang, gak usah ke rumah sakit...aku gapapa." ucapnya lagi. "Gapapa pak..." teriakku lagi.
Dan dengan terpaksa bapak harus digendong menuju becak yang ada di depan rumah, karena puskesmas memang hanya 500 meter dari rumah kami.
Ketika sudah di becak, bapak melarangku ikut ke rumah sakit. Hanya bunda dan adekku serta satu orang tetangga yang mengantar beliau.
"Ima gak usah ikut ke rumah sakit, sudah malam...di rumah saja, jaga rumah. doakan bapak ya." Aku mau protes, tapi...demi melihat wajahnya aku diam dan mengangguk.
"Ima doakan bapak ya...maafkan bapak." ucapnya dengan santai. "Iya pak, maafkan aku juga. Bapak akan sembuh." ucapku mencium tangannya.
Dam ternyata...itulah terakhir kalinya aku bicara secara nyata dengan bapakku. Dini hari aku bertemu kembali dengannya dalam senyum diam yang sempurna, damai.
Ramadhan Terindah
Ramadhan terindahku bersama bapak. Begitulah perjalanan hidup manusia. Bapak yang telah kutuliskan ini sebelumnya hanya percaya bahwa Allah ada, mengaku beragama Islam. Tetapi sebelumnya...bapak tidak sempurna menjalankan perintahNya. Sholat 5 waktu sesukanya bahkan sholat Jumat-pun sesukanya. Tetapi sekali lagi ketika Allah menghendaki apapun pada hambaNya, maka yang terjadi ya terjadilah....!!!
Itulah kehidupan kami. Aku tumbuh dalam asuhan lembutnya walaupun status beliau adalah bapak tiri. Tapi aku tak pernah merasakan berpredikat anak tiri. Tidak ada perlakuan beda antara aku dan adek-adekku, bahkan aku merasakan sebaliknya bahwa aku terlalu dimanja sama beliau. Beliaulah salah satu orang yang mendukungku dengan indah ketika aku memutuskan mengenakan busana muslimah dengan lebih baik. Waktu itu aku memutuskan mengenakan abaya dengan kaos kaki yang lengkap tetapi tanpa cadar. Beliau melarang aku mengenakan cadar, dan akupun belum memutuskan untuk mengenakan cadar. Bersama Bunda...beliaulah yang menjadi penyemangatku saat aku rapuh dalam proses pencarian jati diriku. Aku belajar banyak dari KESABARANNYA, dari KELAPANGAN HATINYA, dari DIAMNYA dan dari banyak hal sederhana yang ada padanya.
Aku memang pernah "marah" karena beliau tidak menjalankan perintahNya dengan baik. Tetapi aku tak berhak menghakiminya, aku hanya berdoa Allah segera membuka hatinya untuk lebih dekat denganNya. Aku serasa berhadapan dua sisi bapak yang membingungkan. Tapi sungguh ternyata aku tak punya nyali untuk "menentangnya" aku hanya bisa berdoa dan berdoa untuknya.
ingga aku bisa kuliah...kemudian menjadi yang terbaik. Aku masih ingat betapa bahagianya beliau saat predikat "terbaik dan tercepat" itu aku berikan padanya. Ya dialah bapak terbaikku sedunia....!!! Kemudian saat aku bisa melanjutkan kuliahku ke pascasarjana ada harapan yang belum terwujud.
"Nanti kalau kamu wisuda S2, Bapak boleh hadir kan? sekarang kan bapakmu sudah baik sama kamu, apa nanti bapakmu saja yang akan hadir di wisudamu?" Aku terkejut bukan main-main waktu itu.
"ya Allah.... ya semuanya harus hadir. Bapak sama bunda dan kalau bapakku sama ibu mau hadir ya gapapa. yang pasti hadir adalah Pak Awing sama Bunda." ucapku
Pak Awing...adalah panggilan kami, semua sepupuku selalu memanggil bapak dengan Pak Awing karena nama beliau Munawir jadi lebih gampang dipanggil Awing.
*Dan benar...ternyata bapak tidak bisa hadir di wisuda S2ku, tapi bapak hadir di hatiku.
Masih segar dalam ingatanku saat Allah membuka pintu hidayahNya, aku merasa doa-doaku dijawab dengan indah oleh Allah. Tepat saat Ramadhan bapak menjalankan semua perintahNya. Bapak yang seringkali "sak karep" untuk puasa atau tidak, sholat atau tidak. Ramadhan 2005 itu, menjalankan semua dengan indah. Bahkan aku dibuat tercengang bahkan MALU karena perubahan beliau.
Beliau selalu bangun lebih awal dari kami jauh sebelum waktu sahur tiba. Karena setiap aku bangun, aku sudah melihat wajah bapak yang segar oleh air wudhu. Kemudian kami sahur berama dan bapak selalu mengajak sholat subuh di masjid Jami' kotaku. Kadang aku yang "malas" ikut jalan dan memilih sholat di rumah.
Sholat taraweh...yang pada Ramadhan sebelumnya hanya dijalani beberapa waktu saja oleh bapak, tidak dengan Ramadhan kali ini. Bapak selalu berangkat lebih awal ke masjid dan aku selalu diingatkan untuk berangkat taraweh. Aku bahkan tak mengindahkan itu, masih beberapa kali memilih sholat taraweh di rumah, sendirian.
Sholat fardhu 5 waktu, jika sebelum Ramadhan kali itu bapak melakukannya secara suka-suka, tidak dengan kali ini. Bapak selalu sholat tepat waktu dan itu kembali membuatku malu, yang seringkali mengulur waktu sholat.
Saat waktu membayar zakat, beliau kembali yang paling ramai mengingatkan. Padahal selama ini hampir-hampir tak peduli. Jelang lebaran... beliau kembali yang mengingatkan untuk tidak lupa menambah sedekah. Menyambung silaturahim dengan saudara2 dengan mengirimkan bingkisan yang mampu kami berikan. Aku selalu tertegun indah dalam bahagia dibuatnya.
"Ima, kamu tidak punya abaya polos warna hijau ya?" tanya bapak suatu sore. "Ada pak..tapi jarang kupakai."
"Bapak ingin membelikan kamu abaya, yang warnanya bagus, yang polos saja. Bapak suka kalau melihat kamu dan teman-temanmu, atau kalau melihat anak-anak di luar sana abayanya bagus-bagus kedurungnya lebar menutup badannya. Rasanya adem...tentram begitu. Bapak merasa kamu aman..." panjang kalimat bapak.
Rasanya aku ingin menangis mendengar penuturan itu, tapi kutahan semua air mata bahagiaku. Aku membalutnya dalam candaku bersama beliau dan bunda yang ikut bersama perbincangan kami.
"Asyiik....aku akan dibelikan abaya sama bapak, boleh kan bunda?" jawabku. Bunda hanya tersenyum.
Ah...jika kuingat percakapan Ramadhan itu, aku tak ingat lagi bahwa aku sudah berpredikat sebagai mahasiswa pasca sarjana, tapi seolah aku baru menjadi gadis 17 tahun yang manja.Tapi lebaran waktu itu aku tak dibelikan abaya, karena aku memang tidak berkenan agar uangnya digunakan yang lain. Bapak setuju dengan usulku, karena memang bajuku semuanya masih bagus-bagus.
Bapak...kaulah yang mengantarku menjadi diriku saat ini, yang telah belajar banyak darimu. I love you pak Awing.
Besok, akan ada laki-laki sholeh yg berhati indah...yg akan membelikan putrimu ini abaya indah seperti inginmu. Yakinlah... dan doaku tak terhenti untukmu.
Itulah RAMADHAN TERINDAHKU yang ternyata menjadi RAMADHAN TERAKHIRKU BERSAMA BAPAK.
Darahmu memang tidak mengalir dalam sel hidupku. Tapi jiwamu hidup dalam jiwaku. Aku merindukanmu. Sangat!!!
(17 November 2005 - 17 November 2020)
0 Comments